Malam itu, suasana di restoran terasa damai, dengan alunan musik klasik yang mengiringi percakapan santai antara Mikhail dan Tuan Chriss.
Mereka duduk di meja yang strategis, memberikan pemandangan indah ke luar jendela, langsung ke arah taman.Mikhail sesekali melirik ke luar, menikmati pemandangan, tapi tetap fokus pada perbincangan bisnis yang sedang berlangsung.Namun, takdir sepertinya bermain malam itu. Saat Mikhail memutuskan untuk sejenak pergi ke toilet, ia tidak menyangka bahwa pandangannya akan tertuju pada pemandangan yang mengusik hatinya.Keluar dari pintu toilet, langkah Mikhail terhenti ketika matanya menangkap sosok yang begitu dikenalnya, Astoria. Dia tidak sendirian. Di kejauhan, di tengah-tengah taman yang diterangi cahaya lampu taman, Astoria sedang bersama Jerry.Detik-detik berlalu, namun terasa seperti lambat. Mikhail menyaksikan bagaimana Jerry perlahan mendekat, tatapan matanya tak bisa salah ... Jerry hendak men'Apa dia menungguku?' batin Astoria.Mikhail berdiri dari sofanya tanpa menunggu jawaban Astoria. Tanpa sepatah kata lagi, dia berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Astoria berdiri terpaku di ruang tamu.Langkah Mikhail yang tenang dan tak tergesa-gesa seolah menjadi penutup dari percakapan yang belum sempat terucap sepenuhnya, membawa serta semua ketidakpastian yang menghantui benak mereka berdua.Astoria hanya bisa menghela napas panjang, lalu perlahan masuk ke kamarnya sendiri, ia duduk di meja riasnya menghapus make up yang masih menempel di sana, lalu ia teringat menyimpan liontin di lacinya.Ia buka laci itu, menggenggam liontin yang akhirnya kembali lagi padanya, menggenggam satu-satunya kenangan bersama ayahnya yang entah di mana, dan Mikhail lah yang menjaga liontin ini bertahun-tahun.'Seharusnya aku lebih berterima kasih lagi pada Mikhail, meski dia menyebalkan dan dingin padaku, ternyata ia punya sisi lain juga yang lembut,'
Mikhail menyerahkan berkas terakhir ke atas meja Jerry, kali ini isinya adalah gambar jam tangan yang sangat dikenal oleh Mikhail. Jam itu milik Jerry, sebuah benda yang ia ingat dengan jelas karena desainnya yang unik. Di samping gambar, ada catatan yang dibuat oleh Mikhail sendiri, merinci setiap detail dari jam tersebut, bahkan dari ukiran kecil. "Saat kecelakaan, yang aku lihat hanya jam itu," ujar Mikhail dengan suara yang sedikit gemetar menahan amarahnya. Jerry menatap berkas itu, wajahnya semakin pucat. Tapi dia tahu, tak ada gunanya lagi berbohong atau berpura-pura. Semua bukti telah ada di depan matanya, mengungkapkan kejahatannya yang selama ini tersembunyi. Menyadari bahwa tak ada jalan keluar, Jerry berdiri dari kursinya dengan perlahan, lalu menghampiri Mikhail dengan langkah tegas. Wajahnya berubah, dari yang tadinya terkejut menjadi dingin, penuh dengan ketegasan yang aneh. Tatapan Jerry beradu dengan Mikhai
Astoria menyaksikan Mikhail keluar dari ruangan Jerry dengan langkah cepat, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Sejenak, dunia di sekelilingnya seakan berhenti. Aura dingin yang menyelimuti Mikhail saat melintas di hadapannya membuat tubuhnya menegang.Jantungnya berdebar karena ikut tegang. Dia menggenggam berkas di tangannya, yang tadinya hendak diserahkan kepada Mikhail, namun sekarang tangannya bergetar.Setengah hati, Astoria mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghampiri Mikhail, tapi bayangan amarah di wajah suaminya itu membuat langkahnya tertahan. Dengan perasaan tidak menentu, seperti ada badai yang siap menghantam kapan saja.Astoria berdiri di depan pintu kantor Mikhail, jantungnya berdegup kencang. Pekerjaan yang harus diselesaikan ini terlalu penting untuk ditunda, meskipun bayangan wajah marah Mikhail masih terpatri jelas di benaknya. Dengan napas yang sedikit tertahan, dia akhirnya memutuskan untuk masuk. Ketika dia membuka pi
Astoria sedikit heran sekaligus kaget dengan ajakan Mikhail yang tiba-tiba untuk pulang di saat jam kerja. Rasanya aneh dan tak biasa. Namun, sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, perhatiannya tersedot oleh sesuatu yang lain, genggaman tangan Mikhail yang masih menempel di lengannya.Sentuhan itu terasa panas, seperti ada aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya, menyusup ke setiap urat nadinya.Mikhail akhirnya melepas tangannya dari lengan Astoria dengan lembut, seolah tak ingin membuatnya merasa canggung.Tapi, bagi Astoria, sentuhan itu sudah meninggalkan jejak yang tak mudah dilupakan. Dia mengangguk pelan, meski hatinya masih dipenuhi kebingungan."Ba-baik. Kita akan pulang dan panggil dokter Felix," ujarnya, suaranya sedikit gemetar.Mikhail mengangguk lemah, kemudian bersandar di kursinya dengan mata terpejam. Dari raut wajahnya, terlihat jelas bahwa rasa sakit di kepalanya belum benar-benar mereda."P
Jerry sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda canggung atau gentar di hadapan Mikhail. Malah, dengan sikap santai dan penuh percaya diri, dia melepaskan pelukan dari pinggang Astoria secara perlahan.Senyum tipis muncul di wajahnya, penuh dengan niat untuk memancing reaksi dari Mikhail. "Lain kali lebih berhati-hatilah," bisik Jerry lembut, suaranya terdengar begitu dekat di telinga Astoria, sengaja membuat Mikhail semakin terbakar api cemburu. "Untung ada aku yang selalu ada untukmu."Astoria, yang merasa terganggu oleh kedekatan yang berlebihan itu, mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum melangkah mundur. "Terima kasih," ucapnya singkat, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral. Tanpa menunggu respon dari Jerry, Astoria segera berpaling dan berjalan ke arah Mikhail.Mikhail tetap bergeming di tempatnya, matanya yang gelap menatap tajam ke arah Jerry, seolah mencoba menelusuri setiap niat tersembunyi di balik sikap santainya.
Setelah Dr. Felix pamit, meninggalkan penthouse dalam keheningan, Mikhail tetap duduk di sofa, tubuhnya tampak lebih rileks, namun pikirannya jauh dari tenang.Astoria duduk di seberang Mikhail, hendak membereskan cangkir teh yang ia sajikan untuk dokter Felix dan Mikhail.Mikhail memperhatikan Astoria dengan lebih seksama. Tatapannya turun, melihat kalung liontin yang menggantung di leher istrinya itu, sebuah benda kecil, tapi penuh arti. Ada rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik tatapannya yang dingin. Ia tidak terbiasa menunjukkan perasaan, tetapi sesuatu dalam diri Astoria selalu membuatnya ingin tahu lebih banyak."Kemana ayahmu?" tanyanya tiba-tiba, suaranya tetap rendah dan datar, seolah ini hanyalah pertanyaan biasa.Astoria terdiam sejenak, menghentikan aktivitasnya membereskan cangkir-cangkir itu, lalu menatap Mikhail dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, namun ia berusaha menyembunyikan emosinya."Ayah pergi sete
Astoria terpaku mendengar pertanyaan yang tidak pernah ia duga akan keluar dari mulut Mikhail. Matanya membulat, bibirnya sedikit ternganga karena kaget. "Kenapa tiba-tiba?" tanyanya, suara getarannya tidak bisa ia sembunyikan.Mikhail menatapnya dalam, sorot matanya yang biasanya tajam dan penuh kendali kini tampak lebih lembut, seakan ada sesuatu yang lain di balik ketenangannya. "Kau dengar sendiri 'kan kata dokter?" ujar Mikhail, suaranya datar namun terasa ada nada kepasrahan di sana. "Aku butuh liburan. Kita bisa berpura-pura berbulan madu ... ada tempat yang ingin aku kunjungi."Astoria merasakan detak jantungnya semakin cepat. Kata-kata Mikhail terasa asing, tidak sejalan dengan citra pria dingin yang selama ini ia kenal.Pria yang selalu menekankan tanggung jawab dan kewajiban, yang tidak pernah menunjukkan keinginan untuk melarikan diri dari rutinitasnya.Ia terdiam sejenak, mempertimbangkan kemungkinan itu. Namun, saat menatap
Malam itu, kesunyian menyelimuti penthouse yang luas. Di kamar mereka masing-masing, Mikhail dan Astoria terdiam dalam pikiran mereka. Setelah hari yang melelahkan, keduanya memilih untuk tidur di kamar terpisah, seperti biasa.Namun, meskipun tubuhnya lelah, ia tak bisa segera memejamkan matanya. Astoria memutuskan untuk membaca buku ketika ponselnya bergetar. Astoria meraih ponsel di meja samping tempat tidurnya dan terkejut saat melihat nama pengirimnya.Jerry.Astoria terdiam sesaat sebelum membuka pesan itu. Ada perasaan tak nyaman yang tiba-tiba muncul di dadanya. Apalagi setelah insiden di restoran dan pertemuan canggung mereka di kantor tadi siang.["Astoria, bagaimana kabarmu? Maaf kalau sikapku tadi terlalu berlebihan."]Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat Astoria kembali teringat kejadian di restoran. Bagaimana Jerry mendekatinya, bagaimana ia merasa tak nyaman dan memilih untuk pergi tanpa banyak bicara.Sekar