Setelah Dr. Felix pamit, meninggalkan penthouse dalam keheningan, Mikhail tetap duduk di sofa, tubuhnya tampak lebih rileks, namun pikirannya jauh dari tenang.
Astoria duduk di seberang Mikhail, hendak membereskan cangkir teh yang ia sajikan untuk dokter Felix dan Mikhail.Mikhail memperhatikan Astoria dengan lebih seksama. Tatapannya turun, melihat kalung liontin yang menggantung di leher istrinya itu, sebuah benda kecil, tapi penuh arti.Ada rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik tatapannya yang dingin. Ia tidak terbiasa menunjukkan perasaan, tetapi sesuatu dalam diri Astoria selalu membuatnya ingin tahu lebih banyak."Kemana ayahmu?" tanyanya tiba-tiba, suaranya tetap rendah dan datar, seolah ini hanyalah pertanyaan biasa.Astoria terdiam sejenak, menghentikan aktivitasnya membereskan cangkir-cangkir itu, lalu menatap Mikhail dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, namun ia berusaha menyembunyikan emosinya."Ayah pergi seteAstoria terpaku mendengar pertanyaan yang tidak pernah ia duga akan keluar dari mulut Mikhail. Matanya membulat, bibirnya sedikit ternganga karena kaget. "Kenapa tiba-tiba?" tanyanya, suara getarannya tidak bisa ia sembunyikan.Mikhail menatapnya dalam, sorot matanya yang biasanya tajam dan penuh kendali kini tampak lebih lembut, seakan ada sesuatu yang lain di balik ketenangannya. "Kau dengar sendiri 'kan kata dokter?" ujar Mikhail, suaranya datar namun terasa ada nada kepasrahan di sana. "Aku butuh liburan. Kita bisa berpura-pura berbulan madu ... ada tempat yang ingin aku kunjungi."Astoria merasakan detak jantungnya semakin cepat. Kata-kata Mikhail terasa asing, tidak sejalan dengan citra pria dingin yang selama ini ia kenal.Pria yang selalu menekankan tanggung jawab dan kewajiban, yang tidak pernah menunjukkan keinginan untuk melarikan diri dari rutinitasnya.Ia terdiam sejenak, mempertimbangkan kemungkinan itu. Namun, saat menatap
Malam itu, kesunyian menyelimuti penthouse yang luas. Di kamar mereka masing-masing, Mikhail dan Astoria terdiam dalam pikiran mereka. Setelah hari yang melelahkan, keduanya memilih untuk tidur di kamar terpisah, seperti biasa.Namun, meskipun tubuhnya lelah, ia tak bisa segera memejamkan matanya. Astoria memutuskan untuk membaca buku ketika ponselnya bergetar. Astoria meraih ponsel di meja samping tempat tidurnya dan terkejut saat melihat nama pengirimnya.Jerry.Astoria terdiam sesaat sebelum membuka pesan itu. Ada perasaan tak nyaman yang tiba-tiba muncul di dadanya. Apalagi setelah insiden di restoran dan pertemuan canggung mereka di kantor tadi siang.["Astoria, bagaimana kabarmu? Maaf kalau sikapku tadi terlalu berlebihan."]Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat Astoria kembali teringat kejadian di restoran. Bagaimana Jerry mendekatinya, bagaimana ia merasa tak nyaman dan memilih untuk pergi tanpa banyak bicara.Sekar
Hari itu, suasana kantor terasa lebih hidup dari biasanya. Semua karyawan tampak sibuk, namun ada desas-desus yang tak henti-hentinya berbisik di antara mereka.Ketika Mikhail dan Astoria melangkah masuk bersama, perhatian orang-orang langsung tertuju pada mereka.Beberapa karyawan saling menyikut dan berbisik sambil tersenyum, mata mereka tak lepas dari pasangan itu. Mereka tahu, kabar tentang cuti Mikhail dan Astoria telah menyebar, dan rumor tentang bulan madu semakin memperkuat rasa penasaran mereka."Eh, lihatlah, mereka datang bersama lagi!" salah satu karyawan berbisik pelan pada rekannya sambil tersenyum jahil."Jadi benar, ya? Mereka mau bulan madu? Padahal biasanya Tuan Mikhail itu gila kerja!" jawab rekannya dengan nada heran.Astoria yang berjalan di samping Mikhail dapat merasakan tatapan dan bisik-bisik di sekitarnya, namun ia berusaha mengabaikannya.Di sisi lain, Mikhail tetap tenang, seperti biasa, wajahnya tanpa
Di tengah kesibukan Mikhail, ia harus menghadiri rapat untuk membahas showcase cabang hotel baru. Setelah rapat selesai, Mikhail menyadari bahwa rencananya untuk cuti total dari pekerjaan tidak mungkin terlaksana. Ada beberapa tanggung jawab yang masih harus dia selesaikan, meski sambil berlibur. Sambil merapikan berkas-berkas di mejanya, dia menghela napas berat dan memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan berita ini kepada Astoria. Saat makan siang, Mikhail memutuskan untuk memberi tahu Astoria tentang perubahan rencana mereka. Dengan nada datar yang khas, dia berkata, "Astoria, tampaknya aku tidak bisa sepenuhnya bebas dari pekerjaan selama kita berlibur. Ada satu hal yang harus aku tangani di sana. Kau juga tentu akan ikut serta dalam acara ini." Astoria berhenti sejenak, menatap Mikhail dengan kening sedikit berkerut. "Acara apa itu?" "Kebetulan lokasi hotel terbaru yang s
Astoria melangkah ringan menuju dapur untuk melanjutkan niatnya melepas dahaga.Namun, senyumnya memudar saat matanya menangkap sosok Mikhail yang sedang berdiri di depan wastafel, meminum air dengan tergesa-gesa seperti orang yang kehabisan napas.Mikhail tampak begitu berbeda dari biasanya, wajahnya memerah, keningnya sedikit berkerut seolah sedang berusaha menenangkan diri dari sesuatu yang mengguncangnya.Begitu pandangan mereka bertemu, Astoria bisa melihat jelas bagaimana mata Mikhail melebar, terkejut seolah melihat sesuatu yang tak terduga. Tanpa sepatah kata pun, Mikhail segera meletakkan gelasnya dan berjalan cepat meninggalkan dapur, nyaris tanpa melihat ke arah Astoria lagi.Astoria mengernyit bingung, matanya mengikuti punggung Mikhail yang semakin menjauh. "Ada apa dengannya?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. "Seperti melihat hantu saja."Ia berdiri sejenak, menatap pintu dapur yang kini bergoyang pelan sete
Musim gugur di bulan September membawa kesejukan yang lembut, dengan udara yang mulai menyelimuti kota dengan aroma daun yang berguguran.Astoria dan Mikhail telah menyelesaikan sarapan pagi mereka, dan kini bersiap untuk berangkat menuju tujuan mereka.David, yang ditugaskan untuk menyupir, mengarahkan mobil dengan tenang melalui jalanan yang mulai dipenuhi warna-warna hangat khas musim ini.Di kursi belakang, Mikhail bersandar dengan mata terpejam, mencoba menikmati perjalanan yang panjang sambil beristirahat.Wajahnya terlihat tenang, meski ada kerutan halus di antara alisnya yang menandakan ketegangan yang tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.Sementara itu, suasana di dalam mobil terganggu oleh suara notifikasi yang terus berbunyi dari ponsel David yang terpajang di phone holder di depan.Suara notifikasi itu menjadi semakin mengganggu, membuat kerutan di dahi Mikhail semakin dalam."Berisik, David," ujar M
Sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi, suasana di lokasi wawancara tampak normal. Para kru sibuk dengan persiapan terakhir, memastikan semua peralatan berada di tempatnya, termasuk stand lighting besar yang akan digunakan untuk pencahayaan.Namun, di balik keramaian persiapan itu, ada seseorang yang mendekati salah satu stand lighting tersebut, tangannya dengan cekatan namun tersembunyi, memutar baut hingga longgar.Orang itu melirik sekilas ke arah posisi Mikhail yang akan segera tiba untuk wawancara, lalu dengan cepat meninggalkan tempat itu tanpa ada yang memperhatikan.Mikhail dan Astoria tiba di lokasi dengan elegan, meski jarak emosional di antara mereka masih terasa.Saat matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan nuansa jingga yang memukau, kru bersiap untuk memulai. Tetapi, apa yang mereka tidak sadari adalah bahaya yang mengintai di dekat mereka.Saat Mikhail dan Astoria berdiri di bawah lampu yang bersiap untuk menerangi w
Mikhail melangkah mendekat, suaranya dalam dan berbahaya, "Sebaiknya jaga batasanmu, Jerry. Dia istriku!"Jerry tak bergeming, malah tersenyum remeh. "Istri di atas kertas?" Ia tertawa pelan, sinis. "Jangan pikir aku tidak tahu."Kilasan ingatan Jerry kembali saat ia tanpa sengaja mendengar percakapan di balik pintu kantor Mikhail.Saat itu, Mikhail dan Astoria sedang membahas kontrak pernikahan mereka yang akan berlangsung selama lima tahun.Kala itu, Jerry menghentikan langkahnya, mendengar dengan jelas setiap kata yang terucap. Kontrak? Lima tahun? Itu bukan pernikahan, itu kesepakatan. Dan kesepakatan itu tak berarti apa-apa baginya.Jerry mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Mikhail, suaranya rendah namun penuh ancaman. "Seharusnya kau yang menjaga batasanmu, Mikhail. Memangnya kau layak memanggil dia 'istri'-mu?" Setiap katanya menusuk, menguak kelemahan yang Mikhail tak ingin akui.Dengan tatapan penuh kemenangan, Jerry me