Astoria melangkah ringan menuju dapur untuk melanjutkan niatnya melepas dahaga.
Namun, senyumnya memudar saat matanya menangkap sosok Mikhail yang sedang berdiri di depan wastafel, meminum air dengan tergesa-gesa seperti orang yang kehabisan napas.Mikhail tampak begitu berbeda dari biasanya, wajahnya memerah, keningnya sedikit berkerut seolah sedang berusaha menenangkan diri dari sesuatu yang mengguncangnya.Begitu pandangan mereka bertemu, Astoria bisa melihat jelas bagaimana mata Mikhail melebar, terkejut seolah melihat sesuatu yang tak terduga.Tanpa sepatah kata pun, Mikhail segera meletakkan gelasnya dan berjalan cepat meninggalkan dapur, nyaris tanpa melihat ke arah Astoria lagi.Astoria mengernyit bingung, matanya mengikuti punggung Mikhail yang semakin menjauh. "Ada apa dengannya?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. "Seperti melihat hantu saja."Ia berdiri sejenak, menatap pintu dapur yang kini bergoyang pelan seteMusim gugur di bulan September membawa kesejukan yang lembut, dengan udara yang mulai menyelimuti kota dengan aroma daun yang berguguran.Astoria dan Mikhail telah menyelesaikan sarapan pagi mereka, dan kini bersiap untuk berangkat menuju tujuan mereka.David, yang ditugaskan untuk menyupir, mengarahkan mobil dengan tenang melalui jalanan yang mulai dipenuhi warna-warna hangat khas musim ini.Di kursi belakang, Mikhail bersandar dengan mata terpejam, mencoba menikmati perjalanan yang panjang sambil beristirahat.Wajahnya terlihat tenang, meski ada kerutan halus di antara alisnya yang menandakan ketegangan yang tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.Sementara itu, suasana di dalam mobil terganggu oleh suara notifikasi yang terus berbunyi dari ponsel David yang terpajang di phone holder di depan.Suara notifikasi itu menjadi semakin mengganggu, membuat kerutan di dahi Mikhail semakin dalam."Berisik, David," ujar M
Sesaat sebelum kecelakaan itu terjadi, suasana di lokasi wawancara tampak normal. Para kru sibuk dengan persiapan terakhir, memastikan semua peralatan berada di tempatnya, termasuk stand lighting besar yang akan digunakan untuk pencahayaan.Namun, di balik keramaian persiapan itu, ada seseorang yang mendekati salah satu stand lighting tersebut, tangannya dengan cekatan namun tersembunyi, memutar baut hingga longgar.Orang itu melirik sekilas ke arah posisi Mikhail yang akan segera tiba untuk wawancara, lalu dengan cepat meninggalkan tempat itu tanpa ada yang memperhatikan.Mikhail dan Astoria tiba di lokasi dengan elegan, meski jarak emosional di antara mereka masih terasa.Saat matahari mulai terbenam, mewarnai langit dengan nuansa jingga yang memukau, kru bersiap untuk memulai. Tetapi, apa yang mereka tidak sadari adalah bahaya yang mengintai di dekat mereka.Saat Mikhail dan Astoria berdiri di bawah lampu yang bersiap untuk menerangi w
Mikhail melangkah mendekat, suaranya dalam dan berbahaya, "Sebaiknya jaga batasanmu, Jerry. Dia istriku!"Jerry tak bergeming, malah tersenyum remeh. "Istri di atas kertas?" Ia tertawa pelan, sinis. "Jangan pikir aku tidak tahu."Kilasan ingatan Jerry kembali saat ia tanpa sengaja mendengar percakapan di balik pintu kantor Mikhail.Saat itu, Mikhail dan Astoria sedang membahas kontrak pernikahan mereka yang akan berlangsung selama lima tahun.Kala itu, Jerry menghentikan langkahnya, mendengar dengan jelas setiap kata yang terucap. Kontrak? Lima tahun? Itu bukan pernikahan, itu kesepakatan. Dan kesepakatan itu tak berarti apa-apa baginya.Jerry mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Mikhail, suaranya rendah namun penuh ancaman. "Seharusnya kau yang menjaga batasanmu, Mikhail. Memangnya kau layak memanggil dia 'istri'-mu?" Setiap katanya menusuk, menguak kelemahan yang Mikhail tak ingin akui.Dengan tatapan penuh kemenangan, Jerry me
Perjalanan menuju villa terasa sepi, hanya suara deru mobil yang menemani mereka. Sesampainya di Desa Oakridge, villa peninggalan nenek Mikhail berdiri megah di atas pegunungan, dikelilingi oleh pepohonan hijau dan udara yang segar.Pemukiman warga di sini memang saling berjauhan, tanah mereka luas, diisi ladang pertanian dan peternakan yang subur.Mikhail memandangi villa tersebut dengan tatapan nostalgia. Sejak kecil, ketika tekanan dari rutinitas belajarnya memuncak, tempat ini adalah pelariannya.Hanya ditemani supir, tanpa kehadiran kedua orang tuanya yang selalu sibuk. Namun sekarang, di sini, dia datang bukan untuk melarikan diri, tapi untuk membawa Astoria, yang sedang terluka.Dia menyerahkan kunci villa pada David. "Buka pintunya," perintah Mikhail, dan David segera melangkah menuju pintu masuk, membukanya lebar sebelum bergegas masuk.Mikhail, sementara itu, masih menggendong Astoria di pelukannya. "Aku akan coba jalan sendiri,
Mikhail memasuki kamar membawa secangkir teh hangat dan berjalan mendekati Astoria, yang masih bersandar di headboard tempat tidur. Setelah menaruh cangkir di meja samping, Mikhail duduk di sudut ruangan dengan sebuah buku di tangannya, tapi perhatiannya tak sepenuhnya pada halaman-halaman itu."Astoria, besok aku akan mengunjungi kerabat di sekitar sini untuk meminjam beberapa baju untukmu," katanya, suaranya lebih dalam dari biasanya. "Jangan terus pakai kemeja itu."Matanya sekilas melirik ke arah Astoria, yang sekarang mengenakan kemejanya. Pemandangan itu untuk kedua kalinya terasa sensual. Astoria terlihat begitu lembut dalam pakaian longgar miliknya, menyentuh gejolak yang berusaha ia sembunyikan di balik wajah dinginnya.Namun, Mikhail segera kembali memfokuskan diri pada buku di tangannya, seolah mencari pelarian dari perasaan yang tak ingin ia akui."Iya, tak apa, ada David di sini," ujar Astoria sambil menghabiskan t
Lamunan Astoria terhenti ketika terdengar ketukan di pintu, diikuti suara yang sudah tak asing lagi. "Astoria, kau sudah bangun?"tanya Mikhail sambil mendorong pintu dengan lembut. Di tangannya, ia membawa semangkuk cream soup yang masih mengepul hangat."Ya, aku baru saja bangun," jawab Astoria, nadanya sedikit gugup, tak bisa menghindari rasa malu dari peristiwa tadi malam.Mikhail menghampirinya dan meletakkan mangkuk di meja samping ranjang. "Makanlah ini, lalu minum obat antibiotik serta obat tahan sakitnya," ujar Mikhail dengan nada yang tenang, namun penuh perhatian. Ia menyerahkan nampan berisi sup kepada Astoria.Astoria menerimanya, kemudian mulai meniup sendok sup yang panas sebelum menyesap perlahan. "Terima kasih, Mikhail," ucapnya dengan suara lirih. "Kau sendiri sudah makan?" Mikhail mengangguk singkat. "Sudah, bersama David. Hari ini, jika kau butuh apa-apa, katakan saja pada David. Aku akan pergi ke rumah Paman Smith se
Beberapa saat setelah Mikhail pergi, terdengar ketukan pintu utama Villa begitu tegas. David menghampiri pintu utama villa dengan langkah ragu, wajahnya tegang. Ia tahu siapa yang berdiri di balik pintu, dan ia sadar tak ada jalan kembali. Semua ini demi Jhein, demi kekasih yang ia cintai, meski hatinya penuh rasa bersalah. Ketika pintu terbuka, sosok pria paruh baya dengan sayatan panjang di pipinya berdiri di sana. Senyum menyeringai menghiasi wajahnya, menambah kesan mengerikan pada penampilannya. Pria itu menatap David sejenak sebelum melangkah masuk dengan penuh percaya diri, seolah-olah villa ini miliknya. David hanya bisa menelan ludah, berusaha menjaga ketenangannya. Namun, jauh di lubuk hatinya, ada ketakutan yang mengintai. Ia tahu pria ini bukan orang yang main-main, dan kesalahan kecil bisa berakibat fatal. Sementara itu, di dalam kamar, Astoria mendengar suara dari luar. Alisnya m
Saat Mikhail terpuruk di lantai kamar, liontin Astoria masih tergenggam erat di tangannya. Amarah dan rasa putus asa bertarung dalam benaknya.Pikirannya melayang kepada David, asistennya yang selama ini selalu bisa ia andalkan. "David, kenapa kau tiba-tiba melakukan ini?" Gumaman itu keluar seperti bisikan angin, penuh kepedihan dan ketidakpercayaan.Dia berusaha mengingat semua interaksi terakhirnya dengan David, ketika mereka sampai villa, sikap David memang agak aneh.Pikiran itu seperti duri yang menusuk dalam. "David yang setia ... Mengapa?"Mikhail menggertakkan giginya. Langkahnya berat dan penuh kemarahan saat dia bergerak menuju kamar David.Setiap langkah terasa seperti memikul beban dunia di pundaknya, namun tekad untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi membuatnya terus berjalan.Pintu kamar David terbuka tanpa terkunci. Mikhail melangkah masuk dengan penuh kehati-hatian. Kamar itu terlihat normal pada pandangan pe