Astoria menyaksikan Mikhail keluar dari ruangan Jerry dengan langkah cepat, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Sejenak, dunia di sekelilingnya seakan berhenti. Aura dingin yang menyelimuti Mikhail saat melintas di hadapannya membuat tubuhnya menegang.
Jantungnya berdebar karena ikut tegang. Dia menggenggam berkas di tangannya, yang tadinya hendak diserahkan kepada Mikhail, namun sekarang tangannya bergetar.Setengah hati, Astoria mencoba mengumpulkan keberanian untuk menghampiri Mikhail, tapi bayangan amarah di wajah suaminya itu membuat langkahnya tertahan. Dengan perasaan tidak menentu, seperti ada badai yang siap menghantam kapan saja.Astoria berdiri di depan pintu kantor Mikhail, jantungnya berdegup kencang. Pekerjaan yang harus diselesaikan ini terlalu penting untuk ditunda, meskipun bayangan wajah marah Mikhail masih terpatri jelas di benaknya. Dengan napas yang sedikit tertahan, dia akhirnya memutuskan untuk masuk.Ketika dia membuka piAstoria sedikit heran sekaligus kaget dengan ajakan Mikhail yang tiba-tiba untuk pulang di saat jam kerja. Rasanya aneh dan tak biasa. Namun, sebelum dia sempat bertanya lebih jauh, perhatiannya tersedot oleh sesuatu yang lain, genggaman tangan Mikhail yang masih menempel di lengannya.Sentuhan itu terasa panas, seperti ada aliran listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya, menyusup ke setiap urat nadinya.Mikhail akhirnya melepas tangannya dari lengan Astoria dengan lembut, seolah tak ingin membuatnya merasa canggung.Tapi, bagi Astoria, sentuhan itu sudah meninggalkan jejak yang tak mudah dilupakan. Dia mengangguk pelan, meski hatinya masih dipenuhi kebingungan."Ba-baik. Kita akan pulang dan panggil dokter Felix," ujarnya, suaranya sedikit gemetar.Mikhail mengangguk lemah, kemudian bersandar di kursinya dengan mata terpejam. Dari raut wajahnya, terlihat jelas bahwa rasa sakit di kepalanya belum benar-benar mereda."P
Jerry sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda canggung atau gentar di hadapan Mikhail. Malah, dengan sikap santai dan penuh percaya diri, dia melepaskan pelukan dari pinggang Astoria secara perlahan.Senyum tipis muncul di wajahnya, penuh dengan niat untuk memancing reaksi dari Mikhail. "Lain kali lebih berhati-hatilah," bisik Jerry lembut, suaranya terdengar begitu dekat di telinga Astoria, sengaja membuat Mikhail semakin terbakar api cemburu. "Untung ada aku yang selalu ada untukmu."Astoria, yang merasa terganggu oleh kedekatan yang berlebihan itu, mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum melangkah mundur. "Terima kasih," ucapnya singkat, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral. Tanpa menunggu respon dari Jerry, Astoria segera berpaling dan berjalan ke arah Mikhail.Mikhail tetap bergeming di tempatnya, matanya yang gelap menatap tajam ke arah Jerry, seolah mencoba menelusuri setiap niat tersembunyi di balik sikap santainya.
Setelah Dr. Felix pamit, meninggalkan penthouse dalam keheningan, Mikhail tetap duduk di sofa, tubuhnya tampak lebih rileks, namun pikirannya jauh dari tenang.Astoria duduk di seberang Mikhail, hendak membereskan cangkir teh yang ia sajikan untuk dokter Felix dan Mikhail.Mikhail memperhatikan Astoria dengan lebih seksama. Tatapannya turun, melihat kalung liontin yang menggantung di leher istrinya itu, sebuah benda kecil, tapi penuh arti. Ada rasa ingin tahu yang tersembunyi di balik tatapannya yang dingin. Ia tidak terbiasa menunjukkan perasaan, tetapi sesuatu dalam diri Astoria selalu membuatnya ingin tahu lebih banyak."Kemana ayahmu?" tanyanya tiba-tiba, suaranya tetap rendah dan datar, seolah ini hanyalah pertanyaan biasa.Astoria terdiam sejenak, menghentikan aktivitasnya membereskan cangkir-cangkir itu, lalu menatap Mikhail dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, namun ia berusaha menyembunyikan emosinya."Ayah pergi sete
Astoria terpaku mendengar pertanyaan yang tidak pernah ia duga akan keluar dari mulut Mikhail. Matanya membulat, bibirnya sedikit ternganga karena kaget. "Kenapa tiba-tiba?" tanyanya, suara getarannya tidak bisa ia sembunyikan.Mikhail menatapnya dalam, sorot matanya yang biasanya tajam dan penuh kendali kini tampak lebih lembut, seakan ada sesuatu yang lain di balik ketenangannya. "Kau dengar sendiri 'kan kata dokter?" ujar Mikhail, suaranya datar namun terasa ada nada kepasrahan di sana. "Aku butuh liburan. Kita bisa berpura-pura berbulan madu ... ada tempat yang ingin aku kunjungi."Astoria merasakan detak jantungnya semakin cepat. Kata-kata Mikhail terasa asing, tidak sejalan dengan citra pria dingin yang selama ini ia kenal.Pria yang selalu menekankan tanggung jawab dan kewajiban, yang tidak pernah menunjukkan keinginan untuk melarikan diri dari rutinitasnya.Ia terdiam sejenak, mempertimbangkan kemungkinan itu. Namun, saat menatap
Malam itu, kesunyian menyelimuti penthouse yang luas. Di kamar mereka masing-masing, Mikhail dan Astoria terdiam dalam pikiran mereka. Setelah hari yang melelahkan, keduanya memilih untuk tidur di kamar terpisah, seperti biasa.Namun, meskipun tubuhnya lelah, ia tak bisa segera memejamkan matanya. Astoria memutuskan untuk membaca buku ketika ponselnya bergetar. Astoria meraih ponsel di meja samping tempat tidurnya dan terkejut saat melihat nama pengirimnya.Jerry.Astoria terdiam sesaat sebelum membuka pesan itu. Ada perasaan tak nyaman yang tiba-tiba muncul di dadanya. Apalagi setelah insiden di restoran dan pertemuan canggung mereka di kantor tadi siang.["Astoria, bagaimana kabarmu? Maaf kalau sikapku tadi terlalu berlebihan."]Pesan itu singkat, tapi cukup untuk membuat Astoria kembali teringat kejadian di restoran. Bagaimana Jerry mendekatinya, bagaimana ia merasa tak nyaman dan memilih untuk pergi tanpa banyak bicara.Sekar
Hari itu, suasana kantor terasa lebih hidup dari biasanya. Semua karyawan tampak sibuk, namun ada desas-desus yang tak henti-hentinya berbisik di antara mereka.Ketika Mikhail dan Astoria melangkah masuk bersama, perhatian orang-orang langsung tertuju pada mereka.Beberapa karyawan saling menyikut dan berbisik sambil tersenyum, mata mereka tak lepas dari pasangan itu. Mereka tahu, kabar tentang cuti Mikhail dan Astoria telah menyebar, dan rumor tentang bulan madu semakin memperkuat rasa penasaran mereka."Eh, lihatlah, mereka datang bersama lagi!" salah satu karyawan berbisik pelan pada rekannya sambil tersenyum jahil."Jadi benar, ya? Mereka mau bulan madu? Padahal biasanya Tuan Mikhail itu gila kerja!" jawab rekannya dengan nada heran.Astoria yang berjalan di samping Mikhail dapat merasakan tatapan dan bisik-bisik di sekitarnya, namun ia berusaha mengabaikannya.Di sisi lain, Mikhail tetap tenang, seperti biasa, wajahnya tanpa
Di tengah kesibukan Mikhail, ia harus menghadiri rapat untuk membahas showcase cabang hotel baru. Setelah rapat selesai, Mikhail menyadari bahwa rencananya untuk cuti total dari pekerjaan tidak mungkin terlaksana. Ada beberapa tanggung jawab yang masih harus dia selesaikan, meski sambil berlibur. Sambil merapikan berkas-berkas di mejanya, dia menghela napas berat dan memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan berita ini kepada Astoria. Saat makan siang, Mikhail memutuskan untuk memberi tahu Astoria tentang perubahan rencana mereka. Dengan nada datar yang khas, dia berkata, "Astoria, tampaknya aku tidak bisa sepenuhnya bebas dari pekerjaan selama kita berlibur. Ada satu hal yang harus aku tangani di sana. Kau juga tentu akan ikut serta dalam acara ini." Astoria berhenti sejenak, menatap Mikhail dengan kening sedikit berkerut. "Acara apa itu?" "Kebetulan lokasi hotel terbaru yang s
Astoria melangkah ringan menuju dapur untuk melanjutkan niatnya melepas dahaga.Namun, senyumnya memudar saat matanya menangkap sosok Mikhail yang sedang berdiri di depan wastafel, meminum air dengan tergesa-gesa seperti orang yang kehabisan napas.Mikhail tampak begitu berbeda dari biasanya, wajahnya memerah, keningnya sedikit berkerut seolah sedang berusaha menenangkan diri dari sesuatu yang mengguncangnya.Begitu pandangan mereka bertemu, Astoria bisa melihat jelas bagaimana mata Mikhail melebar, terkejut seolah melihat sesuatu yang tak terduga. Tanpa sepatah kata pun, Mikhail segera meletakkan gelasnya dan berjalan cepat meninggalkan dapur, nyaris tanpa melihat ke arah Astoria lagi.Astoria mengernyit bingung, matanya mengikuti punggung Mikhail yang semakin menjauh. "Ada apa dengannya?" gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. "Seperti melihat hantu saja."Ia berdiri sejenak, menatap pintu dapur yang kini bergoyang pelan sete