81Jalinan waktu terus bergulir. Avreen dan rekan-rekannya telah kembali ke Sydney. Setiap sore, Avreen akan datang ke lapas dan berdiskusi dengan Jauhari, tentang jumlah tamu yang akan diundang, ataupun berbagai hal lainnya. Pada penghujung minggu itu, Avreen dan teman-temannya bekerjasama membersihkan unit baru untuk ditempati Jauhari. Sebab unit lamanya digunakan pasukan muda, mau tidak mau Jauhari menempati unit lain, yang telah dilunasi pembeliannya oleh Alvaro.Unit apartemen terbaru, berada di lantai 15. Tempat itu memiliki 3 kamar dan 2 toilet. Jauhari akan tinggal di sana bersama Harzan dan Nadhif. Namun, setelah Jauhari dan Avreen menikah, kedua ajudan tersebut akan pindah ke apartemen sebelah unitnya para gadis.Sabtu sore, furniture yang dipesan Aruna telah tiba. Sang ibu kos juga turut datang untuk mengatur posisi barang-barang supaya pas. Tidak berselang lama, Keven dan anak-anaknya muncul bersama kedua ajudan, sambil membawa banyak makanan. Semuanya berkumpul di ruang
82Malam harinya, diadakan jamuan makan di restoran hotel Arvasathya. Gilbert, Paul dan Harper, serta keluarga mereka turut diundang. Demikian pula dengan Danesh, Ernest dan rekan-rekannya. Jauhari mendatangi setiap meja untuk menyapa para tamu. Kemudian dia berhenti di meja terbesar, dan duduk di antara Yusuf serta Jeffrey. Jauhari meneruskan bersantap makanan penutup sambil mendengarkan perbincangan para bos. Jauhari menengadah kala dipanggil Sultan, dan dia langsung menegakkan badan. "Ya, Pak," ujar Jauhari. "Sudah siap untuk langsung bertugas di proyek?" tanya Sultan."Siap!" "Kita harus mengejar waktu. Proyek lama harus selesai maksimal bulan Agustus. Langsung disambung dengan proyek baru di beberapa tempat." "Baik." "Kamu boleh memilih dua asisten utama, karena nantinya kamu nggak bisa lama mengawasi proyek." "Sudah ada, Pak. Yaitu Zikria dan Banan." "Sudah diizinkan atasanmu?" "Ya." "Jangan tegang, Ri. Saya jadi ikut tegang." Jauhari mengulaskan senyuman. "Masih ter
01"Om, jalannya jangan dekat-dekat," bisik Avreen Ravania Gahyaka. "Saya pengawal khusus Nona, nggak bisa jauh-jauh," sahut pria bermata sipit, sambil membatin, karena lagi-lagi dirinya dipanggil Om. "Udah, deh. Sampai sini aja." "Mohon maaf, Non. Permintaan Pak Sultan, saya harus mendampingi Non sampai acara selesai."Perempuan berkulit putih tiba-tiba berhenti, dan menatap tajam pria berbibir tipis, yang juga turut menghentikan langkah. "Aku malu, tahu nggak?" ketusnya. "Enggak." Avreen mencebik. "Tiap Om dampingin itu, aku diledekin teman-teman!" "Diledekin gimana?" "Aku dibilang piaraan Om. Sugar baby." Pria bersetelan jas biru mengilat semi formal tersebuit, bersusah payah menahan tawa yang nyaris menguar. Dia melirik segerombolan perempuan dan laki-laki muda, yang tengah memerhatikan mereka dari sekitar area."Begini aja, kalau mereka ngeledek lagi, Nona bisa balas kalau justru Nonalah yang membayar saya sebagai, ehm ... apa itu namanya? Yang cowok nyenengin cewek itu?"
02Hari berganti hari. Jauhari tengah mengemudi, ketika ponselnya bergetar nyaris tanpa henti. Dia penasaran, tetapi karena sedang mengejar waktu akhirnya Jauhari mengabaikan hal itu. Pria berlesung pipi tiba di tempat parkir depan kantor PBK di kawasan Jakarta Selatan. Dia mematikan mesin dan melepaskan sabuk pengaman. Kemudian menyambar ponsel dari dashboard, dan menarik tas kerja di kursi samping kiri. Sekian menit terlewati, Jauhari sudah tiba di lantai 3. Dia mengayunkan tungkai keluar dari lift, sembari memandangi puluhan pengawal muda berbagai angkatan, yang tengah di-briefing Yoga Pratama, direktur operasional PBK. Jauhari tiba di ujung koridor. Dia mengetuk pintu bercat abu-abu sebanyak 3 kali, kemudian membuka benda itu setelah mendapatkan jawaban dari dalam. Jauhari memasuki ruangan. Dia menegakkan badan dan memberi hormat, yang dibalas anggukan Wirya, sang direktur utama PBK. "Tumben kamu ke sini pagi-pagi. Aya naon?" tanya Wirya. "Mau ngobrol bentar," sahut Jauhari.
03Siang menjelang sore itu, Jauhari tiba di kediaman Sultan bersama rekan-rekannya. Mereka tidak melewati pintu utama, melainkan melalui gerbang putih di sisi kanan bangunan. Belasan pria dan beberapa perempuan berpakaian safari hitam, melintasi taman samping sembari berbincang. Avreen yang berada di kamarnya di lantai dua, mengintip dari jendela yang terbuka separuh. Dia memerhatikan para ajudan lapis tiga dan empat yang berbelok ke kiri, hingga mereka menghilang di balik tembok. Avreen menduga jika tim pengawas unit kerja itu hendak melakukan rapat di base camp. Yakni bangunan tiga lantai yang berada di sisi kiri kolam renang. Perempuan berkulit putih bangkit berdiri. Dia menyambar ponsel dari meja rias dan memasukkannya ke saku celana, sebelum melangkah keluar kamar. Suara para bocah terdengar dari ruangan khusus bermain, yang berada di sebelah kiri kamar Avreen. Tempat itu dulunya adalah kamar Mayuree dan Marley. Setelah mereka menikah dan pindah ke rumah masing-masing, dua
04Avreen memerhatikan para lelaki yang tengah melakukan lomba renang. Dia turut berseru bersama penonton lainnya, kala Nuriel melesat meninggalkan para peserta lomba.Avreen yang berada di kursi teras, berdiri dan jalan cepat menyambangi ajudannya, yang baru tiba di tepi kolam. Avreen beradu toss dengan Nuriel, lalu dia berjoget untuk merayakan kemenangan sang pengawal. Nuriel bergegas naik dan turut bergoyang. Keduanya tidak peduli diteriaki yang lainnya. Terutama dari lawan Nuriel yang kalah lomba tersebut. "Riel, kamu makan apa, sih? Berenangnya cepat banget," tukas Yusuf sembari menggosokkan handuk ke badannya yang basah. "Biasa aja, Bang. Nggak ada yang spesial," jawab Nuriel yang telah berpindah duduk di bangku panjang bersama nonanya. "Mungkin Nuriel adalah titisan pesut," sela Jauhari sambil memasang tampang serius. "Bukan, dia dulunya belut," cakap Chalid, ajudan Panglima. "Cecurut," imbuh Aditya. "Ikan badut," lontar Hasbi. "Anjing laut," papar Jeffrey. "Singa laut
05"Ini, dari Ibu," tutur Avreen sambil mengulurkan tas belanja biru."Makasih," jawab Jauhari. Dia mengambil tas dan mengecek isinya. "Wangi seblak," ungkapnya sembari mengangkat satu wadah makanan plastik dari dalam tas. "Hu um. Kak Mala bikin banyak. Jadinya dibagikan." "Buatan Kak Mala pasti pedas." "Iya, tapi enak. Aku sampai nambah tadi." Jauhari menyunggingkan senyuman yang menjadikan lesung pipinya tercetak dalam. "Sekali lagi, makasih, Non." Avreen mengangguk. Dia mengamati lelaki yang tengah mengecek isi tas. "Om, kata Bang Varo, Om sudah cukup hafal wilayah Australia. Beneran?" "Lumayan. Aku hampir tiap bulan dinas di sana. Kadang sambil ngawal para bos, atau Bang W." "Habis ngecek kampusnya, aku pengen ke Brisbane." "Mau ngapain ke sana?" "Penasaran sama pantainya. Kata Bang Varo, bagus." Jauhari manggut-manggut. "Ya, memang bagus." "Bisa, kan?" "Lihat sikon, Non. Kalau waktunya cukup, kuantarkan ke sana. Kalau nggak, kita ke pantai di sekitar Sydney aja. Bagus
06"Abang tadi ngomong apa sama Non Avreen?" tanya Khairani. "Yang mana?" Jauhari balik bertanya. "Pas nonton tadi. Kalian ngobrol lama." "Oh. Dia nanya gerakan apa yang dipakai hero-nya. Kujelaskan." "Cuma ngomong gitu, tapi, kok, lama banget?" "Enggak, ahh. Sebentar, doang." "Pake nempel lagi." "Mana?" Jauhari mengerutkan dahi. "Kamu ngomongnya aneh. Kenapa?" desaknya. "Beneran deketan tadi. Sama-sama ngeseser mepet." "Jelaslah menggeser, kami kehalang satu kursi kosong." "Aku nggak suka." "Kenapa mesti begitu?" Khairani mendengkus. "Abang masih nggak paham juga." "Maksudnya?" "Kubilang, aku nggak suka. Peka dikit coba!"Jauhari tertegun sesaat, kemudian dia berkata, "Ran, sudah kujelaskan dari dulu, kalau aku cuma anggap kamu sebagai Adik. Aku nggak bisa ngubah hati buatmu." "Kenapa nggak bisa?" "Sulit dijelaskannya. Tapi, pastinya aku lebih nyaman kayak gini." "Aku cinta sama Abang." "I know that, dan terima kasih banyak. Tapi, aku beneran nggak bisa membalas cin
82Malam harinya, diadakan jamuan makan di restoran hotel Arvasathya. Gilbert, Paul dan Harper, serta keluarga mereka turut diundang. Demikian pula dengan Danesh, Ernest dan rekan-rekannya. Jauhari mendatangi setiap meja untuk menyapa para tamu. Kemudian dia berhenti di meja terbesar, dan duduk di antara Yusuf serta Jeffrey. Jauhari meneruskan bersantap makanan penutup sambil mendengarkan perbincangan para bos. Jauhari menengadah kala dipanggil Sultan, dan dia langsung menegakkan badan. "Ya, Pak," ujar Jauhari. "Sudah siap untuk langsung bertugas di proyek?" tanya Sultan."Siap!" "Kita harus mengejar waktu. Proyek lama harus selesai maksimal bulan Agustus. Langsung disambung dengan proyek baru di beberapa tempat." "Baik." "Kamu boleh memilih dua asisten utama, karena nantinya kamu nggak bisa lama mengawasi proyek." "Sudah ada, Pak. Yaitu Zikria dan Banan." "Sudah diizinkan atasanmu?" "Ya." "Jangan tegang, Ri. Saya jadi ikut tegang." Jauhari mengulaskan senyuman. "Masih ter
81Jalinan waktu terus bergulir. Avreen dan rekan-rekannya telah kembali ke Sydney. Setiap sore, Avreen akan datang ke lapas dan berdiskusi dengan Jauhari, tentang jumlah tamu yang akan diundang, ataupun berbagai hal lainnya. Pada penghujung minggu itu, Avreen dan teman-temannya bekerjasama membersihkan unit baru untuk ditempati Jauhari. Sebab unit lamanya digunakan pasukan muda, mau tidak mau Jauhari menempati unit lain, yang telah dilunasi pembeliannya oleh Alvaro.Unit apartemen terbaru, berada di lantai 15. Tempat itu memiliki 3 kamar dan 2 toilet. Jauhari akan tinggal di sana bersama Harzan dan Nadhif. Namun, setelah Jauhari dan Avreen menikah, kedua ajudan tersebut akan pindah ke apartemen sebelah unitnya para gadis.Sabtu sore, furniture yang dipesan Aruna telah tiba. Sang ibu kos juga turut datang untuk mengatur posisi barang-barang supaya pas. Tidak berselang lama, Keven dan anak-anaknya muncul bersama kedua ajudan, sambil membawa banyak makanan. Semuanya berkumpul di ruang
80Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu merotasi bumi, hingga penghujung bulan Desember tiba dengan kecepatan maksimal. Avreen telah pulang ke Indonesia bersama ketiga ajudan dan kedua sahabatnya. Sebab keluarga Jauhari dan para bos akan berkunjung ke kediaman Mediawan Gahyaka di Kota Malang, untuk meminang Avreen secara resmi. Jumat siang menjelang sore, puluhan orang memenuhi bandara Cengkareng. Hisyam yang memimpin rombongan itu, memastikan semua anggotanya telah memasuki pesawat. Kemudian dia bergegas menempati kursi terdekat dengan pintu, dan duduk berdampingan dengan Yusuf serta Aditya. Keluarga Pramudya dan Baltissen telah berangkat terlebih dahulu tadi pagi, dengan menggunakan pesawat pribadi milik Sultan. "Anggota rombongan kita membengkak. Awalnya cuma dua puluhan, akhirnya jadi 50 orang," cakap Hisyam seusai membaca buku catatannya. "Pak Dante dan adik-adiknya nggak mau disuruh tinggal," jelas Yusuf. "Begitu pula dengan Pak Baskara, Pak Benigno, Kang Ian, Pak.I
79Jalinan waktu terus bergulir. Bulan Oktober hingga November dilalui Jauhari dengan hati yang deg-degan. Belum adanya kepastian izin dari kejaksaan, menjadikan Jauhari gelisah. Hal itu juga dirasakan oleh Avreen. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang. Terutama bila tengah mengunjungi kekasihnya di lapas kejaksaan. Sabtu siang di minggu terakhir bulan November, Avreen dan rekan-rekannya kembali menjenguk Jauhari, dengan membawa banyak makanan khas Indonesia, yang dititipkan Aruna. Avreen memerhatikan Jauhari yang bersantap dengan lahap. Dia tersenyum kala pria kesayangan meminta tambahan porsi, yang segera diambilkan Avreen. "Masakan Teh Aruna, rasanya hampir sama dengan buatan mamaku," tukas Jauhari di sela-sela mengunyah. "Abang suka ini?" tanya Avreen sambil menunjuk ikan bumbu balado di wadah makanan plastik. "Ya. Aku suka hampir semua ikan. Tapi, di sini kayaknya nggak ada ikan kembung, ya? Enak itu, digoreng garing." "Yang jenisnya mirip itu, ada. Aku pernah lihat di su
78Beni memimpin upacara pelepasan Yusuf, Nanang, Angga, dan Nuriel, yang hen4ak kembali ke Indonesia. Irham dan Chalid tidak ikut pulang, karena mereka sudah mena,6ndatangani kontrak baru dinas selama dua tahun lagi di Australia. Seusai bersalaman dan saling berangkulan dengan rekan-rekan di tempat parkir lapas kejaksaan, keempat orang yang akan mudik, serta Beni, mendatangi Jauhari yang telah menunggu di ruangan dalam.Jauhari mendekap Yusuf lebih lama dari ketiga orang lainnya. Akrab sejak diklat bertahun-tahun silam, menjadikan keduanya memiliki ikatan batin yang kuat.Yusuf menitikkan air mata, karena tidak tega meninggalkan Jauhari yang masih harus mendekam di penjara. Jauhari turut terisak-isak, karena sedih harus berpisah dengan sahabat sejatinya. "Tetap semangat, Ri. Jangan putus doa," bisik Yusuf, sesaat setelah mengurai pelukan. "Ya, kamu juga. Jaga diri dan kesehatan," balas Jauhari sembari mengusap matanya dengan tisu. "Kalau sudah fix tanggal pernikahan, aku akan dat
77"Nanaonsn eta, Bang?" tanya Jauhari setelah tawanya berhenti. "Luna dan teman-temannya butuh boneka hidup. Akhirnya kami yang jadi korban. Daripada mereka maksa dandanin adik-adiknya? Bahaya," jawab Wirya. "Bentar, kufoto dulu," seloroh Harzan. "Jangan disebarkan, Zan. Tak pites, Kowe!" ancam Benigno yang menyebabkan Harzan terkekeh. "Kalian, ngapain nelepon?" tanya Zulfi. "Ada tim Stanford di depan. Mereka menyampaikan info, jika kelompok Graciano akan berperang melawan kelompok Tuan Reichard," jelas Jauhari. "Terus?" "Mereka minta tim kita buat nyusun strategi." "Tolak!" tegas Wirya. "Siap," balas Jauhari. "Aku masih belum percaya sepenuhnya sama mereka. Takutnya itu, saat diperiksa polisi, tim kita dikambingbirukan." Jauhari meringis. "Aya kitu, kambing biru?" "Tiasa di-cat." Nadhif dan rekan-rekannya terbahak. Sedangkan Jauhari tersenyum lebar. Di seberang benua, Wirya dan yang lainnya juga tengah cengengesan. "Ada lagi yang mau diomongin?" tanya Wirya. "Ya. Gord
76Kedatangan para petugas polisi kantor pusat pada Sabtu pagi menjelang siang, menjadikan Jauhari gembira, karena Gilbert, Paul dan Harper juga mengajak keluarga mereka berkunjung ke lapas kejaksaan. Keempat bocah serentak mengangguk, ketika diajak Yusuf untuk melihat isi caravan. Sedangkan kedua anak Gilbert yang sudah remaja, justru sibuk berbincang dengan Jauhari. Nicoline dan Lenard, bergantian bertanya pada Jauhari tentang kasus yang menimpa pria berlesung pipi terpaksa. Kedua remaja berambut pirang gelap, bahkan mencatat dan merekam penjelasan Jauhari. Gilbert meringis ketika Lenard berkata bila dirinya ingin berkaries sebagai pengawal. Menurut Lenard, karier sebagai bodyguard lebih menantang dibandingkan menjadi polisi, seperti daddy-nya. "Berapa usiamu?" tanya Jauhari. "16 tahun," jawab Lenard. "Kalau kamu?" desaknya. "31.""Apa kamu sudah menikah?" "Belum, tapi aku tengah merencanakan pernikahan dengan kekasihku." "Yang itu, bukan?" Nicoline menunjuk Avreen yang teng
75Bulan Mei berganti menjadi Juni. Musim gugur telah berakhir dan hawa musim dingin mulai terasa. Orang-orang mengeluarkan jaket tebal dan berbagai atribut lainnya, untuk bersiap-siap menghadapi musim paling sejuk di Australia. Pagi itu, Avreen tengah berias, ketika Aisyah memasuki kamarnya dengan raut wajah tegang. Sang ajudan tidak mengatakan apa pun dan langsung menarik tangan kanan nonanya menuju luar kamar. Avreen membeliakkan mata, ketika melihat Jauhari telah berada di ruang tamu. Dia masih terperangah, ketika pria berjaket abu-abu tebal itu menyambanginya sambil membawa kotak kue kecil. "Happy birthday, Sayang," ucap Jauhari seraya tersenyum. "Ehm, ya, makasih," sahut Avreen. "Abang, kenapa bisa ada di sini?" tanyanya. "Aku diminta jadi saksi kasus penyerbuan Mason ke lapas, tempo hari. Kebetulan, Bang Harper yang ngawal, dan aku minta diantarkan ke sini dulu. Sebelum ke kantor pengadilan." "Abang bikin aku kaget." "Sukses berarti kejutannya." "Hu um." "Tiup dulu lil
74Hari berganti menjadi minggu. Pasukan pengganti telah tiba dan ditempatkan di unit apartemen, di sebelah kanan unitnya Avreen. Seusai beristirahat selama beberapa jam, Qadry, Jeffrey dan ketujuh pengawal muda, berangkat menuju kediaman Keven, untuk melaporkan wajah-wajah pengawal baru angkatan 18. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Keven, Aruna, Bryan, Sekar, Jourell, Vlorin, Cayden dan Geoff yang berkumpul di sana sejak sore tadi. Begitu pula dengan Dedi dan rekan-rekannya yang kebetulan tengah off. "Sudah siap serah terima jabatan, Dhif?" tanya Dedi sambil memandangi pengawal lapis 7 tersebut. "Siap," balas Nadhif. "Walaupun aku deg-degan harus mimpin pasukan besar, tapi insyaallah, aku bisa meneruskan kerja keras Abang selama 3 tahun terakhir di sini," lanjutnya. "Petugas pengganti, namanya siapa saja?" Nadhif menunjuk pria muda di sebelah kanannya. "Ini, Yovhi. Seterusnya, Firman, Banyu, Singgih, Zakaria dan Nurikmas," jelasnya. "Banyu, wajahmu mirip sama Eros," sela