05
"Ini, dari Ibu," tutur Avreen sambil mengulurkan tas belanja biru.
"Makasih," jawab Jauhari. Dia mengambil tas dan mengecek isinya. "Wangi seblak," ungkapnya sembari mengangkat satu wadah makanan plastik dari dalam tas.
"Hu um. Kak Mala bikin banyak. Jadinya dibagikan."
"Buatan Kak Mala pasti pedas."
"Iya, tapi enak. Aku sampai nambah tadi."
Jauhari menyunggingkan senyuman yang menjadikan lesung pipinya tercetak dalam. "Sekali lagi, makasih, Non."
Avreen mengangguk. Dia mengamati lelaki yang tengah mengecek isi tas. "Om, kata Bang Varo, Om sudah cukup hafal wilayah Australia. Beneran?"
"Lumayan. Aku hampir tiap bulan dinas di sana. Kadang sambil ngawal para bos, atau Bang W."
"Habis ngecek kampusnya, aku pengen ke Brisbane."
"Mau ngapain ke sana?"
"Penasaran sama pantainya. Kata Bang Varo, bagus."
Jauhari manggut-manggut. "Ya, memang bagus."
"Bisa, kan?"
"Lihat sikon, Non. Kalau waktunya cukup, kuantarkan ke sana. Kalau nggak, kita ke pantai di sekitar Sydney aja. Bagus juga."
"Hmm, ya."
Keduanya saling menatap, sebelum Avreen memutus pandangan dan berbalik. Jauhari mengawasi gadis berkaus biru hingga lenyap dari pandangan.
Jauhari mundur dua langkah dan menutup pintunya. Dia bergegas pindah ke tepi kasur untuk menyantap makanan yang aromanya sangat menggoda.
Sementara itu di tempat berbeda, Khairani tengah memandangi fotonya dan Jauhari, yang diambil saat pesta pernikahan Chairil, beberapa bulan silam.
Khairani merindukan Jauhari yang belakangan kian sibuk dan sulit ditemui. Meskipun mereka bekerja di satu tempat, bahkan sama-sama menjadi asisten Wirya, tetapi Khairani dan Jauhari jarang berjumpa di kantor.
Gadis berparas manis tersebut menggeser layar ponsel untuk mengecek aplikasi pesan. Dia menggulirkan jemari untuk membaca pesan-pesan yang masuk, sebelum akhirnya mendengkus pelan.
Pesan yang dikitimkannya pada Jauhari satu jam lalu, hingga detik itu belum dibalas. Walaupun telah dibaca pria tersebut, tetapi Jauhari tidak membalasnya.
Terdorong rasa penasaran, akhirnya Khairani menelepon Jauhari. Dia menunggu panggilan masuk dengan sedikit tidak sabar. Kala telepon diangkat dan terdengar suara Jauhari menyapanya dengan salam, hati Khairani seketika merasa tenang.
"Waalaikumsalam. Abang lagi apa?" tanya Khairani.
"Makan seblak," sahut Jauhari.
"Beli di mana?"
"Enggak beli. Ini buatan Kak Mala."
"Loh, kok, bisa Abang dapat itu?"
"Aku nginap di mess atas garasi. Tadi rapat lama sama Pak Sultan dan disuruh nginap di sini."
"Pantesan. Chat-ku cuma dibaca dan nggak dibalas."
"Sorry. Aku lupa."
"Ya, udah. Nggak apa-apa."
"Ada hal penting?"
Khairani menggigit bibir bawah. Dia menggerutu dalam hati, karena Jauhari ternyata tidak peka. "Abang weekend ini, sibuk, nggak?" tanyanya.
"Kayaknya nggak. Kenapa?"
"Aku pengen nonton. Ada film bagus di bioskop."
"Boleh. Sabtu siang."
"Enggak sore aja?"
"Kalau sore, rame banget. Siang rada sepi dan bisa konsentrasi nonton."
"Oke, deh. Pulangnya kita makan. Aku yang traktir."
"Semuanya?"
"Yeee! Enggaklah."
"Kamu yang ngajak, berarti kamu yang bayar semuanya."
"Ish! Nggak modal!"
Jauhari terkekeh, demikian juga dengan Khairani. Akrab sejak beberapa tahun lalu menjadikan mereka sudah terbiasa bergurau dan saling mencela. Tidak ada yang boleh tersinggung, karena pastinya akan makin dijahili yang lainnya.
***
Jalinan waktu terus bergulir. Sesuai janji, Sabtu siang, Jauhari dan Khairani berangkat ke pusat perbelanjaan besar di kawasan Jakarta Selatan.
Lalu lintas yang cukup lengang menjadikan perjalanan itu berlangsung lancar. Tidak sampai tiga puluh menit, mereka telah tiba di tempat parkir.
Setelah memarkirkan mobil SUV biru tua dengan rapi, Jauhari mematikan mesinnya, lalu melepaskan sabuk pengaman. Dia membuka pintu dan keluar. Jauhari menutup pintu, sebelum menekan remote untuk mengunci kendaraan.
Tidak berselang lama, pasangan tersebut telah melenggang menyusuri koridor panjang. Berbeda dengan jalanan yang lengang, suasana di mal itu cukup ramai.
Keduanya memutuskan untuk menggunakan eskalator dibandingkan lift. Meskipun harus berpindah-pindah posisi untuk tetap menggunakan eskalator, hal itu lebih cepat daripada harus menunggu lama antre di depan lift.
Sementara di pintu samping kanan lantai satu, Avreen muncul bersama Nuriel dan kedua sahabatnya, Tyas dan Viviane. Keempatnya melenggang menyusuri koridor, sebelum menaiki eskalator.
Kala tiba di lantai empat, Nuriel melihat Jauhari dan Khairani yang tengah berhenti di depan toko. Nuriel spontan memanggol kedua seniornya yang serentak menoleh ke belakang.
Avreen memerhatikan pasangan tersebut sesaat, sebelum berhenti di ujung belokan untuk menunggu Nuriel yang tengah menyambangi Jauhari dan Khairani.
"Itu, siapa, Reen?" tanya Tyas.
"Om Ari," jawab Avreen.
"Bukan yang cowok, tapi ceweknya."
"Kalau nggak salah, namanya Khairani. Asistennya Bang Wirya."
"Oh, teman satu timnya Bang Ari?"
"Hu um."
"Mereka pacaran?" sela Viviane.
"Enggak tahu," sahut Avreen.
"Kayaknya gitu, deh. Nempel mulu," tukas Viviane.
Avreen tidak menyahut. Dia enggan mengomentari kehidupan orang lain, dan memilih untuk tetap mengamati. Nuriel berpamitan pada kedua senior, kemudian dia berbalik untuk mendatangi ketiga perempuan tersebut.
"Non, Bang Ari juga mau ke bioskop. Dia ngajak barengan," tutur Nuriel.
"Aku nggak mau ganggu orang yang lagi pacaran," tolak Avreen.
"Mereka bukan pacaran, cuma sobatan."
"Iyakah?"
"Non tanya aja. Jawabannya pasti sama."
"Males. Aku bukan orang yang suka kepo dengan kehidupan orang lain."
Avreen memindai sekitar, kemudian dia mengajak kedua sahabatnya kembali ke eskalator, untuk melanjutkan perjalanan ke bioskop yang berada di lantai teratas.
Nuriel berpikir sesaat, lalu menyusul ketiga perempuan yang matanya sama-sama sipit. Nurut menunjuk ke atas dan Jauhari membalasnya dengan acungan jempol.
Puluhan menit terlewati, Jauhari dan Khairani memasuki studio dua. Mereka segera menuju kursi deretan tengah, yang ternyata berdekatan dengan kursi yang ditempati kelompok Avreen.
Jauhari menoleh ke kiri dan beradu pandang dengan sang nona, yang menempati kursi yang hanya berselang satu nomor, dengan yang diduduki Jauhari.
"Buat Non." Jauhari mengulurkan satu kaleng minuman soda pada Avreen.
"Om, kok, bisa tahu, kalau aku suka ini?" tanya Avreen sembari mengambil kaleng tersebut.
"Tiap aku ngawal, Non pasti minum itu."
Avreen mengulaskan senyuman. "Makasih."
"Sama-sama."
Keduanya kembali saling menatap selama beberapa saat, sebelum Jauhari mengalihkan pandangan ke depan.
Avreen masih termangu dan baru mengarahkan tatapannya ke kiri, kala dipanggil Tyas. Tidak lama kemudian, lampu-lampu dipadamkan dan ruangan seketika gelap.
Sepanjang pemutaran film romantis mix action ala Hollywod itu, Avreen dan Jauhari beberapa saling melirik. Keduanya akan cepat-cepat mengalihkan perhatian, bila terpergok tengah memandangi.
Saat adegan menegangkan, Khairani mencengkeram tangan kanan Jauhari yang refleks menggeser tangannya menjauh. Khairani menoleh ke kiri dan terpaku kala melihat bila Jauhari tengah mengambil popcorn yang diberikan Avreen.
Hati Khairani tiba-tiba terasa tidak nyaman. Terutama karena Jauhari dan Avreen sama-sama menggeser badan untuk saling mendekat. Khairani mengerutkan dahi, kala Jauhari dan Avreen terlihat berbincang akrab.
06"Abang tadi ngomong apa sama Non Avreen?" tanya Khairani. "Yang mana?" Jauhari balik bertanya. "Pas nonton tadi. Kalian ngobrol lama." "Oh. Dia nanya gerakan apa yang dipakai hero-nya. Kujelaskan." "Cuma ngomong gitu, tapi, kok, lama banget?" "Enggak, ahh. Sebentar, doang." "Pake nempel lagi." "Mana?" Jauhari mengerutkan dahi. "Kamu ngomongnya aneh. Kenapa?" desaknya. "Beneran deketan tadi. Sama-sama ngeseser mepet." "Jelaslah menggeser, kami kehalang satu kursi kosong." "Aku nggak suka." "Kenapa mesti begitu?" Khairani mendengkus. "Abang masih nggak paham juga." "Maksudnya?" "Kubilang, aku nggak suka. Peka dikit coba!"Jauhari tertegun sesaat, kemudian dia berkata, "Ran, sudah kujelaskan dari dulu, kalau aku cuma anggap kamu sebagai Adik. Aku nggak bisa ngubah hati buatmu." "Kenapa nggak bisa?" "Sulit dijelaskannya. Tapi, pastinya aku lebih nyaman kayak gini." "Aku cinta sama Abang." "I know that, dan terima kasih banyak. Tapi, aku beneran nggak bisa membalas cin
07Jalinan waktu terus berjalan. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu Avreen dan kedua sahabatnya. Mereka begitu antusias untuk memulai perjalanan panjang ke negeri kangguru. Alvaro dan Wirya serta Marley, melepas langsung keberangkatan kelompok pimpinan Nuriel. Ketiganya bersalaman dengan keempat pengawal muda, yang akan menjaga ketiga gadis, selama sebulan ke depan. Wirya mendekap anak buahnya satu per satu. Saat tiba giliran Jauhari, Wirya memeluk asiaten kesayangannya itu lebih lama. Hati Wirya gelisah, karena dia khawatir akan terjadi sesuatu hal yang tidak baik di tempat tujuan. "Dedi, Harzan dan Chatur, akan menemani kalian secara bergantian," ujar Wirya sembari mengurai dekapan. "Jangan lengah, Ri. Kamu andalanku, karena kamu paling senior," lanjutnya. "Ya, Bang," sahut Jauhari. "Jangan sungkan buat nelepon Mas Keven, Mas Bryan, Hansel atau Jourell. Mereka pasti langsung membantumu jika menemukan kendala." "Siap." "Kalau jadi ke Brisbane, hubungi Dilbert dan Kenrich. Merek
08Dedi, ketua pengawal area Australia dan New Zealand, menyambangi kelompok yang baru tiba di depan pintu keluar, terminal kedatangan Bandara Sydney. Dedi memberi hormat yang dibalas keempat pengawal tersebut dengan hal serupa. Mereka bersalaman dan saling mendekap sesaat. Kemudian Dedi berpindah untuk bersalaman dengan ketiga gadis. Dari kejauhan, seorang pria berbadan tegap mendekat dengan cepat. Harzan, ketua regu pengawal Jourell Cyrus, langsung mendekap Jauhari yang dianggapnya sebagai Abang kandung. Harzan adalah Adik Andara, asisten Zulfi. Dia juga merupakan saudara sepupu Khairani, dan Falea, istri Benigno Griffin Janitra. Harzan menjadikan Jauhari sebagai salah satu senior favoritnya. Terutama karena pria berlesung pipi tersebut sangat ramah. "Zan, kamu meluknya kekencangan. Aku kegencet!" protes Jauhari. "Aku beneran kangen sama Abang. Sudah lama kita nggak ketemu," sahut Harzan sembari memgurai dekapan, dan beralih menyalami Avreen serta yang lainnya. "Berapa lama, y
09Selama sehari berikutnya, kelompok pimpinan Nuriel bertandang ke kediaman Keven Kahraman, salah satu anggota tim 3 PG. Keven dan Aruna, istrinya, telah menetap di Sydney semenjak mereka belum menikah. Keven adalah putra angkat Timothy Arvhasatys, seorang pengusaha senior yang merupakan blasteran Indonesia dan New Zealand. Selain Keven, Bryan Chavas juga diangkat anak oleh Timothy. Kedua orang tua Keven dan Bryan adalah sahabat Timothy. Hingga pria tua tersebut memaksa untuk menjadikan kedua pria blasteran itu sebagai anak angkatnya. Timothy hanya memiliki seorang anak laki-laki bernama Hansel. Sebab itulah Timothy membutuhkan anak yang lain untuk membantunya meneruskan bisnis yang sudah dirintisnya sejak muda, di Australia dan New Zealand. Timothy yang menetap di Auckland, New Zealand, juga kerap mengunjungi kedua putra angkatnya, dan keempat cucu yang sangat disayanginya. Dikarenakan Hansel belum menikah, maka Timothy meanggap anak-anak Keven serta Bryan sebagai cucunya. Sela
01"Om, jalannya jangan dekat-dekat," bisik Avreen Ravania Gahyaka. "Saya pengawal khusus Nona, nggak bisa jauh-jauh," sahut pria bermata sipit, sambil membatin, karena lagi-lagi dirinya dipanggil Om. "Udah, deh. Sampai sini aja." "Mohon maaf, Non. Permintaan Pak Sultan, saya harus mendampingi Non sampai acara selesai."Perempuan berkulit putih tiba-tiba berhenti, dan menatap tajam pria berbibir tipis, yang juga turut menghentikan langkah. "Aku malu, tahu nggak?" ketusnya. "Enggak." Avreen mencebik. "Tiap Om dampingin itu, aku diledekin teman-teman!" "Diledekin gimana?" "Aku dibilang piaraan Om. Sugar baby." Pria bersetelan jas biru mengilat semi formal tersebuit, bersusah payah menahan tawa yang nyaris menguar. Dia melirik segerombolan perempuan dan laki-laki muda, yang tengah memerhatikan mereka dari sekitar area."Begini aja, kalau mereka ngeledek lagi, Nona bisa balas kalau justru Nonalah yang membayar saya sebagai, ehm ... apa itu namanya? Yang cowok nyenengin cewek itu?"
02Hari berganti hari. Jauhari tengah mengemudi, ketika ponselnya bergetar nyaris tanpa henti. Dia penasaran, tetapi karena sedang mengejar waktu akhirnya Jauhari mengabaikan hal itu. Pria berlesung pipi tiba di tempat parkir depan kantor PBK di kawasan Jakarta Selatan. Dia mematikan mesin dan melepaskan sabuk pengaman. Kemudian menyambar ponsel dari dashboard, dan menarik tas kerja di kursi samping kiri. Sekian menit terlewati, Jauhari sudah tiba di lantai 3. Dia mengayunkan tungkai keluar dari lift, sembari memandangi puluhan pengawal muda berbagai angkatan, yang tengah di-briefing Yoga Pratama, direktur operasional PBK. Jauhari tiba di ujung koridor. Dia mengetuk pintu bercat abu-abu sebanyak 3 kali, kemudian membuka benda itu setelah mendapatkan jawaban dari dalam. Jauhari memasuki ruangan. Dia menegakkan badan dan memberi hormat, yang dibalas anggukan Wirya, sang direktur utama PBK. "Tumben kamu ke sini pagi-pagi. Aya naon?" tanya Wirya. "Mau ngobrol bentar," sahut Jauhari.
03Siang menjelang sore itu, Jauhari tiba di kediaman Sultan bersama rekan-rekannya. Mereka tidak melewati pintu utama, melainkan melalui gerbang putih di sisi kanan bangunan. Belasan pria dan beberapa perempuan berpakaian safari hitam, melintasi taman samping sembari berbincang. Avreen yang berada di kamarnya di lantai dua, mengintip dari jendela yang terbuka separuh. Dia memerhatikan para ajudan lapis tiga dan empat yang berbelok ke kiri, hingga mereka menghilang di balik tembok. Avreen menduga jika tim pengawas unit kerja itu hendak melakukan rapat di base camp. Yakni bangunan tiga lantai yang berada di sisi kiri kolam renang. Perempuan berkulit putih bangkit berdiri. Dia menyambar ponsel dari meja rias dan memasukkannya ke saku celana, sebelum melangkah keluar kamar. Suara para bocah terdengar dari ruangan khusus bermain, yang berada di sebelah kiri kamar Avreen. Tempat itu dulunya adalah kamar Mayuree dan Marley. Setelah mereka menikah dan pindah ke rumah masing-masing, dua
04Avreen memerhatikan para lelaki yang tengah melakukan lomba renang. Dia turut berseru bersama penonton lainnya, kala Nuriel melesat meninggalkan para peserta lomba.Avreen yang berada di kursi teras, berdiri dan jalan cepat menyambangi ajudannya, yang baru tiba di tepi kolam. Avreen beradu toss dengan Nuriel, lalu dia berjoget untuk merayakan kemenangan sang pengawal. Nuriel bergegas naik dan turut bergoyang. Keduanya tidak peduli diteriaki yang lainnya. Terutama dari lawan Nuriel yang kalah lomba tersebut. "Riel, kamu makan apa, sih? Berenangnya cepat banget," tukas Yusuf sembari menggosokkan handuk ke badannya yang basah. "Biasa aja, Bang. Nggak ada yang spesial," jawab Nuriel yang telah berpindah duduk di bangku panjang bersama nonanya. "Mungkin Nuriel adalah titisan pesut," sela Jauhari sambil memasang tampang serius. "Bukan, dia dulunya belut," cakap Chalid, ajudan Panglima. "Cecurut," imbuh Aditya. "Ikan badut," lontar Hasbi. "Anjing laut," papar Jeffrey. "Singa laut
09Selama sehari berikutnya, kelompok pimpinan Nuriel bertandang ke kediaman Keven Kahraman, salah satu anggota tim 3 PG. Keven dan Aruna, istrinya, telah menetap di Sydney semenjak mereka belum menikah. Keven adalah putra angkat Timothy Arvhasatys, seorang pengusaha senior yang merupakan blasteran Indonesia dan New Zealand. Selain Keven, Bryan Chavas juga diangkat anak oleh Timothy. Kedua orang tua Keven dan Bryan adalah sahabat Timothy. Hingga pria tua tersebut memaksa untuk menjadikan kedua pria blasteran itu sebagai anak angkatnya. Timothy hanya memiliki seorang anak laki-laki bernama Hansel. Sebab itulah Timothy membutuhkan anak yang lain untuk membantunya meneruskan bisnis yang sudah dirintisnya sejak muda, di Australia dan New Zealand. Timothy yang menetap di Auckland, New Zealand, juga kerap mengunjungi kedua putra angkatnya, dan keempat cucu yang sangat disayanginya. Dikarenakan Hansel belum menikah, maka Timothy meanggap anak-anak Keven serta Bryan sebagai cucunya. Sela
08Dedi, ketua pengawal area Australia dan New Zealand, menyambangi kelompok yang baru tiba di depan pintu keluar, terminal kedatangan Bandara Sydney. Dedi memberi hormat yang dibalas keempat pengawal tersebut dengan hal serupa. Mereka bersalaman dan saling mendekap sesaat. Kemudian Dedi berpindah untuk bersalaman dengan ketiga gadis. Dari kejauhan, seorang pria berbadan tegap mendekat dengan cepat. Harzan, ketua regu pengawal Jourell Cyrus, langsung mendekap Jauhari yang dianggapnya sebagai Abang kandung. Harzan adalah Adik Andara, asisten Zulfi. Dia juga merupakan saudara sepupu Khairani, dan Falea, istri Benigno Griffin Janitra. Harzan menjadikan Jauhari sebagai salah satu senior favoritnya. Terutama karena pria berlesung pipi tersebut sangat ramah. "Zan, kamu meluknya kekencangan. Aku kegencet!" protes Jauhari. "Aku beneran kangen sama Abang. Sudah lama kita nggak ketemu," sahut Harzan sembari memgurai dekapan, dan beralih menyalami Avreen serta yang lainnya. "Berapa lama, y
07Jalinan waktu terus berjalan. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu Avreen dan kedua sahabatnya. Mereka begitu antusias untuk memulai perjalanan panjang ke negeri kangguru. Alvaro dan Wirya serta Marley, melepas langsung keberangkatan kelompok pimpinan Nuriel. Ketiganya bersalaman dengan keempat pengawal muda, yang akan menjaga ketiga gadis, selama sebulan ke depan. Wirya mendekap anak buahnya satu per satu. Saat tiba giliran Jauhari, Wirya memeluk asiaten kesayangannya itu lebih lama. Hati Wirya gelisah, karena dia khawatir akan terjadi sesuatu hal yang tidak baik di tempat tujuan. "Dedi, Harzan dan Chatur, akan menemani kalian secara bergantian," ujar Wirya sembari mengurai dekapan. "Jangan lengah, Ri. Kamu andalanku, karena kamu paling senior," lanjutnya. "Ya, Bang," sahut Jauhari. "Jangan sungkan buat nelepon Mas Keven, Mas Bryan, Hansel atau Jourell. Mereka pasti langsung membantumu jika menemukan kendala." "Siap." "Kalau jadi ke Brisbane, hubungi Dilbert dan Kenrich. Merek
06"Abang tadi ngomong apa sama Non Avreen?" tanya Khairani. "Yang mana?" Jauhari balik bertanya. "Pas nonton tadi. Kalian ngobrol lama." "Oh. Dia nanya gerakan apa yang dipakai hero-nya. Kujelaskan." "Cuma ngomong gitu, tapi, kok, lama banget?" "Enggak, ahh. Sebentar, doang." "Pake nempel lagi." "Mana?" Jauhari mengerutkan dahi. "Kamu ngomongnya aneh. Kenapa?" desaknya. "Beneran deketan tadi. Sama-sama ngeseser mepet." "Jelaslah menggeser, kami kehalang satu kursi kosong." "Aku nggak suka." "Kenapa mesti begitu?" Khairani mendengkus. "Abang masih nggak paham juga." "Maksudnya?" "Kubilang, aku nggak suka. Peka dikit coba!"Jauhari tertegun sesaat, kemudian dia berkata, "Ran, sudah kujelaskan dari dulu, kalau aku cuma anggap kamu sebagai Adik. Aku nggak bisa ngubah hati buatmu." "Kenapa nggak bisa?" "Sulit dijelaskannya. Tapi, pastinya aku lebih nyaman kayak gini." "Aku cinta sama Abang." "I know that, dan terima kasih banyak. Tapi, aku beneran nggak bisa membalas cin
05"Ini, dari Ibu," tutur Avreen sambil mengulurkan tas belanja biru."Makasih," jawab Jauhari. Dia mengambil tas dan mengecek isinya. "Wangi seblak," ungkapnya sembari mengangkat satu wadah makanan plastik dari dalam tas. "Hu um. Kak Mala bikin banyak. Jadinya dibagikan." "Buatan Kak Mala pasti pedas." "Iya, tapi enak. Aku sampai nambah tadi." Jauhari menyunggingkan senyuman yang menjadikan lesung pipinya tercetak dalam. "Sekali lagi, makasih, Non." Avreen mengangguk. Dia mengamati lelaki yang tengah mengecek isi tas. "Om, kata Bang Varo, Om sudah cukup hafal wilayah Australia. Beneran?" "Lumayan. Aku hampir tiap bulan dinas di sana. Kadang sambil ngawal para bos, atau Bang W." "Habis ngecek kampusnya, aku pengen ke Brisbane." "Mau ngapain ke sana?" "Penasaran sama pantainya. Kata Bang Varo, bagus." Jauhari manggut-manggut. "Ya, memang bagus." "Bisa, kan?" "Lihat sikon, Non. Kalau waktunya cukup, kuantarkan ke sana. Kalau nggak, kita ke pantai di sekitar Sydney aja. Bagus
04Avreen memerhatikan para lelaki yang tengah melakukan lomba renang. Dia turut berseru bersama penonton lainnya, kala Nuriel melesat meninggalkan para peserta lomba.Avreen yang berada di kursi teras, berdiri dan jalan cepat menyambangi ajudannya, yang baru tiba di tepi kolam. Avreen beradu toss dengan Nuriel, lalu dia berjoget untuk merayakan kemenangan sang pengawal. Nuriel bergegas naik dan turut bergoyang. Keduanya tidak peduli diteriaki yang lainnya. Terutama dari lawan Nuriel yang kalah lomba tersebut. "Riel, kamu makan apa, sih? Berenangnya cepat banget," tukas Yusuf sembari menggosokkan handuk ke badannya yang basah. "Biasa aja, Bang. Nggak ada yang spesial," jawab Nuriel yang telah berpindah duduk di bangku panjang bersama nonanya. "Mungkin Nuriel adalah titisan pesut," sela Jauhari sambil memasang tampang serius. "Bukan, dia dulunya belut," cakap Chalid, ajudan Panglima. "Cecurut," imbuh Aditya. "Ikan badut," lontar Hasbi. "Anjing laut," papar Jeffrey. "Singa laut
03Siang menjelang sore itu, Jauhari tiba di kediaman Sultan bersama rekan-rekannya. Mereka tidak melewati pintu utama, melainkan melalui gerbang putih di sisi kanan bangunan. Belasan pria dan beberapa perempuan berpakaian safari hitam, melintasi taman samping sembari berbincang. Avreen yang berada di kamarnya di lantai dua, mengintip dari jendela yang terbuka separuh. Dia memerhatikan para ajudan lapis tiga dan empat yang berbelok ke kiri, hingga mereka menghilang di balik tembok. Avreen menduga jika tim pengawas unit kerja itu hendak melakukan rapat di base camp. Yakni bangunan tiga lantai yang berada di sisi kiri kolam renang. Perempuan berkulit putih bangkit berdiri. Dia menyambar ponsel dari meja rias dan memasukkannya ke saku celana, sebelum melangkah keluar kamar. Suara para bocah terdengar dari ruangan khusus bermain, yang berada di sebelah kiri kamar Avreen. Tempat itu dulunya adalah kamar Mayuree dan Marley. Setelah mereka menikah dan pindah ke rumah masing-masing, dua
02Hari berganti hari. Jauhari tengah mengemudi, ketika ponselnya bergetar nyaris tanpa henti. Dia penasaran, tetapi karena sedang mengejar waktu akhirnya Jauhari mengabaikan hal itu. Pria berlesung pipi tiba di tempat parkir depan kantor PBK di kawasan Jakarta Selatan. Dia mematikan mesin dan melepaskan sabuk pengaman. Kemudian menyambar ponsel dari dashboard, dan menarik tas kerja di kursi samping kiri. Sekian menit terlewati, Jauhari sudah tiba di lantai 3. Dia mengayunkan tungkai keluar dari lift, sembari memandangi puluhan pengawal muda berbagai angkatan, yang tengah di-briefing Yoga Pratama, direktur operasional PBK. Jauhari tiba di ujung koridor. Dia mengetuk pintu bercat abu-abu sebanyak 3 kali, kemudian membuka benda itu setelah mendapatkan jawaban dari dalam. Jauhari memasuki ruangan. Dia menegakkan badan dan memberi hormat, yang dibalas anggukan Wirya, sang direktur utama PBK. "Tumben kamu ke sini pagi-pagi. Aya naon?" tanya Wirya. "Mau ngobrol bentar," sahut Jauhari.
01"Om, jalannya jangan dekat-dekat," bisik Avreen Ravania Gahyaka. "Saya pengawal khusus Nona, nggak bisa jauh-jauh," sahut pria bermata sipit, sambil membatin, karena lagi-lagi dirinya dipanggil Om. "Udah, deh. Sampai sini aja." "Mohon maaf, Non. Permintaan Pak Sultan, saya harus mendampingi Non sampai acara selesai."Perempuan berkulit putih tiba-tiba berhenti, dan menatap tajam pria berbibir tipis, yang juga turut menghentikan langkah. "Aku malu, tahu nggak?" ketusnya. "Enggak." Avreen mencebik. "Tiap Om dampingin itu, aku diledekin teman-teman!" "Diledekin gimana?" "Aku dibilang piaraan Om. Sugar baby." Pria bersetelan jas biru mengilat semi formal tersebuit, bersusah payah menahan tawa yang nyaris menguar. Dia melirik segerombolan perempuan dan laki-laki muda, yang tengah memerhatikan mereka dari sekitar area."Begini aja, kalau mereka ngeledek lagi, Nona bisa balas kalau justru Nonalah yang membayar saya sebagai, ehm ... apa itu namanya? Yang cowok nyenengin cewek itu?"