06
"Abang tadi ngomong apa sama Non Avreen?" tanya Khairani.
"Yang mana?" Jauhari balik bertanya.
"Pas nonton tadi. Kalian ngobrol lama."
"Oh. Dia nanya gerakan apa yang dipakai hero-nya. Kujelaskan."
"Cuma ngomong gitu, tapi, kok, lama banget?"
"Enggak, ahh. Sebentar, doang."
"Pake nempel lagi."
"Mana?" Jauhari mengerutkan dahi. "Kamu ngomongnya aneh. Kenapa?" desaknya.
"Beneran deketan tadi. Sama-sama ngeseser mepet."
"Jelaslah menggeser, kami kehalang satu kursi kosong."
"Aku nggak suka."
"Kenapa mesti begitu?"
Khairani mendengkus. "Abang masih nggak paham juga."
"Maksudnya?"
"Kubilang, aku nggak suka. Peka dikit coba!"
Jauhari tertegun sesaat, kemudian dia berkata, "Ran, sudah kujelaskan dari dulu, kalau aku cuma anggap kamu sebagai Adik. Aku nggak bisa ngubah hati buatmu."
"Kenapa nggak bisa?"
"Sulit dijelaskannya. Tapi, pastinya aku lebih nyaman kayak gini."
"Aku cinta sama Abang."
"I know that, dan terima kasih banyak. Tapi, aku beneran nggak bisa membalas cintamu, Ran. Benar-benar nggak bisa."
Khairani menggertakkan gigi. Dia benar-benar kesal pada Jauhari yang masih bersikukuh hanya menganggapnya Adik. Padahal Khairani sudah mencintai pria tersebut sejak lama.
Khairani mengalihkan pandangan ke luar kaca mobil. Dia mengerjap-ngerjapkan mata untuk menahan bulir bening yang nyaris keluar.
Ditolak untuk kesekian kalinya menyebabkan hati Khairani kian tidak nyaman. Tiba-tiba dia merasa lelah berjuang untuk mendapatkan hati sang sopir, dan Khairani berniat untuk memaksa hatinya agar tidak lagi mencintai Jauhari.
"Aku turun di depan," tutur Khairani sambil membuka sabuk pengaman.
"Mau beli apa?" tanya Jauhari sembari menepikan mobil ke depan deretan rumah toko.
"Aku mau makan bakso. Lagi butuh yang pedas-pedas."
Jauhari tidak menyahut. Dia mematikan mesin, lalu membuka kaitan sabuk pengaman. Jauhari terkejut saat Khairani keluar dan menghempaskan pintu kendaraan.
Pria bermata sipit itu menggeleng pelan. Sifat emosional Khairani menjadi salah satu penyebab dirinya tidak bisa mencintai gadis itu. Jauhari tidak yakin bisa sanggup bertahan menghadapi kemarahan perempuan tersebut, seumur hidupnya.
Jauhari menimbang-nimbang sesaat dalam hati, sebelum memasang sabuk pengaman kembali. Dia meraih ponsel dari dashboard lalu mengetikkan pesan yang dikirimkannya pada Khairani.
Jauhari yakin bila perdebatan tadi akan berlanjut, jika dirinya menemani gadis itu makan, seperti yang sudah-sudah. Jauhari meletakkan ponsel pada tempat semula, kemudian menyalakan mesin.
Khairani membaca pesan dari Jauhari. Dia menggerutu dalam hati, karena pria itu memilih untuk menjauh. Padahal Khairani mengharapkan dibujuk, seperti yang pernah dilakukan Jauhari di masa silam.
Perempuan tersebut tersentak, saat menyadari jika Jauhari sudah tidak pernah membujuknya jika tengah merajuk. Hal itu menjadikan Khairani sedih, karena Jauhari benar-benar membatasi untuk terlibat lebih dalam di kehidupan Khairani.
***
Jalinan waktu terus bergulir. Pagi menjelang siang itu, Jauhari jalan bersama Faruq, manajer marketing EMERALD Grup. Mereka melintasi lobi utama yang ramai orang, lalu bergerak memasuki lift ujung kanan.
Setibanya di lantai 15, pintu lift terbuka dan kedua pria tersebut keluar. Mereka mengayunkan tungkai menuju ruang pertemuan di ujung koridor.
Seusai memasuki ruangan, Jauhari spontan menegakkan badan dan memberi hormat pada sekelompok pria, yang tengah duduk di sekitar meja besar.
Jauhari dan Faruq menyalami semua orang di ruangan itu. Sebelum mereka menempati kursi kosong di dekat ujung kiri meja.
"Ri, kok, duduk di situ?" tanya Tristan Cyrus, CEO Cyrus Grup.
"Enggak apa-apa, Pak. Di sini juga enak," jawab Jauhari.
"Pindah ke sini," timpal Hadrian Danadyaksha, owner Danadyaksha Grup.
"Enggak perlu takut, Ri. Ivan sudah disuntik anti rabies," seloroh David Wirapranata, komisaris Wirapranata Grup.
"David, kumat!" desis Arrivan Qaiz Latief, presdir Latief Grup.
"Ri, buruan pindah," tukas Rahagi Hamnani, CEO RM Grup.
"Ari takut dibully," kelakar Samudra Adhitama. Direktur operasional Adhitama Grup.
"Dia ngeri dipelototin Mas Chandra," sela Theodore Liem, direktur utama TMG.
"Bukan. Ari khawatir digodain Anto," ungkap Chandra Kamandaka, pemilik kantor tersebut.
"Aku sudah insyaf. Nggak lagi nyandain Ari," papar Ferdianto Atmaja, komisaris Atmaja Grup. "Sekarang aku lagi suka ngerjain adiknya," lanjutnya seraya tersenyum.
"Adikku, gimana kerjanya, Pak?" tanya Jauhari seusai berpindah ke kursi di samping kanan Ferdianto, yang akrab dipanggil Anto.
"Bagus. Dia paling gesit, sekaligus paling ceria di regu-nya," jelas Anto. "Banyak pegawai yang suka sama Jariz. Yang pengen jadiin dia Adik ipar pun, antre," sambungnya.
"Kok, ipar? Bukan pacar?" tanya Tristan.
"Pegawaiku kebanyakan sudah menikah, Mas. Ada yang masih single, tapi umurnya di atas 27 tahun. Nggak mungkinlah pacaran sama ABG," terang Anto.
"Jariz umurnya berapa?" desak Hadrian.
"21, Kang. Baru wisuda bulan Januari kemarin," tutur Jauhari.
"Kukira masih 18 tahun. Mukanya imut banget," celetuk David.
"Abangnya aja imut, gitu. Banyak yang ngira Ari masih kuliah," lontar Ivan, panggilan akrab Arrivan.
"Ari pakai formalin," canda Samudra.
"Abaikan, Ri. Samudra iri, karena dia sudah tua," ledek Rahagi.
Pintu terbuka dan sekelompok orang memasuki ruangan. Jauhari kembali berdiri tegak untuk memberi hormat pada para bosnya di PBK, yang datang bersama beberapa bos PC dan PCD.
Artio Laksamana Pramudya, putra sulung Sultan, membuat perusahaan gabungan dengan 49 rekan-rekannya. Perusahaan itu disingkat PG.
Kemudian Artio membentuk PC, alias Perusahaan Cabang, yang beranggotakan 100 pengusaha muda Indonesia, yang dimentori para anggota PG.
Sebab masih banyak pengusaha muda yang ingin bergabung dalam koalisi tersebut, akhirnya Artio membuat PCD atau PC Dua.
Jauhari dan kesembilan rekannya di tim pengawal lapis tiga, menjadi anggota kelompok tiga dan empat PCD. Mereka dibuatkan perusahaan oleh Artio, Alvaro, Wirya, Marley, Dante, Benigno, Linggha, Baskara, Heru dan Atalaric. Supaya para junior andalan tersebut bisa menjadi pebisnis sukses di masa depan.
Rapat dimulai Chandra dengan untaian doa. Kemudian dia meminta sang direktur operasional menerangkan detail proyek baru, yang akan mereka kerjakan bersama-sama.
Jauhari mendengarkan penuturan pria berkumis tipis tersebut dengan saksama. Dia menuliskan beberapa hal penting di buku agendanya yang sudah hampir penuh.
Puluhan menit terlewati, rapat telah usai. Jauhari berpindah ke kursi dekat Yusuf, Aditya, Damsaz Qalbi Dewawarman, Freddy Hanafi, Zainal Ervansyah, Kenzo Darka dan Lainufar Suwardana. Mereka berbincang dengan serius, karena harus berkolaborasi di bagian khusus tim PCD.
"Kapan kita mau berangkat ke lokasi?" tanya Damsaz.
"Aku bisanya awal bulan depan," jawab Lainufar.
"Hayok. Kebetulan aku juga lowong di minggu pertama," sahut Freddy.
"Oke," timpal Aditya.
"I'm ready," cakap Yusuf.
"Kalian aja, ya. Aku mesti dinas," imbuh Jauhari.
"Mau ke mana, Bang Ari?" desak Kenzo.
"Australia, Ken. Ngawal Non Avreen selama sebulan," terang Jauhari.
"Oh, Adik sepupunya Marley, ya?" tanya Lainufar.
"Ya, Mas. Ponakan Bu Winarti," papar Jauhari.
"Pacarnya Ari itu," goda Yusuf.
"Ari terjerat daun muda," canda Aditya.
"Beneran, Ri?" Zainal memandangi pria berkulit kuning langsat yang spontan menggeleng. "Tapi, intuisiku mengatakan begitu," lanjutnya.
"Manalah mungkin dia mau sama aku, Bang. Anak konglomerat. Umurnya pun beda lumayan jauh dariku," kilah Jauhari.
"Beda berapa tahun?"
"Sembilan."
Zainal manggut-manggut. "Masih belum terlalu jauh."
"Tapi, dia manggil aku dengan sebutan Om," celoteh Jauhari yang menjadikan rekan-rekannya terbahak.
07Jalinan waktu terus berjalan. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu Avreen dan kedua sahabatnya. Mereka begitu antusias untuk memulai perjalanan panjang ke negeri kangguru. Alvaro dan Wirya serta Marley, melepas langsung keberangkatan kelompok pimpinan Nuriel. Ketiganya bersalaman dengan keempat pengawal muda, yang akan menjaga ketiga gadis, selama sebulan ke depan. Wirya mendekap anak buahnya satu per satu. Saat tiba giliran Jauhari, Wirya memeluk asiaten kesayangannya itu lebih lama. Hati Wirya gelisah, karena dia khawatir akan terjadi sesuatu hal yang tidak baik di tempat tujuan. "Dedi, Harzan dan Chatur, akan menemani kalian secara bergantian," ujar Wirya sembari mengurai dekapan. "Jangan lengah, Ri. Kamu andalanku, karena kamu paling senior," lanjutnya. "Ya, Bang," sahut Jauhari. "Jangan sungkan buat nelepon Mas Keven, Mas Bryan, Hansel atau Jourell. Mereka pasti langsung membantumu jika menemukan kendala." "Siap." "Kalau jadi ke Brisbane, hubungi Dilbert dan Kenrich. Merek
08Dedi, ketua pengawal area Australia dan New Zealand, menyambangi kelompok yang baru tiba di depan pintu keluar, terminal kedatangan Bandara Sydney. Dedi memberi hormat yang dibalas keempat pengawal tersebut dengan hal serupa. Mereka bersalaman dan saling mendekap sesaat. Kemudian Dedi berpindah untuk bersalaman dengan ketiga gadis. Dari kejauhan, seorang pria berbadan tegap mendekat dengan cepat. Harzan, ketua regu pengawal Jourell Cyrus, langsung mendekap Jauhari yang dianggapnya sebagai Abang kandung. Harzan adalah Adik Andara, asisten Zulfi. Dia juga merupakan saudara sepupu Khairani, dan Falea, istri Benigno Griffin Janitra. Harzan menjadikan Jauhari sebagai salah satu senior favoritnya. Terutama karena pria berlesung pipi tersebut sangat ramah. "Zan, kamu meluknya kekencangan. Aku kegencet!" protes Jauhari. "Aku beneran kangen sama Abang. Sudah lama kita nggak ketemu," sahut Harzan sembari memgurai dekapan, dan beralih menyalami Avreen serta yang lainnya. "Berapa lama, y
09Selama sehari berikutnya, kelompok pimpinan Nuriel bertandang ke kediaman Keven Kahraman, salah satu anggota tim 3 PG. Keven dan Aruna, istrinya, telah menetap di Sydney semenjak mereka belum menikah. Keven adalah putra angkat Timothy Arvhasatys, seorang pengusaha senior yang merupakan blasteran Indonesia dan New Zealand. Selain Keven, Bryan Chavas juga diangkat anak oleh Timothy. Kedua orang tua Keven dan Bryan adalah sahabat Timothy. Hingga pria tua tersebut memaksa untuk menjadikan kedua pria blasteran itu sebagai anak angkatnya. Timothy hanya memiliki seorang anak laki-laki bernama Hansel. Sebab itulah Timothy membutuhkan anak yang lain untuk membantunya meneruskan bisnis yang sudah dirintisnya sejak muda, di Australia dan New Zealand. Timothy yang menetap di Auckland, New Zealand, juga kerap mengunjungi kedua putra angkatnya, dan keempat cucu yang sangat disayanginya. Dikarenakan Hansel belum menikah, maka Timothy meanggap anak-anak Keven serta Bryan sebagai cucunya. Sela
01"Om, jalannya jangan dekat-dekat," bisik Avreen Ravania Gahyaka. "Saya pengawal khusus Nona, nggak bisa jauh-jauh," sahut pria bermata sipit, sambil membatin, karena lagi-lagi dirinya dipanggil Om. "Udah, deh. Sampai sini aja." "Mohon maaf, Non. Permintaan Pak Sultan, saya harus mendampingi Non sampai acara selesai."Perempuan berkulit putih tiba-tiba berhenti, dan menatap tajam pria berbibir tipis, yang juga turut menghentikan langkah. "Aku malu, tahu nggak?" ketusnya. "Enggak." Avreen mencebik. "Tiap Om dampingin itu, aku diledekin teman-teman!" "Diledekin gimana?" "Aku dibilang piaraan Om. Sugar baby." Pria bersetelan jas biru mengilat semi formal tersebuit, bersusah payah menahan tawa yang nyaris menguar. Dia melirik segerombolan perempuan dan laki-laki muda, yang tengah memerhatikan mereka dari sekitar area."Begini aja, kalau mereka ngeledek lagi, Nona bisa balas kalau justru Nonalah yang membayar saya sebagai, ehm ... apa itu namanya? Yang cowok nyenengin cewek itu?"
02Hari berganti hari. Jauhari tengah mengemudi, ketika ponselnya bergetar nyaris tanpa henti. Dia penasaran, tetapi karena sedang mengejar waktu akhirnya Jauhari mengabaikan hal itu. Pria berlesung pipi tiba di tempat parkir depan kantor PBK di kawasan Jakarta Selatan. Dia mematikan mesin dan melepaskan sabuk pengaman. Kemudian menyambar ponsel dari dashboard, dan menarik tas kerja di kursi samping kiri. Sekian menit terlewati, Jauhari sudah tiba di lantai 3. Dia mengayunkan tungkai keluar dari lift, sembari memandangi puluhan pengawal muda berbagai angkatan, yang tengah di-briefing Yoga Pratama, direktur operasional PBK. Jauhari tiba di ujung koridor. Dia mengetuk pintu bercat abu-abu sebanyak 3 kali, kemudian membuka benda itu setelah mendapatkan jawaban dari dalam. Jauhari memasuki ruangan. Dia menegakkan badan dan memberi hormat, yang dibalas anggukan Wirya, sang direktur utama PBK. "Tumben kamu ke sini pagi-pagi. Aya naon?" tanya Wirya. "Mau ngobrol bentar," sahut Jauhari.
03Siang menjelang sore itu, Jauhari tiba di kediaman Sultan bersama rekan-rekannya. Mereka tidak melewati pintu utama, melainkan melalui gerbang putih di sisi kanan bangunan. Belasan pria dan beberapa perempuan berpakaian safari hitam, melintasi taman samping sembari berbincang. Avreen yang berada di kamarnya di lantai dua, mengintip dari jendela yang terbuka separuh. Dia memerhatikan para ajudan lapis tiga dan empat yang berbelok ke kiri, hingga mereka menghilang di balik tembok. Avreen menduga jika tim pengawas unit kerja itu hendak melakukan rapat di base camp. Yakni bangunan tiga lantai yang berada di sisi kiri kolam renang. Perempuan berkulit putih bangkit berdiri. Dia menyambar ponsel dari meja rias dan memasukkannya ke saku celana, sebelum melangkah keluar kamar. Suara para bocah terdengar dari ruangan khusus bermain, yang berada di sebelah kiri kamar Avreen. Tempat itu dulunya adalah kamar Mayuree dan Marley. Setelah mereka menikah dan pindah ke rumah masing-masing, dua
04Avreen memerhatikan para lelaki yang tengah melakukan lomba renang. Dia turut berseru bersama penonton lainnya, kala Nuriel melesat meninggalkan para peserta lomba.Avreen yang berada di kursi teras, berdiri dan jalan cepat menyambangi ajudannya, yang baru tiba di tepi kolam. Avreen beradu toss dengan Nuriel, lalu dia berjoget untuk merayakan kemenangan sang pengawal. Nuriel bergegas naik dan turut bergoyang. Keduanya tidak peduli diteriaki yang lainnya. Terutama dari lawan Nuriel yang kalah lomba tersebut. "Riel, kamu makan apa, sih? Berenangnya cepat banget," tukas Yusuf sembari menggosokkan handuk ke badannya yang basah. "Biasa aja, Bang. Nggak ada yang spesial," jawab Nuriel yang telah berpindah duduk di bangku panjang bersama nonanya. "Mungkin Nuriel adalah titisan pesut," sela Jauhari sambil memasang tampang serius. "Bukan, dia dulunya belut," cakap Chalid, ajudan Panglima. "Cecurut," imbuh Aditya. "Ikan badut," lontar Hasbi. "Anjing laut," papar Jeffrey. "Singa laut
05"Ini, dari Ibu," tutur Avreen sambil mengulurkan tas belanja biru."Makasih," jawab Jauhari. Dia mengambil tas dan mengecek isinya. "Wangi seblak," ungkapnya sembari mengangkat satu wadah makanan plastik dari dalam tas. "Hu um. Kak Mala bikin banyak. Jadinya dibagikan." "Buatan Kak Mala pasti pedas." "Iya, tapi enak. Aku sampai nambah tadi." Jauhari menyunggingkan senyuman yang menjadikan lesung pipinya tercetak dalam. "Sekali lagi, makasih, Non." Avreen mengangguk. Dia mengamati lelaki yang tengah mengecek isi tas. "Om, kata Bang Varo, Om sudah cukup hafal wilayah Australia. Beneran?" "Lumayan. Aku hampir tiap bulan dinas di sana. Kadang sambil ngawal para bos, atau Bang W." "Habis ngecek kampusnya, aku pengen ke Brisbane." "Mau ngapain ke sana?" "Penasaran sama pantainya. Kata Bang Varo, bagus." Jauhari manggut-manggut. "Ya, memang bagus." "Bisa, kan?" "Lihat sikon, Non. Kalau waktunya cukup, kuantarkan ke sana. Kalau nggak, kita ke pantai di sekitar Sydney aja. Bagus
09Selama sehari berikutnya, kelompok pimpinan Nuriel bertandang ke kediaman Keven Kahraman, salah satu anggota tim 3 PG. Keven dan Aruna, istrinya, telah menetap di Sydney semenjak mereka belum menikah. Keven adalah putra angkat Timothy Arvhasatys, seorang pengusaha senior yang merupakan blasteran Indonesia dan New Zealand. Selain Keven, Bryan Chavas juga diangkat anak oleh Timothy. Kedua orang tua Keven dan Bryan adalah sahabat Timothy. Hingga pria tua tersebut memaksa untuk menjadikan kedua pria blasteran itu sebagai anak angkatnya. Timothy hanya memiliki seorang anak laki-laki bernama Hansel. Sebab itulah Timothy membutuhkan anak yang lain untuk membantunya meneruskan bisnis yang sudah dirintisnya sejak muda, di Australia dan New Zealand. Timothy yang menetap di Auckland, New Zealand, juga kerap mengunjungi kedua putra angkatnya, dan keempat cucu yang sangat disayanginya. Dikarenakan Hansel belum menikah, maka Timothy meanggap anak-anak Keven serta Bryan sebagai cucunya. Sela
08Dedi, ketua pengawal area Australia dan New Zealand, menyambangi kelompok yang baru tiba di depan pintu keluar, terminal kedatangan Bandara Sydney. Dedi memberi hormat yang dibalas keempat pengawal tersebut dengan hal serupa. Mereka bersalaman dan saling mendekap sesaat. Kemudian Dedi berpindah untuk bersalaman dengan ketiga gadis. Dari kejauhan, seorang pria berbadan tegap mendekat dengan cepat. Harzan, ketua regu pengawal Jourell Cyrus, langsung mendekap Jauhari yang dianggapnya sebagai Abang kandung. Harzan adalah Adik Andara, asisten Zulfi. Dia juga merupakan saudara sepupu Khairani, dan Falea, istri Benigno Griffin Janitra. Harzan menjadikan Jauhari sebagai salah satu senior favoritnya. Terutama karena pria berlesung pipi tersebut sangat ramah. "Zan, kamu meluknya kekencangan. Aku kegencet!" protes Jauhari. "Aku beneran kangen sama Abang. Sudah lama kita nggak ketemu," sahut Harzan sembari memgurai dekapan, dan beralih menyalami Avreen serta yang lainnya. "Berapa lama, y
07Jalinan waktu terus berjalan. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu Avreen dan kedua sahabatnya. Mereka begitu antusias untuk memulai perjalanan panjang ke negeri kangguru. Alvaro dan Wirya serta Marley, melepas langsung keberangkatan kelompok pimpinan Nuriel. Ketiganya bersalaman dengan keempat pengawal muda, yang akan menjaga ketiga gadis, selama sebulan ke depan. Wirya mendekap anak buahnya satu per satu. Saat tiba giliran Jauhari, Wirya memeluk asiaten kesayangannya itu lebih lama. Hati Wirya gelisah, karena dia khawatir akan terjadi sesuatu hal yang tidak baik di tempat tujuan. "Dedi, Harzan dan Chatur, akan menemani kalian secara bergantian," ujar Wirya sembari mengurai dekapan. "Jangan lengah, Ri. Kamu andalanku, karena kamu paling senior," lanjutnya. "Ya, Bang," sahut Jauhari. "Jangan sungkan buat nelepon Mas Keven, Mas Bryan, Hansel atau Jourell. Mereka pasti langsung membantumu jika menemukan kendala." "Siap." "Kalau jadi ke Brisbane, hubungi Dilbert dan Kenrich. Merek
06"Abang tadi ngomong apa sama Non Avreen?" tanya Khairani. "Yang mana?" Jauhari balik bertanya. "Pas nonton tadi. Kalian ngobrol lama." "Oh. Dia nanya gerakan apa yang dipakai hero-nya. Kujelaskan." "Cuma ngomong gitu, tapi, kok, lama banget?" "Enggak, ahh. Sebentar, doang." "Pake nempel lagi." "Mana?" Jauhari mengerutkan dahi. "Kamu ngomongnya aneh. Kenapa?" desaknya. "Beneran deketan tadi. Sama-sama ngeseser mepet." "Jelaslah menggeser, kami kehalang satu kursi kosong." "Aku nggak suka." "Kenapa mesti begitu?" Khairani mendengkus. "Abang masih nggak paham juga." "Maksudnya?" "Kubilang, aku nggak suka. Peka dikit coba!"Jauhari tertegun sesaat, kemudian dia berkata, "Ran, sudah kujelaskan dari dulu, kalau aku cuma anggap kamu sebagai Adik. Aku nggak bisa ngubah hati buatmu." "Kenapa nggak bisa?" "Sulit dijelaskannya. Tapi, pastinya aku lebih nyaman kayak gini." "Aku cinta sama Abang." "I know that, dan terima kasih banyak. Tapi, aku beneran nggak bisa membalas cin
05"Ini, dari Ibu," tutur Avreen sambil mengulurkan tas belanja biru."Makasih," jawab Jauhari. Dia mengambil tas dan mengecek isinya. "Wangi seblak," ungkapnya sembari mengangkat satu wadah makanan plastik dari dalam tas. "Hu um. Kak Mala bikin banyak. Jadinya dibagikan." "Buatan Kak Mala pasti pedas." "Iya, tapi enak. Aku sampai nambah tadi." Jauhari menyunggingkan senyuman yang menjadikan lesung pipinya tercetak dalam. "Sekali lagi, makasih, Non." Avreen mengangguk. Dia mengamati lelaki yang tengah mengecek isi tas. "Om, kata Bang Varo, Om sudah cukup hafal wilayah Australia. Beneran?" "Lumayan. Aku hampir tiap bulan dinas di sana. Kadang sambil ngawal para bos, atau Bang W." "Habis ngecek kampusnya, aku pengen ke Brisbane." "Mau ngapain ke sana?" "Penasaran sama pantainya. Kata Bang Varo, bagus." Jauhari manggut-manggut. "Ya, memang bagus." "Bisa, kan?" "Lihat sikon, Non. Kalau waktunya cukup, kuantarkan ke sana. Kalau nggak, kita ke pantai di sekitar Sydney aja. Bagus
04Avreen memerhatikan para lelaki yang tengah melakukan lomba renang. Dia turut berseru bersama penonton lainnya, kala Nuriel melesat meninggalkan para peserta lomba.Avreen yang berada di kursi teras, berdiri dan jalan cepat menyambangi ajudannya, yang baru tiba di tepi kolam. Avreen beradu toss dengan Nuriel, lalu dia berjoget untuk merayakan kemenangan sang pengawal. Nuriel bergegas naik dan turut bergoyang. Keduanya tidak peduli diteriaki yang lainnya. Terutama dari lawan Nuriel yang kalah lomba tersebut. "Riel, kamu makan apa, sih? Berenangnya cepat banget," tukas Yusuf sembari menggosokkan handuk ke badannya yang basah. "Biasa aja, Bang. Nggak ada yang spesial," jawab Nuriel yang telah berpindah duduk di bangku panjang bersama nonanya. "Mungkin Nuriel adalah titisan pesut," sela Jauhari sambil memasang tampang serius. "Bukan, dia dulunya belut," cakap Chalid, ajudan Panglima. "Cecurut," imbuh Aditya. "Ikan badut," lontar Hasbi. "Anjing laut," papar Jeffrey. "Singa laut
03Siang menjelang sore itu, Jauhari tiba di kediaman Sultan bersama rekan-rekannya. Mereka tidak melewati pintu utama, melainkan melalui gerbang putih di sisi kanan bangunan. Belasan pria dan beberapa perempuan berpakaian safari hitam, melintasi taman samping sembari berbincang. Avreen yang berada di kamarnya di lantai dua, mengintip dari jendela yang terbuka separuh. Dia memerhatikan para ajudan lapis tiga dan empat yang berbelok ke kiri, hingga mereka menghilang di balik tembok. Avreen menduga jika tim pengawas unit kerja itu hendak melakukan rapat di base camp. Yakni bangunan tiga lantai yang berada di sisi kiri kolam renang. Perempuan berkulit putih bangkit berdiri. Dia menyambar ponsel dari meja rias dan memasukkannya ke saku celana, sebelum melangkah keluar kamar. Suara para bocah terdengar dari ruangan khusus bermain, yang berada di sebelah kiri kamar Avreen. Tempat itu dulunya adalah kamar Mayuree dan Marley. Setelah mereka menikah dan pindah ke rumah masing-masing, dua
02Hari berganti hari. Jauhari tengah mengemudi, ketika ponselnya bergetar nyaris tanpa henti. Dia penasaran, tetapi karena sedang mengejar waktu akhirnya Jauhari mengabaikan hal itu. Pria berlesung pipi tiba di tempat parkir depan kantor PBK di kawasan Jakarta Selatan. Dia mematikan mesin dan melepaskan sabuk pengaman. Kemudian menyambar ponsel dari dashboard, dan menarik tas kerja di kursi samping kiri. Sekian menit terlewati, Jauhari sudah tiba di lantai 3. Dia mengayunkan tungkai keluar dari lift, sembari memandangi puluhan pengawal muda berbagai angkatan, yang tengah di-briefing Yoga Pratama, direktur operasional PBK. Jauhari tiba di ujung koridor. Dia mengetuk pintu bercat abu-abu sebanyak 3 kali, kemudian membuka benda itu setelah mendapatkan jawaban dari dalam. Jauhari memasuki ruangan. Dia menegakkan badan dan memberi hormat, yang dibalas anggukan Wirya, sang direktur utama PBK. "Tumben kamu ke sini pagi-pagi. Aya naon?" tanya Wirya. "Mau ngobrol bentar," sahut Jauhari.
01"Om, jalannya jangan dekat-dekat," bisik Avreen Ravania Gahyaka. "Saya pengawal khusus Nona, nggak bisa jauh-jauh," sahut pria bermata sipit, sambil membatin, karena lagi-lagi dirinya dipanggil Om. "Udah, deh. Sampai sini aja." "Mohon maaf, Non. Permintaan Pak Sultan, saya harus mendampingi Non sampai acara selesai."Perempuan berkulit putih tiba-tiba berhenti, dan menatap tajam pria berbibir tipis, yang juga turut menghentikan langkah. "Aku malu, tahu nggak?" ketusnya. "Enggak." Avreen mencebik. "Tiap Om dampingin itu, aku diledekin teman-teman!" "Diledekin gimana?" "Aku dibilang piaraan Om. Sugar baby." Pria bersetelan jas biru mengilat semi formal tersebuit, bersusah payah menahan tawa yang nyaris menguar. Dia melirik segerombolan perempuan dan laki-laki muda, yang tengah memerhatikan mereka dari sekitar area."Begini aja, kalau mereka ngeledek lagi, Nona bisa balas kalau justru Nonalah yang membayar saya sebagai, ehm ... apa itu namanya? Yang cowok nyenengin cewek itu?"