02
Hari berganti hari. Jauhari tengah mengemudi, ketika ponselnya bergetar nyaris tanpa henti. Dia penasaran, tetapi karena sedang mengejar waktu akhirnya Jauhari mengabaikan hal itu.
Pria berlesung pipi tiba di tempat parkir depan kantor PBK di kawasan Jakarta Selatan. Dia mematikan mesin dan melepaskan sabuk pengaman. Kemudian menyambar ponsel dari dashboard, dan menarik tas kerja di kursi samping kiri.
Sekian menit terlewati, Jauhari sudah tiba di lantai 3. Dia mengayunkan tungkai keluar dari lift, sembari memandangi puluhan pengawal muda berbagai angkatan, yang tengah di-briefing Yoga Pratama, direktur operasional PBK.
Jauhari tiba di ujung koridor. Dia mengetuk pintu bercat abu-abu sebanyak 3 kali, kemudian membuka benda itu setelah mendapatkan jawaban dari dalam.
Jauhari memasuki ruangan. Dia menegakkan badan dan memberi hormat, yang dibalas anggukan Wirya, sang direktur utama PBK.
"Tumben kamu ke sini pagi-pagi. Aya naon?" tanya Wirya.
"Mau ngobrol bentar," sahut Jauhari. "Abang lagi sibuk nggak?" tanyanya sembari duduk di kursi dekat meja besar.
"Lumayan. Kamu tunggu bentar. Aku beresin laporan dulu. Dikit lagi."
Jauhari mengangguk. Dia mengambil ponsel dari saku kemeja putihnya, lalu mengecek puluhan pesan masuk. Satu nama mengusik rasa penasaran dan Jauhari segera membukanya.
Avreen : Om, lagi ngapain?
Avreen : Om, aku ada ngirim pesan 15 menit yang lalu. Kok, belum dibalas?
Avreen : Om, beneran lagi sibuk, atau memang sengaja nyuekin aku?
Avreen : Om, ini sudah lewat dari setengah jam. Ngapain, sih?
Avreen : Astagfirullah. Ini orang, sibuk atau nggak punya paket data? Pesan sudah hampir 1 jam, masih belum dibalas juga!
Avreen : Hello, Om lesung pipi. Masih hidup, kan?
Avreen : Ish! Dahlah. Capek aku. Dari tadi dicuekin. Kayak ngomong sama tembok!
Jauhari tergelak hingga Wirya terkejut. Alih-alih menjelaskan penyebabnya tertawa, pria bercelana biru tua, justru mengencangkan tawanya, karena merasa lucu dengan pesan-pesan yang dikirimkan Avreen.
"Ri, cuci muka sana. Lalu, salat Duha. Biar setan yang nempel ke kamu itu hilang," seloroh Wirya.
"Sorry, Bang. Aku nggak bisa nahan ketawa. Avreen, lucu banget," terang Jauhari, sesaat setelah tawanya lenyap.
"Ponakan Pak Sultan?"
"Iya."
"Ehm, untung kamu nyebut namanya." Wirya mengambil ponselnya dari meja untuk mencari pesan yang dikirimkan Alvaro.
"Ada apa, Bang?"
"Komisaris bule, tadi nge-chat aku. Dia minta ada pengawal senior yang ngawal Avreen ke Australia, dua minggu lagi. Kamu aja yang berangkat, Ri."
"Duh! Yang lain aja, Bang."
"Sekalian kamu kontrol unit kita di sana."
"Banim sudah oke buat dilepas ngawal ke luar negeri."
"Dia dan teman-temannya masih junior. Mereka juga belum paham area. Ada apa-apa, yang repot kita juga. Kamu, kan, sudah cukup hafal wilayah sana. Aku bisa tenang, karena yakin Avreen akan aman bersamamu."
"Tapi, aku harus dinas ke Guangzhou."
"Biar Yusuf sama Harun yang berangkat ke sana. Kamu, fokus jaga Avreen."
"Bang, aku ...."
"Berani membantah, SP 1 keluar!"
Jauhari mengusap wajahnya dengan tangan kanan. "Siap," balasnya.
"Yang semangat, dong!"
"Siap, Komandan!"
"Mantap!"
"Abang tambah sadis. Apa-apa pasti ancamannya langsung SP."
"Daripada kita diomelin Pak Sultan, lebih baik aku bersikap tegas."
"Hmm, ya."
"Tadi, kamu mau ngomong apa?"
Jauhari tertegun sesaat. "Gara-gara SP, aku jadi lupa mau cerita apa."
"Lah!"
"Aku ingat-ingat dulu, Bang." Jauhari berdiri. "Nanti aku balik lagi kalau sudah ingat," tuturnya, sebelum memutar badan dan menjauh, dengan diiringi tatapan penuh tanya sang komandan.
***
Matahari pagi bergerak cepat menuju siang. Avreen tiba di rumah ibunya, sembari memegangi kipas angin elektrik yang menghadap ke leher.
Gadis berkulit putih tersebut bergegas menuju dapur untuk membuka kulkas dua pintu. Avreen mengamati deretan botol plastik dan minuman kaleng yang berderet rapi di pintu kiri. Kemudian dia mengambil dua botol teh, sebelum menutup pintu lemari pendingin.
"Jangan minum air dingin terus, Reen," tukas Winarti yang baru keluar dari kamar utama di dekat ruang tengah.
"Haus dan panas, Bu," kilah Avreen sembari membuka tutup botol. Semenjak kecil, Avreen dan kedua saudaranya sudah terbiasa memanggil Winarti dengan sebutan Ibu.
"Minum air biasa dulu. Baru yang dingin."
Avreen tidak menyahut karena sedang sibuk meneguk minumannya. Kala melihat Nuriel memasuki ruang tengah, Avreen mengangkat botol kedua sebagai tanda bila dirinya telah menyiapkan minuman buat sang ajudan.
"Aku mau bikin teh anget aja, Non," ungkap Nuriel, sebelum merunduk untuk menyalami Winarti dengan takzim.
"Tumben?" tanya Avreen sambil meletakkan botol ke meja pantry.
"Tiga hari kemarin aku minum yang dingin-dingin terus. Leherku sakit," papar Nuriel sembari berpindah ke sisi kanan pantry.
"Tuh, kan. Apa Ibu bilang," sela Winarti sambil menyambangi Nuriel. "Ada lemon tea di laci. Itu pas buat sakit tenggorokan," bebernya.
Nuriel mengangguk patuh. Dia mengambil benda yang dimaksud dan segera membuat minuman hangat.
"Bang, aku mau juga," pinta Avreen yang telah berpindah duduk ke kursi tinggi.
"Bikin sendiri. Nggak boleh nyuruh orang yang lebih tua!" tegas Winarti yang menjadikan Avreen meringis, sedangkan Nuriel mengulum senyuman.
Sultan dan Winarti melatih orang seisi rumah untuk mandiri. Keduanya juga mewajibkan sopan santun diterapkan pada orang yang lebih tua. Meskipun status mereka adalah pegawai.
Bukan hanya pada Avreen, Pakde dan budenya itu juga menerapkan hal yang sama pada anak-anak serta keponakan mereka. Terutama pada semua cucu, yang diharapkan menjadi penerus kesantunan keluarga Pramudya.
"Reen, berangkat ke Australia, jadinya tanggal berapa?" tanya Winarti sembari mengecek stok minuman di kulkas.
"Berangkatnya tanggal 1 Juli. Sore, Bu," terang Avreen.
"Pengawal senior yang ikut, siapa?"
Avreen beralih memandangi Nuriel. "Bang, siapa?" tanyanya.
"Bang Ari," sahut Nuriel sambil berpindah duduk ke kursi ujung kanan.
"Ihh! Aku nggak mau dikawal Om itu," rajuk Avreen.
"Beliau pengawas pasukan Pramudya, Non. Jelas Bang Ari yang harus berangkat," jelas Nuriel.
"Masa kamu manggil Ari dengan Om?" desak Winarti yang telah berdiri dan berganti mengecek buku catatannya.
"Memang sudah om-om, kan, Bu," sanggah Avreen.
"Ari itu masih muda. Cuma beda dua tahun di bawah Marley dan Prabu. Lebih tua setahun dari Panglima sama Mahapatih."
"Dia masang tampang serius terus. Jadi kayak tua."
"Ya, memang harus begitu, toh. Moso', dia cengengesan terus? Namanya juga lagi kerja." Winarti mengamati sang keponakan yang wajahnya mirip paras adik bungsunya waktu masih muda dulu. "Ari itu cakep. Lesung pipinya itu. Gemas Ibu," lanjutnya yang menyebabkan Nuriel dan Avreen tersenyum.
"Dia memang cakep, tapi aku lebih suka yang model Bang Hisyam. Manis, tinggi dan gagah. Atau, kayak Bang Zulfi dan Bang Yoga. Lumayan tinggi dan mature. Om Ari, pendek."
Gelakak Nuriel mengejutkan kedua perempuan tersebut. Sebelum akhirnya Winarti turut terkekeh, sedangkan Avreen mengulum senyuman.
03Siang menjelang sore itu, Jauhari tiba di kediaman Sultan bersama rekan-rekannya. Mereka tidak melewati pintu utama, melainkan melalui gerbang putih di sisi kanan bangunan. Belasan pria dan beberapa perempuan berpakaian safari hitam, melintasi taman samping sembari berbincang. Avreen yang berada di kamarnya di lantai dua, mengintip dari jendela yang terbuka separuh. Dia memerhatikan para ajudan lapis tiga dan empat yang berbelok ke kiri, hingga mereka menghilang di balik tembok. Avreen menduga jika tim pengawas unit kerja itu hendak melakukan rapat di base camp. Yakni bangunan tiga lantai yang berada di sisi kiri kolam renang. Perempuan berkulit putih bangkit berdiri. Dia menyambar ponsel dari meja rias dan memasukkannya ke saku celana, sebelum melangkah keluar kamar. Suara para bocah terdengar dari ruangan khusus bermain, yang berada di sebelah kiri kamar Avreen. Tempat itu dulunya adalah kamar Mayuree dan Marley. Setelah mereka menikah dan pindah ke rumah masing-masing, dua
04Avreen memerhatikan para lelaki yang tengah melakukan lomba renang. Dia turut berseru bersama penonton lainnya, kala Nuriel melesat meninggalkan para peserta lomba.Avreen yang berada di kursi teras, berdiri dan jalan cepat menyambangi ajudannya, yang baru tiba di tepi kolam. Avreen beradu toss dengan Nuriel, lalu dia berjoget untuk merayakan kemenangan sang pengawal. Nuriel bergegas naik dan turut bergoyang. Keduanya tidak peduli diteriaki yang lainnya. Terutama dari lawan Nuriel yang kalah lomba tersebut. "Riel, kamu makan apa, sih? Berenangnya cepat banget," tukas Yusuf sembari menggosokkan handuk ke badannya yang basah. "Biasa aja, Bang. Nggak ada yang spesial," jawab Nuriel yang telah berpindah duduk di bangku panjang bersama nonanya. "Mungkin Nuriel adalah titisan pesut," sela Jauhari sambil memasang tampang serius. "Bukan, dia dulunya belut," cakap Chalid, ajudan Panglima. "Cecurut," imbuh Aditya. "Ikan badut," lontar Hasbi. "Anjing laut," papar Jeffrey. "Singa laut
05"Ini, dari Ibu," tutur Avreen sambil mengulurkan tas belanja biru."Makasih," jawab Jauhari. Dia mengambil tas dan mengecek isinya. "Wangi seblak," ungkapnya sembari mengangkat satu wadah makanan plastik dari dalam tas. "Hu um. Kak Mala bikin banyak. Jadinya dibagikan." "Buatan Kak Mala pasti pedas." "Iya, tapi enak. Aku sampai nambah tadi." Jauhari menyunggingkan senyuman yang menjadikan lesung pipinya tercetak dalam. "Sekali lagi, makasih, Non." Avreen mengangguk. Dia mengamati lelaki yang tengah mengecek isi tas. "Om, kata Bang Varo, Om sudah cukup hafal wilayah Australia. Beneran?" "Lumayan. Aku hampir tiap bulan dinas di sana. Kadang sambil ngawal para bos, atau Bang W." "Habis ngecek kampusnya, aku pengen ke Brisbane." "Mau ngapain ke sana?" "Penasaran sama pantainya. Kata Bang Varo, bagus." Jauhari manggut-manggut. "Ya, memang bagus." "Bisa, kan?" "Lihat sikon, Non. Kalau waktunya cukup, kuantarkan ke sana. Kalau nggak, kita ke pantai di sekitar Sydney aja. Bagus
06"Abang tadi ngomong apa sama Non Avreen?" tanya Khairani. "Yang mana?" Jauhari balik bertanya. "Pas nonton tadi. Kalian ngobrol lama." "Oh. Dia nanya gerakan apa yang dipakai hero-nya. Kujelaskan." "Cuma ngomong gitu, tapi, kok, lama banget?" "Enggak, ahh. Sebentar, doang." "Pake nempel lagi." "Mana?" Jauhari mengerutkan dahi. "Kamu ngomongnya aneh. Kenapa?" desaknya. "Beneran deketan tadi. Sama-sama ngeseser mepet." "Jelaslah menggeser, kami kehalang satu kursi kosong." "Aku nggak suka." "Kenapa mesti begitu?" Khairani mendengkus. "Abang masih nggak paham juga." "Maksudnya?" "Kubilang, aku nggak suka. Peka dikit coba!"Jauhari tertegun sesaat, kemudian dia berkata, "Ran, sudah kujelaskan dari dulu, kalau aku cuma anggap kamu sebagai Adik. Aku nggak bisa ngubah hati buatmu." "Kenapa nggak bisa?" "Sulit dijelaskannya. Tapi, pastinya aku lebih nyaman kayak gini." "Aku cinta sama Abang." "I know that, dan terima kasih banyak. Tapi, aku beneran nggak bisa membalas cin
07Jalinan waktu terus berjalan. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu Avreen dan kedua sahabatnya. Mereka begitu antusias untuk memulai perjalanan panjang ke negeri kangguru. Alvaro dan Wirya serta Marley, melepas langsung keberangkatan kelompok pimpinan Nuriel. Ketiganya bersalaman dengan keempat pengawal muda, yang akan menjaga ketiga gadis, selama sebulan ke depan. Wirya mendekap anak buahnya satu per satu. Saat tiba giliran Jauhari, Wirya memeluk asiaten kesayangannya itu lebih lama. Hati Wirya gelisah, karena dia khawatir akan terjadi sesuatu hal yang tidak baik di tempat tujuan. "Dedi, Harzan dan Chatur, akan menemani kalian secara bergantian," ujar Wirya sembari mengurai dekapan. "Jangan lengah, Ri. Kamu andalanku, karena kamu paling senior," lanjutnya. "Ya, Bang," sahut Jauhari. "Jangan sungkan buat nelepon Mas Keven, Mas Bryan, Hansel atau Jourell. Mereka pasti langsung membantumu jika menemukan kendala." "Siap." "Kalau jadi ke Brisbane, hubungi Dilbert dan Kenrich. Merek
08Dedi, ketua pengawal area Australia dan New Zealand, menyambangi kelompok yang baru tiba di depan pintu keluar, terminal kedatangan Bandara Sydney. Dedi memberi hormat yang dibalas keempat pengawal tersebut dengan hal serupa. Mereka bersalaman dan saling mendekap sesaat. Kemudian Dedi berpindah untuk bersalaman dengan ketiga gadis. Dari kejauhan, seorang pria berbadan tegap mendekat dengan cepat. Harzan, ketua regu pengawal Jourell Cyrus, langsung mendekap Jauhari yang dianggapnya sebagai Abang kandung. Harzan adalah Adik Andara, asisten Zulfi. Dia juga merupakan saudara sepupu Khairani, dan Falea, istri Benigno Griffin Janitra. Harzan menjadikan Jauhari sebagai salah satu senior favoritnya. Terutama karena pria berlesung pipi tersebut sangat ramah. "Zan, kamu meluknya kekencangan. Aku kegencet!" protes Jauhari. "Aku beneran kangen sama Abang. Sudah lama kita nggak ketemu," sahut Harzan sembari memgurai dekapan, dan beralih menyalami Avreen serta yang lainnya. "Berapa lama, y
09Selama sehari berikutnya, kelompok pimpinan Nuriel bertandang ke kediaman Keven Kahraman, salah satu anggota tim 3 PG. Keven dan Aruna, istrinya, telah menetap di Sydney semenjak mereka belum menikah. Keven adalah putra angkat Timothy Arvhasatys, seorang pengusaha senior yang merupakan blasteran Indonesia dan New Zealand. Selain Keven, Bryan Chavas juga diangkat anak oleh Timothy. Kedua orang tua Keven dan Bryan adalah sahabat Timothy. Hingga pria tua tersebut memaksa untuk menjadikan kedua pria blasteran itu sebagai anak angkatnya. Timothy hanya memiliki seorang anak laki-laki bernama Hansel. Sebab itulah Timothy membutuhkan anak yang lain untuk membantunya meneruskan bisnis yang sudah dirintisnya sejak muda, di Australia dan New Zealand. Timothy yang menetap di Auckland, New Zealand, juga kerap mengunjungi kedua putra angkatnya, dan keempat cucu yang sangat disayanginya. Dikarenakan Hansel belum menikah, maka Timothy meanggap anak-anak Keven serta Bryan sebagai cucunya. Sela
10"Minggir!" desis Avreen sambil mendelik tajam pada pria berjaket hijau. "Judesnya," ledek Ernest. "Kamu cemberut gitu, tambah imut," godanya. Ernest terbeliak ketika Avreen mencengkeram pergelangan tangannya, dan memelintir hingga badan Ernest terpaksa berputar mengikuti gerakan cepat Avreen. "Kamu tambah jelek kalau meringis gitu," cibir Avreen, sebelum menancapkan kuku jemari kirinya ke tangan Ernest yang spontan memekik. "Suaramu kayak ba-nci!" celanya sembari menambah kekuatan cekalan. "Non, tahan," pinta Jauhari sambil berusaha melepaskan tangan Ernest dari cengkeraman sang nona. "Jangan dicegah! Ini bentuk balas dendamku setelah menjadi bahan taruhannya!" geram Avreen yang mengejutkan orang-orang di sekitar. "Aku tahu, tapi, bukan di sini tempatnya buat nyiksa dia." Jauhari memegangi tangan kanan Avreen sambil menggeleng dua kali. "Tantang saja dia nanti, buat duel sama Non," lanjutnya. "Aku nggak mau bertarung dengan perempuan!" jerit Ernest. "Oh, kalau begitu, kamu
77"Nanaonsn eta, Bang?" tanya Jauhari setelah tawanya berhenti. "Luna dan teman-temannya butuh boneka hidup. Akhirnya kami yang jadi korban. Daripada mereka maksa dandanin adik-adiknya? Bahaya," jawab Wirya. "Bentar, kufoto dulu," seloroh Harzan. "Jangan disebarkan, Zan. Tak pites, Kowe!" ancam Benigno yang menyebabkan Harzan terkekeh. "Kalian, ngapain nelepon?" tanya Zulfi. "Ada tim Stanford di depan. Mereka menyampaikan info, jika kelompok Graciano akan berperang melawan kelompok Tuan Reichard," jelas Jauhari. "Terus?" "Mereka minta tim kita buat nyusun strategi." "Tolak!" tegas Wirya. "Siap," balas Jauhari. "Aku masih belum percaya sepenuhnya sama mereka. Takutnya itu, saat diperiksa polisi, tim kita dikambingbirukan." Jauhari meringis. "Aya kitu, kambing biru?" "Tiasa di-cat." Nadhif dan rekan-rekannya terbahak. Sedangkan Jauhari tersenyum lebar. Di seberang benua, Wirya dan yang lainnya juga tengah cengengesan. "Ada lagi yang mau diomongin?" tanya Wirya. "Ya. Gord
76Kedatangan para petugas polisi kantor pusat pada Sabtu pagi menjelang siang, menjadikan Jauhari gembira, karena Gilbert, Paul dan Harper juga mengajak keluarga mereka berkunjung ke lapas kejaksaan. Keempat bocah serentak mengangguk, ketika diajak Yusuf untuk melihat isi caravan. Sedangkan kedua anak Gilbert yang sudah remaja, justru sibuk berbincang dengan Jauhari. Nicoline dan Lenard, bergantian bertanya pada Jauhari tentang kasus yang menimpa pria berlesung pipi terpaksa. Kedua remaja berambut pirang gelap, bahkan mencatat dan merekam penjelasan Jauhari. Gilbert meringis ketika Lenard berkata bila dirinya ingin berkaries sebagai pengawal. Menurut Lenard, karier sebagai bodyguard lebih menantang dibandingkan menjadi polisi, seperti daddy-nya. "Berapa usiamu?" tanya Jauhari. "16 tahun," jawab Lenard. "Kalau kamu?" desaknya. "31.""Apa kamu sudah menikah?" "Belum, tapi aku tengah merencanakan pernikahan dengan kekasihku." "Yang itu, bukan?" Nicoline menunjuk Avreen yang teng
75Bulan Mei berganti menjadi Juni. Musim gugur telah berakhir dan hawa musim dingin mulai terasa. Orang-orang mengeluarkan jaket tebal dan berbagai atribut lainnya, untuk bersiap-siap menghadapi musim paling sejuk di Australia. Pagi itu, Avreen tengah berias, ketika Aisyah memasuki kamarnya dengan raut wajah tegang. Sang ajudan tidak mengatakan apa pun dan langsung menarik tangan kanan nonanya menuju luar kamar. Avreen membeliakkan mata, ketika melihat Jauhari telah berada di ruang tamu. Dia masih terperangah, ketika pria berjaket abu-abu tebal itu menyambanginya sambil membawa kotak kue kecil. "Happy birthday, Sayang," ucap Jauhari seraya tersenyum. "Ehm, ya, makasih," sahut Avreen. "Abang, kenapa bisa ada di sini?" tanyanya. "Aku diminta jadi saksi kasus penyerbuan Mason ke lapas, tempo hari. Kebetulan, Bang Harper yang ngawal, dan aku minta diantarkan ke sini dulu. Sebelum ke kantor pengadilan." "Abang bikin aku kaget." "Sukses berarti kejutannya." "Hu um." "Tiup dulu lil
74Hari berganti menjadi minggu. Pasukan pengganti telah tiba dan ditempatkan di unit apartemen, di sebelah kanan unitnya Avreen. Seusai beristirahat selama beberapa jam, Qadry, Jeffrey dan ketujuh pengawal muda, berangkat menuju kediaman Keven, untuk melaporkan wajah-wajah pengawal baru angkatan 18. Kedatangan mereka disambut hangat oleh Keven, Aruna, Bryan, Sekar, Jourell, Vlorin, Cayden dan Geoff yang berkumpul di sana sejak sore tadi. Begitu pula dengan Dedi dan rekan-rekannya yang kebetulan tengah off. "Sudah siap serah terima jabatan, Dhif?" tanya Dedi sambil memandangi pengawal lapis 7 tersebut. "Siap," balas Nadhif. "Walaupun aku deg-degan harus mimpin pasukan besar, tapi insyaallah, aku bisa meneruskan kerja keras Abang selama 3 tahun terakhir di sini," lanjutnya. "Petugas pengganti, namanya siapa saja?" Nadhif menunjuk pria muda di sebelah kanannya. "Ini, Yovhi. Seterusnya, Firman, Banyu, Singgih, Zakaria dan Nurikmas," jelasnya. "Banyu, wajahmu mirip sama Eros," sela
73Jalinan waktu terus bergulir. Bulan berganti dengan cepat, hingga nyaris tidak dirasakan oleh manusia di seluruh dunia. Jauhari dan tim Rupert, telah diizinkan untuk beraktivitas di luar sel. Setiap pagi hingga siang, mereka akan mengerjakan apa pun untuk membantu petugas. Jauhari lebih menyukai kegiatan bersih-bersih. Dia bisa berjam-jam di bagian laundry, ataupun menyapu halaman di sekitar bangunan. Tim Rupert yang cukup berbakat memasak, menjadikan para koki senang, karena mereka sanggup menjadi asisten andalan. Pagi itu, seperti biasa, Jauhari keluar dari pintu samping sambil membawa sapu bergagang panjang. Dia memulai rutinitas sembari mendengarkan musik dari earphone. Jauhari tidak menyadari jika tengah diperhatikan beberapa orang dari dalam bangunan. Dia meneruskan menyapu dan memindahkan sampah ke drum. Kemudian Jauhari mencuci tangannya di wastafel luar. "Apa dia pembunuh Daymion?" tanya pria bercambang, sambil memerhatikan Jauhari yang sedang mengusap wajahnya denga
72Rombongan dari Hervey Bay tiba di Sydney siang itu. Mereka langsung menemui keluarga masing-masing yang menunggu di hotel milik keluarga Arvasathya. Seusai bersantap di restoran utama, mereka beranjak menuju kamar yang ditempati sejak 5 hari silam. Tim Yusuf dan tim Taylor juga diinapkan di sana, supaya mereka bisa beristirahat, sebelum bertugas kembali esok hari. Matahari bergerak cepat menuju barat. Langit perlahan menggelap, hingga sang surya benar-benar tenggelam di garis cakrawala. Malam harinya, seusai salat Magrib, tim PBK berangkat menuju kantor polisi pusat. Dua unit mobil MPV hitam melesat di jalan raya yang cukup lengang, karena hari itu merupakan penghujung minggu. Puluhan menit berlalu, kelompok Alvaro telah berada di ruang tunggu. Mereka berbincang dengan Jauhari dan Loko, yang turut menemani di dalam sel. "Jadi, aku nggak dipindahkan ke lapas umum?" tanya Jauhari. "Ya. Tim pengacaramu berhasil meyakinkan pihak kejaksaan, jika akan sangat berbahaya bila kamu dip
71Peristiwa yang terjadi siang tadi di Hervey Bay, menjadi trending topic di semua media sosial. Pro dan kontra bermunculan. Banyak yang lebih mendukung perlawanan tim PBK, dan menganggap polisi setempat sangat lamban dalam menangani kasus tersebut. Cayden telah menghubungi temannya sesama pengacara yang bermukim di sana, untuk mendampingi tim PBK. Cayden dan Geoff juga sudah berangkat ke Hervey Bay bersama dua asisten mereka, serta Andrew, direktur operasional Arvasathya Grup. Andrew merupakan sahabat Keven semenjak beberapa tahun silam. Pria berbadan tinggi besar itu juga pernah mendekam di sel penjara kantor polisi Sydney, karena ikut berkelahi bersama Keven, melawan kelompok penjahat yang dikerahkan lawan bisnis mereka. Kelompok Cayden tiba saat hari sudah malam. Tanpa beristirahat, mereka langsung bergabung dengan teman-teman pengacara, yang tengah berusaha membebaskan para pengawal PBK dan semua bos yang terlibat dalam pertempuran tadi siang. "Kalian sudah makan?" tanya Cay
70Khairani mendekap keluarganya satu per satu. Saat tiba di depan Benigno, keduanya saling menatap sesaat, sebelum pria berparas blasteran itu memeluk Adik iparnya, yang langsung terisak-isak Akrab sejak bertahun-tahun silam, menjadikan Benigno menganggap Khairani sebagai Adik kandungnya. Begitu pula sebaliknya. Bagi Khairani, Benigno adalah Kakak tertua sekaligus jadi panutannya dan semua saudara Falea. Benigno mencium puncak kepala Khairani dengan segenap rasa sayang. Dia tahu, jika gadis dalam dekapannya memang harus pergi menjauh, untuk mengobati hatinya yang terluka karena cinta. "Jangan keluyuran sendiri, Ran. Tunggu Novan atau Syafid datang ke Belanda, baru kamu bisa keliling tempat wisata," tutur Benigno seusai mengurai dekapan. "Syamsiah dan Abyaz itu junior, mereka belum tahu sikon. Jadi kamu yang harus lebih mengarahkan mereka dan para sekuriti serta junior lainnya di sana," tambah Benigno. "Kalau ada masalah, usahakan untuk diselesaikan sendiri. Nggak sanggup, seger
69Berita tentang rencana pernikahan Jauhari dan Avreen, akhirnya sampai pada Khairani. Gadis tersebut memutuskan untuk menyendiri dan lebih banyak diam. Hal itu tentu saja membingungkan teman-teman satu mess. Sebab biasanya Khairani akan ceria. Terutama setelah mudik dari kampung halamannya. Andara yang tahu penyebab sepupunya murung, tidak bisa melakukan apa pun. Begitu pula dengan Falea. Andara yang baru tiba kemarin sore dari Sydney bersama orang tuanya, mengajak Khairani untuk menginap di rumah Falea. Namun, ditolak gadis berpipi tembam tersebut, dengan alasan tengah tidak enak badan. Andara mengajak Falea dan Benigno berbincang di ruang kerja. Supaya tidak terdengar keluarga lainnya yang tengah berkumpul di ruangan depan. "Dia sedang parah hati, Ra. Nggak bisa dinasihati. Mental semuanya," keluh Falea. "Wajar itu. Rani sedang dalam proses melupakan, lalu ada kabar kayak gini. Dia pasti kaget," sahut Benigno. "Kupikir ikut terapi bisa membuatnya cepat melupakan Bang Ari. T