Suara dengungan lebah seolah berputar di sekeliling Hazel. Dia tertegun di tempatnya. Kata-kata yang baru saja dia dengar seperti sebuah hantaman batu besar yang menimpa kepalanya.
“Tega sekali kau melakukan itu,” ucap Hazel lirih, lalu mundur ke belakang. Tubuhnya membentur dinding, menimbulkan rasa nyeri di punggung.“Aku hanya melakukan hal yang semestinya. Itu adalah ganjaran dari perbuatanmu padaku,” ucap Dean santai.Dean perlahan melangkah masuk ke dalam. Sebuah kursi tanpa sandaran menarik perhatiannya. Dia pun mendudukinya dengan gaya yang anggun tidak tercela.“Aku tidak percaya kau mengatakannya. Apa alasannya kau melakukan itu?!” teriak Hazel histeris. Laki-laki angkuh di depannya itu berani bermain-main dengan nasibnya.Dean membuka jaketnya. Dia mengeluarkan koran yang telah selesai dia baca, lalu melemparnya tepat mengenai tubuh Hazel. Sorot matanya memancarkan kebencian saat menatap wajah pucat Hazel."Lihat ulahmu! Karena dirimu, reputasi perusahaanku hancur, dan nilai sahamku menurun," ucap Dean tidak kalah sengit.Hazel membungkuk, meraih koran itu. Dia membaca sederet judul berita yang tiba-tiba membuat kepalanya pening. Tangannya gemetar, dan tidak mampu menahan koran itu hingga jatuh tepat di depan kakinya."Apa maksudmu sebenarnya?""Bukankah semua tercetak dengan jelas di koran itu. Kau menjual cerita ke mereka, dan mendapatkan imbalan yang sangat besar," jawab Dean sinis.Hazel menatap Dean. Mulutnya menganga saat mencerna kata-kata Dean. Tuduhan itu tidak bisa dibuktikan kebenarannya."Kau salah paham. Aku tidak pernah melakukan semua tuduhanmu itu. Aku tidak mungkin berbuat hal yang serendah itu," ucap Hezel berusaha menjelaskan kesalahpahaman di antara mereka."Percuma saja berkelit. Buktinya sudah terpampang nyata," sergah Dean, lalu melanjutkan, "Tidak ada orang lain yang mengetahui fakta di balik berita itu kecuali dirimu."Hazel memegang kepalanya. Dia berjalan mondar-mandir, memikirkan kata-kata yang ingin dia ucapkan pada Dean. Tuduhan yang dilemparkan Dean padanya sama sekali tidak benar. Dia tidak pernah mengirim cerita ke koran itu."Aku tidak mungkin melakukannya. Setelah adikku meninggal, aku memutuskan untuk membuang jauh-jauh rasa benciku pada adikmu," ucap Hazel. Dia menatap lekat-lekat wajah Dean, berharap laki-laki itu mau percaya padanya."Aku masih ingat ancamanmu tempo hari. Saat itu kau bilang akan membawa masalah adikmu dan adikku ke salah satu portal berita. Jadi, percuma saja kau berkelit."Dean bangkit berdiri. Tidak ada lagi yang ingin dia sampaikan. Dia melangkah cepat meninggalkan Hazel yang masih terpaku di tempatnya.***Hari berikutnya.Hazel berhenti di depan sebuah kedai sederhana yang kebetulan dia lewati. Sejenak dia ragu-ragu untuk masuk ke dalamnya. Dari balik dinding kaca dia melihat seorang laki-laki sedang membawa sebuah kamera dan bersembunyi di balik pohon besar, lalu memfotonya.Hazel memilih diam di tempatnya sambil memperhatikan gelagat orang itu. Dia melirik ke samping kanan dan kirinya. Kebetulan sepi. Dalam langkah cepat dia membalikkan badannya, dan berlari ke arah laki-laki itu."Apa kau sudah mendapatkan semua yang diminta oleh bosmu? Hah?"Hazel menarik paksa kamera yang dipegang oleh laki-laki itu dengan mudah karena lawannya dalam posisi tidak siap. Laki-laki asing itu tidak pernah menduga mendapatkan kejutan seperti ini. Hazel mengalungkan tali kamera di lehernya."Berikan kameranya padaku!" perintah laki-laki itu dengan nada gusar. Wajahnya memerah. Dia berusaha merebut kameranya kembali, tapi gagal. "Kejar aku bila kau ingin mendapatkan ini," tantang Hazel. Dia segera melesat secepat kilat, melewati deretan toko-toko dan motor-motor yang diparkir di pinggir jalan.Hazel berlari secara zig-zag, sengaja mengecoh lawannya yang tentu saja lebih kuat dari dirinya. Dia melewati gang-gang kecil, mencari jalan tikus untuk menghindari kejaran laki-laki itu.Setelah yakin dia tidak mungkin terkejar lagi, Hazel menghentikan sebuah taksi yang kebetulan lewat di depannya. Dia langsung masuk ke dalamnya, dan menarik napas lega.***"Apa katamu? Dasar tidak becus bekerja!" maki Dean kesal.Dean melemparkan ponselnya asal.Hatinya serasa mendidih. Detektif swasta yang dia sewa tidak bisa melaksanakan pekerjaannya dengan sempurna. Sangat mengecewakan!Belum habis rasa kesalnya, Dean dikejutkan oleh suara pintu ruangannya yang terdorong hingga terbuka lebar. Setelah itu Hazel muncul di depan pintu, lalu berjalan perlahan memasuki ruangannya. Gadis itu menyeringai dan melambaikan tangan dengan santai."Maafkan saya, Tuan. Dia memaksa masuk ke sini," ucap asistennya dengan raut wajah ketakutan."Tinggalkan kami berdua," perintah Dean pada gadis muda yang telah menjadi asistennya selama dua tahun terakhir.Dean menatap Hazel tajam. Kedua tangannya terkepal erat. Tentu saja dia tidak menduga akan mendapatkan kejutan seperti ini."Aku kembalikan ini padamu," kata Hazel.Hazel menarik kamera yang tergantung di lehernya. Tanpa rasa bersalah dia melempar benda itu keras hingga hancur berantakan. Tidak ada lagi yang tersisa.Prak!"Kau tidak perlu membayar orang untuk membayangi diriku. Aku dengan senang hati akan mendatangimu," bisik Hazel seperti ular yang berdesis.Hazel lalu melangkah perlahan. "Sejengkal demi sejengkal."Hazel berhenti tepat di depan Dean. Jarak mereka tinggal beberapa sentimeter. Hazel sama sekali tidak menampakkan rasa takut."Huh!"Dean mendengus kesal. Hembusan napasnya tepat mengenai wajah Hazel. "Apa yang kau inginkan?"Seketika Hazel tertawa terbahak-bahak, menganggap lucu pertanyaan Dean."Apa kau tidak salah bertanya?"Dean membalikkan badannya, sengaja menjauhi Hazel. Dia seolah kehabisan kata-kata. Tangannya terangkat memegang keningnya. Dia tidak pernah menduga Hazel akan muncul di hadapannya dengan berani."Kau tidak usah repot-repot mengawasiku. Buang-buang waktu saja," sambung Hazel."Kalau hanya itu yang bisa kau katakan, sebaiknya kau segera pergi dari sini," sergah Dean."Aku tidak keberatan melakukannya. Aku akan menghilang dari hadapanmu. Juga dari muka bumi ini."Hazel mundur beberapa langkah, lalu memutar tubuhnya. Dia berjalan tergesa-gesa meninggalkan ruangan Dean. Sekarang tidak ada lagi yang perlu dia khawatirkan. Dia sendirian, tidak ada orang yang akan menangisi kepergiannya.Butuh waktu beberapa saat hingga Dean memahami kata-kata Hazel. Dia langsung berlari keluar, ingin menyusul Hazel. Gadis itu benar-benar gila, makinya dalam hati.***Hazel tidak pernah merasa putus asa seperti sekarang. Selama ini dia mampu bertahan, bahkan saat dia harus kehilangan neneknya. Neneknya yang telah menggantikan peran ibunya sejak dia berusia lima tahun dan Olivia berusia beberapa bulan. Ibu kandungnya meninggalkan mereka, memilih hidup bersama laki-laki kaya raya yang menolak keberadaan keduanya.Hazel berhenti sebentar di depan gedung kantor Dean yang menjulang tinggi. Jantungnya berdegup kencang. Napasnya berhembus cepat. Bila semua ini harus berakhir, dia akan menerimanya dengan senang hati. Setidaknya dia tidak perlu merasa kehilangan lagi.Salah satu tangannya terangkat. Hazel menghitung sampai tiga, lalu memejamkan matanya. Dia berjalan cepat menuju jalan raya yang dilalui banyak kendaraan bermotor. Dia memutuskan untuk mati di depan sana, sebagai pengingat kekejaman seorang laki-laki yang bernama Dean.Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi ke arah Hazel. Sang sopir tidak mampu mengendalikan laju mobilnya karena dia tidak sempat menginjak rem. Mobil itu langsung menghantam tubuh Hazel, membuat gadis itu jatuh terpelanting tepat mengenai aspal. Darah segar mengalir dari kepala Hazel."Hazel ...."Dean berteriak, menatap tidak percaya ke arah tubuh Hazel yang tergeletak di jalan. Dia sudah terlambat. Hazel terkapar tidak berdaya.***"Jangan biarkan media menulis berita tentang kejadian ini!" perintah Dean melalui sambungan telepon pada asisten pribadinya."Hentikan segera. Aku tidak mau diriku masuk ke dalam koran atau tabloid yang terbit besok pagi," tukas Dean sambil menggertakkan giginya.Dean memasukkan ponselnya ke dalam saku jasnya. Dia menarik rambutnya yang tampak kusut. Rasanya kepalanya mau pecah. Siapa yang menyangka Hazel akan melakukan bunuh diri.Dean sangat menyesal karena tidak pernah memperhitungkan tentang kemungkinan itu terjadi tepat di depan kedua matanya. Hazel sungguh di luar dugaan. Hazel sangat berani dan sembrono.Dean terpaksa membawa Hazel ke sini. Ini adalah rumah persembunyiannya yang tidak mungkin tercium oleh para wartawan yang rakus ingin meliput berita tentang kejadian hari ini. Tempat yang tepat untuk Hazel memulihkan kondisinya.Arrgh.Dean menoleh. Sepertinya Hazel telah sadar. Dia langsung berbalik, menghampiri ranjang Hazel."Kepalaku sakit sekali," rintih Hazel sambil memegang kepalanya yang dilapisi perban."Tentu saja kau merasa sakit. Kau mengalami gegar otak yang cukup parah. Beruntungnya dokter pribadiku berhasil menyelamatkanmu," sahut Dean kasar."Di mana aku?" tanya Hazel kebingungan. Kedua matanya terbuka sedikit, dan menangkap ruangan asing yang belum pernah dia kunjungi."Di rumah persembunyianku. Tidak seorang pun tahu kau berada di sini," jawab Dean.Hazel tidak berbicara lagi. Dia menutup matanya kembali, dan memutuskan untuk tidur. Kepalanya terasa sangat sakit.Satu minggu kemudian.Hazel tengah duduk menghadap ke jendela. Di luar sana dia melihat hamparan halaman rumput yang menghijau. Meskipun dia merasa terpenjara di sini selama berhari-hari, dia bersyukur memiliki waktu untuk memulihkan kondisinya usai gagal mengakhiri hidupnya."Kau sudah bangun rupanya," ucap Dean tepat di belakangnya.Hazel hanya diam. Tidak menggubris kata-kata Dean. Tidak ada gunanya berdebat dengan laki-laki itu."Sekarang, setelah melihat keadaanmu yang jauh lebih baik, aku ingin menyampaikan sesuatu padamu," lanjut Dean. Dia melangkah maju, tepat berada di samping Hazel."Aku memutuskan sebaiknya kau tinggal di rumah ini agar tidak luput dari pengawasanku."Dean melirik Hazel yang hanya diam sejak tadi."Aku tidak ingin beberapa kejadian kemarin terulang kembali," terang Dean, sengaja menekan kalimatnya.Hazel tersenyum sinis. Kata-kata Dean seolah memojokkan dirinya. Posisinya di sini adalah seorang penjahat, jadi dia tidak punya hak untuk membela diri."Bukankah kau sendiri yang memulainya. Lucu sekali bila kau menimpakan semuanya padaku," balas Hazel akhirnya."Percuma saja berdebat denganmu. Sejak awal kau lah yang memulai semua ini," ujar Dean.Dean menghadap ke Hazel sambil bersandar pada kusen jendela. Dia memandang gadis itu lekat-lekat. Sepertinya kondisi Hazel benar-benar telah membaik. Nyatanya gadis itu mampu membalas ucapannya tidak kalah sengitnya."Kau akan tinggal di sini. Tidak gratis." Dean menekan kalimatnya. "Kau harus bekerja, sebagai asisten rumah tangga di kediamanku," tambah Dean.Hazel menoleh, menatap Dean lurus. Dadanya bergemuruh dengan jantung yang berdetak kencang. Laki-laki itu telah melampaui batas."Apa kau sudah gila?"“Apa kau gila?” tanya Hazel setengah berteriak.Hazel merapatkan bibirnya. Giginya saling beradu. Siapa yang menyangka hidupnya sekarang berada di tangan orang lain? Bukankah ini seperti lelucon bagi dirinya?“Seperti yang aku bilang tadi, kau akan bekerja di sini. Terlepas dari situasi dirimu yang tidak memiliki pekerjaan, aku bisa mengawasi dirimu kapan saja tanpa perlu khawatir kau akan melakukan tindakan yang bodoh,” ucap Dean santai.Hazel menatap Dean yang bersandar di kusen jendela dengan salah satu kaki menekuk dan satu tangannya masuk ke dalam saku celana jinsnya. Dean terlihat sangat tampan dengan pesonanya yang tidak dapat dipungkiri. Menyadari itu, Hazel memutar kepalanya, menghadap ke arah lain. Dia merasa takut hatinya tidak sanggup menahan diri hingga akhirnya jatuh cinta pada Dean.“Terserah. Aku yakin aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti perintahmu,” sahut Hazel akhirnya. Dia tidak ingin mendebat sesuatu yang mengakibatkan kekalahan baginya.“Kau bisa bekerja m
"Kau ….”Hazel berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya terangkat. Jari telunjuknya mengarah pada Brian yang sama terkejutnya dengan dirinya.“Kenapa kau berada di rumah kakakku?” seru Brian sambil geleng-geleng kepala.Brian belum sempat mendapatkan jawaban dari Hazel ketika Dean datang menyela. Dia terpaksa mengurungkan niatnya untuk mencerca Hazel dengan banyak pertanyaan. Mungkin nanti dia memiliki kesempatan untuk mencari tahu.“Sebaiknya kita makan malam dulu,” ucap Dean, lalu berjalan melewati adiknya.Hazel membantu Sana meletakkan piring-piring berisi makanan di atas meja. Sesekali dia melirik ke arah Brian, tidak jarang mereka saling bertatapan. Saat itu terjadi, Hazel segera memalingkan wajahnya. Tatapan Brian yang tajam seolah ingin menelan dia hidup-hidup."Kalau kau ingin tahu kenapa Hazel bisa tinggal di sini, jawabnya adalah karena aku yang menyuruhnya. Dia akan bekerja di rumah ini." Dean menjelaskan dengan santai, terlihat tidak peduli dengan wajah Brian yang berubah
Hazel terdiam selama beberapa saat. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sekarang waktu seolah berhenti berputar.“Kenapa tiba-tiba kau mengatakannya?” Hazel tersenyum masam setelah berhasil menguasai dirinya kembali.“Tidak ada alasan. Aku hanya ingin mengatakannya sekarang.” Dean mengedikkan bahunya. Setelah kejadian semalam, dia mulai menyadari dirinya telah melakukan kesalahan.Hening kembali. Hazel kehilangan kata-kata. Perasaan canggung melingkupi hatinya. “Rasanya sudah terlambat. Olivia telah pergi. Dia tidak mungkin mendengar permintaan maafmu,” kata Hazel. “Tapi, aku percaya. Meskipun kau tidak meminta maaf padanya secara langung, dia pasti telah memaafkanmu.”“Aku tahu itu,” gumam Dean. Dia menatap lurus ke arah Hazel. Ekspresi wajah gadis itu tidak bisa terbaca olehnya."Kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku akan kembali ke dapur," kata Hazel kemudian.Pikirnya, dia tidak mau berdiam diri terlalu lama di sini. Hanya berdua dengan Dean, membuat seluruh tubuhnya t
"Bisa kau ulangi sekali lagi? Wanita muda yang mana?" tanya Dean gusar. Dia menegakkan punggungnya, lalu duduk bersandar pada dinding."Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba datang, dan memaksa masuk ke dalam padahal aku sudah melarangnya," kata Hazel setengah berbisik. "Sekarang dia sedang duduk di ruang tamu. Dia bilang tidak akan pergi sebelum bertemu denganmu.""Kenapa kau tidak mengusirnya pergi? Seharusnya kau tahu apa yang perlu kau lakukan pada tamu tidak diundang itu," ucap Dean disertai geraman yang keras.Hazel menyentuh keningnya. Kepalanya mendadak terasa sakit. Dia tidak mau disalahkan begitu saja karena kejadian ini tidak pernah dia duga sama sekali."Aku tidak tahu. Kau tidak memperingatkan sebelumnya," kilah Hazel tidak kalah kesal. Setelah itu Hazel mendengar Dean memutus sambungan telponnya. Dia berdiam diri cukup lama, memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Hazel melirik kesal ke arah ruang tamu. Wanita itu membuat segalanya bertambah rumit."Bagaimana? Apa kau
"Apa kau ingin menceramahiku?"Hazel mundur beberapa langkah. Bibirnya bungkam seribu bahasa. Otaknya tiba-tiba buntu. Dia tidak memiliki ide apa pun untuk diungkapkan."Kenapa kau hanya diam? Kau seperti bukan Hazel yang aku kenal," sergah Dean setelah beberapa saat."Aku ...." Hazel tergagap. "Aku tidak berhak memberimu komentar karena aku tidak mengetahui permasalahanmu dengannya. Juga, itu bukan urusanku."Setelah mengucapkan kata-kata itu, Hazel bergegas meninggalkan Dean. Dia meletakkan koper Dean di kamar laki-laki itu. Lalu, dia masuk ke kamarnya sendiri. Malam semakin larut, dia ingin merebahkan tubuhnya yang terasa kaku.Sementara itu, Dean masih berdiam diri di ruang keluarga. Mantan kekasihnya telah meninggalkan rumahnya setengah jam lalu. Dia merenung dan tidak habis pikir, Gladis nekat datang ke sini setelah hubungan mereka berakhir. Padahal dulu dia sudah menegaskan tidak ingin bertemu dengan Gladis kembali."Aku sudah mengantar Gladis sampai ke rumahnya. Sepanjang perja
"Setelah makan malam, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Dean saat pelayan mengantar pesanan. Sejak tadi Khanza lebih banyak diam. Gadis itu seolah sengaja menghindari dirinya."Tidak ada. Aku ingin pulang secepatnya. Hari ini sangat berat bagiku," jawab Khanza malas-malasan."Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita segera menghabiskan makanan ini," timpal Dean.Dalam hati sebenarnya Dean tengah memendam rasa kesal. Acara makan malam ini bukan idenya, melainkan ide ayah Khanza. Seharusnya gadis itu bisa menjaga sikapnya. Setidaknya Khanza bisa berpura-pura sedikit, bukannya menunjukkan sikap menyebalkan seperti sekarang."Apa kau sudah memiliki seorang kekasih?" tanya Dean terus terang. Pertanyaannya itu membuat Khanza tersedak oleh makanannya.Khanza mengerjap beberapa kali. Buru-buru dia meraih gelas minumannya. Dadanya terasa sangat sesak. Pertanyaan Dean sungguh di luar dugaan."Maaf, kau tadi bertanya apa?" Khanza balas bertanya.Dean mendengus kesal. Bukankah tadi suaranya terdenga
“Aku keberatan dengan pernikahan ini. Karena ….”Mata Dean melebar saat melihat sosok yang menyusuri lorong aula tempat acara berlangsung. Sosok itu ramping dan berbalut busana dari satin berwarna merah maroon. Gaun itu berdesir mengiringi langkahnya yang mantap. Wajah wanita itu pucat, tapi penuh tekad. Sangat cantik. Gadis itu Hazel. Kakak kekasih adiknya. Dean pernah bertemu Hazel satu kali. Dean bergerak cepat. Dia membawa gadis itu menjauh sebelum acara sakral hari ini jatuh berantakan. “Berhenti di sini!”“Lepaskan tanganku!” bentak Hazel berusaha menepis tangan Dean. Cengkeraman di tangannya terlalu kuat, dia merasa kesulitan saat akan membebaskan dirinya. Dean bergeming. "Sebaiknya kau ikut aku keluar dari sini sekarang." Dia menarik, lebih tepatnya menyeret Hazel keluar dari gedung itu. Hazel meronta-ronta, tapi sia-sia. Seolah tubuhnya seringan kapas dan mudah dibawa ke mana-mana.“Sebaiknya kau diam kalau tidak ingin terluka,” ucap Dean tajam, lalu mengatupkan bibirnya
"Olivia … Olivia …,” ucap Hazel pelan memanggil adiknya yang telah meninggal.Tubuh Hazel bergetar, kedua lututnya seolah goyah. Beruntungnya dia bisa menjaga keseimbangannya agar tidak ambruk. Dia berhasil berpegangan pada dinding di belakangnya.“Sebaiknya kau duduk dulu.” Dean menyentuh pundak Hazel pelan. Tiba-tiba muncul rasa simpati di dalam hatinya. Menghibur seorang gadis yang sedang berduka bukanlah gayanya. Tapi di tengah suasana seperti ini, dia terpaksa mengesampingkan ego dan gengsinya. Hazel menoleh sebentar, menepis tangan Dean dengan kasar. “Aku tidak butuh perhatianmu.”“Aku sungguh-sungguh turut berdukacita atas kematian adikmu dan bayinya,” gumam Dean lirih dan kaku.Hazel mundur selangkah, membalikkan tubuhnya perlahan. Kini di depannya Dean tampak menjulang tinggi. Dia merasa terintimidasi oleh keberadaan laki-laki itu.“Bukan kalimat itu yang ingin aku dengar. Adikku tidak mungkin bangkit lagi setelah semua omong kosong yang keluar dari mulut jahatmu. Sekarang
"Setelah makan malam, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Dean saat pelayan mengantar pesanan. Sejak tadi Khanza lebih banyak diam. Gadis itu seolah sengaja menghindari dirinya."Tidak ada. Aku ingin pulang secepatnya. Hari ini sangat berat bagiku," jawab Khanza malas-malasan."Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita segera menghabiskan makanan ini," timpal Dean.Dalam hati sebenarnya Dean tengah memendam rasa kesal. Acara makan malam ini bukan idenya, melainkan ide ayah Khanza. Seharusnya gadis itu bisa menjaga sikapnya. Setidaknya Khanza bisa berpura-pura sedikit, bukannya menunjukkan sikap menyebalkan seperti sekarang."Apa kau sudah memiliki seorang kekasih?" tanya Dean terus terang. Pertanyaannya itu membuat Khanza tersedak oleh makanannya.Khanza mengerjap beberapa kali. Buru-buru dia meraih gelas minumannya. Dadanya terasa sangat sesak. Pertanyaan Dean sungguh di luar dugaan."Maaf, kau tadi bertanya apa?" Khanza balas bertanya.Dean mendengus kesal. Bukankah tadi suaranya terdenga
"Apa kau ingin menceramahiku?"Hazel mundur beberapa langkah. Bibirnya bungkam seribu bahasa. Otaknya tiba-tiba buntu. Dia tidak memiliki ide apa pun untuk diungkapkan."Kenapa kau hanya diam? Kau seperti bukan Hazel yang aku kenal," sergah Dean setelah beberapa saat."Aku ...." Hazel tergagap. "Aku tidak berhak memberimu komentar karena aku tidak mengetahui permasalahanmu dengannya. Juga, itu bukan urusanku."Setelah mengucapkan kata-kata itu, Hazel bergegas meninggalkan Dean. Dia meletakkan koper Dean di kamar laki-laki itu. Lalu, dia masuk ke kamarnya sendiri. Malam semakin larut, dia ingin merebahkan tubuhnya yang terasa kaku.Sementara itu, Dean masih berdiam diri di ruang keluarga. Mantan kekasihnya telah meninggalkan rumahnya setengah jam lalu. Dia merenung dan tidak habis pikir, Gladis nekat datang ke sini setelah hubungan mereka berakhir. Padahal dulu dia sudah menegaskan tidak ingin bertemu dengan Gladis kembali."Aku sudah mengantar Gladis sampai ke rumahnya. Sepanjang perja
"Bisa kau ulangi sekali lagi? Wanita muda yang mana?" tanya Dean gusar. Dia menegakkan punggungnya, lalu duduk bersandar pada dinding."Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba datang, dan memaksa masuk ke dalam padahal aku sudah melarangnya," kata Hazel setengah berbisik. "Sekarang dia sedang duduk di ruang tamu. Dia bilang tidak akan pergi sebelum bertemu denganmu.""Kenapa kau tidak mengusirnya pergi? Seharusnya kau tahu apa yang perlu kau lakukan pada tamu tidak diundang itu," ucap Dean disertai geraman yang keras.Hazel menyentuh keningnya. Kepalanya mendadak terasa sakit. Dia tidak mau disalahkan begitu saja karena kejadian ini tidak pernah dia duga sama sekali."Aku tidak tahu. Kau tidak memperingatkan sebelumnya," kilah Hazel tidak kalah kesal. Setelah itu Hazel mendengar Dean memutus sambungan telponnya. Dia berdiam diri cukup lama, memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Hazel melirik kesal ke arah ruang tamu. Wanita itu membuat segalanya bertambah rumit."Bagaimana? Apa kau
Hazel terdiam selama beberapa saat. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sekarang waktu seolah berhenti berputar.“Kenapa tiba-tiba kau mengatakannya?” Hazel tersenyum masam setelah berhasil menguasai dirinya kembali.“Tidak ada alasan. Aku hanya ingin mengatakannya sekarang.” Dean mengedikkan bahunya. Setelah kejadian semalam, dia mulai menyadari dirinya telah melakukan kesalahan.Hening kembali. Hazel kehilangan kata-kata. Perasaan canggung melingkupi hatinya. “Rasanya sudah terlambat. Olivia telah pergi. Dia tidak mungkin mendengar permintaan maafmu,” kata Hazel. “Tapi, aku percaya. Meskipun kau tidak meminta maaf padanya secara langung, dia pasti telah memaafkanmu.”“Aku tahu itu,” gumam Dean. Dia menatap lurus ke arah Hazel. Ekspresi wajah gadis itu tidak bisa terbaca olehnya."Kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku akan kembali ke dapur," kata Hazel kemudian.Pikirnya, dia tidak mau berdiam diri terlalu lama di sini. Hanya berdua dengan Dean, membuat seluruh tubuhnya t
"Kau ….”Hazel berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya terangkat. Jari telunjuknya mengarah pada Brian yang sama terkejutnya dengan dirinya.“Kenapa kau berada di rumah kakakku?” seru Brian sambil geleng-geleng kepala.Brian belum sempat mendapatkan jawaban dari Hazel ketika Dean datang menyela. Dia terpaksa mengurungkan niatnya untuk mencerca Hazel dengan banyak pertanyaan. Mungkin nanti dia memiliki kesempatan untuk mencari tahu.“Sebaiknya kita makan malam dulu,” ucap Dean, lalu berjalan melewati adiknya.Hazel membantu Sana meletakkan piring-piring berisi makanan di atas meja. Sesekali dia melirik ke arah Brian, tidak jarang mereka saling bertatapan. Saat itu terjadi, Hazel segera memalingkan wajahnya. Tatapan Brian yang tajam seolah ingin menelan dia hidup-hidup."Kalau kau ingin tahu kenapa Hazel bisa tinggal di sini, jawabnya adalah karena aku yang menyuruhnya. Dia akan bekerja di rumah ini." Dean menjelaskan dengan santai, terlihat tidak peduli dengan wajah Brian yang berubah
“Apa kau gila?” tanya Hazel setengah berteriak.Hazel merapatkan bibirnya. Giginya saling beradu. Siapa yang menyangka hidupnya sekarang berada di tangan orang lain? Bukankah ini seperti lelucon bagi dirinya?“Seperti yang aku bilang tadi, kau akan bekerja di sini. Terlepas dari situasi dirimu yang tidak memiliki pekerjaan, aku bisa mengawasi dirimu kapan saja tanpa perlu khawatir kau akan melakukan tindakan yang bodoh,” ucap Dean santai.Hazel menatap Dean yang bersandar di kusen jendela dengan salah satu kaki menekuk dan satu tangannya masuk ke dalam saku celana jinsnya. Dean terlihat sangat tampan dengan pesonanya yang tidak dapat dipungkiri. Menyadari itu, Hazel memutar kepalanya, menghadap ke arah lain. Dia merasa takut hatinya tidak sanggup menahan diri hingga akhirnya jatuh cinta pada Dean.“Terserah. Aku yakin aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti perintahmu,” sahut Hazel akhirnya. Dia tidak ingin mendebat sesuatu yang mengakibatkan kekalahan baginya.“Kau bisa bekerja m
Suara dengungan lebah seolah berputar di sekeliling Hazel. Dia tertegun di tempatnya. Kata-kata yang baru saja dia dengar seperti sebuah hantaman batu besar yang menimpa kepalanya.“Tega sekali kau melakukan itu,” ucap Hazel lirih, lalu mundur ke belakang. Tubuhnya membentur dinding, menimbulkan rasa nyeri di punggung.“Aku hanya melakukan hal yang semestinya. Itu adalah ganjaran dari perbuatanmu padaku,” ucap Dean santai. Dean perlahan melangkah masuk ke dalam. Sebuah kursi tanpa sandaran menarik perhatiannya. Dia pun mendudukinya dengan gaya yang anggun tidak tercela.“Aku tidak percaya kau mengatakannya. Apa alasannya kau melakukan itu?!” teriak Hazel histeris. Laki-laki angkuh di depannya itu berani bermain-main dengan nasibnya. Dean membuka jaketnya. Dia mengeluarkan koran yang telah selesai dia baca, lalu melemparnya tepat mengenai tubuh Hazel. Sorot matanya memancarkan kebencian saat menatap wajah pucat Hazel."Lihat ulahmu! Karena dirimu, reputasi perusahaanku hancur, dan ni
"Benarkah itu?" Hazel menatap Dean dengan sorot tidak percaya. Sungguh di luar dugaan. Hidupnya kini tidak sama lagi. Hazel merasa seperti ditelanjangi."Katakan padaku. Apakah kau benar-benar memata-matai diriku?" tanya Hazel mencoba untuk tidak mempercayai perkataan Dean sebelumnya."Coba kau tebak kenapa aku bisa melakukannya?" tantang Dean secara terang-terangan. "Aku tidak menyangka kau bisa bertindak serendah itu," balas Hazel dengan ekspresi jijik yang tercetak jelas di wajahnya.Dean mengibaskan tangannya sesantai mungkin. Cukup sering dia mendengar umpatan kasar seperti itu, lebih-lebih dari mantan-mantan kekasihnya. Dia pun menyadari ternyata di mana pun perempuan sama saja, suka merajuk sekaligus mengumpat."Aku tidak mempunyai pilihan lain. Nama baik keluargaku lebih penting dibandingkan dengan hidupmu yang tidak memiliki apa-apa," jawab Dean ringan, seolah tidak terbebani sama sekali.Sejak kemarin dia telah menyuruh asisten pribadinya untuk memeriksa semua informasi ya
"Olivia … Olivia …,” ucap Hazel pelan memanggil adiknya yang telah meninggal.Tubuh Hazel bergetar, kedua lututnya seolah goyah. Beruntungnya dia bisa menjaga keseimbangannya agar tidak ambruk. Dia berhasil berpegangan pada dinding di belakangnya.“Sebaiknya kau duduk dulu.” Dean menyentuh pundak Hazel pelan. Tiba-tiba muncul rasa simpati di dalam hatinya. Menghibur seorang gadis yang sedang berduka bukanlah gayanya. Tapi di tengah suasana seperti ini, dia terpaksa mengesampingkan ego dan gengsinya. Hazel menoleh sebentar, menepis tangan Dean dengan kasar. “Aku tidak butuh perhatianmu.”“Aku sungguh-sungguh turut berdukacita atas kematian adikmu dan bayinya,” gumam Dean lirih dan kaku.Hazel mundur selangkah, membalikkan tubuhnya perlahan. Kini di depannya Dean tampak menjulang tinggi. Dia merasa terintimidasi oleh keberadaan laki-laki itu.“Bukan kalimat itu yang ingin aku dengar. Adikku tidak mungkin bangkit lagi setelah semua omong kosong yang keluar dari mulut jahatmu. Sekarang