Share

Serangan Balik

Penulis: NayNay
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Benarkah itu?"

Hazel menatap Dean dengan sorot tidak percaya. Sungguh di luar dugaan. Hidupnya kini tidak sama lagi. Hazel merasa seperti ditelanjangi.

"Katakan padaku. Apakah kau benar-benar memata-matai diriku?" tanya Hazel mencoba untuk tidak mempercayai perkataan Dean sebelumnya.

"Coba kau tebak kenapa aku bisa melakukannya?" tantang Dean secara terang-terangan.

"Aku tidak menyangka kau bisa bertindak serendah itu," balas Hazel dengan ekspresi jijik yang tercetak jelas di wajahnya.

Dean mengibaskan tangannya sesantai mungkin. Cukup sering dia mendengar umpatan kasar seperti itu, lebih-lebih dari mantan-mantan kekasihnya. Dia pun menyadari ternyata di mana pun perempuan sama saja, suka merajuk sekaligus mengumpat.

"Aku tidak mempunyai pilihan lain. Nama baik keluargaku lebih penting dibandingkan dengan hidupmu yang tidak memiliki apa-apa," jawab Dean ringan, seolah tidak terbebani sama sekali.

Sejak kemarin dia telah menyuruh asisten pribadinya untuk memeriksa semua informasi yang berkaitan dengan Hazel. Dia cukup puas dengan hasil kerja asistennya. Informasi yang dia peroleh tidak ada yang terlewatkan sedikit pun.

"Aku harus memastikan kau tidak akan mengacaukan semua yang telah aku bangun dengan susah payah." Dean menambahkan.

"Berani betul kau," tukas Hazel

Hazel melangkah cepat, lalu berhenti tepat di depan Dean. Dadanya kembang kempis menahan amarah yang menggelegak. Dia merasa mual. Rasanya dia ingin mengeluarkan semua yang ada di dalam perutnya.

"Tidak ... aku tidak akan terpancing olehmu," ucap Hazel sambil menggelengkan kepalanya, lalu mundur pelan-pelan.

"Sudah jelas bukan. Kau tinggal menyambar kesempatan yang aku berikan. Setelah itu kau bisa pergi sejauh mungkin. Jangan pernah menampakkan wajahmu di depanku lagi!" ucap Dean ketus.

Mendengar kata-kata Dean membuat Hazel tertawa histeris. Gaung suara tawanya memenuhi seisi ruangan ini. Tapi, dia tidak peduli. Isi kepalanya seolah mendesak ingin keluar.

"Jangan khawatir. Aku sama sekali tidak ingin bertemu atau berurusan denganmu . Sampai kapan pun. Ingat itu," balas Hazel tidak kalah sengit.

Tidak menunggu waktu lebih lama, Hazel langsung berjalan menghampiri pintu. Dia melirik Dean sekilas. Setelah itu dia mengayun langkah cepat meninggalkan ruangan itu. Dia bertekad tidak akan pernah menginjakkan kakinya di sana kembali.

****

Dua minggu berlalu dengan cepat.

Dean baru saja menghadiri rapat penting dengan dewan direksi perusahaannya. Mereka membahas rencana Dean yang ingin mengakuisisi perusahaan properti milik seorang janda tua yang tidak memiliki anak.

Rapat itu berjalan sangat alot karena sebagian besar anggota dewan direksi tidak menyetujui rencana Dean. Rapat itu pun menemui jalan buntu.

"Apa-apaan ini?"

Matanya melebar saat membaca sebuah judul berita yang dicetak tebal di koran terbitan hari ini. Koran itu tergeletak di atas meja kerjanya, dan dia belum sempat menyentuhnya. Dean mengucek kelopak matanya, lalu membaca deretan kata yang tidak ingin dia percaya.

"Seorang pengusaha muda menyebabkan kekasihnya, juga anaknya, meninggal di saat dia menyelenggarakan upacara pernikahan dengan wanita lain," ucap Dean membaca judul berita tersebut.

Dean langsung meremas koran itu hingga tidak berbentuk utuh. Hatinya seolah tersulut oleh api amarah. Kepalanya kini berdenyut-denyut. Hari ini sungguh terasa berat, ditambah lagi dengan berita di koran tersebut.

"Hazel!"

Nama itu muncul begitu saja di benaknya.

Dean menggeram marah. Tanpa berpikir dua kali, dia bisa menebak siapa pelaku utama dibalik berita tersebut. Siapa lagi kalau bukan gadis itu.

Gadis itu benar-benar di luar dugaan dan melewati batas. Inikah balasan yang diberikan oleh Hazel atas perbuatannya dua minggu yang lalu? Pembalasan ini tidak sepadan dengan kerugian yang akan dia terima setelah ini.

Saat itu Hazel berpura-pura menolak pemberiannya. Ternyata Hazel telah memiliki rencana lain. Dia menjual cerita tentang adiknya ke redaksi koran itu, lalu mendapatkan uang yang lebih banyak dari uang yang dia tawarkan.

Sungguh licik, batin Dean. Gadis itu terlihat lugu, tapi berani bermain api di belakangnya.

***

"Apa kau sudah melakukan perintahku?" Dean bertanya pada asisten pribadinya melalui panggilan telepon.

"Saya sudah menyuruh redaksi koran itu untuk menarik semua koran yang terbit hari ini," jawab asistennya.

"Satu lagi. Apa kau juga sudah membereskannya?"

"Ya, Tuan. Tuan tinggal menunggu kabar baik selanjutnya."

Dean menyeringai, tersenyum puas atas hasil kerja asisten pribadinya. Dia sangat memahami asistennya itu tidak akan pernah mengecewakannya. Dia mengetahui dia bisa mengandalkan asisten yang sudah dia anggap seperti sahabatnya sendiri.

"Baiklah kalau begitu. Aku akan menghubungimu lagi bila membutuhkan sesuatu," pungkas Dean sebelum mengakhiri panggilan teleponnya.

Hazel pasti tidak menyangka ada sebuah kejutan tengah menunggunya. Sebuah kejutan yang mampu menjungkirbalikkan hidupnya. Kita tunggu saja sebentar lagi, batin Dean dalam hati.

***

Beberapa hari kemudian.

Beralih ke tempat lain, lebih tepatnya di sebuah kedai makanan yang terletak di pinggir kota. Kedai itu terlihat ramai oleh pengunjung yang ingin menikmati makan malam. Tidak henti-hentinya tamu-tamu saling datang dan pergi secara bergantian.

Hazel mengusap peluhnya yang membasahi dahi. Sejak dua jam lalu dia belum sempat beristirahat karena harus melayani para pembeli sendirian. Hari ini teman kerjanya tidak masuk.

"Hazel... antarkan makanan ini ke meja nomor delapan," panggil si koki. Wanita paruh baya itu menyerahkan nampan berisi dua piring nasi goreng pada Hazel.

Hazel menurut. Dengan cekatan dia menghampiri meja itu lalu meletakkan piring di atas meja.

Setengah jam kemudian Hazel baru bisa beristirahat, dia duduk sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Kedua tangannya secara bergantian memijit kakinya yang terasa pegal.

"Kau disuruh menghadap ke ruangan bos," ucap koki tadi yang berdiri tidak jauh darinya.

Ekspresi wajah Hazel seketika berubah. Sedikit muram dan lesu. Kenapa tiba-tiba pemilik kedai mencarinya? Hazel bertanya di dalam hati.

"Apakah kau tahu alasan Bos memanggilku?"

Koki itu mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu. Bos hanya menyuruhku memanggilmu untuk segera datang ke ruangannya."

Jantung Hazel berdetak lebih kencang dari biasanya. Dia bergegas menuju ruangan bosnya, lalu berhenti tepat di depan pintu. Dia mengetuk pintu ruangan berukuran tiga kali tiga meter milik bosnya.

"Masuk ...." sahut si Bos dari dalam.

Hazel mendorong pintu di depannya, lalu segera menutupnya kembali. Dia berdiri tepat di depan bosnya seraya menunduk dalam. Kedua tangannya terkepal erat di atas pangkuan.

"Ambillah ini." Si bos mendorong sebuah amplop coklat ke arah Hazel.

Hazel mengangkat kepalanya. Dia menatap ke arah bosnya dengan sorot mata bingung. Hari ini bukan waktunya dia menerima gaji. Masih ada satu minggu tersisa sebelum itu terjadi.

"Apa itu, Bos?" tanya Hazel. Dia menelan ludahnya yang terasa pahit.

Hazel seolah mendapat firasat buruk. Melihat dari sikap bosnya yang aneh, dia merasa pantas untuk curiga. Dia berharap perkiraannya ini meleset, dan dia tidak perlu mengkhawatirkan apa pun

"Ini adalah uang pesangon serta gajimu untuk bulan ini. Hari ini hari terakhir kau kerja di sini," ucap laki-laki itu, menghindari tatapan Hazel.

Hazel seolah didorong menuju bibir tebing yang curam. Lalu, dia perlahan jatuh ke bawah. Dia menatap tidak percaya pada si bos yang selama ini sudah dia anggap seperti keluarganya sendiri.

"Kenapa tiba-tiba? Setidaknya Anda memberi tahuku alasan sebenarnya," desak Hazel.

"Tidak ada alasan. Aku hanya ingin kau berhenti kerja mulai sekarang," jawab si bos datar.

Mulut Hazel terbuka. Dia hendak melayangkan protes, tapi segera membatalkannya. Sepertinya percuma saja. Si bos tidak berani menatapnya.

"Terima kasih telah memberikan pekerjaan padaku selama ini. Selamat tinggal, Bos," ucap Hazel lalu meraih amplop coklat itu.

Melihat kondisinya yang setengah sadar, Hazel mengucap syukur karena telah berhasil sampai di depan tempat kosnya. Dia berjalan seperti orang linglung saat menaiki tangga menuju kamar kosnya yang berada di lantai dua gedung ini. Pikirannya berkecamuk, dia harus segera mencari pekerjaan kalau masih ingin bertahan hidup.

"Hazel ...." Panggil seseorang tepat sebelum dia membuka pintu kamarnya.

Hazel melongok ke bawah, mendapati induk semangnya menengadahkan kepalanya dan menatap dia lurus. Tidak seperti biasanya induk semangnya menemui dia selarut ini. Dia lalu buru-buru membuang jauh-jauh pikiran buruk yang sempat melintas di benaknya.

"Ya, Bu."

"Malam ini kau harus mengemasi semua barangmu. Besok ada orang lain yang akan menempati kamarmu," ucap wanita itu.

Wanita paruh baya itu tidak menunggu balasan Hazel. Dia langsung berbalik dan menghilang di tengah kegelapan. Dia seperti sedang terburu-buru atau dikejar setan.

Hazel masuk ke kamarnya. Tubuhnya merosot ke lantai. Air mata yang telah dia tahan sejak tadi akhirnya jebol juga. Dalam waktu berdekatan dia menerima pukulan bertubi-tubi. Dia merasa tidak mampu bertahan lagi.

Hazel menangis sesenggukan selama kurang lebih satu jam. Setelah merasa puas dan lega, dia memutuskan mengemas pakaian serta barang-barang miliknya. Dia tidak ingin terpuruk karena masalah yang tengah dia hadapi.

Terdengar pintu kamarnya diketuk seseorang. Hazel melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas malam. Hazel mengerutkan keningnya. Siapa gerangan yang ingin mengunjungi dia selarut ini?

Hazel segera membuka pintu karena tidak ingin orang itu menunggu dia terlalu lama. Dia tercengang sejenak saat mendapati Dean tengah berdiri di depan pintunya dengan malas-malasan.

"Ada perlu apa kau datang ke sini?" tanya Hazel tanpa bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Ternyata kau sudah berkemas," ucap Dean tidak menjawab pertanyaan Hazel.

Dean melihat ke sekeliling kamar itu dengan tersenyum mengejek. Dia memandang Hazel dari atas ke bawah, lalu berhenti tepat di wajah gadis itu. Raut wajah Hazel menggambarkan kebingungan yang kentara.

"Kenapa kau datang ke mari?" desak Hazel. Dia tidak pernah menyangka Dean datang ke sini.

"Aku hanya ingin melihat apakah kau masih di sini atau sudah pergi. Rupanya kau belum meninggalkan tempat ini," jawab Dean ringan.

Hazel seolah mendapat petunjuk atas semua kejadian yang menimpa dia hari ini usai mendengar kata-kata Dean. Mulutnya menganga lebar. Matanya menatap tidak percaya ke arah Dean.

"Tunggu sebentar. " Hazel memicingkan matanya, memasang ekspresi curiga. "Apakah kau yang melakukan semua ini padaku?"

Dean tersenyum lebar. Dia mengangguk pelan. "Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan aku."

Bab terkait

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Negosiasi

    Suara dengungan lebah seolah berputar di sekeliling Hazel. Dia tertegun di tempatnya. Kata-kata yang baru saja dia dengar seperti sebuah hantaman batu besar yang menimpa kepalanya.“Tega sekali kau melakukan itu,” ucap Hazel lirih, lalu mundur ke belakang. Tubuhnya membentur dinding, menimbulkan rasa nyeri di punggung.“Aku hanya melakukan hal yang semestinya. Itu adalah ganjaran dari perbuatanmu padaku,” ucap Dean santai. Dean perlahan melangkah masuk ke dalam. Sebuah kursi tanpa sandaran menarik perhatiannya. Dia pun mendudukinya dengan gaya yang anggun tidak tercela.“Aku tidak percaya kau mengatakannya. Apa alasannya kau melakukan itu?!” teriak Hazel histeris. Laki-laki angkuh di depannya itu berani bermain-main dengan nasibnya. Dean membuka jaketnya. Dia mengeluarkan koran yang telah selesai dia baca, lalu melemparnya tepat mengenai tubuh Hazel. Sorot matanya memancarkan kebencian saat menatap wajah pucat Hazel."Lihat ulahmu! Karena dirimu, reputasi perusahaanku hancur, dan ni

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Bertemu Kembali

    “Apa kau gila?” tanya Hazel setengah berteriak.Hazel merapatkan bibirnya. Giginya saling beradu. Siapa yang menyangka hidupnya sekarang berada di tangan orang lain? Bukankah ini seperti lelucon bagi dirinya?“Seperti yang aku bilang tadi, kau akan bekerja di sini. Terlepas dari situasi dirimu yang tidak memiliki pekerjaan, aku bisa mengawasi dirimu kapan saja tanpa perlu khawatir kau akan melakukan tindakan yang bodoh,” ucap Dean santai.Hazel menatap Dean yang bersandar di kusen jendela dengan salah satu kaki menekuk dan satu tangannya masuk ke dalam saku celana jinsnya. Dean terlihat sangat tampan dengan pesonanya yang tidak dapat dipungkiri. Menyadari itu, Hazel memutar kepalanya, menghadap ke arah lain. Dia merasa takut hatinya tidak sanggup menahan diri hingga akhirnya jatuh cinta pada Dean.“Terserah. Aku yakin aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti perintahmu,” sahut Hazel akhirnya. Dia tidak ingin mendebat sesuatu yang mengakibatkan kekalahan baginya.“Kau bisa bekerja m

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Pengakuan

    "Kau ….”Hazel berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya terangkat. Jari telunjuknya mengarah pada Brian yang sama terkejutnya dengan dirinya.“Kenapa kau berada di rumah kakakku?” seru Brian sambil geleng-geleng kepala.Brian belum sempat mendapatkan jawaban dari Hazel ketika Dean datang menyela. Dia terpaksa mengurungkan niatnya untuk mencerca Hazel dengan banyak pertanyaan. Mungkin nanti dia memiliki kesempatan untuk mencari tahu.“Sebaiknya kita makan malam dulu,” ucap Dean, lalu berjalan melewati adiknya.Hazel membantu Sana meletakkan piring-piring berisi makanan di atas meja. Sesekali dia melirik ke arah Brian, tidak jarang mereka saling bertatapan. Saat itu terjadi, Hazel segera memalingkan wajahnya. Tatapan Brian yang tajam seolah ingin menelan dia hidup-hidup."Kalau kau ingin tahu kenapa Hazel bisa tinggal di sini, jawabnya adalah karena aku yang menyuruhnya. Dia akan bekerja di rumah ini." Dean menjelaskan dengan santai, terlihat tidak peduli dengan wajah Brian yang berubah

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Sendirian

    Hazel terdiam selama beberapa saat. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sekarang waktu seolah berhenti berputar.“Kenapa tiba-tiba kau mengatakannya?” Hazel tersenyum masam setelah berhasil menguasai dirinya kembali.“Tidak ada alasan. Aku hanya ingin mengatakannya sekarang.” Dean mengedikkan bahunya. Setelah kejadian semalam, dia mulai menyadari dirinya telah melakukan kesalahan.Hening kembali. Hazel kehilangan kata-kata. Perasaan canggung melingkupi hatinya. “Rasanya sudah terlambat. Olivia telah pergi. Dia tidak mungkin mendengar permintaan maafmu,” kata Hazel. “Tapi, aku percaya. Meskipun kau tidak meminta maaf padanya secara langung, dia pasti telah memaafkanmu.”“Aku tahu itu,” gumam Dean. Dia menatap lurus ke arah Hazel. Ekspresi wajah gadis itu tidak bisa terbaca olehnya."Kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku akan kembali ke dapur," kata Hazel kemudian.Pikirnya, dia tidak mau berdiam diri terlalu lama di sini. Hanya berdua dengan Dean, membuat seluruh tubuhnya t

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Tidak Mungkin Kembali

    "Bisa kau ulangi sekali lagi? Wanita muda yang mana?" tanya Dean gusar. Dia menegakkan punggungnya, lalu duduk bersandar pada dinding."Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba datang, dan memaksa masuk ke dalam padahal aku sudah melarangnya," kata Hazel setengah berbisik. "Sekarang dia sedang duduk di ruang tamu. Dia bilang tidak akan pergi sebelum bertemu denganmu.""Kenapa kau tidak mengusirnya pergi? Seharusnya kau tahu apa yang perlu kau lakukan pada tamu tidak diundang itu," ucap Dean disertai geraman yang keras.Hazel menyentuh keningnya. Kepalanya mendadak terasa sakit. Dia tidak mau disalahkan begitu saja karena kejadian ini tidak pernah dia duga sama sekali."Aku tidak tahu. Kau tidak memperingatkan sebelumnya," kilah Hazel tidak kalah kesal. Setelah itu Hazel mendengar Dean memutus sambungan telponnya. Dia berdiam diri cukup lama, memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Hazel melirik kesal ke arah ruang tamu. Wanita itu membuat segalanya bertambah rumit."Bagaimana? Apa kau

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Tidak Bisa Dipercaya

    "Apa kau ingin menceramahiku?"Hazel mundur beberapa langkah. Bibirnya bungkam seribu bahasa. Otaknya tiba-tiba buntu. Dia tidak memiliki ide apa pun untuk diungkapkan."Kenapa kau hanya diam? Kau seperti bukan Hazel yang aku kenal," sergah Dean setelah beberapa saat."Aku ...." Hazel tergagap. "Aku tidak berhak memberimu komentar karena aku tidak mengetahui permasalahanmu dengannya. Juga, itu bukan urusanku."Setelah mengucapkan kata-kata itu, Hazel bergegas meninggalkan Dean. Dia meletakkan koper Dean di kamar laki-laki itu. Lalu, dia masuk ke kamarnya sendiri. Malam semakin larut, dia ingin merebahkan tubuhnya yang terasa kaku.Sementara itu, Dean masih berdiam diri di ruang keluarga. Mantan kekasihnya telah meninggalkan rumahnya setengah jam lalu. Dia merenung dan tidak habis pikir, Gladis nekat datang ke sini setelah hubungan mereka berakhir. Padahal dulu dia sudah menegaskan tidak ingin bertemu dengan Gladis kembali."Aku sudah mengantar Gladis sampai ke rumahnya. Sepanjang perja

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Kesal

    "Setelah makan malam, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Dean saat pelayan mengantar pesanan. Sejak tadi Khanza lebih banyak diam. Gadis itu seolah sengaja menghindari dirinya."Tidak ada. Aku ingin pulang secepatnya. Hari ini sangat berat bagiku," jawab Khanza malas-malasan."Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita segera menghabiskan makanan ini," timpal Dean.Dalam hati sebenarnya Dean tengah memendam rasa kesal. Acara makan malam ini bukan idenya, melainkan ide ayah Khanza. Seharusnya gadis itu bisa menjaga sikapnya. Setidaknya Khanza bisa berpura-pura sedikit, bukannya menunjukkan sikap menyebalkan seperti sekarang."Apa kau sudah memiliki seorang kekasih?" tanya Dean terus terang. Pertanyaannya itu membuat Khanza tersedak oleh makanannya.Khanza mengerjap beberapa kali. Buru-buru dia meraih gelas minumannya. Dadanya terasa sangat sesak. Pertanyaan Dean sungguh di luar dugaan."Maaf, kau tadi bertanya apa?" Khanza balas bertanya.Dean mendengus kesal. Bukankah tadi suaranya terdenga

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Tamu Tidak Diundang

    “Aku keberatan dengan pernikahan ini. Karena ….”Mata Dean melebar saat melihat sosok yang menyusuri lorong aula tempat acara berlangsung. Sosok itu ramping dan berbalut busana dari satin berwarna merah maroon. Gaun itu berdesir mengiringi langkahnya yang mantap. Wajah wanita itu pucat, tapi penuh tekad. Sangat cantik. Gadis itu Hazel. Kakak kekasih adiknya. Dean pernah bertemu Hazel satu kali. Dean bergerak cepat. Dia membawa gadis itu menjauh sebelum acara sakral hari ini jatuh berantakan. “Berhenti di sini!”“Lepaskan tanganku!” bentak Hazel berusaha menepis tangan Dean. Cengkeraman di tangannya terlalu kuat, dia merasa kesulitan saat akan membebaskan dirinya. Dean bergeming. "Sebaiknya kau ikut aku keluar dari sini sekarang." Dia menarik, lebih tepatnya menyeret Hazel keluar dari gedung itu. Hazel meronta-ronta, tapi sia-sia. Seolah tubuhnya seringan kapas dan mudah dibawa ke mana-mana.“Sebaiknya kau diam kalau tidak ingin terluka,” ucap Dean tajam, lalu mengatupkan bibirnya

Bab terbaru

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Kesal

    "Setelah makan malam, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Dean saat pelayan mengantar pesanan. Sejak tadi Khanza lebih banyak diam. Gadis itu seolah sengaja menghindari dirinya."Tidak ada. Aku ingin pulang secepatnya. Hari ini sangat berat bagiku," jawab Khanza malas-malasan."Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita segera menghabiskan makanan ini," timpal Dean.Dalam hati sebenarnya Dean tengah memendam rasa kesal. Acara makan malam ini bukan idenya, melainkan ide ayah Khanza. Seharusnya gadis itu bisa menjaga sikapnya. Setidaknya Khanza bisa berpura-pura sedikit, bukannya menunjukkan sikap menyebalkan seperti sekarang."Apa kau sudah memiliki seorang kekasih?" tanya Dean terus terang. Pertanyaannya itu membuat Khanza tersedak oleh makanannya.Khanza mengerjap beberapa kali. Buru-buru dia meraih gelas minumannya. Dadanya terasa sangat sesak. Pertanyaan Dean sungguh di luar dugaan."Maaf, kau tadi bertanya apa?" Khanza balas bertanya.Dean mendengus kesal. Bukankah tadi suaranya terdenga

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Tidak Bisa Dipercaya

    "Apa kau ingin menceramahiku?"Hazel mundur beberapa langkah. Bibirnya bungkam seribu bahasa. Otaknya tiba-tiba buntu. Dia tidak memiliki ide apa pun untuk diungkapkan."Kenapa kau hanya diam? Kau seperti bukan Hazel yang aku kenal," sergah Dean setelah beberapa saat."Aku ...." Hazel tergagap. "Aku tidak berhak memberimu komentar karena aku tidak mengetahui permasalahanmu dengannya. Juga, itu bukan urusanku."Setelah mengucapkan kata-kata itu, Hazel bergegas meninggalkan Dean. Dia meletakkan koper Dean di kamar laki-laki itu. Lalu, dia masuk ke kamarnya sendiri. Malam semakin larut, dia ingin merebahkan tubuhnya yang terasa kaku.Sementara itu, Dean masih berdiam diri di ruang keluarga. Mantan kekasihnya telah meninggalkan rumahnya setengah jam lalu. Dia merenung dan tidak habis pikir, Gladis nekat datang ke sini setelah hubungan mereka berakhir. Padahal dulu dia sudah menegaskan tidak ingin bertemu dengan Gladis kembali."Aku sudah mengantar Gladis sampai ke rumahnya. Sepanjang perja

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Tidak Mungkin Kembali

    "Bisa kau ulangi sekali lagi? Wanita muda yang mana?" tanya Dean gusar. Dia menegakkan punggungnya, lalu duduk bersandar pada dinding."Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba datang, dan memaksa masuk ke dalam padahal aku sudah melarangnya," kata Hazel setengah berbisik. "Sekarang dia sedang duduk di ruang tamu. Dia bilang tidak akan pergi sebelum bertemu denganmu.""Kenapa kau tidak mengusirnya pergi? Seharusnya kau tahu apa yang perlu kau lakukan pada tamu tidak diundang itu," ucap Dean disertai geraman yang keras.Hazel menyentuh keningnya. Kepalanya mendadak terasa sakit. Dia tidak mau disalahkan begitu saja karena kejadian ini tidak pernah dia duga sama sekali."Aku tidak tahu. Kau tidak memperingatkan sebelumnya," kilah Hazel tidak kalah kesal. Setelah itu Hazel mendengar Dean memutus sambungan telponnya. Dia berdiam diri cukup lama, memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Hazel melirik kesal ke arah ruang tamu. Wanita itu membuat segalanya bertambah rumit."Bagaimana? Apa kau

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Sendirian

    Hazel terdiam selama beberapa saat. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sekarang waktu seolah berhenti berputar.“Kenapa tiba-tiba kau mengatakannya?” Hazel tersenyum masam setelah berhasil menguasai dirinya kembali.“Tidak ada alasan. Aku hanya ingin mengatakannya sekarang.” Dean mengedikkan bahunya. Setelah kejadian semalam, dia mulai menyadari dirinya telah melakukan kesalahan.Hening kembali. Hazel kehilangan kata-kata. Perasaan canggung melingkupi hatinya. “Rasanya sudah terlambat. Olivia telah pergi. Dia tidak mungkin mendengar permintaan maafmu,” kata Hazel. “Tapi, aku percaya. Meskipun kau tidak meminta maaf padanya secara langung, dia pasti telah memaafkanmu.”“Aku tahu itu,” gumam Dean. Dia menatap lurus ke arah Hazel. Ekspresi wajah gadis itu tidak bisa terbaca olehnya."Kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku akan kembali ke dapur," kata Hazel kemudian.Pikirnya, dia tidak mau berdiam diri terlalu lama di sini. Hanya berdua dengan Dean, membuat seluruh tubuhnya t

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Pengakuan

    "Kau ….”Hazel berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya terangkat. Jari telunjuknya mengarah pada Brian yang sama terkejutnya dengan dirinya.“Kenapa kau berada di rumah kakakku?” seru Brian sambil geleng-geleng kepala.Brian belum sempat mendapatkan jawaban dari Hazel ketika Dean datang menyela. Dia terpaksa mengurungkan niatnya untuk mencerca Hazel dengan banyak pertanyaan. Mungkin nanti dia memiliki kesempatan untuk mencari tahu.“Sebaiknya kita makan malam dulu,” ucap Dean, lalu berjalan melewati adiknya.Hazel membantu Sana meletakkan piring-piring berisi makanan di atas meja. Sesekali dia melirik ke arah Brian, tidak jarang mereka saling bertatapan. Saat itu terjadi, Hazel segera memalingkan wajahnya. Tatapan Brian yang tajam seolah ingin menelan dia hidup-hidup."Kalau kau ingin tahu kenapa Hazel bisa tinggal di sini, jawabnya adalah karena aku yang menyuruhnya. Dia akan bekerja di rumah ini." Dean menjelaskan dengan santai, terlihat tidak peduli dengan wajah Brian yang berubah

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Bertemu Kembali

    “Apa kau gila?” tanya Hazel setengah berteriak.Hazel merapatkan bibirnya. Giginya saling beradu. Siapa yang menyangka hidupnya sekarang berada di tangan orang lain? Bukankah ini seperti lelucon bagi dirinya?“Seperti yang aku bilang tadi, kau akan bekerja di sini. Terlepas dari situasi dirimu yang tidak memiliki pekerjaan, aku bisa mengawasi dirimu kapan saja tanpa perlu khawatir kau akan melakukan tindakan yang bodoh,” ucap Dean santai.Hazel menatap Dean yang bersandar di kusen jendela dengan salah satu kaki menekuk dan satu tangannya masuk ke dalam saku celana jinsnya. Dean terlihat sangat tampan dengan pesonanya yang tidak dapat dipungkiri. Menyadari itu, Hazel memutar kepalanya, menghadap ke arah lain. Dia merasa takut hatinya tidak sanggup menahan diri hingga akhirnya jatuh cinta pada Dean.“Terserah. Aku yakin aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti perintahmu,” sahut Hazel akhirnya. Dia tidak ingin mendebat sesuatu yang mengakibatkan kekalahan baginya.“Kau bisa bekerja m

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Negosiasi

    Suara dengungan lebah seolah berputar di sekeliling Hazel. Dia tertegun di tempatnya. Kata-kata yang baru saja dia dengar seperti sebuah hantaman batu besar yang menimpa kepalanya.“Tega sekali kau melakukan itu,” ucap Hazel lirih, lalu mundur ke belakang. Tubuhnya membentur dinding, menimbulkan rasa nyeri di punggung.“Aku hanya melakukan hal yang semestinya. Itu adalah ganjaran dari perbuatanmu padaku,” ucap Dean santai. Dean perlahan melangkah masuk ke dalam. Sebuah kursi tanpa sandaran menarik perhatiannya. Dia pun mendudukinya dengan gaya yang anggun tidak tercela.“Aku tidak percaya kau mengatakannya. Apa alasannya kau melakukan itu?!” teriak Hazel histeris. Laki-laki angkuh di depannya itu berani bermain-main dengan nasibnya. Dean membuka jaketnya. Dia mengeluarkan koran yang telah selesai dia baca, lalu melemparnya tepat mengenai tubuh Hazel. Sorot matanya memancarkan kebencian saat menatap wajah pucat Hazel."Lihat ulahmu! Karena dirimu, reputasi perusahaanku hancur, dan ni

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Serangan Balik

    "Benarkah itu?" Hazel menatap Dean dengan sorot tidak percaya. Sungguh di luar dugaan. Hidupnya kini tidak sama lagi. Hazel merasa seperti ditelanjangi."Katakan padaku. Apakah kau benar-benar memata-matai diriku?" tanya Hazel mencoba untuk tidak mempercayai perkataan Dean sebelumnya."Coba kau tebak kenapa aku bisa melakukannya?" tantang Dean secara terang-terangan. "Aku tidak menyangka kau bisa bertindak serendah itu," balas Hazel dengan ekspresi jijik yang tercetak jelas di wajahnya.Dean mengibaskan tangannya sesantai mungkin. Cukup sering dia mendengar umpatan kasar seperti itu, lebih-lebih dari mantan-mantan kekasihnya. Dia pun menyadari ternyata di mana pun perempuan sama saja, suka merajuk sekaligus mengumpat."Aku tidak mempunyai pilihan lain. Nama baik keluargaku lebih penting dibandingkan dengan hidupmu yang tidak memiliki apa-apa," jawab Dean ringan, seolah tidak terbebani sama sekali.Sejak kemarin dia telah menyuruh asisten pribadinya untuk memeriksa semua informasi ya

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Pukulan Berat

    "Olivia … Olivia …,” ucap Hazel pelan memanggil adiknya yang telah meninggal.Tubuh Hazel bergetar, kedua lututnya seolah goyah. Beruntungnya dia bisa menjaga keseimbangannya agar tidak ambruk. Dia berhasil berpegangan pada dinding di belakangnya.“Sebaiknya kau duduk dulu.” Dean menyentuh pundak Hazel pelan. Tiba-tiba muncul rasa simpati di dalam hatinya. Menghibur seorang gadis yang sedang berduka bukanlah gayanya. Tapi di tengah suasana seperti ini, dia terpaksa mengesampingkan ego dan gengsinya. Hazel menoleh sebentar, menepis tangan Dean dengan kasar. “Aku tidak butuh perhatianmu.”“Aku sungguh-sungguh turut berdukacita atas kematian adikmu dan bayinya,” gumam Dean lirih dan kaku.Hazel mundur selangkah, membalikkan tubuhnya perlahan. Kini di depannya Dean tampak menjulang tinggi. Dia merasa terintimidasi oleh keberadaan laki-laki itu.“Bukan kalimat itu yang ingin aku dengar. Adikku tidak mungkin bangkit lagi setelah semua omong kosong yang keluar dari mulut jahatmu. Sekarang

DMCA.com Protection Status