Hazel terdiam selama beberapa saat. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sekarang waktu seolah berhenti berputar.
“Kenapa tiba-tiba kau mengatakannya?” Hazel tersenyum masam setelah berhasil menguasai dirinya kembali.“Tidak ada alasan. Aku hanya ingin mengatakannya sekarang.” Dean mengedikkan bahunya. Setelah kejadian semalam, dia mulai menyadari dirinya telah melakukan kesalahan.Hening kembali. Hazel kehilangan kata-kata. Perasaan canggung melingkupi hatinya.“Rasanya sudah terlambat. Olivia telah pergi. Dia tidak mungkin mendengar permintaan maafmu,” kata Hazel. “Tapi, aku percaya. Meskipun kau tidak meminta maaf padanya secara langung, dia pasti telah memaafkanmu.”“Aku tahu itu,” gumam Dean. Dia menatap lurus ke arah Hazel. Ekspresi wajah gadis itu tidak bisa terbaca olehnya."Kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku akan kembali ke dapur," kata Hazel kemudian.Pikirnya, dia tidak mau berdiam diri terlalu lama di sini. Hanya berdua dengan Dean, membuat seluruh tubuhnya terasa gerah. Dean memiliki aura yang terlalu mendominasi, seakan mengintimidasi dirinya."Besok adalah hari pertama kau bekerja di sini," ucap Dean mengingatkan. "Kau sendirian karena aku menyuruh Sana mengurus rumahku yang lain. Jadi, manfaatkan hari ini untuk belajar banyak hal pada dia.""Terima kasih atas kemurahan hatimu. Aku tidak mungkin bisa membalasnya," ucap Hazel berisi penuh sindiran.Kemudian Hazel meninggalkan ruang kerja Dean sambil mengepalkan tangannya. Emosi menggelegak di dalam dada. Tapi, dia tidak mampu meluapkannya.***".... Untuk sarapan, Tuan lebih suka makanan yang sederhana. Kau bisa membuatkannya sandwich, telur orak-arik, atau pancake," jelas Sana. Dia mendadak berhenti berbicara saat mengetahui konsentrasi Hazel tidak tertuju padanya. "Apa kau mendengarkanku, Hazel?"Mata Hazel mengerjap beberapa kali. Mulutnya gelagapan, dan mengeluarkan suara tidak jelas. Hazel lalu pura-pura batuk."Maaf, aku tidak bermaksud mengabaikanmu. Aku belum pernah melakukan semua ini sendirian, di rumah sebesar ini," kilah Hazel, berharap Sana tidak marah atau kesal padanya."Nanti kau juga terbiasa. Lama kelamaan kau bisa menguasai semuanya, asal kau mengikuti petunjuk sekaligus arahanku," ucap Sana seolah mengerti situasi yang kini dihadapi oleh Hazel."Terima kasih atas pengertianmu. Aku yakin aku mampu melakukannya." Hazel tersenyum kikuk. Dia memandang Sana lurus, mencoba meyakinkan Sana bahwa kelak dia baik-baik saja."Oh ya," tukas Sana, usai selintas pikiran singgah di kepalanya. "Meskipun Tuan Dean sering bepergian, kau tidak perlu khawatir karena rumah ini dilengkapi dengan sistem keamanan yang lengkap."Hazel mengangguk, mengerti. Dalam hati dia membatin, tidak apa-apa bila dia sering ditinggal sendirian. Itu jauh lebih baik dibandingkan dengan tinggal bersama Dean, hanya berdua di rumah sebesar ini. Hazel tidak bisa membayangkan bila dia benar-benar harus menghadapinya. Dia pun bergidik ngeri saat membayangkannya."Kau juga tidak perlu mengkhawatirkan tentang itu. Penghuni tidak kasat mata rumah ini tidak pernah mengganggu, jadi sebaiknya buang jauh-jauh rasa takutmu," kata Sana seolah mengerti apa yang dimaksud Hazel. Padahal sebenarnya bukan itu yang Hazel takutkan."Oke, aku tidak akan takut," timpal Hazel dengan nada meyakinkan. "Satu lagi. Apa kau keberatan bila aku menghubungimu di jam-jam tertentu saat menemukan kesulitan?"Sana menggeleng pelan seraya mengulas senyum manis. "Tidak. Kau bisa menghubungiku kapan pun kau mau. Aku malah senang jika kau melakukannya. Setidaknya aku mengetahui kondisimu setelah aku pergi," kata Sana.Hazel menyunggingkan senyum tulus. Dia menggenggam tangan Sana erat. Meskipun mereka baru bertemu, dan hanya beberapa hari kebersamaan mereka, Hazel merasa bahagia. Setidaknya pernah ada seseorang yang hadir dalam hidupnya, menunjukkan arti persahabatan yang sebenarnya.***Beberapa hari berikutnya."Hazel ...."Dean berkeliling di rumahnya, mencari Hazel yang entah ke mana. Di rumah ini tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. Sepuluh menit dia mencari, tapi dia tidak kunjung menemukan Hazel.“Hazel ….” panggil Dean, masih berusaha mencari.“Maaf, aku tidak mendengarmu.”Dean langsung membalikkan badannya begitu mendengar suara Hazel di belakangnya. “Ke mana saja kau?” tanya Dean. Wajahnya terlihat gusar.“Aku baru saja merapikan barang di gudang. Makanya aku tidak mendengar panggilanmu,” jawab Hazel santai. “Atau jangan-jangan kau berpikir aku kabur dari sini?” Hazel menyipitkan matanya sambal menarik ujung bibirnya ke atas.Jleb. Dean tidak berkutik. Pertanyaan Hazel tepat sasaran. Sebelumnya tadi dia memang sempat berpikiran seperti itu.“Aku tidak berpikir seperti itu,” elak Dean. “Lagi pula kau tidak akan pergi jauh. Anak buahku pasti bisa menemukanmu dengan mudah.”Hazel tertawa ringan mendengar ucapan Dean. Dia menyimpulkan ternyata Dean tidak pandai berbohong. Ekspresi wajah Dean mudah terbaca olehnya.“Ya, kau memang benar. Aku tidak bisa pergi ke mana-mana,” timpal Hazel masam. “Ngomong-ngomong kenapa kau mencariku?” Hazel mencoba mengalihkan pembicaraan karena topik itu terlalu sensitif untuknya.“Malam ini aku tidak pulang. Aku akan pergi selama dua hari. Jadi kau tidak perlu menyiapkan keperluanku,” ujar Dean memberi tahu Hazel.“Kau akan pergi ke mana?”Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Hazel. Detik selanjutnya dia menyesal karena telah bertanya. Dia tidak ingin Dean mengira dia benar-benar peduli pada laki-laki itu.“Aku akan pergi ke luar kota untuk menghadiri konferensi bisnis,” jelas Dean santai. Dia lalu bergegas meninggalkan Hazel sendirian.Hazel memandang punggung Dean yang perlahan menghilang dengan tatapan kososng. Entah kenapa kini hatinya merasa hampa. Dia merasa sendirian dan ditinggalkan.***"Senang berkenalan denganmu," ucap seorang laki-laki paruh baya sambil menjabat tangan Dean. Andito, nama yang dia sebutkan tadi. Seorang pengusaha tambang terkenal.Mereka tengah duduk menghadapi sebuah meja besar bersama pengusaha lain di acara ramah tamah usai konferensi dibubarkan setengah jam lalu. Dean tersenyum tipis ke arah lawan bicaranya. Dari penampilan laki-laki itu yang kharismatik, Dean bisa menilai bahwa Andito adalah seorang pengusaha yang sukses."Sayangnya aku baru bertemu dirimu sekarang. Seandainya kita berkenalan sejak dulu, mungkin kita bisa menjadi menjalin kerja sama," kelakar Andito setelah beberapa saat.Dean hanya manggut-manggut setuju. "Mungkin saja. Tapi, tidak menutup kemungkinan, kelak di masa depan kita bisa bertemu kembali dan menjalin kerja sama," timpal Dean sungguh-sungguh.Andito hanya tersenyum menanggapi. Kemudian dia meninggalkan tempat duduknya karena seseorang datang menyela obrolan mereka. Sebelum pergi dia sempat memberikan kartu namanya pada Dean.Dean menghempaskan tubuhnya di atas kasur kamar hotel delux yang dia sewa selama dia menghadiri konferensi bisnis antar pengusaha yang berlangsung hingga besok. Acara sepanjang hari ini benar-benar telah menyita seluruh tenaga serta pikirannya. Tapi, itu setimpal dengan apa yang dia dapatkan. Dia bertemu dengan banyak pengusaha perusahaan potensial.Tiba-tiba dering ponselnya terdengar. Dean segera mengambil benda pipih itu di atas meja. Tertera nama Hazel di depan layar ponsel."Ada seorang wanita muda mencarimu. Aku harus bagaimana?" tanya Hazel saat Dean mengangkat teleponnya."Bisa kau ulangi sekali lagi? Wanita muda yang mana?" tanya Dean gusar. Dia menegakkan punggungnya, lalu duduk bersandar pada dinding."Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba datang, dan memaksa masuk ke dalam padahal aku sudah melarangnya," kata Hazel setengah berbisik. "Sekarang dia sedang duduk di ruang tamu. Dia bilang tidak akan pergi sebelum bertemu denganmu.""Kenapa kau tidak mengusirnya pergi? Seharusnya kau tahu apa yang perlu kau lakukan pada tamu tidak diundang itu," ucap Dean disertai geraman yang keras.Hazel menyentuh keningnya. Kepalanya mendadak terasa sakit. Dia tidak mau disalahkan begitu saja karena kejadian ini tidak pernah dia duga sama sekali."Aku tidak tahu. Kau tidak memperingatkan sebelumnya," kilah Hazel tidak kalah kesal. Setelah itu Hazel mendengar Dean memutus sambungan telponnya. Dia berdiam diri cukup lama, memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Hazel melirik kesal ke arah ruang tamu. Wanita itu membuat segalanya bertambah rumit."Bagaimana? Apa kau
"Apa kau ingin menceramahiku?"Hazel mundur beberapa langkah. Bibirnya bungkam seribu bahasa. Otaknya tiba-tiba buntu. Dia tidak memiliki ide apa pun untuk diungkapkan."Kenapa kau hanya diam? Kau seperti bukan Hazel yang aku kenal," sergah Dean setelah beberapa saat."Aku ...." Hazel tergagap. "Aku tidak berhak memberimu komentar karena aku tidak mengetahui permasalahanmu dengannya. Juga, itu bukan urusanku."Setelah mengucapkan kata-kata itu, Hazel bergegas meninggalkan Dean. Dia meletakkan koper Dean di kamar laki-laki itu. Lalu, dia masuk ke kamarnya sendiri. Malam semakin larut, dia ingin merebahkan tubuhnya yang terasa kaku.Sementara itu, Dean masih berdiam diri di ruang keluarga. Mantan kekasihnya telah meninggalkan rumahnya setengah jam lalu. Dia merenung dan tidak habis pikir, Gladis nekat datang ke sini setelah hubungan mereka berakhir. Padahal dulu dia sudah menegaskan tidak ingin bertemu dengan Gladis kembali."Aku sudah mengantar Gladis sampai ke rumahnya. Sepanjang perja
"Setelah makan malam, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Dean saat pelayan mengantar pesanan. Sejak tadi Khanza lebih banyak diam. Gadis itu seolah sengaja menghindari dirinya."Tidak ada. Aku ingin pulang secepatnya. Hari ini sangat berat bagiku," jawab Khanza malas-malasan."Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita segera menghabiskan makanan ini," timpal Dean.Dalam hati sebenarnya Dean tengah memendam rasa kesal. Acara makan malam ini bukan idenya, melainkan ide ayah Khanza. Seharusnya gadis itu bisa menjaga sikapnya. Setidaknya Khanza bisa berpura-pura sedikit, bukannya menunjukkan sikap menyebalkan seperti sekarang."Apa kau sudah memiliki seorang kekasih?" tanya Dean terus terang. Pertanyaannya itu membuat Khanza tersedak oleh makanannya.Khanza mengerjap beberapa kali. Buru-buru dia meraih gelas minumannya. Dadanya terasa sangat sesak. Pertanyaan Dean sungguh di luar dugaan."Maaf, kau tadi bertanya apa?" Khanza balas bertanya.Dean mendengus kesal. Bukankah tadi suaranya terdenga
“Aku keberatan dengan pernikahan ini. Karena ….”Mata Dean melebar saat melihat sosok yang menyusuri lorong aula tempat acara berlangsung. Sosok itu ramping dan berbalut busana dari satin berwarna merah maroon. Gaun itu berdesir mengiringi langkahnya yang mantap. Wajah wanita itu pucat, tapi penuh tekad. Sangat cantik. Gadis itu Hazel. Kakak kekasih adiknya. Dean pernah bertemu Hazel satu kali. Dean bergerak cepat. Dia membawa gadis itu menjauh sebelum acara sakral hari ini jatuh berantakan. “Berhenti di sini!”“Lepaskan tanganku!” bentak Hazel berusaha menepis tangan Dean. Cengkeraman di tangannya terlalu kuat, dia merasa kesulitan saat akan membebaskan dirinya. Dean bergeming. "Sebaiknya kau ikut aku keluar dari sini sekarang." Dia menarik, lebih tepatnya menyeret Hazel keluar dari gedung itu. Hazel meronta-ronta, tapi sia-sia. Seolah tubuhnya seringan kapas dan mudah dibawa ke mana-mana.“Sebaiknya kau diam kalau tidak ingin terluka,” ucap Dean tajam, lalu mengatupkan bibirnya
"Olivia … Olivia …,” ucap Hazel pelan memanggil adiknya yang telah meninggal.Tubuh Hazel bergetar, kedua lututnya seolah goyah. Beruntungnya dia bisa menjaga keseimbangannya agar tidak ambruk. Dia berhasil berpegangan pada dinding di belakangnya.“Sebaiknya kau duduk dulu.” Dean menyentuh pundak Hazel pelan. Tiba-tiba muncul rasa simpati di dalam hatinya. Menghibur seorang gadis yang sedang berduka bukanlah gayanya. Tapi di tengah suasana seperti ini, dia terpaksa mengesampingkan ego dan gengsinya. Hazel menoleh sebentar, menepis tangan Dean dengan kasar. “Aku tidak butuh perhatianmu.”“Aku sungguh-sungguh turut berdukacita atas kematian adikmu dan bayinya,” gumam Dean lirih dan kaku.Hazel mundur selangkah, membalikkan tubuhnya perlahan. Kini di depannya Dean tampak menjulang tinggi. Dia merasa terintimidasi oleh keberadaan laki-laki itu.“Bukan kalimat itu yang ingin aku dengar. Adikku tidak mungkin bangkit lagi setelah semua omong kosong yang keluar dari mulut jahatmu. Sekarang
"Benarkah itu?" Hazel menatap Dean dengan sorot tidak percaya. Sungguh di luar dugaan. Hidupnya kini tidak sama lagi. Hazel merasa seperti ditelanjangi."Katakan padaku. Apakah kau benar-benar memata-matai diriku?" tanya Hazel mencoba untuk tidak mempercayai perkataan Dean sebelumnya."Coba kau tebak kenapa aku bisa melakukannya?" tantang Dean secara terang-terangan. "Aku tidak menyangka kau bisa bertindak serendah itu," balas Hazel dengan ekspresi jijik yang tercetak jelas di wajahnya.Dean mengibaskan tangannya sesantai mungkin. Cukup sering dia mendengar umpatan kasar seperti itu, lebih-lebih dari mantan-mantan kekasihnya. Dia pun menyadari ternyata di mana pun perempuan sama saja, suka merajuk sekaligus mengumpat."Aku tidak mempunyai pilihan lain. Nama baik keluargaku lebih penting dibandingkan dengan hidupmu yang tidak memiliki apa-apa," jawab Dean ringan, seolah tidak terbebani sama sekali.Sejak kemarin dia telah menyuruh asisten pribadinya untuk memeriksa semua informasi ya
Suara dengungan lebah seolah berputar di sekeliling Hazel. Dia tertegun di tempatnya. Kata-kata yang baru saja dia dengar seperti sebuah hantaman batu besar yang menimpa kepalanya.“Tega sekali kau melakukan itu,” ucap Hazel lirih, lalu mundur ke belakang. Tubuhnya membentur dinding, menimbulkan rasa nyeri di punggung.“Aku hanya melakukan hal yang semestinya. Itu adalah ganjaran dari perbuatanmu padaku,” ucap Dean santai. Dean perlahan melangkah masuk ke dalam. Sebuah kursi tanpa sandaran menarik perhatiannya. Dia pun mendudukinya dengan gaya yang anggun tidak tercela.“Aku tidak percaya kau mengatakannya. Apa alasannya kau melakukan itu?!” teriak Hazel histeris. Laki-laki angkuh di depannya itu berani bermain-main dengan nasibnya. Dean membuka jaketnya. Dia mengeluarkan koran yang telah selesai dia baca, lalu melemparnya tepat mengenai tubuh Hazel. Sorot matanya memancarkan kebencian saat menatap wajah pucat Hazel."Lihat ulahmu! Karena dirimu, reputasi perusahaanku hancur, dan ni
“Apa kau gila?” tanya Hazel setengah berteriak.Hazel merapatkan bibirnya. Giginya saling beradu. Siapa yang menyangka hidupnya sekarang berada di tangan orang lain? Bukankah ini seperti lelucon bagi dirinya?“Seperti yang aku bilang tadi, kau akan bekerja di sini. Terlepas dari situasi dirimu yang tidak memiliki pekerjaan, aku bisa mengawasi dirimu kapan saja tanpa perlu khawatir kau akan melakukan tindakan yang bodoh,” ucap Dean santai.Hazel menatap Dean yang bersandar di kusen jendela dengan salah satu kaki menekuk dan satu tangannya masuk ke dalam saku celana jinsnya. Dean terlihat sangat tampan dengan pesonanya yang tidak dapat dipungkiri. Menyadari itu, Hazel memutar kepalanya, menghadap ke arah lain. Dia merasa takut hatinya tidak sanggup menahan diri hingga akhirnya jatuh cinta pada Dean.“Terserah. Aku yakin aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti perintahmu,” sahut Hazel akhirnya. Dia tidak ingin mendebat sesuatu yang mengakibatkan kekalahan baginya.“Kau bisa bekerja m
"Setelah makan malam, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Dean saat pelayan mengantar pesanan. Sejak tadi Khanza lebih banyak diam. Gadis itu seolah sengaja menghindari dirinya."Tidak ada. Aku ingin pulang secepatnya. Hari ini sangat berat bagiku," jawab Khanza malas-malasan."Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita segera menghabiskan makanan ini," timpal Dean.Dalam hati sebenarnya Dean tengah memendam rasa kesal. Acara makan malam ini bukan idenya, melainkan ide ayah Khanza. Seharusnya gadis itu bisa menjaga sikapnya. Setidaknya Khanza bisa berpura-pura sedikit, bukannya menunjukkan sikap menyebalkan seperti sekarang."Apa kau sudah memiliki seorang kekasih?" tanya Dean terus terang. Pertanyaannya itu membuat Khanza tersedak oleh makanannya.Khanza mengerjap beberapa kali. Buru-buru dia meraih gelas minumannya. Dadanya terasa sangat sesak. Pertanyaan Dean sungguh di luar dugaan."Maaf, kau tadi bertanya apa?" Khanza balas bertanya.Dean mendengus kesal. Bukankah tadi suaranya terdenga
"Apa kau ingin menceramahiku?"Hazel mundur beberapa langkah. Bibirnya bungkam seribu bahasa. Otaknya tiba-tiba buntu. Dia tidak memiliki ide apa pun untuk diungkapkan."Kenapa kau hanya diam? Kau seperti bukan Hazel yang aku kenal," sergah Dean setelah beberapa saat."Aku ...." Hazel tergagap. "Aku tidak berhak memberimu komentar karena aku tidak mengetahui permasalahanmu dengannya. Juga, itu bukan urusanku."Setelah mengucapkan kata-kata itu, Hazel bergegas meninggalkan Dean. Dia meletakkan koper Dean di kamar laki-laki itu. Lalu, dia masuk ke kamarnya sendiri. Malam semakin larut, dia ingin merebahkan tubuhnya yang terasa kaku.Sementara itu, Dean masih berdiam diri di ruang keluarga. Mantan kekasihnya telah meninggalkan rumahnya setengah jam lalu. Dia merenung dan tidak habis pikir, Gladis nekat datang ke sini setelah hubungan mereka berakhir. Padahal dulu dia sudah menegaskan tidak ingin bertemu dengan Gladis kembali."Aku sudah mengantar Gladis sampai ke rumahnya. Sepanjang perja
"Bisa kau ulangi sekali lagi? Wanita muda yang mana?" tanya Dean gusar. Dia menegakkan punggungnya, lalu duduk bersandar pada dinding."Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba datang, dan memaksa masuk ke dalam padahal aku sudah melarangnya," kata Hazel setengah berbisik. "Sekarang dia sedang duduk di ruang tamu. Dia bilang tidak akan pergi sebelum bertemu denganmu.""Kenapa kau tidak mengusirnya pergi? Seharusnya kau tahu apa yang perlu kau lakukan pada tamu tidak diundang itu," ucap Dean disertai geraman yang keras.Hazel menyentuh keningnya. Kepalanya mendadak terasa sakit. Dia tidak mau disalahkan begitu saja karena kejadian ini tidak pernah dia duga sama sekali."Aku tidak tahu. Kau tidak memperingatkan sebelumnya," kilah Hazel tidak kalah kesal. Setelah itu Hazel mendengar Dean memutus sambungan telponnya. Dia berdiam diri cukup lama, memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Hazel melirik kesal ke arah ruang tamu. Wanita itu membuat segalanya bertambah rumit."Bagaimana? Apa kau
Hazel terdiam selama beberapa saat. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sekarang waktu seolah berhenti berputar.“Kenapa tiba-tiba kau mengatakannya?” Hazel tersenyum masam setelah berhasil menguasai dirinya kembali.“Tidak ada alasan. Aku hanya ingin mengatakannya sekarang.” Dean mengedikkan bahunya. Setelah kejadian semalam, dia mulai menyadari dirinya telah melakukan kesalahan.Hening kembali. Hazel kehilangan kata-kata. Perasaan canggung melingkupi hatinya. “Rasanya sudah terlambat. Olivia telah pergi. Dia tidak mungkin mendengar permintaan maafmu,” kata Hazel. “Tapi, aku percaya. Meskipun kau tidak meminta maaf padanya secara langung, dia pasti telah memaafkanmu.”“Aku tahu itu,” gumam Dean. Dia menatap lurus ke arah Hazel. Ekspresi wajah gadis itu tidak bisa terbaca olehnya."Kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku akan kembali ke dapur," kata Hazel kemudian.Pikirnya, dia tidak mau berdiam diri terlalu lama di sini. Hanya berdua dengan Dean, membuat seluruh tubuhnya t
"Kau ….”Hazel berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya terangkat. Jari telunjuknya mengarah pada Brian yang sama terkejutnya dengan dirinya.“Kenapa kau berada di rumah kakakku?” seru Brian sambil geleng-geleng kepala.Brian belum sempat mendapatkan jawaban dari Hazel ketika Dean datang menyela. Dia terpaksa mengurungkan niatnya untuk mencerca Hazel dengan banyak pertanyaan. Mungkin nanti dia memiliki kesempatan untuk mencari tahu.“Sebaiknya kita makan malam dulu,” ucap Dean, lalu berjalan melewati adiknya.Hazel membantu Sana meletakkan piring-piring berisi makanan di atas meja. Sesekali dia melirik ke arah Brian, tidak jarang mereka saling bertatapan. Saat itu terjadi, Hazel segera memalingkan wajahnya. Tatapan Brian yang tajam seolah ingin menelan dia hidup-hidup."Kalau kau ingin tahu kenapa Hazel bisa tinggal di sini, jawabnya adalah karena aku yang menyuruhnya. Dia akan bekerja di rumah ini." Dean menjelaskan dengan santai, terlihat tidak peduli dengan wajah Brian yang berubah
“Apa kau gila?” tanya Hazel setengah berteriak.Hazel merapatkan bibirnya. Giginya saling beradu. Siapa yang menyangka hidupnya sekarang berada di tangan orang lain? Bukankah ini seperti lelucon bagi dirinya?“Seperti yang aku bilang tadi, kau akan bekerja di sini. Terlepas dari situasi dirimu yang tidak memiliki pekerjaan, aku bisa mengawasi dirimu kapan saja tanpa perlu khawatir kau akan melakukan tindakan yang bodoh,” ucap Dean santai.Hazel menatap Dean yang bersandar di kusen jendela dengan salah satu kaki menekuk dan satu tangannya masuk ke dalam saku celana jinsnya. Dean terlihat sangat tampan dengan pesonanya yang tidak dapat dipungkiri. Menyadari itu, Hazel memutar kepalanya, menghadap ke arah lain. Dia merasa takut hatinya tidak sanggup menahan diri hingga akhirnya jatuh cinta pada Dean.“Terserah. Aku yakin aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti perintahmu,” sahut Hazel akhirnya. Dia tidak ingin mendebat sesuatu yang mengakibatkan kekalahan baginya.“Kau bisa bekerja m
Suara dengungan lebah seolah berputar di sekeliling Hazel. Dia tertegun di tempatnya. Kata-kata yang baru saja dia dengar seperti sebuah hantaman batu besar yang menimpa kepalanya.“Tega sekali kau melakukan itu,” ucap Hazel lirih, lalu mundur ke belakang. Tubuhnya membentur dinding, menimbulkan rasa nyeri di punggung.“Aku hanya melakukan hal yang semestinya. Itu adalah ganjaran dari perbuatanmu padaku,” ucap Dean santai. Dean perlahan melangkah masuk ke dalam. Sebuah kursi tanpa sandaran menarik perhatiannya. Dia pun mendudukinya dengan gaya yang anggun tidak tercela.“Aku tidak percaya kau mengatakannya. Apa alasannya kau melakukan itu?!” teriak Hazel histeris. Laki-laki angkuh di depannya itu berani bermain-main dengan nasibnya. Dean membuka jaketnya. Dia mengeluarkan koran yang telah selesai dia baca, lalu melemparnya tepat mengenai tubuh Hazel. Sorot matanya memancarkan kebencian saat menatap wajah pucat Hazel."Lihat ulahmu! Karena dirimu, reputasi perusahaanku hancur, dan ni
"Benarkah itu?" Hazel menatap Dean dengan sorot tidak percaya. Sungguh di luar dugaan. Hidupnya kini tidak sama lagi. Hazel merasa seperti ditelanjangi."Katakan padaku. Apakah kau benar-benar memata-matai diriku?" tanya Hazel mencoba untuk tidak mempercayai perkataan Dean sebelumnya."Coba kau tebak kenapa aku bisa melakukannya?" tantang Dean secara terang-terangan. "Aku tidak menyangka kau bisa bertindak serendah itu," balas Hazel dengan ekspresi jijik yang tercetak jelas di wajahnya.Dean mengibaskan tangannya sesantai mungkin. Cukup sering dia mendengar umpatan kasar seperti itu, lebih-lebih dari mantan-mantan kekasihnya. Dia pun menyadari ternyata di mana pun perempuan sama saja, suka merajuk sekaligus mengumpat."Aku tidak mempunyai pilihan lain. Nama baik keluargaku lebih penting dibandingkan dengan hidupmu yang tidak memiliki apa-apa," jawab Dean ringan, seolah tidak terbebani sama sekali.Sejak kemarin dia telah menyuruh asisten pribadinya untuk memeriksa semua informasi ya
"Olivia … Olivia …,” ucap Hazel pelan memanggil adiknya yang telah meninggal.Tubuh Hazel bergetar, kedua lututnya seolah goyah. Beruntungnya dia bisa menjaga keseimbangannya agar tidak ambruk. Dia berhasil berpegangan pada dinding di belakangnya.“Sebaiknya kau duduk dulu.” Dean menyentuh pundak Hazel pelan. Tiba-tiba muncul rasa simpati di dalam hatinya. Menghibur seorang gadis yang sedang berduka bukanlah gayanya. Tapi di tengah suasana seperti ini, dia terpaksa mengesampingkan ego dan gengsinya. Hazel menoleh sebentar, menepis tangan Dean dengan kasar. “Aku tidak butuh perhatianmu.”“Aku sungguh-sungguh turut berdukacita atas kematian adikmu dan bayinya,” gumam Dean lirih dan kaku.Hazel mundur selangkah, membalikkan tubuhnya perlahan. Kini di depannya Dean tampak menjulang tinggi. Dia merasa terintimidasi oleh keberadaan laki-laki itu.“Bukan kalimat itu yang ingin aku dengar. Adikku tidak mungkin bangkit lagi setelah semua omong kosong yang keluar dari mulut jahatmu. Sekarang