"Kau ….”
Hazel berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya terangkat. Jari telunjuknya mengarah pada Brian yang sama terkejutnya dengan dirinya.“Kenapa kau berada di rumah kakakku?” seru Brian sambil geleng-geleng kepala.Brian belum sempat mendapatkan jawaban dari Hazel ketika Dean datang menyela. Dia terpaksa mengurungkan niatnya untuk mencerca Hazel dengan banyak pertanyaan. Mungkin nanti dia memiliki kesempatan untuk mencari tahu.“Sebaiknya kita makan malam dulu,” ucap Dean, lalu berjalan melewati adiknya.Hazel membantu Sana meletakkan piring-piring berisi makanan di atas meja. Sesekali dia melirik ke arah Brian, tidak jarang mereka saling bertatapan. Saat itu terjadi, Hazel segera memalingkan wajahnya. Tatapan Brian yang tajam seolah ingin menelan dia hidup-hidup."Kalau kau ingin tahu kenapa Hazel bisa tinggal di sini, jawabnya adalah karena aku yang menyuruhnya. Dia akan bekerja di rumah ini." Dean menjelaskan dengan santai, terlihat tidak peduli dengan wajah Brian yang berubah menjadi kaku.Saat melihat Hazel akan meninggalkan ruang makan, Dean berkata pelan, "Ikutlah makan bersama kami.""Tidak, aku tidak ingin mengganggu kalian. Aku bisa makan di dapur," balas Hazel, lalu melangkah pergi meninggalkan mereka.Di dapur yang sepi, Hazel makan sendirian karena sepertinya Sana telah kembali ke kamarnya. Dalam keheningan yang menyelimuti dia menelan makanannya cepat-cepat. Dia ingin segera meninggalkan tempat ini, dan masuk ke dalam kamarnya. Dengan begitu dia tidak perlu mendengar percakapan kakak beradik itu meskipun hanya samar-samar."Buatkan dua cangkir teh, lalu antarkan ke teras depan. Kami akan menunggumu di sana," ucap Dean di belakang Hazel yang sedang mencuci piring.Hazel tidak menjawab. Bertindak seperti robot, dia pun memenuhi permintaan majikannya. Tangannya bergerak cepat menyeduh teh di teko, lalu dia bergegas ke teras.“… Sejak awal aku sudah memberi tahu dia untuk tidak terlalu berharap banyak padaku.”Tubuh Hazel membeku seketika di balik pintu yang terbuka saat mendengar suara Brian yang setengah berteriak. Dia menduga mereka pasti sedang membicarakan adiknya. Dia mencengkeram kuat-kuat nampan yang dia bawa. Takut teko dan cangkir yang berada di atasnya terlempar ke bawah, lalu hancur berkeping-keping.“Tapi, sikapmu lah yang membuat Olivia menggantungkan harapannya padamu,” tukas Hazel memotong obrolan Dean dan Brian.Hazel meletakkan nampan di atas meja dengan kasar. Wajahnya bersungut-sungut. Menghadapi dua orang yang tengah membicarakan adiknya, membuat dia tidak bisa berpura-pura bersikap baik atau tidak terjadi apa-apa.“Hubunganku dengan Olivia tidak seperti yang kau bayangkan. Selama kami bersama, kami selalu bersenang-senang. Dia tahu tidak ada masa depan untuk kami,” timpal Brian.Hazel menggeleng-geleng. “Itu menurutmu. Tidak untuk Olivia.”“Seharusnya aku tidak mengundangmu ke sini bila tahu akan terjadi perselisihan di antara kalian,” sela Dean sambil menatap Brian. Setelah dari tadi hanya diam mengawasi dua orang di depannya, dia akhirnya ikut bersuara.“Kau tahu?” Hazel menatap lurus Dean, lalu melanjutkan, “Adikku masih berusia dua puluh tahun saat adikmu mendekatinya. Sebelumnya Olivia tidak pernah dekat dengan seorang laki-laki. Adikmu lah yang memulai semuanya.”Brian membungkam mulutnya. Memang benar dia yang mendekati Olivia. Tapi, dia tidak sepenuhnya bersalah. Olivia bersikap tidak seperti gadis polos saat bertemu dengannya."Olivia bersikap seperti gadis kebanyakan, menggoda laki-laki kaya dengan harapan laki-laki itu bisa memenuhi keinginannya. Dan, aku tertipu oleh sifat aslinya," elak Brian membela diri."Aku sangat mengenal adikku dengan baik. Adikku bukan gadis seperti itu. Banyak orang yang menjadi saksinya. Kau sengaja mendekatinya, lalu merayunya," ucap Hazel berapi-api dengan napas memburu. Dia tidak menyukai Brian yang menjelek-jelekkan adiknya."Dan ... usai mengetahui dia tengah mengandung anakmu, kau meninggalkannya seperti sampah," lanjut Hazel dengan tatapan tajam."Dia tidak mengandung anakku!" bentak Brian. Dia tidak bisa menahan diri lagi karena sejak tadi Hazel selalu memojokkannya.Tangan Hazel terangkat secara otomatis, lalu menampar pipi Brian keras. Laki-laki itu benar-benar seorang pengecut. Berani-beraninya dia tidak mengakui kehadiran anaknya."Sekarang, setidaknya Olivia beserta bayinya telah beristirahat dengan tenang. Mereka tidak lagi merasakan sakit hati pada laki-laki brengsek seperti dirimu," ucap Hazel, "Ngomong-ngomong, kau pasti menyesal telah menolak anakmu. Sangat disayangkan, dia memiliki wajah setampan dirimu."Hazel membalikkan badannya, mengayun langkah panjang meninggalkan teras rumah. Tubuhnya terasa kepanasan meskipun sejak tadi dia berada di luar ruangan yang sangat sejuk oleh semilirnya angin malam. Saat ini dia ingin menenggelamkan diri di kamarnya yang gelap."Aku tidak menyangka ternyata seperti itu ceritanya. Aku pikir kau tidak bersalah. Rupanya aku juga tertipu oleh kata-kata manismu," ucap Dean setelah keheningan yang berlangsung selama beberapa saat."Bukan seperti itu... aku tidak membohongimu. Olivia pandai memutarbalikkan fakta." Brian berusaha membela diri."Aku pikir kau telah berubah. Awalnya aku sempat ragu merestuimu menikahi Dania. Melihat sepak terjangmu selama ini, petualanganmu menggaet wanita. Aku sempat percaya kau sungguh-sungguh meninggalkan kebiasaan burukmu itu." Dean tersenyum kecut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia lalu melanjutkan, "Aku telah melakukan kesalahan yang besar."Brian tidak bersuara. Dia tidak mencoba membantah ucapan Dean. Sekarang dirinya tidak lagi dipercaya oleh kakaknya, jadi percuma saja dia membela diri."Sebaiknya kita sudahi saja pertemuan malam ini. Tidak ada lagi yang ingin aku bicarakan," ucap Dean pelan.Dean beranjak dari kursinya. Dia meninggalkan Brian yang masih mematung di tempatnya. Brian hanya diam, pasrah dan tidak berani membantah.***Hazel terbangun keesokan harinya saat matahari telah merangkak naik sepenggalah. Buru-buru dia meninggalkan kamarnya. Meskipun sekarang belum waktunya dia untuk bekerja, dia tidak ingin hanya berdiam diri di kamar, tanpa melakukan aktivitas apa pun."Selamat pagi," sapa Hazel malu-malu pada Sana yang terlihat sedang menata lemari dapur."Selamat pagi," jawab Sana sambil lalu. Dia menoleh sebentar pada Hazel."Maaf, aku bangun kesiangan. Apa ada yang bisa aku kerjakan?" Hazel menatap ragu. Dia bingung harus berbuat apa."Sementara ini belum. Lagi pula Tuan Dean belum menyuruhku untuk memberimu pekerjaan," kata Sana. "Aku telah membuatkanmu sarapan. Nikmati lah selagi masih panas."Hazel mundur beberapa langkah, lalu dia berbalik arah. Di atas meja dia melihat makanan yang telah disiapkan oleh Sana. Dia pun menikmati sarapannya pelan-pelan."Aku ingin berbicara denganmu. Di ruang kerjaku."Hazel mengangkat kepalanya saat mendengar suara Dean tidak jauh darinya. Tatapan mata mereka saling beradu. Hanya sebentar karena Dean langsung pergi setelah itu."Aku sudah berada di sini sekarang. Jadi, cepat katakan apa masalahmu," ucap Hazel tidak lama kemudian. Dia bergegas menyusul Dean di ruang kerjanya karena tidak ingin laki-laki itu menunggu dia terlalu lama."Aku meminta maaf karena telah salah menilai adikmu."Mulut Hazel menganga lebar usai mendengar pengakuan Dean. Dia tidak salah dengar 'kan? Tidak. Pendengarannya masih berfungsi normal. Tapi ....Hazel terdiam selama beberapa saat. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sekarang waktu seolah berhenti berputar.“Kenapa tiba-tiba kau mengatakannya?” Hazel tersenyum masam setelah berhasil menguasai dirinya kembali.“Tidak ada alasan. Aku hanya ingin mengatakannya sekarang.” Dean mengedikkan bahunya. Setelah kejadian semalam, dia mulai menyadari dirinya telah melakukan kesalahan.Hening kembali. Hazel kehilangan kata-kata. Perasaan canggung melingkupi hatinya. “Rasanya sudah terlambat. Olivia telah pergi. Dia tidak mungkin mendengar permintaan maafmu,” kata Hazel. “Tapi, aku percaya. Meskipun kau tidak meminta maaf padanya secara langung, dia pasti telah memaafkanmu.”“Aku tahu itu,” gumam Dean. Dia menatap lurus ke arah Hazel. Ekspresi wajah gadis itu tidak bisa terbaca olehnya."Kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku akan kembali ke dapur," kata Hazel kemudian.Pikirnya, dia tidak mau berdiam diri terlalu lama di sini. Hanya berdua dengan Dean, membuat seluruh tubuhnya t
"Bisa kau ulangi sekali lagi? Wanita muda yang mana?" tanya Dean gusar. Dia menegakkan punggungnya, lalu duduk bersandar pada dinding."Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba datang, dan memaksa masuk ke dalam padahal aku sudah melarangnya," kata Hazel setengah berbisik. "Sekarang dia sedang duduk di ruang tamu. Dia bilang tidak akan pergi sebelum bertemu denganmu.""Kenapa kau tidak mengusirnya pergi? Seharusnya kau tahu apa yang perlu kau lakukan pada tamu tidak diundang itu," ucap Dean disertai geraman yang keras.Hazel menyentuh keningnya. Kepalanya mendadak terasa sakit. Dia tidak mau disalahkan begitu saja karena kejadian ini tidak pernah dia duga sama sekali."Aku tidak tahu. Kau tidak memperingatkan sebelumnya," kilah Hazel tidak kalah kesal. Setelah itu Hazel mendengar Dean memutus sambungan telponnya. Dia berdiam diri cukup lama, memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Hazel melirik kesal ke arah ruang tamu. Wanita itu membuat segalanya bertambah rumit."Bagaimana? Apa kau
"Apa kau ingin menceramahiku?"Hazel mundur beberapa langkah. Bibirnya bungkam seribu bahasa. Otaknya tiba-tiba buntu. Dia tidak memiliki ide apa pun untuk diungkapkan."Kenapa kau hanya diam? Kau seperti bukan Hazel yang aku kenal," sergah Dean setelah beberapa saat."Aku ...." Hazel tergagap. "Aku tidak berhak memberimu komentar karena aku tidak mengetahui permasalahanmu dengannya. Juga, itu bukan urusanku."Setelah mengucapkan kata-kata itu, Hazel bergegas meninggalkan Dean. Dia meletakkan koper Dean di kamar laki-laki itu. Lalu, dia masuk ke kamarnya sendiri. Malam semakin larut, dia ingin merebahkan tubuhnya yang terasa kaku.Sementara itu, Dean masih berdiam diri di ruang keluarga. Mantan kekasihnya telah meninggalkan rumahnya setengah jam lalu. Dia merenung dan tidak habis pikir, Gladis nekat datang ke sini setelah hubungan mereka berakhir. Padahal dulu dia sudah menegaskan tidak ingin bertemu dengan Gladis kembali."Aku sudah mengantar Gladis sampai ke rumahnya. Sepanjang perja
"Setelah makan malam, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Dean saat pelayan mengantar pesanan. Sejak tadi Khanza lebih banyak diam. Gadis itu seolah sengaja menghindari dirinya."Tidak ada. Aku ingin pulang secepatnya. Hari ini sangat berat bagiku," jawab Khanza malas-malasan."Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita segera menghabiskan makanan ini," timpal Dean.Dalam hati sebenarnya Dean tengah memendam rasa kesal. Acara makan malam ini bukan idenya, melainkan ide ayah Khanza. Seharusnya gadis itu bisa menjaga sikapnya. Setidaknya Khanza bisa berpura-pura sedikit, bukannya menunjukkan sikap menyebalkan seperti sekarang."Apa kau sudah memiliki seorang kekasih?" tanya Dean terus terang. Pertanyaannya itu membuat Khanza tersedak oleh makanannya.Khanza mengerjap beberapa kali. Buru-buru dia meraih gelas minumannya. Dadanya terasa sangat sesak. Pertanyaan Dean sungguh di luar dugaan."Maaf, kau tadi bertanya apa?" Khanza balas bertanya.Dean mendengus kesal. Bukankah tadi suaranya terdenga
“Aku keberatan dengan pernikahan ini. Karena ….”Mata Dean melebar saat melihat sosok yang menyusuri lorong aula tempat acara berlangsung. Sosok itu ramping dan berbalut busana dari satin berwarna merah maroon. Gaun itu berdesir mengiringi langkahnya yang mantap. Wajah wanita itu pucat, tapi penuh tekad. Sangat cantik. Gadis itu Hazel. Kakak kekasih adiknya. Dean pernah bertemu Hazel satu kali. Dean bergerak cepat. Dia membawa gadis itu menjauh sebelum acara sakral hari ini jatuh berantakan. “Berhenti di sini!”“Lepaskan tanganku!” bentak Hazel berusaha menepis tangan Dean. Cengkeraman di tangannya terlalu kuat, dia merasa kesulitan saat akan membebaskan dirinya. Dean bergeming. "Sebaiknya kau ikut aku keluar dari sini sekarang." Dia menarik, lebih tepatnya menyeret Hazel keluar dari gedung itu. Hazel meronta-ronta, tapi sia-sia. Seolah tubuhnya seringan kapas dan mudah dibawa ke mana-mana.“Sebaiknya kau diam kalau tidak ingin terluka,” ucap Dean tajam, lalu mengatupkan bibirnya
"Olivia … Olivia …,” ucap Hazel pelan memanggil adiknya yang telah meninggal.Tubuh Hazel bergetar, kedua lututnya seolah goyah. Beruntungnya dia bisa menjaga keseimbangannya agar tidak ambruk. Dia berhasil berpegangan pada dinding di belakangnya.“Sebaiknya kau duduk dulu.” Dean menyentuh pundak Hazel pelan. Tiba-tiba muncul rasa simpati di dalam hatinya. Menghibur seorang gadis yang sedang berduka bukanlah gayanya. Tapi di tengah suasana seperti ini, dia terpaksa mengesampingkan ego dan gengsinya. Hazel menoleh sebentar, menepis tangan Dean dengan kasar. “Aku tidak butuh perhatianmu.”“Aku sungguh-sungguh turut berdukacita atas kematian adikmu dan bayinya,” gumam Dean lirih dan kaku.Hazel mundur selangkah, membalikkan tubuhnya perlahan. Kini di depannya Dean tampak menjulang tinggi. Dia merasa terintimidasi oleh keberadaan laki-laki itu.“Bukan kalimat itu yang ingin aku dengar. Adikku tidak mungkin bangkit lagi setelah semua omong kosong yang keluar dari mulut jahatmu. Sekarang
"Benarkah itu?" Hazel menatap Dean dengan sorot tidak percaya. Sungguh di luar dugaan. Hidupnya kini tidak sama lagi. Hazel merasa seperti ditelanjangi."Katakan padaku. Apakah kau benar-benar memata-matai diriku?" tanya Hazel mencoba untuk tidak mempercayai perkataan Dean sebelumnya."Coba kau tebak kenapa aku bisa melakukannya?" tantang Dean secara terang-terangan. "Aku tidak menyangka kau bisa bertindak serendah itu," balas Hazel dengan ekspresi jijik yang tercetak jelas di wajahnya.Dean mengibaskan tangannya sesantai mungkin. Cukup sering dia mendengar umpatan kasar seperti itu, lebih-lebih dari mantan-mantan kekasihnya. Dia pun menyadari ternyata di mana pun perempuan sama saja, suka merajuk sekaligus mengumpat."Aku tidak mempunyai pilihan lain. Nama baik keluargaku lebih penting dibandingkan dengan hidupmu yang tidak memiliki apa-apa," jawab Dean ringan, seolah tidak terbebani sama sekali.Sejak kemarin dia telah menyuruh asisten pribadinya untuk memeriksa semua informasi ya
Suara dengungan lebah seolah berputar di sekeliling Hazel. Dia tertegun di tempatnya. Kata-kata yang baru saja dia dengar seperti sebuah hantaman batu besar yang menimpa kepalanya.“Tega sekali kau melakukan itu,” ucap Hazel lirih, lalu mundur ke belakang. Tubuhnya membentur dinding, menimbulkan rasa nyeri di punggung.“Aku hanya melakukan hal yang semestinya. Itu adalah ganjaran dari perbuatanmu padaku,” ucap Dean santai. Dean perlahan melangkah masuk ke dalam. Sebuah kursi tanpa sandaran menarik perhatiannya. Dia pun mendudukinya dengan gaya yang anggun tidak tercela.“Aku tidak percaya kau mengatakannya. Apa alasannya kau melakukan itu?!” teriak Hazel histeris. Laki-laki angkuh di depannya itu berani bermain-main dengan nasibnya. Dean membuka jaketnya. Dia mengeluarkan koran yang telah selesai dia baca, lalu melemparnya tepat mengenai tubuh Hazel. Sorot matanya memancarkan kebencian saat menatap wajah pucat Hazel."Lihat ulahmu! Karena dirimu, reputasi perusahaanku hancur, dan ni
"Setelah makan malam, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Dean saat pelayan mengantar pesanan. Sejak tadi Khanza lebih banyak diam. Gadis itu seolah sengaja menghindari dirinya."Tidak ada. Aku ingin pulang secepatnya. Hari ini sangat berat bagiku," jawab Khanza malas-malasan."Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita segera menghabiskan makanan ini," timpal Dean.Dalam hati sebenarnya Dean tengah memendam rasa kesal. Acara makan malam ini bukan idenya, melainkan ide ayah Khanza. Seharusnya gadis itu bisa menjaga sikapnya. Setidaknya Khanza bisa berpura-pura sedikit, bukannya menunjukkan sikap menyebalkan seperti sekarang."Apa kau sudah memiliki seorang kekasih?" tanya Dean terus terang. Pertanyaannya itu membuat Khanza tersedak oleh makanannya.Khanza mengerjap beberapa kali. Buru-buru dia meraih gelas minumannya. Dadanya terasa sangat sesak. Pertanyaan Dean sungguh di luar dugaan."Maaf, kau tadi bertanya apa?" Khanza balas bertanya.Dean mendengus kesal. Bukankah tadi suaranya terdenga
"Apa kau ingin menceramahiku?"Hazel mundur beberapa langkah. Bibirnya bungkam seribu bahasa. Otaknya tiba-tiba buntu. Dia tidak memiliki ide apa pun untuk diungkapkan."Kenapa kau hanya diam? Kau seperti bukan Hazel yang aku kenal," sergah Dean setelah beberapa saat."Aku ...." Hazel tergagap. "Aku tidak berhak memberimu komentar karena aku tidak mengetahui permasalahanmu dengannya. Juga, itu bukan urusanku."Setelah mengucapkan kata-kata itu, Hazel bergegas meninggalkan Dean. Dia meletakkan koper Dean di kamar laki-laki itu. Lalu, dia masuk ke kamarnya sendiri. Malam semakin larut, dia ingin merebahkan tubuhnya yang terasa kaku.Sementara itu, Dean masih berdiam diri di ruang keluarga. Mantan kekasihnya telah meninggalkan rumahnya setengah jam lalu. Dia merenung dan tidak habis pikir, Gladis nekat datang ke sini setelah hubungan mereka berakhir. Padahal dulu dia sudah menegaskan tidak ingin bertemu dengan Gladis kembali."Aku sudah mengantar Gladis sampai ke rumahnya. Sepanjang perja
"Bisa kau ulangi sekali lagi? Wanita muda yang mana?" tanya Dean gusar. Dia menegakkan punggungnya, lalu duduk bersandar pada dinding."Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba datang, dan memaksa masuk ke dalam padahal aku sudah melarangnya," kata Hazel setengah berbisik. "Sekarang dia sedang duduk di ruang tamu. Dia bilang tidak akan pergi sebelum bertemu denganmu.""Kenapa kau tidak mengusirnya pergi? Seharusnya kau tahu apa yang perlu kau lakukan pada tamu tidak diundang itu," ucap Dean disertai geraman yang keras.Hazel menyentuh keningnya. Kepalanya mendadak terasa sakit. Dia tidak mau disalahkan begitu saja karena kejadian ini tidak pernah dia duga sama sekali."Aku tidak tahu. Kau tidak memperingatkan sebelumnya," kilah Hazel tidak kalah kesal. Setelah itu Hazel mendengar Dean memutus sambungan telponnya. Dia berdiam diri cukup lama, memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Hazel melirik kesal ke arah ruang tamu. Wanita itu membuat segalanya bertambah rumit."Bagaimana? Apa kau
Hazel terdiam selama beberapa saat. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sekarang waktu seolah berhenti berputar.“Kenapa tiba-tiba kau mengatakannya?” Hazel tersenyum masam setelah berhasil menguasai dirinya kembali.“Tidak ada alasan. Aku hanya ingin mengatakannya sekarang.” Dean mengedikkan bahunya. Setelah kejadian semalam, dia mulai menyadari dirinya telah melakukan kesalahan.Hening kembali. Hazel kehilangan kata-kata. Perasaan canggung melingkupi hatinya. “Rasanya sudah terlambat. Olivia telah pergi. Dia tidak mungkin mendengar permintaan maafmu,” kata Hazel. “Tapi, aku percaya. Meskipun kau tidak meminta maaf padanya secara langung, dia pasti telah memaafkanmu.”“Aku tahu itu,” gumam Dean. Dia menatap lurus ke arah Hazel. Ekspresi wajah gadis itu tidak bisa terbaca olehnya."Kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku akan kembali ke dapur," kata Hazel kemudian.Pikirnya, dia tidak mau berdiam diri terlalu lama di sini. Hanya berdua dengan Dean, membuat seluruh tubuhnya t
"Kau ….”Hazel berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya terangkat. Jari telunjuknya mengarah pada Brian yang sama terkejutnya dengan dirinya.“Kenapa kau berada di rumah kakakku?” seru Brian sambil geleng-geleng kepala.Brian belum sempat mendapatkan jawaban dari Hazel ketika Dean datang menyela. Dia terpaksa mengurungkan niatnya untuk mencerca Hazel dengan banyak pertanyaan. Mungkin nanti dia memiliki kesempatan untuk mencari tahu.“Sebaiknya kita makan malam dulu,” ucap Dean, lalu berjalan melewati adiknya.Hazel membantu Sana meletakkan piring-piring berisi makanan di atas meja. Sesekali dia melirik ke arah Brian, tidak jarang mereka saling bertatapan. Saat itu terjadi, Hazel segera memalingkan wajahnya. Tatapan Brian yang tajam seolah ingin menelan dia hidup-hidup."Kalau kau ingin tahu kenapa Hazel bisa tinggal di sini, jawabnya adalah karena aku yang menyuruhnya. Dia akan bekerja di rumah ini." Dean menjelaskan dengan santai, terlihat tidak peduli dengan wajah Brian yang berubah
“Apa kau gila?” tanya Hazel setengah berteriak.Hazel merapatkan bibirnya. Giginya saling beradu. Siapa yang menyangka hidupnya sekarang berada di tangan orang lain? Bukankah ini seperti lelucon bagi dirinya?“Seperti yang aku bilang tadi, kau akan bekerja di sini. Terlepas dari situasi dirimu yang tidak memiliki pekerjaan, aku bisa mengawasi dirimu kapan saja tanpa perlu khawatir kau akan melakukan tindakan yang bodoh,” ucap Dean santai.Hazel menatap Dean yang bersandar di kusen jendela dengan salah satu kaki menekuk dan satu tangannya masuk ke dalam saku celana jinsnya. Dean terlihat sangat tampan dengan pesonanya yang tidak dapat dipungkiri. Menyadari itu, Hazel memutar kepalanya, menghadap ke arah lain. Dia merasa takut hatinya tidak sanggup menahan diri hingga akhirnya jatuh cinta pada Dean.“Terserah. Aku yakin aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti perintahmu,” sahut Hazel akhirnya. Dia tidak ingin mendebat sesuatu yang mengakibatkan kekalahan baginya.“Kau bisa bekerja m
Suara dengungan lebah seolah berputar di sekeliling Hazel. Dia tertegun di tempatnya. Kata-kata yang baru saja dia dengar seperti sebuah hantaman batu besar yang menimpa kepalanya.“Tega sekali kau melakukan itu,” ucap Hazel lirih, lalu mundur ke belakang. Tubuhnya membentur dinding, menimbulkan rasa nyeri di punggung.“Aku hanya melakukan hal yang semestinya. Itu adalah ganjaran dari perbuatanmu padaku,” ucap Dean santai. Dean perlahan melangkah masuk ke dalam. Sebuah kursi tanpa sandaran menarik perhatiannya. Dia pun mendudukinya dengan gaya yang anggun tidak tercela.“Aku tidak percaya kau mengatakannya. Apa alasannya kau melakukan itu?!” teriak Hazel histeris. Laki-laki angkuh di depannya itu berani bermain-main dengan nasibnya. Dean membuka jaketnya. Dia mengeluarkan koran yang telah selesai dia baca, lalu melemparnya tepat mengenai tubuh Hazel. Sorot matanya memancarkan kebencian saat menatap wajah pucat Hazel."Lihat ulahmu! Karena dirimu, reputasi perusahaanku hancur, dan ni
"Benarkah itu?" Hazel menatap Dean dengan sorot tidak percaya. Sungguh di luar dugaan. Hidupnya kini tidak sama lagi. Hazel merasa seperti ditelanjangi."Katakan padaku. Apakah kau benar-benar memata-matai diriku?" tanya Hazel mencoba untuk tidak mempercayai perkataan Dean sebelumnya."Coba kau tebak kenapa aku bisa melakukannya?" tantang Dean secara terang-terangan. "Aku tidak menyangka kau bisa bertindak serendah itu," balas Hazel dengan ekspresi jijik yang tercetak jelas di wajahnya.Dean mengibaskan tangannya sesantai mungkin. Cukup sering dia mendengar umpatan kasar seperti itu, lebih-lebih dari mantan-mantan kekasihnya. Dia pun menyadari ternyata di mana pun perempuan sama saja, suka merajuk sekaligus mengumpat."Aku tidak mempunyai pilihan lain. Nama baik keluargaku lebih penting dibandingkan dengan hidupmu yang tidak memiliki apa-apa," jawab Dean ringan, seolah tidak terbebani sama sekali.Sejak kemarin dia telah menyuruh asisten pribadinya untuk memeriksa semua informasi ya
"Olivia … Olivia …,” ucap Hazel pelan memanggil adiknya yang telah meninggal.Tubuh Hazel bergetar, kedua lututnya seolah goyah. Beruntungnya dia bisa menjaga keseimbangannya agar tidak ambruk. Dia berhasil berpegangan pada dinding di belakangnya.“Sebaiknya kau duduk dulu.” Dean menyentuh pundak Hazel pelan. Tiba-tiba muncul rasa simpati di dalam hatinya. Menghibur seorang gadis yang sedang berduka bukanlah gayanya. Tapi di tengah suasana seperti ini, dia terpaksa mengesampingkan ego dan gengsinya. Hazel menoleh sebentar, menepis tangan Dean dengan kasar. “Aku tidak butuh perhatianmu.”“Aku sungguh-sungguh turut berdukacita atas kematian adikmu dan bayinya,” gumam Dean lirih dan kaku.Hazel mundur selangkah, membalikkan tubuhnya perlahan. Kini di depannya Dean tampak menjulang tinggi. Dia merasa terintimidasi oleh keberadaan laki-laki itu.“Bukan kalimat itu yang ingin aku dengar. Adikku tidak mungkin bangkit lagi setelah semua omong kosong yang keluar dari mulut jahatmu. Sekarang