Share

Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin
Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin
Penulis: NayNay

Tamu Tidak Diundang

Penulis: NayNay
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Aku keberatan dengan pernikahan ini. Karena ….”

Mata Dean melebar saat melihat sosok yang menyusuri lorong aula tempat acara berlangsung. Sosok itu ramping dan berbalut busana dari satin berwarna merah maroon. Gaun itu berdesir mengiringi langkahnya yang mantap. Wajah wanita itu pucat, tapi penuh tekad. Sangat cantik.

Gadis itu Hazel. Kakak kekasih adiknya. Dean pernah bertemu Hazel satu kali. Dean bergerak cepat. Dia membawa gadis itu menjauh sebelum acara sakral hari ini jatuh berantakan.

“Berhenti di sini!”

“Lepaskan tanganku!” bentak Hazel berusaha menepis tangan Dean. Cengkeraman di tangannya terlalu kuat, dia merasa kesulitan saat akan membebaskan dirinya.

Dean bergeming. "Sebaiknya kau ikut aku keluar dari sini sekarang." Dia menarik, lebih tepatnya menyeret Hazel keluar dari gedung itu.

Hazel meronta-ronta, tapi sia-sia. Seolah tubuhnya seringan kapas dan mudah dibawa ke mana-mana.

“Sebaiknya kau diam kalau tidak ingin terluka,” ucap Dean tajam, lalu mengatupkan bibirnya rapat. Dia mencoba membawa Hazel ke tempat parkir dengan susah payah.

Dean mendorong tubuh langsing Hazel masuk ke dalam mobilnya. Dia melangkah cepat masuk ke sisi pengemudi karena khawatir tawanannya bisa kabur dari hadapannya.

"Apa yang kau lakukan? Biarkan aku pergi!" teriak Hazel histeris.

Dean melirik sekilas saat Hazel berusaha membuka pintu mobil. Dia tidak peduli, langsung menginjak pedal gas hingga mobil itu melaju kencang.

"Tidak! Sebelum aku membawamu pergi sejauh mungkin dari sini. Aku tidak ingin kau mempermalukan keluargaku lagi. Terutama adikku." Dean berkata tajam tanpa melihat ke arah lawan bicaranya.

Kemarahan yang dia rasakan sejak tadi sepertinya tidak bisa dia tahan lebih lama lagi. Tepat berada di puncak ubun-ubun kepalanya. Itu karena Hazel.

"Kau akan menyesal telah melakukan ini!" ancam Hazel setengah berteriak.

"Tidak akan. Aku telah melakukan tindakan yang benar. Kalau aku membiarkan dirimu berbuat sesuka hati maka ada kekacauan besar setelah itu. Apa itu keinginanmu?!" balas Dean tidak kalah sengit.

"Kau sama sekali tidak mengerti dengan tindakanmu ini." Hazel geleng-geleng kepala sambil mendengus kesal.

"Adikmu tidak boleh menikah dengan wanita lain." Kedua tangannya terkepal di pangkuan dan buku-buku jarinya memutih semua saat mengucapkan kata-kata itu.

"Duduklah dengan tenang. Atau kau ingin kita celaka?"

Hazel menepuk tangannya keras sambil tertawa sinis. “Hebat. Kau sungguh kakak yang mulia,” sindir Hazel.

“Kau tidak perlu sesinis itu. Kau pasti akan melakukan hal yang sama demi keluargamu,” balas Dean tidak mau kalah.

“Itu lah yang aku lakukan tadi. Demi keluargaku aku harus rela mempermalukan diriku. Apa kau pikir aku mau melakukan tindakan itu tanpa alasan?” Hazel menoleh ke arah Raefal, menatap laki-laki itu tajam.

“Hanya alasan. Tindakanmu yang ingin menggagalkan pernikahan Brian adalah tindakan bodoh dan kekanak-kekanakan.”

Hazel menarik napas panjang. Berbicara dengan laki-laki itu sungguh menguras tenaga serta emosinya. “Aku tidak melakukan itu untukku. Kalau saja kau mau menemui Olivia enam bulan lalu, aku pasti tidak akan berbuat sejauh ini,” bisik Hazel lirih.

Dean membanting setir ke kiri. Mobil yang dia kendarai menimbulkan bunyi decit yang panjang saat dia mencoba menghentikannya. Mobil itu hampir mengenai pohon besar di pinggir jalan.

“Apa maksudmu sebenarnya?" Dia menekan dahinya. Rasanya kepalanya mau pecah.

“Adikku, Olivia. Dia pernah datang ke kantormu. Dia sangat berharap padamu. Sayangnya, dia belum sempat menemuimu karena kau telah menyuruh orang lain untuk mengusir dia seperti sampah,” ucap Hazel getir. Suaranya terdengar sangat bergetar.

Dean mengerutkan keningnya, berusaha mengingat sesuatu. Mungkin saja ada yang terlewat dari pikirannya. Kenyataannya usahanya tidak membuahkan hasil.

"Aku tidak ingat sama sekali. Biasanya asistenku memberi tahu bila aku kedatangan seorang tamu."

“Tentu saja kau tidak mengingatnya. Bagimu Olivia hanya pengganggu ketenanganmu, jadi kau tidak terlalu menggubrisnya," ucap Hazel histeris.

Dean menarik napas panjang. Sepertinya obrolan ini tidak akan selesai dan tidak menemukan titik temunya. Sejak tadi Hazel hanya memutar-mutar ucapannya.

“Dengar! Sebaiknya kau berterus terang. Apa maumu sebenarnya?”

“Aku ingin Brian membatalkan pernikahannya karena Olivia membutuhkan dia sekarang. Saat ini adikku sedang berjuang antara hidup dan mati demi bisa melahirkan anaknya!” ucap Hazel berapi-api.

Dean tercengang di balik roda kemudi. Kata-kata Hazel membuat telinganya berdengung. Rentetan kalimat yang beberapa menit lalu dia dengar benar-benar mengguncang dirinya. Antara percaya dan tidak percaya.

"Katakan itu tidak benar," ucapnya lirih sambil geleng-geleng kepala.

Selama ini Brian tidak pernah menunjukkan bahwa dirinya memiliki kekasih lain. Gadis di depannya pasti berkata bohong. Brian yang dia kenal adalah seorang laki-laki yang baik dan bertanggung jawab.

"Terserah apa katamu. Yang pasti sekarang kau harus membawaku kembali. Olivia sekarang sangat membutuhkan aku," pungkas Hazel.

"Kau bilang adikmu melahirkan bayi Brian. Apakah dia tahu tentang kebenaran ini?" desak Dean. Dia harus mendapatkan jawabannya karena semua ini menyangkut nama baik keluarganya.

Hazel tersenyum sinis. Kalau tidak ingat kondisi Olivia saat ini, mungkin dia akan melayangkan tinjunya ke wajah tampan laki-laki itu. Tapi, dia memilih untuk tidak melakukannya, dan berusaha menahan amarahnya.

"Brian sudah tahu semuanya. Kehamilan Olivia, termasuk resiko yang menyertainya. Olivia gigih mempertahankan bayinya karena ingin tetap bersama Brian. Tapi, kenyataannya Brian tetap meninggalkan dia."

Meskipun sudah terlambat, Hazel masih memiliki setitik harapan agar pernikahan Brian dibatalkan. Demi Olivia, dia rela melakukan apa saja. Termasuk dengan merendahkan harga dirinya.

"Kau pasti berbohong. Aku mengenal adikku dengan baik."

Dean masih kukuh pada pendiriannya. Sebelum mendengar langsung dari adiknya, dia tidak akan mudah percaya begitu saja. Hazel boleh berbicara apa saja, tapi dia tidak mau terperdaya.

Hazel memutar kepalanya. "Apa kau akan terus melindungi adikmu walaupun dia telah melakukan kesalahan yang fatal?" Hazel menatap Dean lurus. "Aku tidak akan berbuat hingga sejauh ini bila tidak tahu kebenarannya."

"Kalau semua yang kau katakan adalah kebohongan, aku akan menuntutmu dan menyeretmu ke penjara."

"Baik, aku sama sekali tidak keberatan. Begitu sebaliknya. Bila Olivia terbukti mengandung anak Brian, aku pastikan semua keluargamu menanggung malu yang amat besar." Hazel berkata dengan nada berapi-api.

"Aku berencana membawa masalah ini ke salah satu portal berita terkemuka. Lihat saja apa yang bisa aku dapatkan dari sana," ancam Hazel. Sama sekali tidak tampak rasa takut di wajahnya.

Dean menarik tangan Abel, mencengkeramnya kuat. “Jangan pernah mencoba mengancamku! Kalau kau tidak ingin menyesal.”

Hazel mendengus, lalu tersenyum masam. “Aku bukan anak kecil yang mudah kau takut-takuti. Lagi pula aku tidak memiliki apa-apa yang bisa kupertaruhkan. Aku hanya ingin memperjuangkan apa yang menjadi hak adikku.”

Dean tidak menyahut. Dia menyalakan mesin mobilnya, kembali memacunya ke jalanan. Dia membawa Hazel ke rumah sakit tempat Olivia dirawat.

***

Hazel berlari seperti orang kesetanan begitu turun dari mobil Dean menuju ruang operasi. Dia harus bergegas. Dia tidak ingin kehilangan adik satu-satunya itu, keluarganya yang masih tersisa.

Seorang dokter laki-laki keluar dari ruang operasi, menghampiri Hazel dengan wajah sayu. Dia menggenggam tangan Hazel sambil menggeleng pelan. Sorot matanya sendu, dan menampakkan kesedihan.

“Maafkan aku. Kami telah berusaha menyelamatkan adikmu, tapi kami tidak mampu berbuat apa-apa. Adikmu meninggal tidak lama usai bayinya lahir.”

"Bagaimana dengan bayinya?" desak Hazel tidak sabaran. Dalam hati masih ada setitik harapan dia tidak kehilangan keduanya.

"Bayinya juga tidak bisa bertahan hidup tidak lama setelah dilahirkan," jawab dokter itu.

Bab terkait

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Pukulan Berat

    "Olivia … Olivia …,” ucap Hazel pelan memanggil adiknya yang telah meninggal.Tubuh Hazel bergetar, kedua lututnya seolah goyah. Beruntungnya dia bisa menjaga keseimbangannya agar tidak ambruk. Dia berhasil berpegangan pada dinding di belakangnya.“Sebaiknya kau duduk dulu.” Dean menyentuh pundak Hazel pelan. Tiba-tiba muncul rasa simpati di dalam hatinya. Menghibur seorang gadis yang sedang berduka bukanlah gayanya. Tapi di tengah suasana seperti ini, dia terpaksa mengesampingkan ego dan gengsinya. Hazel menoleh sebentar, menepis tangan Dean dengan kasar. “Aku tidak butuh perhatianmu.”“Aku sungguh-sungguh turut berdukacita atas kematian adikmu dan bayinya,” gumam Dean lirih dan kaku.Hazel mundur selangkah, membalikkan tubuhnya perlahan. Kini di depannya Dean tampak menjulang tinggi. Dia merasa terintimidasi oleh keberadaan laki-laki itu.“Bukan kalimat itu yang ingin aku dengar. Adikku tidak mungkin bangkit lagi setelah semua omong kosong yang keluar dari mulut jahatmu. Sekarang

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Serangan Balik

    "Benarkah itu?" Hazel menatap Dean dengan sorot tidak percaya. Sungguh di luar dugaan. Hidupnya kini tidak sama lagi. Hazel merasa seperti ditelanjangi."Katakan padaku. Apakah kau benar-benar memata-matai diriku?" tanya Hazel mencoba untuk tidak mempercayai perkataan Dean sebelumnya."Coba kau tebak kenapa aku bisa melakukannya?" tantang Dean secara terang-terangan. "Aku tidak menyangka kau bisa bertindak serendah itu," balas Hazel dengan ekspresi jijik yang tercetak jelas di wajahnya.Dean mengibaskan tangannya sesantai mungkin. Cukup sering dia mendengar umpatan kasar seperti itu, lebih-lebih dari mantan-mantan kekasihnya. Dia pun menyadari ternyata di mana pun perempuan sama saja, suka merajuk sekaligus mengumpat."Aku tidak mempunyai pilihan lain. Nama baik keluargaku lebih penting dibandingkan dengan hidupmu yang tidak memiliki apa-apa," jawab Dean ringan, seolah tidak terbebani sama sekali.Sejak kemarin dia telah menyuruh asisten pribadinya untuk memeriksa semua informasi ya

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Negosiasi

    Suara dengungan lebah seolah berputar di sekeliling Hazel. Dia tertegun di tempatnya. Kata-kata yang baru saja dia dengar seperti sebuah hantaman batu besar yang menimpa kepalanya.“Tega sekali kau melakukan itu,” ucap Hazel lirih, lalu mundur ke belakang. Tubuhnya membentur dinding, menimbulkan rasa nyeri di punggung.“Aku hanya melakukan hal yang semestinya. Itu adalah ganjaran dari perbuatanmu padaku,” ucap Dean santai. Dean perlahan melangkah masuk ke dalam. Sebuah kursi tanpa sandaran menarik perhatiannya. Dia pun mendudukinya dengan gaya yang anggun tidak tercela.“Aku tidak percaya kau mengatakannya. Apa alasannya kau melakukan itu?!” teriak Hazel histeris. Laki-laki angkuh di depannya itu berani bermain-main dengan nasibnya. Dean membuka jaketnya. Dia mengeluarkan koran yang telah selesai dia baca, lalu melemparnya tepat mengenai tubuh Hazel. Sorot matanya memancarkan kebencian saat menatap wajah pucat Hazel."Lihat ulahmu! Karena dirimu, reputasi perusahaanku hancur, dan ni

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Bertemu Kembali

    “Apa kau gila?” tanya Hazel setengah berteriak.Hazel merapatkan bibirnya. Giginya saling beradu. Siapa yang menyangka hidupnya sekarang berada di tangan orang lain? Bukankah ini seperti lelucon bagi dirinya?“Seperti yang aku bilang tadi, kau akan bekerja di sini. Terlepas dari situasi dirimu yang tidak memiliki pekerjaan, aku bisa mengawasi dirimu kapan saja tanpa perlu khawatir kau akan melakukan tindakan yang bodoh,” ucap Dean santai.Hazel menatap Dean yang bersandar di kusen jendela dengan salah satu kaki menekuk dan satu tangannya masuk ke dalam saku celana jinsnya. Dean terlihat sangat tampan dengan pesonanya yang tidak dapat dipungkiri. Menyadari itu, Hazel memutar kepalanya, menghadap ke arah lain. Dia merasa takut hatinya tidak sanggup menahan diri hingga akhirnya jatuh cinta pada Dean.“Terserah. Aku yakin aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti perintahmu,” sahut Hazel akhirnya. Dia tidak ingin mendebat sesuatu yang mengakibatkan kekalahan baginya.“Kau bisa bekerja m

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Pengakuan

    "Kau ….”Hazel berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya terangkat. Jari telunjuknya mengarah pada Brian yang sama terkejutnya dengan dirinya.“Kenapa kau berada di rumah kakakku?” seru Brian sambil geleng-geleng kepala.Brian belum sempat mendapatkan jawaban dari Hazel ketika Dean datang menyela. Dia terpaksa mengurungkan niatnya untuk mencerca Hazel dengan banyak pertanyaan. Mungkin nanti dia memiliki kesempatan untuk mencari tahu.“Sebaiknya kita makan malam dulu,” ucap Dean, lalu berjalan melewati adiknya.Hazel membantu Sana meletakkan piring-piring berisi makanan di atas meja. Sesekali dia melirik ke arah Brian, tidak jarang mereka saling bertatapan. Saat itu terjadi, Hazel segera memalingkan wajahnya. Tatapan Brian yang tajam seolah ingin menelan dia hidup-hidup."Kalau kau ingin tahu kenapa Hazel bisa tinggal di sini, jawabnya adalah karena aku yang menyuruhnya. Dia akan bekerja di rumah ini." Dean menjelaskan dengan santai, terlihat tidak peduli dengan wajah Brian yang berubah

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Sendirian

    Hazel terdiam selama beberapa saat. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sekarang waktu seolah berhenti berputar.“Kenapa tiba-tiba kau mengatakannya?” Hazel tersenyum masam setelah berhasil menguasai dirinya kembali.“Tidak ada alasan. Aku hanya ingin mengatakannya sekarang.” Dean mengedikkan bahunya. Setelah kejadian semalam, dia mulai menyadari dirinya telah melakukan kesalahan.Hening kembali. Hazel kehilangan kata-kata. Perasaan canggung melingkupi hatinya. “Rasanya sudah terlambat. Olivia telah pergi. Dia tidak mungkin mendengar permintaan maafmu,” kata Hazel. “Tapi, aku percaya. Meskipun kau tidak meminta maaf padanya secara langung, dia pasti telah memaafkanmu.”“Aku tahu itu,” gumam Dean. Dia menatap lurus ke arah Hazel. Ekspresi wajah gadis itu tidak bisa terbaca olehnya."Kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku akan kembali ke dapur," kata Hazel kemudian.Pikirnya, dia tidak mau berdiam diri terlalu lama di sini. Hanya berdua dengan Dean, membuat seluruh tubuhnya t

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Tidak Mungkin Kembali

    "Bisa kau ulangi sekali lagi? Wanita muda yang mana?" tanya Dean gusar. Dia menegakkan punggungnya, lalu duduk bersandar pada dinding."Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba datang, dan memaksa masuk ke dalam padahal aku sudah melarangnya," kata Hazel setengah berbisik. "Sekarang dia sedang duduk di ruang tamu. Dia bilang tidak akan pergi sebelum bertemu denganmu.""Kenapa kau tidak mengusirnya pergi? Seharusnya kau tahu apa yang perlu kau lakukan pada tamu tidak diundang itu," ucap Dean disertai geraman yang keras.Hazel menyentuh keningnya. Kepalanya mendadak terasa sakit. Dia tidak mau disalahkan begitu saja karena kejadian ini tidak pernah dia duga sama sekali."Aku tidak tahu. Kau tidak memperingatkan sebelumnya," kilah Hazel tidak kalah kesal. Setelah itu Hazel mendengar Dean memutus sambungan telponnya. Dia berdiam diri cukup lama, memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Hazel melirik kesal ke arah ruang tamu. Wanita itu membuat segalanya bertambah rumit."Bagaimana? Apa kau

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Tidak Bisa Dipercaya

    "Apa kau ingin menceramahiku?"Hazel mundur beberapa langkah. Bibirnya bungkam seribu bahasa. Otaknya tiba-tiba buntu. Dia tidak memiliki ide apa pun untuk diungkapkan."Kenapa kau hanya diam? Kau seperti bukan Hazel yang aku kenal," sergah Dean setelah beberapa saat."Aku ...." Hazel tergagap. "Aku tidak berhak memberimu komentar karena aku tidak mengetahui permasalahanmu dengannya. Juga, itu bukan urusanku."Setelah mengucapkan kata-kata itu, Hazel bergegas meninggalkan Dean. Dia meletakkan koper Dean di kamar laki-laki itu. Lalu, dia masuk ke kamarnya sendiri. Malam semakin larut, dia ingin merebahkan tubuhnya yang terasa kaku.Sementara itu, Dean masih berdiam diri di ruang keluarga. Mantan kekasihnya telah meninggalkan rumahnya setengah jam lalu. Dia merenung dan tidak habis pikir, Gladis nekat datang ke sini setelah hubungan mereka berakhir. Padahal dulu dia sudah menegaskan tidak ingin bertemu dengan Gladis kembali."Aku sudah mengantar Gladis sampai ke rumahnya. Sepanjang perja

Bab terbaru

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Kesal

    "Setelah makan malam, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Dean saat pelayan mengantar pesanan. Sejak tadi Khanza lebih banyak diam. Gadis itu seolah sengaja menghindari dirinya."Tidak ada. Aku ingin pulang secepatnya. Hari ini sangat berat bagiku," jawab Khanza malas-malasan."Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita segera menghabiskan makanan ini," timpal Dean.Dalam hati sebenarnya Dean tengah memendam rasa kesal. Acara makan malam ini bukan idenya, melainkan ide ayah Khanza. Seharusnya gadis itu bisa menjaga sikapnya. Setidaknya Khanza bisa berpura-pura sedikit, bukannya menunjukkan sikap menyebalkan seperti sekarang."Apa kau sudah memiliki seorang kekasih?" tanya Dean terus terang. Pertanyaannya itu membuat Khanza tersedak oleh makanannya.Khanza mengerjap beberapa kali. Buru-buru dia meraih gelas minumannya. Dadanya terasa sangat sesak. Pertanyaan Dean sungguh di luar dugaan."Maaf, kau tadi bertanya apa?" Khanza balas bertanya.Dean mendengus kesal. Bukankah tadi suaranya terdenga

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Tidak Bisa Dipercaya

    "Apa kau ingin menceramahiku?"Hazel mundur beberapa langkah. Bibirnya bungkam seribu bahasa. Otaknya tiba-tiba buntu. Dia tidak memiliki ide apa pun untuk diungkapkan."Kenapa kau hanya diam? Kau seperti bukan Hazel yang aku kenal," sergah Dean setelah beberapa saat."Aku ...." Hazel tergagap. "Aku tidak berhak memberimu komentar karena aku tidak mengetahui permasalahanmu dengannya. Juga, itu bukan urusanku."Setelah mengucapkan kata-kata itu, Hazel bergegas meninggalkan Dean. Dia meletakkan koper Dean di kamar laki-laki itu. Lalu, dia masuk ke kamarnya sendiri. Malam semakin larut, dia ingin merebahkan tubuhnya yang terasa kaku.Sementara itu, Dean masih berdiam diri di ruang keluarga. Mantan kekasihnya telah meninggalkan rumahnya setengah jam lalu. Dia merenung dan tidak habis pikir, Gladis nekat datang ke sini setelah hubungan mereka berakhir. Padahal dulu dia sudah menegaskan tidak ingin bertemu dengan Gladis kembali."Aku sudah mengantar Gladis sampai ke rumahnya. Sepanjang perja

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Tidak Mungkin Kembali

    "Bisa kau ulangi sekali lagi? Wanita muda yang mana?" tanya Dean gusar. Dia menegakkan punggungnya, lalu duduk bersandar pada dinding."Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba datang, dan memaksa masuk ke dalam padahal aku sudah melarangnya," kata Hazel setengah berbisik. "Sekarang dia sedang duduk di ruang tamu. Dia bilang tidak akan pergi sebelum bertemu denganmu.""Kenapa kau tidak mengusirnya pergi? Seharusnya kau tahu apa yang perlu kau lakukan pada tamu tidak diundang itu," ucap Dean disertai geraman yang keras.Hazel menyentuh keningnya. Kepalanya mendadak terasa sakit. Dia tidak mau disalahkan begitu saja karena kejadian ini tidak pernah dia duga sama sekali."Aku tidak tahu. Kau tidak memperingatkan sebelumnya," kilah Hazel tidak kalah kesal. Setelah itu Hazel mendengar Dean memutus sambungan telponnya. Dia berdiam diri cukup lama, memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Hazel melirik kesal ke arah ruang tamu. Wanita itu membuat segalanya bertambah rumit."Bagaimana? Apa kau

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Sendirian

    Hazel terdiam selama beberapa saat. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sekarang waktu seolah berhenti berputar.“Kenapa tiba-tiba kau mengatakannya?” Hazel tersenyum masam setelah berhasil menguasai dirinya kembali.“Tidak ada alasan. Aku hanya ingin mengatakannya sekarang.” Dean mengedikkan bahunya. Setelah kejadian semalam, dia mulai menyadari dirinya telah melakukan kesalahan.Hening kembali. Hazel kehilangan kata-kata. Perasaan canggung melingkupi hatinya. “Rasanya sudah terlambat. Olivia telah pergi. Dia tidak mungkin mendengar permintaan maafmu,” kata Hazel. “Tapi, aku percaya. Meskipun kau tidak meminta maaf padanya secara langung, dia pasti telah memaafkanmu.”“Aku tahu itu,” gumam Dean. Dia menatap lurus ke arah Hazel. Ekspresi wajah gadis itu tidak bisa terbaca olehnya."Kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku akan kembali ke dapur," kata Hazel kemudian.Pikirnya, dia tidak mau berdiam diri terlalu lama di sini. Hanya berdua dengan Dean, membuat seluruh tubuhnya t

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Pengakuan

    "Kau ….”Hazel berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya terangkat. Jari telunjuknya mengarah pada Brian yang sama terkejutnya dengan dirinya.“Kenapa kau berada di rumah kakakku?” seru Brian sambil geleng-geleng kepala.Brian belum sempat mendapatkan jawaban dari Hazel ketika Dean datang menyela. Dia terpaksa mengurungkan niatnya untuk mencerca Hazel dengan banyak pertanyaan. Mungkin nanti dia memiliki kesempatan untuk mencari tahu.“Sebaiknya kita makan malam dulu,” ucap Dean, lalu berjalan melewati adiknya.Hazel membantu Sana meletakkan piring-piring berisi makanan di atas meja. Sesekali dia melirik ke arah Brian, tidak jarang mereka saling bertatapan. Saat itu terjadi, Hazel segera memalingkan wajahnya. Tatapan Brian yang tajam seolah ingin menelan dia hidup-hidup."Kalau kau ingin tahu kenapa Hazel bisa tinggal di sini, jawabnya adalah karena aku yang menyuruhnya. Dia akan bekerja di rumah ini." Dean menjelaskan dengan santai, terlihat tidak peduli dengan wajah Brian yang berubah

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Bertemu Kembali

    “Apa kau gila?” tanya Hazel setengah berteriak.Hazel merapatkan bibirnya. Giginya saling beradu. Siapa yang menyangka hidupnya sekarang berada di tangan orang lain? Bukankah ini seperti lelucon bagi dirinya?“Seperti yang aku bilang tadi, kau akan bekerja di sini. Terlepas dari situasi dirimu yang tidak memiliki pekerjaan, aku bisa mengawasi dirimu kapan saja tanpa perlu khawatir kau akan melakukan tindakan yang bodoh,” ucap Dean santai.Hazel menatap Dean yang bersandar di kusen jendela dengan salah satu kaki menekuk dan satu tangannya masuk ke dalam saku celana jinsnya. Dean terlihat sangat tampan dengan pesonanya yang tidak dapat dipungkiri. Menyadari itu, Hazel memutar kepalanya, menghadap ke arah lain. Dia merasa takut hatinya tidak sanggup menahan diri hingga akhirnya jatuh cinta pada Dean.“Terserah. Aku yakin aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti perintahmu,” sahut Hazel akhirnya. Dia tidak ingin mendebat sesuatu yang mengakibatkan kekalahan baginya.“Kau bisa bekerja m

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Negosiasi

    Suara dengungan lebah seolah berputar di sekeliling Hazel. Dia tertegun di tempatnya. Kata-kata yang baru saja dia dengar seperti sebuah hantaman batu besar yang menimpa kepalanya.“Tega sekali kau melakukan itu,” ucap Hazel lirih, lalu mundur ke belakang. Tubuhnya membentur dinding, menimbulkan rasa nyeri di punggung.“Aku hanya melakukan hal yang semestinya. Itu adalah ganjaran dari perbuatanmu padaku,” ucap Dean santai. Dean perlahan melangkah masuk ke dalam. Sebuah kursi tanpa sandaran menarik perhatiannya. Dia pun mendudukinya dengan gaya yang anggun tidak tercela.“Aku tidak percaya kau mengatakannya. Apa alasannya kau melakukan itu?!” teriak Hazel histeris. Laki-laki angkuh di depannya itu berani bermain-main dengan nasibnya. Dean membuka jaketnya. Dia mengeluarkan koran yang telah selesai dia baca, lalu melemparnya tepat mengenai tubuh Hazel. Sorot matanya memancarkan kebencian saat menatap wajah pucat Hazel."Lihat ulahmu! Karena dirimu, reputasi perusahaanku hancur, dan ni

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Serangan Balik

    "Benarkah itu?" Hazel menatap Dean dengan sorot tidak percaya. Sungguh di luar dugaan. Hidupnya kini tidak sama lagi. Hazel merasa seperti ditelanjangi."Katakan padaku. Apakah kau benar-benar memata-matai diriku?" tanya Hazel mencoba untuk tidak mempercayai perkataan Dean sebelumnya."Coba kau tebak kenapa aku bisa melakukannya?" tantang Dean secara terang-terangan. "Aku tidak menyangka kau bisa bertindak serendah itu," balas Hazel dengan ekspresi jijik yang tercetak jelas di wajahnya.Dean mengibaskan tangannya sesantai mungkin. Cukup sering dia mendengar umpatan kasar seperti itu, lebih-lebih dari mantan-mantan kekasihnya. Dia pun menyadari ternyata di mana pun perempuan sama saja, suka merajuk sekaligus mengumpat."Aku tidak mempunyai pilihan lain. Nama baik keluargaku lebih penting dibandingkan dengan hidupmu yang tidak memiliki apa-apa," jawab Dean ringan, seolah tidak terbebani sama sekali.Sejak kemarin dia telah menyuruh asisten pribadinya untuk memeriksa semua informasi ya

  • Terjerat Dalam Perangkap Laki-laki Berhati Dingin   Pukulan Berat

    "Olivia … Olivia …,” ucap Hazel pelan memanggil adiknya yang telah meninggal.Tubuh Hazel bergetar, kedua lututnya seolah goyah. Beruntungnya dia bisa menjaga keseimbangannya agar tidak ambruk. Dia berhasil berpegangan pada dinding di belakangnya.“Sebaiknya kau duduk dulu.” Dean menyentuh pundak Hazel pelan. Tiba-tiba muncul rasa simpati di dalam hatinya. Menghibur seorang gadis yang sedang berduka bukanlah gayanya. Tapi di tengah suasana seperti ini, dia terpaksa mengesampingkan ego dan gengsinya. Hazel menoleh sebentar, menepis tangan Dean dengan kasar. “Aku tidak butuh perhatianmu.”“Aku sungguh-sungguh turut berdukacita atas kematian adikmu dan bayinya,” gumam Dean lirih dan kaku.Hazel mundur selangkah, membalikkan tubuhnya perlahan. Kini di depannya Dean tampak menjulang tinggi. Dia merasa terintimidasi oleh keberadaan laki-laki itu.“Bukan kalimat itu yang ingin aku dengar. Adikku tidak mungkin bangkit lagi setelah semua omong kosong yang keluar dari mulut jahatmu. Sekarang

DMCA.com Protection Status