"Benarkah itu?" Hazel menatap Dean dengan sorot tidak percaya. Sungguh di luar dugaan. Hidupnya kini tidak sama lagi. Hazel merasa seperti ditelanjangi."Katakan padaku. Apakah kau benar-benar memata-matai diriku?" tanya Hazel mencoba untuk tidak mempercayai perkataan Dean sebelumnya."Coba kau tebak kenapa aku bisa melakukannya?" tantang Dean secara terang-terangan. "Aku tidak menyangka kau bisa bertindak serendah itu," balas Hazel dengan ekspresi jijik yang tercetak jelas di wajahnya.Dean mengibaskan tangannya sesantai mungkin. Cukup sering dia mendengar umpatan kasar seperti itu, lebih-lebih dari mantan-mantan kekasihnya. Dia pun menyadari ternyata di mana pun perempuan sama saja, suka merajuk sekaligus mengumpat."Aku tidak mempunyai pilihan lain. Nama baik keluargaku lebih penting dibandingkan dengan hidupmu yang tidak memiliki apa-apa," jawab Dean ringan, seolah tidak terbebani sama sekali.Sejak kemarin dia telah menyuruh asisten pribadinya untuk memeriksa semua informasi ya
Suara dengungan lebah seolah berputar di sekeliling Hazel. Dia tertegun di tempatnya. Kata-kata yang baru saja dia dengar seperti sebuah hantaman batu besar yang menimpa kepalanya.“Tega sekali kau melakukan itu,” ucap Hazel lirih, lalu mundur ke belakang. Tubuhnya membentur dinding, menimbulkan rasa nyeri di punggung.“Aku hanya melakukan hal yang semestinya. Itu adalah ganjaran dari perbuatanmu padaku,” ucap Dean santai. Dean perlahan melangkah masuk ke dalam. Sebuah kursi tanpa sandaran menarik perhatiannya. Dia pun mendudukinya dengan gaya yang anggun tidak tercela.“Aku tidak percaya kau mengatakannya. Apa alasannya kau melakukan itu?!” teriak Hazel histeris. Laki-laki angkuh di depannya itu berani bermain-main dengan nasibnya. Dean membuka jaketnya. Dia mengeluarkan koran yang telah selesai dia baca, lalu melemparnya tepat mengenai tubuh Hazel. Sorot matanya memancarkan kebencian saat menatap wajah pucat Hazel."Lihat ulahmu! Karena dirimu, reputasi perusahaanku hancur, dan ni
“Apa kau gila?” tanya Hazel setengah berteriak.Hazel merapatkan bibirnya. Giginya saling beradu. Siapa yang menyangka hidupnya sekarang berada di tangan orang lain? Bukankah ini seperti lelucon bagi dirinya?“Seperti yang aku bilang tadi, kau akan bekerja di sini. Terlepas dari situasi dirimu yang tidak memiliki pekerjaan, aku bisa mengawasi dirimu kapan saja tanpa perlu khawatir kau akan melakukan tindakan yang bodoh,” ucap Dean santai.Hazel menatap Dean yang bersandar di kusen jendela dengan salah satu kaki menekuk dan satu tangannya masuk ke dalam saku celana jinsnya. Dean terlihat sangat tampan dengan pesonanya yang tidak dapat dipungkiri. Menyadari itu, Hazel memutar kepalanya, menghadap ke arah lain. Dia merasa takut hatinya tidak sanggup menahan diri hingga akhirnya jatuh cinta pada Dean.“Terserah. Aku yakin aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti perintahmu,” sahut Hazel akhirnya. Dia tidak ingin mendebat sesuatu yang mengakibatkan kekalahan baginya.“Kau bisa bekerja m
"Kau ….”Hazel berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya terangkat. Jari telunjuknya mengarah pada Brian yang sama terkejutnya dengan dirinya.“Kenapa kau berada di rumah kakakku?” seru Brian sambil geleng-geleng kepala.Brian belum sempat mendapatkan jawaban dari Hazel ketika Dean datang menyela. Dia terpaksa mengurungkan niatnya untuk mencerca Hazel dengan banyak pertanyaan. Mungkin nanti dia memiliki kesempatan untuk mencari tahu.“Sebaiknya kita makan malam dulu,” ucap Dean, lalu berjalan melewati adiknya.Hazel membantu Sana meletakkan piring-piring berisi makanan di atas meja. Sesekali dia melirik ke arah Brian, tidak jarang mereka saling bertatapan. Saat itu terjadi, Hazel segera memalingkan wajahnya. Tatapan Brian yang tajam seolah ingin menelan dia hidup-hidup."Kalau kau ingin tahu kenapa Hazel bisa tinggal di sini, jawabnya adalah karena aku yang menyuruhnya. Dia akan bekerja di rumah ini." Dean menjelaskan dengan santai, terlihat tidak peduli dengan wajah Brian yang berubah
Hazel terdiam selama beberapa saat. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sekarang waktu seolah berhenti berputar.“Kenapa tiba-tiba kau mengatakannya?” Hazel tersenyum masam setelah berhasil menguasai dirinya kembali.“Tidak ada alasan. Aku hanya ingin mengatakannya sekarang.” Dean mengedikkan bahunya. Setelah kejadian semalam, dia mulai menyadari dirinya telah melakukan kesalahan.Hening kembali. Hazel kehilangan kata-kata. Perasaan canggung melingkupi hatinya. “Rasanya sudah terlambat. Olivia telah pergi. Dia tidak mungkin mendengar permintaan maafmu,” kata Hazel. “Tapi, aku percaya. Meskipun kau tidak meminta maaf padanya secara langung, dia pasti telah memaafkanmu.”“Aku tahu itu,” gumam Dean. Dia menatap lurus ke arah Hazel. Ekspresi wajah gadis itu tidak bisa terbaca olehnya."Kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku akan kembali ke dapur," kata Hazel kemudian.Pikirnya, dia tidak mau berdiam diri terlalu lama di sini. Hanya berdua dengan Dean, membuat seluruh tubuhnya t
"Bisa kau ulangi sekali lagi? Wanita muda yang mana?" tanya Dean gusar. Dia menegakkan punggungnya, lalu duduk bersandar pada dinding."Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba datang, dan memaksa masuk ke dalam padahal aku sudah melarangnya," kata Hazel setengah berbisik. "Sekarang dia sedang duduk di ruang tamu. Dia bilang tidak akan pergi sebelum bertemu denganmu.""Kenapa kau tidak mengusirnya pergi? Seharusnya kau tahu apa yang perlu kau lakukan pada tamu tidak diundang itu," ucap Dean disertai geraman yang keras.Hazel menyentuh keningnya. Kepalanya mendadak terasa sakit. Dia tidak mau disalahkan begitu saja karena kejadian ini tidak pernah dia duga sama sekali."Aku tidak tahu. Kau tidak memperingatkan sebelumnya," kilah Hazel tidak kalah kesal. Setelah itu Hazel mendengar Dean memutus sambungan telponnya. Dia berdiam diri cukup lama, memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Hazel melirik kesal ke arah ruang tamu. Wanita itu membuat segalanya bertambah rumit."Bagaimana? Apa kau
"Apa kau ingin menceramahiku?"Hazel mundur beberapa langkah. Bibirnya bungkam seribu bahasa. Otaknya tiba-tiba buntu. Dia tidak memiliki ide apa pun untuk diungkapkan."Kenapa kau hanya diam? Kau seperti bukan Hazel yang aku kenal," sergah Dean setelah beberapa saat."Aku ...." Hazel tergagap. "Aku tidak berhak memberimu komentar karena aku tidak mengetahui permasalahanmu dengannya. Juga, itu bukan urusanku."Setelah mengucapkan kata-kata itu, Hazel bergegas meninggalkan Dean. Dia meletakkan koper Dean di kamar laki-laki itu. Lalu, dia masuk ke kamarnya sendiri. Malam semakin larut, dia ingin merebahkan tubuhnya yang terasa kaku.Sementara itu, Dean masih berdiam diri di ruang keluarga. Mantan kekasihnya telah meninggalkan rumahnya setengah jam lalu. Dia merenung dan tidak habis pikir, Gladis nekat datang ke sini setelah hubungan mereka berakhir. Padahal dulu dia sudah menegaskan tidak ingin bertemu dengan Gladis kembali."Aku sudah mengantar Gladis sampai ke rumahnya. Sepanjang perja
"Setelah makan malam, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Dean saat pelayan mengantar pesanan. Sejak tadi Khanza lebih banyak diam. Gadis itu seolah sengaja menghindari dirinya."Tidak ada. Aku ingin pulang secepatnya. Hari ini sangat berat bagiku," jawab Khanza malas-malasan."Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita segera menghabiskan makanan ini," timpal Dean.Dalam hati sebenarnya Dean tengah memendam rasa kesal. Acara makan malam ini bukan idenya, melainkan ide ayah Khanza. Seharusnya gadis itu bisa menjaga sikapnya. Setidaknya Khanza bisa berpura-pura sedikit, bukannya menunjukkan sikap menyebalkan seperti sekarang."Apa kau sudah memiliki seorang kekasih?" tanya Dean terus terang. Pertanyaannya itu membuat Khanza tersedak oleh makanannya.Khanza mengerjap beberapa kali. Buru-buru dia meraih gelas minumannya. Dadanya terasa sangat sesak. Pertanyaan Dean sungguh di luar dugaan."Maaf, kau tadi bertanya apa?" Khanza balas bertanya.Dean mendengus kesal. Bukankah tadi suaranya terdenga
"Setelah makan malam, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Dean saat pelayan mengantar pesanan. Sejak tadi Khanza lebih banyak diam. Gadis itu seolah sengaja menghindari dirinya."Tidak ada. Aku ingin pulang secepatnya. Hari ini sangat berat bagiku," jawab Khanza malas-malasan."Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kita segera menghabiskan makanan ini," timpal Dean.Dalam hati sebenarnya Dean tengah memendam rasa kesal. Acara makan malam ini bukan idenya, melainkan ide ayah Khanza. Seharusnya gadis itu bisa menjaga sikapnya. Setidaknya Khanza bisa berpura-pura sedikit, bukannya menunjukkan sikap menyebalkan seperti sekarang."Apa kau sudah memiliki seorang kekasih?" tanya Dean terus terang. Pertanyaannya itu membuat Khanza tersedak oleh makanannya.Khanza mengerjap beberapa kali. Buru-buru dia meraih gelas minumannya. Dadanya terasa sangat sesak. Pertanyaan Dean sungguh di luar dugaan."Maaf, kau tadi bertanya apa?" Khanza balas bertanya.Dean mendengus kesal. Bukankah tadi suaranya terdenga
"Apa kau ingin menceramahiku?"Hazel mundur beberapa langkah. Bibirnya bungkam seribu bahasa. Otaknya tiba-tiba buntu. Dia tidak memiliki ide apa pun untuk diungkapkan."Kenapa kau hanya diam? Kau seperti bukan Hazel yang aku kenal," sergah Dean setelah beberapa saat."Aku ...." Hazel tergagap. "Aku tidak berhak memberimu komentar karena aku tidak mengetahui permasalahanmu dengannya. Juga, itu bukan urusanku."Setelah mengucapkan kata-kata itu, Hazel bergegas meninggalkan Dean. Dia meletakkan koper Dean di kamar laki-laki itu. Lalu, dia masuk ke kamarnya sendiri. Malam semakin larut, dia ingin merebahkan tubuhnya yang terasa kaku.Sementara itu, Dean masih berdiam diri di ruang keluarga. Mantan kekasihnya telah meninggalkan rumahnya setengah jam lalu. Dia merenung dan tidak habis pikir, Gladis nekat datang ke sini setelah hubungan mereka berakhir. Padahal dulu dia sudah menegaskan tidak ingin bertemu dengan Gladis kembali."Aku sudah mengantar Gladis sampai ke rumahnya. Sepanjang perja
"Bisa kau ulangi sekali lagi? Wanita muda yang mana?" tanya Dean gusar. Dia menegakkan punggungnya, lalu duduk bersandar pada dinding."Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba datang, dan memaksa masuk ke dalam padahal aku sudah melarangnya," kata Hazel setengah berbisik. "Sekarang dia sedang duduk di ruang tamu. Dia bilang tidak akan pergi sebelum bertemu denganmu.""Kenapa kau tidak mengusirnya pergi? Seharusnya kau tahu apa yang perlu kau lakukan pada tamu tidak diundang itu," ucap Dean disertai geraman yang keras.Hazel menyentuh keningnya. Kepalanya mendadak terasa sakit. Dia tidak mau disalahkan begitu saja karena kejadian ini tidak pernah dia duga sama sekali."Aku tidak tahu. Kau tidak memperingatkan sebelumnya," kilah Hazel tidak kalah kesal. Setelah itu Hazel mendengar Dean memutus sambungan telponnya. Dia berdiam diri cukup lama, memikirkan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Hazel melirik kesal ke arah ruang tamu. Wanita itu membuat segalanya bertambah rumit."Bagaimana? Apa kau
Hazel terdiam selama beberapa saat. Pikirannya melayang ke mana-mana. Sekarang waktu seolah berhenti berputar.“Kenapa tiba-tiba kau mengatakannya?” Hazel tersenyum masam setelah berhasil menguasai dirinya kembali.“Tidak ada alasan. Aku hanya ingin mengatakannya sekarang.” Dean mengedikkan bahunya. Setelah kejadian semalam, dia mulai menyadari dirinya telah melakukan kesalahan.Hening kembali. Hazel kehilangan kata-kata. Perasaan canggung melingkupi hatinya. “Rasanya sudah terlambat. Olivia telah pergi. Dia tidak mungkin mendengar permintaan maafmu,” kata Hazel. “Tapi, aku percaya. Meskipun kau tidak meminta maaf padanya secara langung, dia pasti telah memaafkanmu.”“Aku tahu itu,” gumam Dean. Dia menatap lurus ke arah Hazel. Ekspresi wajah gadis itu tidak bisa terbaca olehnya."Kalau tidak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku akan kembali ke dapur," kata Hazel kemudian.Pikirnya, dia tidak mau berdiam diri terlalu lama di sini. Hanya berdua dengan Dean, membuat seluruh tubuhnya t
"Kau ….”Hazel berdiri terpaku di tempatnya. Tangannya terangkat. Jari telunjuknya mengarah pada Brian yang sama terkejutnya dengan dirinya.“Kenapa kau berada di rumah kakakku?” seru Brian sambil geleng-geleng kepala.Brian belum sempat mendapatkan jawaban dari Hazel ketika Dean datang menyela. Dia terpaksa mengurungkan niatnya untuk mencerca Hazel dengan banyak pertanyaan. Mungkin nanti dia memiliki kesempatan untuk mencari tahu.“Sebaiknya kita makan malam dulu,” ucap Dean, lalu berjalan melewati adiknya.Hazel membantu Sana meletakkan piring-piring berisi makanan di atas meja. Sesekali dia melirik ke arah Brian, tidak jarang mereka saling bertatapan. Saat itu terjadi, Hazel segera memalingkan wajahnya. Tatapan Brian yang tajam seolah ingin menelan dia hidup-hidup."Kalau kau ingin tahu kenapa Hazel bisa tinggal di sini, jawabnya adalah karena aku yang menyuruhnya. Dia akan bekerja di rumah ini." Dean menjelaskan dengan santai, terlihat tidak peduli dengan wajah Brian yang berubah
“Apa kau gila?” tanya Hazel setengah berteriak.Hazel merapatkan bibirnya. Giginya saling beradu. Siapa yang menyangka hidupnya sekarang berada di tangan orang lain? Bukankah ini seperti lelucon bagi dirinya?“Seperti yang aku bilang tadi, kau akan bekerja di sini. Terlepas dari situasi dirimu yang tidak memiliki pekerjaan, aku bisa mengawasi dirimu kapan saja tanpa perlu khawatir kau akan melakukan tindakan yang bodoh,” ucap Dean santai.Hazel menatap Dean yang bersandar di kusen jendela dengan salah satu kaki menekuk dan satu tangannya masuk ke dalam saku celana jinsnya. Dean terlihat sangat tampan dengan pesonanya yang tidak dapat dipungkiri. Menyadari itu, Hazel memutar kepalanya, menghadap ke arah lain. Dia merasa takut hatinya tidak sanggup menahan diri hingga akhirnya jatuh cinta pada Dean.“Terserah. Aku yakin aku tidak memiliki pilihan selain mengikuti perintahmu,” sahut Hazel akhirnya. Dia tidak ingin mendebat sesuatu yang mengakibatkan kekalahan baginya.“Kau bisa bekerja m
Suara dengungan lebah seolah berputar di sekeliling Hazel. Dia tertegun di tempatnya. Kata-kata yang baru saja dia dengar seperti sebuah hantaman batu besar yang menimpa kepalanya.“Tega sekali kau melakukan itu,” ucap Hazel lirih, lalu mundur ke belakang. Tubuhnya membentur dinding, menimbulkan rasa nyeri di punggung.“Aku hanya melakukan hal yang semestinya. Itu adalah ganjaran dari perbuatanmu padaku,” ucap Dean santai. Dean perlahan melangkah masuk ke dalam. Sebuah kursi tanpa sandaran menarik perhatiannya. Dia pun mendudukinya dengan gaya yang anggun tidak tercela.“Aku tidak percaya kau mengatakannya. Apa alasannya kau melakukan itu?!” teriak Hazel histeris. Laki-laki angkuh di depannya itu berani bermain-main dengan nasibnya. Dean membuka jaketnya. Dia mengeluarkan koran yang telah selesai dia baca, lalu melemparnya tepat mengenai tubuh Hazel. Sorot matanya memancarkan kebencian saat menatap wajah pucat Hazel."Lihat ulahmu! Karena dirimu, reputasi perusahaanku hancur, dan ni
"Benarkah itu?" Hazel menatap Dean dengan sorot tidak percaya. Sungguh di luar dugaan. Hidupnya kini tidak sama lagi. Hazel merasa seperti ditelanjangi."Katakan padaku. Apakah kau benar-benar memata-matai diriku?" tanya Hazel mencoba untuk tidak mempercayai perkataan Dean sebelumnya."Coba kau tebak kenapa aku bisa melakukannya?" tantang Dean secara terang-terangan. "Aku tidak menyangka kau bisa bertindak serendah itu," balas Hazel dengan ekspresi jijik yang tercetak jelas di wajahnya.Dean mengibaskan tangannya sesantai mungkin. Cukup sering dia mendengar umpatan kasar seperti itu, lebih-lebih dari mantan-mantan kekasihnya. Dia pun menyadari ternyata di mana pun perempuan sama saja, suka merajuk sekaligus mengumpat."Aku tidak mempunyai pilihan lain. Nama baik keluargaku lebih penting dibandingkan dengan hidupmu yang tidak memiliki apa-apa," jawab Dean ringan, seolah tidak terbebani sama sekali.Sejak kemarin dia telah menyuruh asisten pribadinya untuk memeriksa semua informasi ya
"Olivia … Olivia …,” ucap Hazel pelan memanggil adiknya yang telah meninggal.Tubuh Hazel bergetar, kedua lututnya seolah goyah. Beruntungnya dia bisa menjaga keseimbangannya agar tidak ambruk. Dia berhasil berpegangan pada dinding di belakangnya.“Sebaiknya kau duduk dulu.” Dean menyentuh pundak Hazel pelan. Tiba-tiba muncul rasa simpati di dalam hatinya. Menghibur seorang gadis yang sedang berduka bukanlah gayanya. Tapi di tengah suasana seperti ini, dia terpaksa mengesampingkan ego dan gengsinya. Hazel menoleh sebentar, menepis tangan Dean dengan kasar. “Aku tidak butuh perhatianmu.”“Aku sungguh-sungguh turut berdukacita atas kematian adikmu dan bayinya,” gumam Dean lirih dan kaku.Hazel mundur selangkah, membalikkan tubuhnya perlahan. Kini di depannya Dean tampak menjulang tinggi. Dia merasa terintimidasi oleh keberadaan laki-laki itu.“Bukan kalimat itu yang ingin aku dengar. Adikku tidak mungkin bangkit lagi setelah semua omong kosong yang keluar dari mulut jahatmu. Sekarang