“Bin, tenang.” Langit berusaha menenangkan Bintang yang panik dan menangis.Arlan harus dibawa ke rumah sakit karena kondisinya tidak stabil. Baik Annetha maupun yang tentu saja panik dan syok karena Arlan sampai seperti itu.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Papi? Ini salahku, El.” Bintang menyalahkan diri sendiri atas kejadian yang menimpa sang papi.Langit memeluk erat Bintang. Mereka duduk di kursi selasar panjang. Bintang menangis sesenggukan karena sudah membuat penyakit Arlan kambuh.“Bukan salahmu. Papi hanya syok, Bin. Jangan menyalahkan dirimu sendiri,” ujar Langit mencoba menenangkan Bintang.Meski begitu, Bintang masih saja syok dan sedih, hingga pandangannya mulai kabur dan kepalanya pusing.Langit menyadari lengan Bintang yang terlihat muncul ruam. Dia pun langsung melepas pelukan dan menatap istrinya.“Bin, penyakitmu kambuh?” Langit panik. Dia buru-buru mencari obat Bintang yang biasa dibawa di tas.Langit meminta Bintang minum obat, agar penyakit Bintang tidak s
Bintang masuk kamar Arlan dengan takut. Dia merasa bersalah akan semua yang terjadi ke sang papi pagi ini.Annetha, Orion, dan Cheryl menoleh ke Bintang, membuat wanita itu seperti seorang tersangka yang sedang mendapat tatapan mengintimidasi.“Mi, kita keluar dulu,” Orion mengajak Annetha untuk meninggalkan Bintang bersama Arlan.Annetha mengangguk, kemudian pergi bersama putranya. Hingga saat berhadapan dengan Bintang, Annetha menghentikan langkah kemudian mengusap lengan putrinya itu.“Bicara pelan-pelan, jangan buat papimu syok lagi,” ucap Annetha memberi pesan.Bintang hanya mengangguk. Orion, Cheryl, dan Annetha keluar terlebih dahulu. Langit masih di sana memandang punggung sang istri, sebelum kemudian ikut keluar.Bintang memandang Arlan yang berbaring dengan beberapa alat penunjang hidup yang terpasang di tubuh, alat untuk memantau kondisi jantung sang papi.“Bin.” Arlan menatap Bintang yang mendekat dengan ragu.Bintang buru-buru mendekat, kemudian berdiri di samping ranjang
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Langit sambil menatap Bintang.Bintang menghela napas panjang, lantas menoleh sang suami yang menunggu jawabannya.“Sangat lega,” jawab Bintang sambil menoleh Langit.Bintang keluar dari ruangan Arlan setelah selesai bicara, membiarkan sang mami dan adiknya masuk untuk melihat kondisi Arlan.“Baguslah. Jangan banyak pikiran dan kambuh-kambuh lagi,” ucap Langit. Dia dengan iseng menyentuhkan kening mereka.Bintang memejamkan mata sambil tersenyum kecil mndengar ucapan suaminya.Baik Bintang maupun yang lain merasakan kelegaan yang sangat luar biasa. Arlan hanya dirawat dua hari karena kondisinya yang berangsur membaik. Bintang pun terus menjaga sang papi, tidak ingin melewatkan kesempatan untuk merawat saat sang papi sakit.“Kamu tidak perlu terus menjaga papi, Bin.” Arlan cemas ke Bintang yang sedang hamil, tapi selama 24 jam berada di rumah sakit menjaganya.Kini saat Arlan sudah diperbolehkan pulang. Bintang pun masih menjaga membuat pria itu m
Sudah satu minggu semenjak Arlan masuk rumah sakit. Setelah memastikan kondisi Arlan baik-baik saja, Bintang dan Langit pun kembali ke apartemen. Pagi itu Langit sedang bersiap ke kantor, sedangkan Bintang sudah tidak lagi bekerja setelah sang papi mengizinkannya resign. “Kamu belum siap?” tanya Bintang saat masuk kamar dan melihat suaminya masih berdiri di depan cermin. Langit menoleh saat mendengar suara Bintang. Dia mengulas senyum, kedua tangan sibuk mengikat dasi. “Hampir siap,” jawab Langit. Bintang mendekat, lantas meraih dasi Langit dan membantu mengikat. “Laras menghubungi, bilang mau ngajak nongkrong siang ini. Bolehkan?” tanya Bintang penuh harap diperbolehkan pergi. “Tentu saja boleh, asal membuatmu senang,” jawab Langit sambil menatap Bintang yang masih mengikat dasi. Hingga saat istrinya itu selesai mengikat, Langit pun mendaratkan sebuah kecupan di kening Bintang. Bintang memejamkan mata sambil memulas senyum saat Langit mendaratkan kecupan di kening. “Baiklah,
Tidak terasa usia kehamilan Bintang kini sudah dua belas minggu. Pagi itu dia sedang berdiri di atas timbangan digital, memandang angka digital di sana.“Ada apa?” tanya Langit saat melihat istrinya hanya berdiri di sana tidak bergerak sama sekali.Bintang menoleh, menatap sendu ke Langit kemudian menjawab pertanyaan suaminya itu.“Berat badanku tidak naik. Apa ada masalah denganku?” tanya Bintang yang cemas.Bintang berusaha makan banyak meski menghindari beberapa menu karena kondisi tubuhnya. Namun, meski begitu tetap saja tidak bisa membuat berat badannya naik, seperti halnya ibu hamil pada umumnya.Langit terkejut mendengar ucapan Bintang. Dia pun mencoba menjelaskan.“Mungkin memang belum naik. Bukankah siang ini harus kontrol, nanti tanyakan sekalian,” kata Langit mencoba menenangkan pikiran Bintang.Tidak dipungkiri jika akhir-akhir ini Bintang memang sangat mencemaskan kondisi kehamilannya. Dari yang tidak merasakan apa-apa, sampai hari ini mempermasalahkan berat badan yang t
"Bin." Langit masih mencoba merayu istrinya yang merajuk."Apa? Apa? Bukankah aku sudah bilang jika tidak menyukainya! Aku berkata seperti itu karena ada alasannya, bukan mengada-ada! Kamu tidak percaya dan masih membiarkan saja wanita itu berkeliaran di sekelilingmu! Lihat, lihat kelakuannya menjadi-jadi, mana ada sekretaris yang niat bekerja, tapi malah bersikap seperti wanita malam. Baju sudah minim, masih dibuka bagian atas biar apa? Biar kamu yang playboy itu kesengsem!" Bintang benar-benar mengamuk dan tidak terkontrol.Langit memijat kening, kepalanya mendadak pening karena ikut terkena amukan sang istri."Kamu boleh marah, tapi ingat kalau sedang hamil. Jangan terlalu terbawa emosi. Aku juga tidak akan pernah meliriknya. Lagian buat apa aku tergoda, jika sudah ada kamu, hm ...." Langit terus merayu istrinya agar tidak marah.Bintang memicingkan mata, menatap tajam ke Langit dengan rasa tidak percaya, sebab suaminya malah merayu."Tetap saja ya, El. Dia itu tidak punya attitud
Bintang duduk diam sepanjang perjalanan pulang setelah memeriksakan kandungannya. Dia melamun memandang jalanan yang dilewati saat menuju ke apartemen.Bahkan Bintang tidak menyadari jika mobil yang ditumpanginya kini sudah sampai di basement apartemen.Langit sendiri sejak tadi juga hanya diam, tidak berkata apa pun karena sang istri murung. Dia takut jika salah bicara, maka akan membuat istrinya tertekan atau sedih.“Bin, kita sudah sampai,” ucap Langit akhirnya bicara karena Bintang masih melamun.Bintang tersentak mendengar ucapan Langit. Dia menoleh dengan air muka yang menunjukkan banyak kesedihan di wajahnya.“Aku akan naik sendiri, kamu kembalilah ke perusahaan,” ucap Bintang sambil melepas seat belt.Langit tahu istrinya sedang ingin menyembunyikan kesedihannya. Dia pun menahan tangan Bintang saat ingin membuka pintu.“Bin, semua akan baik-baik saja,” ucap Langit mencoba menenangkan.Sebenarnya langit tidak mau membahas hal itu, tapi karena Bintang terus memikirkan dan tampak
Langit tidak kembali ke perusahaan karena mencemaskan kondisi Bintang. Bintang tertidur setelah sangat lama menangis, wajahnya sembab dan sesekali terisak meski sambil memejamkan mata.Dia menatap wajah Bintang, melihat banyaknya kesedihan dari pancaran wajah istrinya itu. Langit benar-benar sedih, terpukul, juga sakit melihat istrinya seperti ini.Mengecup kening Bintang dengan lembut. Langit pun bangkit dari ranjang untuk membuatkan Bintang susu juga roti. Sejak siang Bintang belum makan apa pun, hal itu membuat Langit mencemaskan kondisi Bintang.Langit memasukkan roti ke alat pemanggang, lantas menyiapkan air panas untuk membuatkan susu ibu hamil yang biasa Bintang minum. Meski kecil kemungkinan janin di rahim sang istri bisa berkembang, tapi Langit tidak ingin mematahkan impian sang istri dengan menyerah begitu saja.Saat sedang menunggu roti matang, Langit memilih menghubungi sang mimi untuk meminta solusi karena dirinya pun tidak bisa berpikir jernih sekarang.“Halo, El. Ada ap