"Bin." Langit masih mencoba merayu istrinya yang merajuk."Apa? Apa? Bukankah aku sudah bilang jika tidak menyukainya! Aku berkata seperti itu karena ada alasannya, bukan mengada-ada! Kamu tidak percaya dan masih membiarkan saja wanita itu berkeliaran di sekelilingmu! Lihat, lihat kelakuannya menjadi-jadi, mana ada sekretaris yang niat bekerja, tapi malah bersikap seperti wanita malam. Baju sudah minim, masih dibuka bagian atas biar apa? Biar kamu yang playboy itu kesengsem!" Bintang benar-benar mengamuk dan tidak terkontrol.Langit memijat kening, kepalanya mendadak pening karena ikut terkena amukan sang istri."Kamu boleh marah, tapi ingat kalau sedang hamil. Jangan terlalu terbawa emosi. Aku juga tidak akan pernah meliriknya. Lagian buat apa aku tergoda, jika sudah ada kamu, hm ...." Langit terus merayu istrinya agar tidak marah.Bintang memicingkan mata, menatap tajam ke Langit dengan rasa tidak percaya, sebab suaminya malah merayu."Tetap saja ya, El. Dia itu tidak punya attitud
Bintang duduk diam sepanjang perjalanan pulang setelah memeriksakan kandungannya. Dia melamun memandang jalanan yang dilewati saat menuju ke apartemen.Bahkan Bintang tidak menyadari jika mobil yang ditumpanginya kini sudah sampai di basement apartemen.Langit sendiri sejak tadi juga hanya diam, tidak berkata apa pun karena sang istri murung. Dia takut jika salah bicara, maka akan membuat istrinya tertekan atau sedih.“Bin, kita sudah sampai,” ucap Langit akhirnya bicara karena Bintang masih melamun.Bintang tersentak mendengar ucapan Langit. Dia menoleh dengan air muka yang menunjukkan banyak kesedihan di wajahnya.“Aku akan naik sendiri, kamu kembalilah ke perusahaan,” ucap Bintang sambil melepas seat belt.Langit tahu istrinya sedang ingin menyembunyikan kesedihannya. Dia pun menahan tangan Bintang saat ingin membuka pintu.“Bin, semua akan baik-baik saja,” ucap Langit mencoba menenangkan.Sebenarnya langit tidak mau membahas hal itu, tapi karena Bintang terus memikirkan dan tampak
Langit tidak kembali ke perusahaan karena mencemaskan kondisi Bintang. Bintang tertidur setelah sangat lama menangis, wajahnya sembab dan sesekali terisak meski sambil memejamkan mata.Dia menatap wajah Bintang, melihat banyaknya kesedihan dari pancaran wajah istrinya itu. Langit benar-benar sedih, terpukul, juga sakit melihat istrinya seperti ini.Mengecup kening Bintang dengan lembut. Langit pun bangkit dari ranjang untuk membuatkan Bintang susu juga roti. Sejak siang Bintang belum makan apa pun, hal itu membuat Langit mencemaskan kondisi Bintang.Langit memasukkan roti ke alat pemanggang, lantas menyiapkan air panas untuk membuatkan susu ibu hamil yang biasa Bintang minum. Meski kecil kemungkinan janin di rahim sang istri bisa berkembang, tapi Langit tidak ingin mematahkan impian sang istri dengan menyerah begitu saja.Saat sedang menunggu roti matang, Langit memilih menghubungi sang mimi untuk meminta solusi karena dirinya pun tidak bisa berpikir jernih sekarang.“Halo, El. Ada ap
“Apa yang terjadi dengan Bintang?” tanya Annetha dengan wajah panik.Annetha langsung datang ke rumah sakit begitu dihubungi Langit.Langit sendiri menghubungi Annetha karena merasa jika mertuanya itu berhak tahu akan kondisi Bintang.Bintang sendiri sudah dirawat inap karena kondisinya yang terus menurun.Saat Langit akan menjelaskan, Joya datang bersama Kenzo.“Gimana kondisi Bintang, El?” tanya Joya langsung begitu bertemu Langit di depan ruang inap.Langit dan Annetha memang berada di depan kamar agar perbincangan mereka tidak mengganggu istirahat Bintang.Annetha dan Langit menoleh, melihat Joya yang bertanya dengan ekspresi wajah panik.“Masih istirahat, Mi.” Langit memilih menjawab pertanyaan Joya dulu.Annetha panik karena kondisi Bintang kali ini benar-benar buruk.“Sebenarnya ada apa sih, El? Kenapa Bintang sampai seperti ini?” tanya Annetha benar-benar penasaran.Langit mengajak Annetha duduk, sedangkan Joya dan Kenzo berdiri mendengarkan.“Mi, Bintang syok karena kondisi
“Bagaimana?” tanya Annetha saat menemui Langit di luar ruang inap.Annetha dan Joya keluar untuk memberi ruang kepada Arlan agar bisa menenangkan Bintang. Mereka bertemu Langit dan Kenzo yang baru saja menemui dokter.Langit menoleh Kenzo, hingga sang papi mengangguk dan meminta putranya yang menjelaskan.“Dokter bilang jika kondisi Bintang akan terus memburuk, kalau masih mempertahankan janinnya. Selain fisiknya yang lemah, mentalnya pun akan terpengaruh akan kondisi janin itu. Hingga dokter menyarankan agar janinnya dikeluarkan sesegera mungkin,” ujar Langit menjelaskan sesuai dengan yang dikatakan oleh dokter.Annetha benar-benar terkejut karena semua harus berakhir seperti ini. Joya pun terkejut meski sudah menebak akan seperti ini, belum lagi kondisi Bintang yang benar-benar tidak memungkinkan untuk hamil.“Dokter juga bilang kalau kandungan Bintang sangat lemah, menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, bahkan bisa mengakibatkan keguguran juga, misal nantinya bisa bertahan,” ungk
“Papi bicara apa saja dengan Bintang?” tanya Annetha yang berada di luar bersama Arlan, Joya, dan Kenzo. Keempat orang tua itu tentunya sedih dan bingung memikirkan kondisi Bintang yang terus menurun. Arlan menarik napas panjang, kemudian menjawab pertanyaan Annetha. “Hanya menasihati, agar Bintang paham serta tahu mana yang seharusnya perlu dipertahankan atau tidak,” jawab Arlan. Annetha diam karena sedih, begitu juga dengan Kenzo dan Joya. “Meski janin itu sangat berharga baginya, tapi kondisinya sekarang tidak memungkinkan untuk dipertahankan. Aku tidak memaksanya memilih, hanya saja memberi pengertian jika ada yang lebih berharga dari apa yang sedang ditangisinya sekarang. Dirinya, suami, dan juga kita yang menunggunya sehat serta bisa tertawa seperti semula,” ucap Arlan kemudian. “Ya, kesehatan Bintang lebih berarti. Meski kita pun mengharapkan semuanya baik-baik saja, tapi kita juga tidak bisa menentang ketentuan Tuhan yang sudah menggariskan seperti itu,” timpal Joya. Mes
“Sudah mendingan?” tanya Orion yang sore itu datang ke rumah sakit untuk menjenguk kakaknya.Dia ada sidang siang itu, sehingga tidak bisa langsung datang ketika mendapat kabar tentang kondisi sang kakak. Cheryl sendiri menunggu Orion karena harus menjemput sebelum berangkat bersama.“Lumayan,” jawab Bintang sambil merekahkan senyum. “Terima kasih karena sudah datang ke sini,” ucap Bintang kemudian.“Untuk apa berterima kasih, sudah sewajarnya aku datang untuk melihat kakakku yang manja ini,” ucap Orion yang gemas sambil mencubit hidung Bintang.“Ion, sakit.” Bintang memekik dan melepas paksa tangan Orion dari hidungnya.Orion terkekeh, Cheryl pun tertawa kecil melihat kedekatan adik-kakak itu.“Kapan operasinya?” tanya Cheryl.“Besok pagi,” jawab Bintang dengan senyum getir di wajah.Orion tahu jika sang kakak sedih atas kejadian yang menimpa. Dia pun pernah merasa di posisi seperti Langit, di mana harus melihat sang istri terpukul dan sedih sampai menangis berjam-jam karena kehilang
Pagi itu, Bintang sudah bersiap untuk dibawa ke ruang operasi. Meski masih berat kehilangan calon bayinya, tapi Bintang berusaha melepas, mengingat jika itu yang terbaik untuknya dan keluarganya.“Takut?” tanya Langit saat melihat Bintang yang menarik napas dan mengembuskan berulang kali.Bintang menoleh Langit, lantas menggelengkan kepala.“Tidak takut, hanya sedikit gugup,” jawab Bintang.Langit mendekatkan wajah, mengecup kening sang istri agar tenang dan tidak perlu mencemaskan apa pun.Dua perawat masuk kamar Bintang, semua orang yang menunggu di sana berdiri karena sudah waktunya Bintang masuk ruang operasi.Annetha mencemaskan Bintang, takut jika tiba-tiba kondisi putrinya itu drop saat menjalani operasi.Bintang menoleh sang mami lantas memberi senyuman, agar sang mami tidak mencemaskannya. Dia berbaring di ranjang, dua perawat mendorong ranjang untuk keluar dari kamar inap.“Bintang pasti baik-baik saja, jangan terlalu mencemaskannya,” ucap Joya yang juga ada di sana.Annetha
Langit dan yang lain hari itu menunggu cemas di depan ruang operasi. Hari ini Bintang menjalani operasi cesar sesuai dengan yang dijadwalkan dokter, setelah melakukan beberapa tes dan memastikan kondisi Bintang siap untuk melahirkan. “Duduklah, El. Operasinya pasti berjalan lancar,” kata Joya yang pusing melihat putranya mondar-mandir tidak jelas sejak tadi. Annetha, Arlan, Kenzo, juga Sashi juga menatap Langit yang tidak bisa tenang. “Mana bisa tenang, Mi.” Langit sangat mengkhawatirkan kondisi Bintang. Meski Bintang dalam kondisi sehat, tapi tetap saja Langit cemas. Joya membuang napas kasar, berdiri lantas menarik tangan Langit dan mengajaknya duduk bersaam. “Yang perlu kita lakukan sekarang itu doa, El. Bukan mondar-mandir yang bikin pusing!” sembur Joya sambil menahan Langit agar tidak mondar-mandir lagi. Langit menatap Joya sendu, kecemasan terlihat jelas dari tatapan mata pria itu. “Kita banyak doa saja, El. Semoga semuanya lancar. Kamu dengar sendiri kata dokter, selama
“Benarkah? Ya Tuhan, mami benar-benar bersyukur dan bahagia.”Annetha langsung memeluk Bintang mengetahui jika putrinya hamil. Dulu memang takut, tapi Annetha pun memilih pasrah seperti putrinya, agar mendapatkan jalan yang terbaik.Bintang dan Langit pergi ke rumah Annetha setelah dokter mengizinkan Bintang pulang, setelah memastikan kondisi Bintang membaik. Keduanya sengaja datang ke sana karena ingin menyampaikan kabar kehamilan Bintang, meski Bintang sendiri tidak yakin jika sang papi akan menerimanya. Namun, yang jelas Bintang tidak ingin kejadian dulu terulang.“Mami tidak marah?” tanya Bintang dengan ekspresi takut di wajah pucatnya.Annetha melepas pelukan, lantas menatap Bintang sambil menangkup kedua pipi putrinya itu.“Tentu saja tidak, kenapa mami harus marah? Mami malah sangat bahagia akhirnya keinginanmu terkabul,” ucap Annetha penuh rasa syukur.Sashi berada di pangkuan Langit, mendengarkan percakapan antara orang tua, apalagi Bintang menangis dalam pelukan Annetha.“Mo
Sashi duduk di bangku depan gedung sekolah, menunggu Bintang yang tidak kunjung datang. “Apa Mommy lupa?” Sashi menghela napas kasar sampai kedua pundak naik-turun. Guru Sashi sudah menghubungi Bintang, tapi tidak ada jawaban karena tas Bintang tertinggal di klinik beserta ponselnya, membuat Sashi akhirnya menunggu karena yakin jika Bintang akan menjemputnya. Sashi masih setia di sana. Duduk sambil mengayunkan kedua kaki maju mundur. Hingga seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kamu belum dijemput?” Sashi mendongak, menatap anak laki-laki kakak kelasnya yang duduk di kelas enam. “Iya, Mommy belum jemput,” jawab Sashi masih memandang anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian ikut duduk di samping Sashi. “Mamaku juga belum jemput, sepertinya jemput kedua adikku yang les lebih dulu,” ucap anak laki-laki itu sambil mengedarkan pandangannya. Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan anak laki-laki itu, tidak buruk duduk bersama menunggu jemputan masing
Langit berlarian menuju ke klinik untuk melihat kondisi Bintang, sesampainya di klinik melihat Bintang yang terbaring dengan wajah pucat dan lemas meski sudah sadar.“Bin.” Langit mendekat dan langsung membelai wajah istrinya itu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Langit ke dokter jaga di klinik karena Bintang terlihat masih meringis menahan sakit.“Tekanan darahnya sangat rendah, kemungkinan kelelahan. Tapi untuk mengetahui kondisi pasti penyebabnya, mungkin bisa dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lepngkap, Pak.” Dokter klinik hanya mengecek kondisi Bintang berdasarkan keluhan saja.Langit tidak banyak bicara. Dia pun meraup tubuh Bintang ke gendongan dan membawa keluar dari klinik. Kondisi Bintang yang tidak biasa, tentu saja membuat Langit cemas. Dia harus membawa Bintang ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh.“El, ada apa?” Joya dan Kenzo yang kebetulan baru saja keluar lift di lobi, terkejut melihat Langit menggendong Bintang.“Kondisi Bintang buruk, Mi. Aku mau
Dua tahun kemudian. “Mommy! Daddy! Sashi telat sekolah!” Suara melengking dari luar kamar terdengar sampai dalam. Bintang dan Langit yang masih tidur pulas pun terkejut karena suara Sashi juga ketukan pintu beberapa kali. Bintang terduduk dengan mata masih tertutup. Dia pun mengucek mata, mencoba membuka kelopak mata lebar agar bisa melihat jarum jam di dinding. “Ya Tuhan!” Bintang sangat terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. “El, bangun! Kita kesiangan!” Bintang memukul lengan suaminya, meminta agar Langit segera bangun. Biasanya jam segini Bintang sudah bangun memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolah Sashi, tapi pagi ini dia malah kesiangan bangun. Ini semua gara-gara suaminya yang mengajak begadang semalaman. Meminta jatah tidak ada habisnya, membuat Bintang kelelahan luar biasa, lantas terbangun kesiangan. “Bentar, Bin. Lima menit lagi.” Langit malah menarik selimut masih sambil memejamkan mata. Enggan bangun karena masih sangat mengantuk. “El, Sashi
Bintang melipat kedua tangan di depan dada, menatap suaminya yang baru saja selesai menjalani operasi kecil dan menatap dengan ekspresi wajah kesal. Langit melirik Aldo, dalam tatapan matanya seolah ingin melempar kalimat ‘Aku akan memotong gajimu, lihat saja dasar pengkhianat!’, sungguh Langit tidak menyangka saat keluar dari ruang operasi langsung melihat Bintang. “Tidak usah melirik Aldo, urusanmu denganku, El!” Bintang tahu ke mana arah pandangan suaminya, hingga langsung menegur pria itu. Langit menatap Bintang, terlihat bersalah dan takut melihat tatapan istrinya itu. “Keluarlah, Al. Tenang saja, aku yang akan menjamin karirmu,” ucap Bintang memberikan jaminan ke sekretaris suaminya, sebab dia memaksa Aldo untuk bicara jujur. “Baik, Bu.” Aldo pun secepat kilat kabur dari ruangan itu, tidak ingin terlibat masalah antar suami-istri yang sudah menciptakan ketegangan sejak beberapa menit lalu. Langit benar-benar tak berkutik, diam karena merasa salah. Dia melihat Bintang menar
“Saya masih tidak habis pikir dengan Anda, Pak.”Aldo menatap Langit dengan rasa heran. Otak cerdasnya mendadak tidak bisa menangkap maksud dari apa yang sedang dilakukan bosnya.“Kamu tidak perlu berpikir apa pun,” balas Langit santai.Aldo ingin membalas ucapan Langit, tapi atasannya kembali bicara.“Pokoknya kalau istriku menghubungi, jangan dijawab!” titah Langit yang memang baru saja berganti pakaian.Tepat saat mengatakan itu, ponsel Langit yang dibawa Aldo bergetar karena memang dibuat mode silent, hanya bergetar saat ada panggilan atau pesan.Aldo melirik dan melihat nama Bintang terpampang di layar. Langit tidak menyadari kalau ponselnya berdering. Dia sedang mengikat tali baju khusus yang diberikan perawat, sebelum perawat memasang infus.“Bagaimana kalau terus menghubungi?” tanya Aldo sambil menggeser tombol hijau di ponsel Langit. Dia memegang ponsel Langit di samping tubuh, posisi layar menghadap ke belakang, sehingga Langit tidak menyadari jika ada panggilan masuk.“Ya,
Sudah dua minggu semenjak Bintang berbaikan dengan Arlan. Bahkan Bintang sekarang sering mengajak Sashi ke rumah orang tuanya atas permintaan Annetha.Seperti hari itu. Bintang pergi ke rumah Arlan sebab sang papi bilang sedang ambil cuti karena kondisinya yang kurang sehat, sehingga Bintang tanpa pikir panjang memilih langsung datang untuk melihat kondisi Arlan.“Sudah diperiksa dan minum obat?” tanya Bintang begitu bertemu dengan Arlan yang sedang duduk di ruang keluarga bersama Annetha.Annetha dan Arlan pun terkejut karena Bintang tampak begitu panik.“Papi tidak kenapa-napa, hanya kecapean hingga membuat kondisi tubuh papi sedikit drop,” jawab Arlan sambil mengulas senyum.Tatapan pria itu tertuju ke Sashi yang berdiri di samping Bintang, lantas mengulurkan tangan sebagai isyarat agar gadis kecil itu mendekat.“Opa punya hadiah untukmu,” kata Arlan yang kemudian berdiri.Sashi mendongak menoleh Bintang, sedangkan Bintang langsung mengangguk melihat Sashi yang seolah meminta perse
Langit menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskan perlahan tanpa suara. Dia duduk sambil meremas kedua lutut, sedikit menunduk menurunkan pandangan agar tidak dikira sedang menantang.Arlan sendiri menatap Langit, mengajak pria itu bicara di ruang kerja tapi sudah duduk selama hampir lima belas menit belum berkata sepatah kata pun. Tatapan matanya pun membuat lawan bicaranya hanya diam menunduk.Arlan menghela napas kasar, hingga kemudian akhirnya bicara.“Aku memang memberi restu lagi, tapi bukan berarti akan menerima atau melupakan kejadian sebelumnya dengan mudah. Apa yang aku lakukan semata-mata hanya untuk Bintang. Bagiku dia yang akan jadi prioritas utamaku, memang aku ingin memisahkan kalian, tapi karena itu akan menyakiti hati putriku, membuatku memilih mengalah dengan keputusannya.”Arlan bicara dengan suara yang tidak terlalu lantang, tapi terkesan begitu menekan.Langit sendiri tidak membalas ucapan Arlan, hanya mengangkat wajah dan menatap pria itu yang sedang bicara a