Tidak terasa usia kehamilan Bintang kini sudah dua belas minggu. Pagi itu dia sedang berdiri di atas timbangan digital, memandang angka digital di sana.“Ada apa?” tanya Langit saat melihat istrinya hanya berdiri di sana tidak bergerak sama sekali.Bintang menoleh, menatap sendu ke Langit kemudian menjawab pertanyaan suaminya itu.“Berat badanku tidak naik. Apa ada masalah denganku?” tanya Bintang yang cemas.Bintang berusaha makan banyak meski menghindari beberapa menu karena kondisi tubuhnya. Namun, meski begitu tetap saja tidak bisa membuat berat badannya naik, seperti halnya ibu hamil pada umumnya.Langit terkejut mendengar ucapan Bintang. Dia pun mencoba menjelaskan.“Mungkin memang belum naik. Bukankah siang ini harus kontrol, nanti tanyakan sekalian,” kata Langit mencoba menenangkan pikiran Bintang.Tidak dipungkiri jika akhir-akhir ini Bintang memang sangat mencemaskan kondisi kehamilannya. Dari yang tidak merasakan apa-apa, sampai hari ini mempermasalahkan berat badan yang t
"Bin." Langit masih mencoba merayu istrinya yang merajuk."Apa? Apa? Bukankah aku sudah bilang jika tidak menyukainya! Aku berkata seperti itu karena ada alasannya, bukan mengada-ada! Kamu tidak percaya dan masih membiarkan saja wanita itu berkeliaran di sekelilingmu! Lihat, lihat kelakuannya menjadi-jadi, mana ada sekretaris yang niat bekerja, tapi malah bersikap seperti wanita malam. Baju sudah minim, masih dibuka bagian atas biar apa? Biar kamu yang playboy itu kesengsem!" Bintang benar-benar mengamuk dan tidak terkontrol.Langit memijat kening, kepalanya mendadak pening karena ikut terkena amukan sang istri."Kamu boleh marah, tapi ingat kalau sedang hamil. Jangan terlalu terbawa emosi. Aku juga tidak akan pernah meliriknya. Lagian buat apa aku tergoda, jika sudah ada kamu, hm ...." Langit terus merayu istrinya agar tidak marah.Bintang memicingkan mata, menatap tajam ke Langit dengan rasa tidak percaya, sebab suaminya malah merayu."Tetap saja ya, El. Dia itu tidak punya attitud
Bintang duduk diam sepanjang perjalanan pulang setelah memeriksakan kandungannya. Dia melamun memandang jalanan yang dilewati saat menuju ke apartemen.Bahkan Bintang tidak menyadari jika mobil yang ditumpanginya kini sudah sampai di basement apartemen.Langit sendiri sejak tadi juga hanya diam, tidak berkata apa pun karena sang istri murung. Dia takut jika salah bicara, maka akan membuat istrinya tertekan atau sedih.“Bin, kita sudah sampai,” ucap Langit akhirnya bicara karena Bintang masih melamun.Bintang tersentak mendengar ucapan Langit. Dia menoleh dengan air muka yang menunjukkan banyak kesedihan di wajahnya.“Aku akan naik sendiri, kamu kembalilah ke perusahaan,” ucap Bintang sambil melepas seat belt.Langit tahu istrinya sedang ingin menyembunyikan kesedihannya. Dia pun menahan tangan Bintang saat ingin membuka pintu.“Bin, semua akan baik-baik saja,” ucap Langit mencoba menenangkan.Sebenarnya langit tidak mau membahas hal itu, tapi karena Bintang terus memikirkan dan tampak
Langit tidak kembali ke perusahaan karena mencemaskan kondisi Bintang. Bintang tertidur setelah sangat lama menangis, wajahnya sembab dan sesekali terisak meski sambil memejamkan mata.Dia menatap wajah Bintang, melihat banyaknya kesedihan dari pancaran wajah istrinya itu. Langit benar-benar sedih, terpukul, juga sakit melihat istrinya seperti ini.Mengecup kening Bintang dengan lembut. Langit pun bangkit dari ranjang untuk membuatkan Bintang susu juga roti. Sejak siang Bintang belum makan apa pun, hal itu membuat Langit mencemaskan kondisi Bintang.Langit memasukkan roti ke alat pemanggang, lantas menyiapkan air panas untuk membuatkan susu ibu hamil yang biasa Bintang minum. Meski kecil kemungkinan janin di rahim sang istri bisa berkembang, tapi Langit tidak ingin mematahkan impian sang istri dengan menyerah begitu saja.Saat sedang menunggu roti matang, Langit memilih menghubungi sang mimi untuk meminta solusi karena dirinya pun tidak bisa berpikir jernih sekarang.“Halo, El. Ada ap
“Apa yang terjadi dengan Bintang?” tanya Annetha dengan wajah panik.Annetha langsung datang ke rumah sakit begitu dihubungi Langit.Langit sendiri menghubungi Annetha karena merasa jika mertuanya itu berhak tahu akan kondisi Bintang.Bintang sendiri sudah dirawat inap karena kondisinya yang terus menurun.Saat Langit akan menjelaskan, Joya datang bersama Kenzo.“Gimana kondisi Bintang, El?” tanya Joya langsung begitu bertemu Langit di depan ruang inap.Langit dan Annetha memang berada di depan kamar agar perbincangan mereka tidak mengganggu istirahat Bintang.Annetha dan Langit menoleh, melihat Joya yang bertanya dengan ekspresi wajah panik.“Masih istirahat, Mi.” Langit memilih menjawab pertanyaan Joya dulu.Annetha panik karena kondisi Bintang kali ini benar-benar buruk.“Sebenarnya ada apa sih, El? Kenapa Bintang sampai seperti ini?” tanya Annetha benar-benar penasaran.Langit mengajak Annetha duduk, sedangkan Joya dan Kenzo berdiri mendengarkan.“Mi, Bintang syok karena kondisi
“Bagaimana?” tanya Annetha saat menemui Langit di luar ruang inap.Annetha dan Joya keluar untuk memberi ruang kepada Arlan agar bisa menenangkan Bintang. Mereka bertemu Langit dan Kenzo yang baru saja menemui dokter.Langit menoleh Kenzo, hingga sang papi mengangguk dan meminta putranya yang menjelaskan.“Dokter bilang jika kondisi Bintang akan terus memburuk, kalau masih mempertahankan janinnya. Selain fisiknya yang lemah, mentalnya pun akan terpengaruh akan kondisi janin itu. Hingga dokter menyarankan agar janinnya dikeluarkan sesegera mungkin,” ujar Langit menjelaskan sesuai dengan yang dikatakan oleh dokter.Annetha benar-benar terkejut karena semua harus berakhir seperti ini. Joya pun terkejut meski sudah menebak akan seperti ini, belum lagi kondisi Bintang yang benar-benar tidak memungkinkan untuk hamil.“Dokter juga bilang kalau kandungan Bintang sangat lemah, menyebabkan pertumbuhan janin terhambat, bahkan bisa mengakibatkan keguguran juga, misal nantinya bisa bertahan,” ungk
“Papi bicara apa saja dengan Bintang?” tanya Annetha yang berada di luar bersama Arlan, Joya, dan Kenzo. Keempat orang tua itu tentunya sedih dan bingung memikirkan kondisi Bintang yang terus menurun. Arlan menarik napas panjang, kemudian menjawab pertanyaan Annetha. “Hanya menasihati, agar Bintang paham serta tahu mana yang seharusnya perlu dipertahankan atau tidak,” jawab Arlan. Annetha diam karena sedih, begitu juga dengan Kenzo dan Joya. “Meski janin itu sangat berharga baginya, tapi kondisinya sekarang tidak memungkinkan untuk dipertahankan. Aku tidak memaksanya memilih, hanya saja memberi pengertian jika ada yang lebih berharga dari apa yang sedang ditangisinya sekarang. Dirinya, suami, dan juga kita yang menunggunya sehat serta bisa tertawa seperti semula,” ucap Arlan kemudian. “Ya, kesehatan Bintang lebih berarti. Meski kita pun mengharapkan semuanya baik-baik saja, tapi kita juga tidak bisa menentang ketentuan Tuhan yang sudah menggariskan seperti itu,” timpal Joya. Mes
“Sudah mendingan?” tanya Orion yang sore itu datang ke rumah sakit untuk menjenguk kakaknya.Dia ada sidang siang itu, sehingga tidak bisa langsung datang ketika mendapat kabar tentang kondisi sang kakak. Cheryl sendiri menunggu Orion karena harus menjemput sebelum berangkat bersama.“Lumayan,” jawab Bintang sambil merekahkan senyum. “Terima kasih karena sudah datang ke sini,” ucap Bintang kemudian.“Untuk apa berterima kasih, sudah sewajarnya aku datang untuk melihat kakakku yang manja ini,” ucap Orion yang gemas sambil mencubit hidung Bintang.“Ion, sakit.” Bintang memekik dan melepas paksa tangan Orion dari hidungnya.Orion terkekeh, Cheryl pun tertawa kecil melihat kedekatan adik-kakak itu.“Kapan operasinya?” tanya Cheryl.“Besok pagi,” jawab Bintang dengan senyum getir di wajah.Orion tahu jika sang kakak sedih atas kejadian yang menimpa. Dia pun pernah merasa di posisi seperti Langit, di mana harus melihat sang istri terpukul dan sedih sampai menangis berjam-jam karena kehilang