Annetha dan Bintang kembali ke meja makan setelah bicara. Bintang membawa dua piring cake untuk dirinya dan Langit.“Tadi kamu mau bicara apa?” tanya Arlan mengingat jika Bintang sempat menjeda ucapannya.Bintang terkejut karena langsung ditodong pertanyaan. Dia melirik Annetha, sebelum kemudian menatap Arlan.“Itu, aku mau izin untuk berhenti bekerja,” jawab Bintang. Dia benar-benar tidak jadi menyampaikan tentang kehamilannya.Langit menatap Bintang, bertanya-tanya kenapa Bintang tidak jadi bicara soal kehamilan itu.Arlan agak terkejut mendengar ucapan Bintang, hingga menatap sang putri yang terlihat serius.“Kenapa kamu mau berhenti?” tanya Arlan penasaran.Bintang mengulum bibir karena bingung harus menjawab apa, bahkan memandang ke Annetha dan Langit secara bergantian.“Kamu sakit?” tanya Arlan kemudian.Bintang menggelengkan kepala sambil mengulum senyum, kemudian menjawab, “Tidak, Pi. Aku hanya mau fokus pada kesehatan saja. Lagi pula dulu bersikukuh ingin kerja karena aku bos
“Bin, tenang.” Langit berusaha menenangkan Bintang yang panik dan menangis.Arlan harus dibawa ke rumah sakit karena kondisinya tidak stabil. Baik Annetha maupun yang tentu saja panik dan syok karena Arlan sampai seperti itu.“Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan Papi? Ini salahku, El.” Bintang menyalahkan diri sendiri atas kejadian yang menimpa sang papi.Langit memeluk erat Bintang. Mereka duduk di kursi selasar panjang. Bintang menangis sesenggukan karena sudah membuat penyakit Arlan kambuh.“Bukan salahmu. Papi hanya syok, Bin. Jangan menyalahkan dirimu sendiri,” ujar Langit mencoba menenangkan Bintang.Meski begitu, Bintang masih saja syok dan sedih, hingga pandangannya mulai kabur dan kepalanya pusing.Langit menyadari lengan Bintang yang terlihat muncul ruam. Dia pun langsung melepas pelukan dan menatap istrinya.“Bin, penyakitmu kambuh?” Langit panik. Dia buru-buru mencari obat Bintang yang biasa dibawa di tas.Langit meminta Bintang minum obat, agar penyakit Bintang tidak s
Bintang masuk kamar Arlan dengan takut. Dia merasa bersalah akan semua yang terjadi ke sang papi pagi ini.Annetha, Orion, dan Cheryl menoleh ke Bintang, membuat wanita itu seperti seorang tersangka yang sedang mendapat tatapan mengintimidasi.“Mi, kita keluar dulu,” Orion mengajak Annetha untuk meninggalkan Bintang bersama Arlan.Annetha mengangguk, kemudian pergi bersama putranya. Hingga saat berhadapan dengan Bintang, Annetha menghentikan langkah kemudian mengusap lengan putrinya itu.“Bicara pelan-pelan, jangan buat papimu syok lagi,” ucap Annetha memberi pesan.Bintang hanya mengangguk. Orion, Cheryl, dan Annetha keluar terlebih dahulu. Langit masih di sana memandang punggung sang istri, sebelum kemudian ikut keluar.Bintang memandang Arlan yang berbaring dengan beberapa alat penunjang hidup yang terpasang di tubuh, alat untuk memantau kondisi jantung sang papi.“Bin.” Arlan menatap Bintang yang mendekat dengan ragu.Bintang buru-buru mendekat, kemudian berdiri di samping ranjang
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya Langit sambil menatap Bintang.Bintang menghela napas panjang, lantas menoleh sang suami yang menunggu jawabannya.“Sangat lega,” jawab Bintang sambil menoleh Langit.Bintang keluar dari ruangan Arlan setelah selesai bicara, membiarkan sang mami dan adiknya masuk untuk melihat kondisi Arlan.“Baguslah. Jangan banyak pikiran dan kambuh-kambuh lagi,” ucap Langit. Dia dengan iseng menyentuhkan kening mereka.Bintang memejamkan mata sambil tersenyum kecil mndengar ucapan suaminya.Baik Bintang maupun yang lain merasakan kelegaan yang sangat luar biasa. Arlan hanya dirawat dua hari karena kondisinya yang berangsur membaik. Bintang pun terus menjaga sang papi, tidak ingin melewatkan kesempatan untuk merawat saat sang papi sakit.“Kamu tidak perlu terus menjaga papi, Bin.” Arlan cemas ke Bintang yang sedang hamil, tapi selama 24 jam berada di rumah sakit menjaganya.Kini saat Arlan sudah diperbolehkan pulang. Bintang pun masih menjaga membuat pria itu m
Sudah satu minggu semenjak Arlan masuk rumah sakit. Setelah memastikan kondisi Arlan baik-baik saja, Bintang dan Langit pun kembali ke apartemen. Pagi itu Langit sedang bersiap ke kantor, sedangkan Bintang sudah tidak lagi bekerja setelah sang papi mengizinkannya resign. “Kamu belum siap?” tanya Bintang saat masuk kamar dan melihat suaminya masih berdiri di depan cermin. Langit menoleh saat mendengar suara Bintang. Dia mengulas senyum, kedua tangan sibuk mengikat dasi. “Hampir siap,” jawab Langit. Bintang mendekat, lantas meraih dasi Langit dan membantu mengikat. “Laras menghubungi, bilang mau ngajak nongkrong siang ini. Bolehkan?” tanya Bintang penuh harap diperbolehkan pergi. “Tentu saja boleh, asal membuatmu senang,” jawab Langit sambil menatap Bintang yang masih mengikat dasi. Hingga saat istrinya itu selesai mengikat, Langit pun mendaratkan sebuah kecupan di kening Bintang. Bintang memejamkan mata sambil memulas senyum saat Langit mendaratkan kecupan di kening. “Baiklah,
Tidak terasa usia kehamilan Bintang kini sudah dua belas minggu. Pagi itu dia sedang berdiri di atas timbangan digital, memandang angka digital di sana.“Ada apa?” tanya Langit saat melihat istrinya hanya berdiri di sana tidak bergerak sama sekali.Bintang menoleh, menatap sendu ke Langit kemudian menjawab pertanyaan suaminya itu.“Berat badanku tidak naik. Apa ada masalah denganku?” tanya Bintang yang cemas.Bintang berusaha makan banyak meski menghindari beberapa menu karena kondisi tubuhnya. Namun, meski begitu tetap saja tidak bisa membuat berat badannya naik, seperti halnya ibu hamil pada umumnya.Langit terkejut mendengar ucapan Bintang. Dia pun mencoba menjelaskan.“Mungkin memang belum naik. Bukankah siang ini harus kontrol, nanti tanyakan sekalian,” kata Langit mencoba menenangkan pikiran Bintang.Tidak dipungkiri jika akhir-akhir ini Bintang memang sangat mencemaskan kondisi kehamilannya. Dari yang tidak merasakan apa-apa, sampai hari ini mempermasalahkan berat badan yang t
"Bin." Langit masih mencoba merayu istrinya yang merajuk."Apa? Apa? Bukankah aku sudah bilang jika tidak menyukainya! Aku berkata seperti itu karena ada alasannya, bukan mengada-ada! Kamu tidak percaya dan masih membiarkan saja wanita itu berkeliaran di sekelilingmu! Lihat, lihat kelakuannya menjadi-jadi, mana ada sekretaris yang niat bekerja, tapi malah bersikap seperti wanita malam. Baju sudah minim, masih dibuka bagian atas biar apa? Biar kamu yang playboy itu kesengsem!" Bintang benar-benar mengamuk dan tidak terkontrol.Langit memijat kening, kepalanya mendadak pening karena ikut terkena amukan sang istri."Kamu boleh marah, tapi ingat kalau sedang hamil. Jangan terlalu terbawa emosi. Aku juga tidak akan pernah meliriknya. Lagian buat apa aku tergoda, jika sudah ada kamu, hm ...." Langit terus merayu istrinya agar tidak marah.Bintang memicingkan mata, menatap tajam ke Langit dengan rasa tidak percaya, sebab suaminya malah merayu."Tetap saja ya, El. Dia itu tidak punya attitud
Bintang duduk diam sepanjang perjalanan pulang setelah memeriksakan kandungannya. Dia melamun memandang jalanan yang dilewati saat menuju ke apartemen.Bahkan Bintang tidak menyadari jika mobil yang ditumpanginya kini sudah sampai di basement apartemen.Langit sendiri sejak tadi juga hanya diam, tidak berkata apa pun karena sang istri murung. Dia takut jika salah bicara, maka akan membuat istrinya tertekan atau sedih.“Bin, kita sudah sampai,” ucap Langit akhirnya bicara karena Bintang masih melamun.Bintang tersentak mendengar ucapan Langit. Dia menoleh dengan air muka yang menunjukkan banyak kesedihan di wajahnya.“Aku akan naik sendiri, kamu kembalilah ke perusahaan,” ucap Bintang sambil melepas seat belt.Langit tahu istrinya sedang ingin menyembunyikan kesedihannya. Dia pun menahan tangan Bintang saat ingin membuka pintu.“Bin, semua akan baik-baik saja,” ucap Langit mencoba menenangkan.Sebenarnya langit tidak mau membahas hal itu, tapi karena Bintang terus memikirkan dan tampak
Langit dan yang lain hari itu menunggu cemas di depan ruang operasi. Hari ini Bintang menjalani operasi cesar sesuai dengan yang dijadwalkan dokter, setelah melakukan beberapa tes dan memastikan kondisi Bintang siap untuk melahirkan. “Duduklah, El. Operasinya pasti berjalan lancar,” kata Joya yang pusing melihat putranya mondar-mandir tidak jelas sejak tadi. Annetha, Arlan, Kenzo, juga Sashi juga menatap Langit yang tidak bisa tenang. “Mana bisa tenang, Mi.” Langit sangat mengkhawatirkan kondisi Bintang. Meski Bintang dalam kondisi sehat, tapi tetap saja Langit cemas. Joya membuang napas kasar, berdiri lantas menarik tangan Langit dan mengajaknya duduk bersaam. “Yang perlu kita lakukan sekarang itu doa, El. Bukan mondar-mandir yang bikin pusing!” sembur Joya sambil menahan Langit agar tidak mondar-mandir lagi. Langit menatap Joya sendu, kecemasan terlihat jelas dari tatapan mata pria itu. “Kita banyak doa saja, El. Semoga semuanya lancar. Kamu dengar sendiri kata dokter, selama
“Benarkah? Ya Tuhan, mami benar-benar bersyukur dan bahagia.”Annetha langsung memeluk Bintang mengetahui jika putrinya hamil. Dulu memang takut, tapi Annetha pun memilih pasrah seperti putrinya, agar mendapatkan jalan yang terbaik.Bintang dan Langit pergi ke rumah Annetha setelah dokter mengizinkan Bintang pulang, setelah memastikan kondisi Bintang membaik. Keduanya sengaja datang ke sana karena ingin menyampaikan kabar kehamilan Bintang, meski Bintang sendiri tidak yakin jika sang papi akan menerimanya. Namun, yang jelas Bintang tidak ingin kejadian dulu terulang.“Mami tidak marah?” tanya Bintang dengan ekspresi takut di wajah pucatnya.Annetha melepas pelukan, lantas menatap Bintang sambil menangkup kedua pipi putrinya itu.“Tentu saja tidak, kenapa mami harus marah? Mami malah sangat bahagia akhirnya keinginanmu terkabul,” ucap Annetha penuh rasa syukur.Sashi berada di pangkuan Langit, mendengarkan percakapan antara orang tua, apalagi Bintang menangis dalam pelukan Annetha.“Mo
Sashi duduk di bangku depan gedung sekolah, menunggu Bintang yang tidak kunjung datang. “Apa Mommy lupa?” Sashi menghela napas kasar sampai kedua pundak naik-turun. Guru Sashi sudah menghubungi Bintang, tapi tidak ada jawaban karena tas Bintang tertinggal di klinik beserta ponselnya, membuat Sashi akhirnya menunggu karena yakin jika Bintang akan menjemputnya. Sashi masih setia di sana. Duduk sambil mengayunkan kedua kaki maju mundur. Hingga seorang anak laki-laki menghampirinya. “Kamu belum dijemput?” Sashi mendongak, menatap anak laki-laki kakak kelasnya yang duduk di kelas enam. “Iya, Mommy belum jemput,” jawab Sashi masih memandang anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu mengedarkan pandangan, kemudian ikut duduk di samping Sashi. “Mamaku juga belum jemput, sepertinya jemput kedua adikku yang les lebih dulu,” ucap anak laki-laki itu sambil mengedarkan pandangannya. Sashi mengangguk-angguk mendengar ucapan anak laki-laki itu, tidak buruk duduk bersama menunggu jemputan masing
Langit berlarian menuju ke klinik untuk melihat kondisi Bintang, sesampainya di klinik melihat Bintang yang terbaring dengan wajah pucat dan lemas meski sudah sadar.“Bin.” Langit mendekat dan langsung membelai wajah istrinya itu.“Bagaimana kondisinya?” tanya Langit ke dokter jaga di klinik karena Bintang terlihat masih meringis menahan sakit.“Tekanan darahnya sangat rendah, kemungkinan kelelahan. Tapi untuk mengetahui kondisi pasti penyebabnya, mungkin bisa dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan lepngkap, Pak.” Dokter klinik hanya mengecek kondisi Bintang berdasarkan keluhan saja.Langit tidak banyak bicara. Dia pun meraup tubuh Bintang ke gendongan dan membawa keluar dari klinik. Kondisi Bintang yang tidak biasa, tentu saja membuat Langit cemas. Dia harus membawa Bintang ke rumah sakit untuk pemeriksaan menyeluruh.“El, ada apa?” Joya dan Kenzo yang kebetulan baru saja keluar lift di lobi, terkejut melihat Langit menggendong Bintang.“Kondisi Bintang buruk, Mi. Aku mau
Dua tahun kemudian. “Mommy! Daddy! Sashi telat sekolah!” Suara melengking dari luar kamar terdengar sampai dalam. Bintang dan Langit yang masih tidur pulas pun terkejut karena suara Sashi juga ketukan pintu beberapa kali. Bintang terduduk dengan mata masih tertutup. Dia pun mengucek mata, mencoba membuka kelopak mata lebar agar bisa melihat jarum jam di dinding. “Ya Tuhan!” Bintang sangat terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. “El, bangun! Kita kesiangan!” Bintang memukul lengan suaminya, meminta agar Langit segera bangun. Biasanya jam segini Bintang sudah bangun memasak dan menyiapkan perlengkapan sekolah Sashi, tapi pagi ini dia malah kesiangan bangun. Ini semua gara-gara suaminya yang mengajak begadang semalaman. Meminta jatah tidak ada habisnya, membuat Bintang kelelahan luar biasa, lantas terbangun kesiangan. “Bentar, Bin. Lima menit lagi.” Langit malah menarik selimut masih sambil memejamkan mata. Enggan bangun karena masih sangat mengantuk. “El, Sashi
Bintang melipat kedua tangan di depan dada, menatap suaminya yang baru saja selesai menjalani operasi kecil dan menatap dengan ekspresi wajah kesal. Langit melirik Aldo, dalam tatapan matanya seolah ingin melempar kalimat ‘Aku akan memotong gajimu, lihat saja dasar pengkhianat!’, sungguh Langit tidak menyangka saat keluar dari ruang operasi langsung melihat Bintang. “Tidak usah melirik Aldo, urusanmu denganku, El!” Bintang tahu ke mana arah pandangan suaminya, hingga langsung menegur pria itu. Langit menatap Bintang, terlihat bersalah dan takut melihat tatapan istrinya itu. “Keluarlah, Al. Tenang saja, aku yang akan menjamin karirmu,” ucap Bintang memberikan jaminan ke sekretaris suaminya, sebab dia memaksa Aldo untuk bicara jujur. “Baik, Bu.” Aldo pun secepat kilat kabur dari ruangan itu, tidak ingin terlibat masalah antar suami-istri yang sudah menciptakan ketegangan sejak beberapa menit lalu. Langit benar-benar tak berkutik, diam karena merasa salah. Dia melihat Bintang menar
“Saya masih tidak habis pikir dengan Anda, Pak.”Aldo menatap Langit dengan rasa heran. Otak cerdasnya mendadak tidak bisa menangkap maksud dari apa yang sedang dilakukan bosnya.“Kamu tidak perlu berpikir apa pun,” balas Langit santai.Aldo ingin membalas ucapan Langit, tapi atasannya kembali bicara.“Pokoknya kalau istriku menghubungi, jangan dijawab!” titah Langit yang memang baru saja berganti pakaian.Tepat saat mengatakan itu, ponsel Langit yang dibawa Aldo bergetar karena memang dibuat mode silent, hanya bergetar saat ada panggilan atau pesan.Aldo melirik dan melihat nama Bintang terpampang di layar. Langit tidak menyadari kalau ponselnya berdering. Dia sedang mengikat tali baju khusus yang diberikan perawat, sebelum perawat memasang infus.“Bagaimana kalau terus menghubungi?” tanya Aldo sambil menggeser tombol hijau di ponsel Langit. Dia memegang ponsel Langit di samping tubuh, posisi layar menghadap ke belakang, sehingga Langit tidak menyadari jika ada panggilan masuk.“Ya,
Sudah dua minggu semenjak Bintang berbaikan dengan Arlan. Bahkan Bintang sekarang sering mengajak Sashi ke rumah orang tuanya atas permintaan Annetha.Seperti hari itu. Bintang pergi ke rumah Arlan sebab sang papi bilang sedang ambil cuti karena kondisinya yang kurang sehat, sehingga Bintang tanpa pikir panjang memilih langsung datang untuk melihat kondisi Arlan.“Sudah diperiksa dan minum obat?” tanya Bintang begitu bertemu dengan Arlan yang sedang duduk di ruang keluarga bersama Annetha.Annetha dan Arlan pun terkejut karena Bintang tampak begitu panik.“Papi tidak kenapa-napa, hanya kecapean hingga membuat kondisi tubuh papi sedikit drop,” jawab Arlan sambil mengulas senyum.Tatapan pria itu tertuju ke Sashi yang berdiri di samping Bintang, lantas mengulurkan tangan sebagai isyarat agar gadis kecil itu mendekat.“Opa punya hadiah untukmu,” kata Arlan yang kemudian berdiri.Sashi mendongak menoleh Bintang, sedangkan Bintang langsung mengangguk melihat Sashi yang seolah meminta perse
Langit menarik napas dalam-dalam, lantas mengembuskan perlahan tanpa suara. Dia duduk sambil meremas kedua lutut, sedikit menunduk menurunkan pandangan agar tidak dikira sedang menantang.Arlan sendiri menatap Langit, mengajak pria itu bicara di ruang kerja tapi sudah duduk selama hampir lima belas menit belum berkata sepatah kata pun. Tatapan matanya pun membuat lawan bicaranya hanya diam menunduk.Arlan menghela napas kasar, hingga kemudian akhirnya bicara.“Aku memang memberi restu lagi, tapi bukan berarti akan menerima atau melupakan kejadian sebelumnya dengan mudah. Apa yang aku lakukan semata-mata hanya untuk Bintang. Bagiku dia yang akan jadi prioritas utamaku, memang aku ingin memisahkan kalian, tapi karena itu akan menyakiti hati putriku, membuatku memilih mengalah dengan keputusannya.”Arlan bicara dengan suara yang tidak terlalu lantang, tapi terkesan begitu menekan.Langit sendiri tidak membalas ucapan Arlan, hanya mengangkat wajah dan menatap pria itu yang sedang bicara a