Meli---cinta pertamaku datang kembali setelah aku menikah dan sekantor denganku. Aku merekomendasikannya sebagai penebus rasa bersalah karena sudah meninggalkannya. Kehadiran Meli kerap membuat aku bertengkar juga dengan Hanum---istriku---wanita pilihan ibu, hingga akhrinya dia pergi setelah kata talak terucap membawa dua anakku. Aku kira, setelah dia pergi, aku akan akan bahagia. Namun, entah kenapa, Meli jadi tak menarik lagi. Aku hampir gila mencari Hanum dan keberadaan kedua anakku ditambah tekanan Ibu yang begitu menyayangi mereka. Akhirnya aku menemukannya, tetapi tak berapa lama, justru surat undangan yang kuterima. Hanumku akan menikah dan aku merasakan patah hati yang sesungguhnya.
Lihat lebih banyak“Hanum ….” Aku tengah mengusap seprai yang kosong seperti hatiku, ketika derit pintu terdengar. Sontak aku mengerjap ketika melihat sosok yang kurindukan datang dan berjalan masuk ke dalam kamar. “Apakah Hanumku sudah berubah pikiran? Apakah dia mau tidur bersamaku malam sekarang?” batinku meracau. Sementara netraku memperhatikannya yang berjalan dan membuka lemari pakaian. “Num!” Aku menatapnya yang ternyata mengambil selimut. Dia menoleh. “Ya, Mas.” “Kamu ambil apa?” Dia hanya mengangkat tangannya dan menunjukkan satu buah selimut yang dia ambil. “Kamu tidur di mana?” Dia yang sudah hendak melangkah, menoleh dan tersenyum. “Di kamar sebelah, Mas. Bareng anak-anak.” Aku beranjak dan menahannya. “Boleh Mas peluk kamu, Num?” Wajah sudah memanas, tetapi kukesampingkan rasa gengsi. Aku benar-benar merindukan dia. Sepasang mata bening itu menatapku sekilas. Namun sebuah anggukan membuatku merasa lega.“Sebentar saja, ya ….” Langsung saja kurengkuh tubuhnya. Harum yang mengu
“Kata orang, titik terbesar sebuah rasa cinta adalah merelakan. Jika kamu benar-benar mencintaiku, kenapa kamu tak merelakanku pergi menjalani hidupku sendiri, Mas? Hmmm, kamu tadi sudah janji akan mengabulkan apapun permintaanku ‘kan, Mas?” Dia bertanya lagi dan menatapku. Kali ini lebih lekat, bahkan aku yang tak sanggup membalas pendar manik hitam itu dan memilih membuang pandang.“Mas?” Suaranya kembali terdengar, meminta jawaban. Aku mengangguk ragu. Semoga saja dia tak meminta yang bukan-bukan. “Katakanlah … asal jangan kamu meminta Mas untuk melepasmu kembali, hmm?” Aku sudah menahan napas. Rasanya seperti hendak mendengar pengumuman hasil siding skripsi. Dia menggeleng. Lantas mengangkat wajah dan menatapku dengan pandangan yang entah.“Alasan kamu kembali demi anak-anak ‘kan, Mas?” “Hmmm.” “Aku mau kita tidur di kamar yang terpisah sampai aku benar-benar yakin jika kamu telah berubah.” Hening. Aku menggaruk tengkuk. Permintaannya begitu berat kurasa bagiku yang sudah s
Seratus gram emas batangan antam menjadi mas kawin pernikahanku yang kedua kalinya dengan dia dan dua cincin perak yang sama agar aku bisa juga memakainya. Setelah berpisah aku baru tahu kalau lelaki tak boleh memakai emas. Perempuan yang arti kehadirannya kurasakan setelah kusia-siakan. Ijab qabul kuucap dengan fasih. Sesekali kulihat wajahnya yang menunduk. Jujur, hati takut jika dia menolakku lagi. Kemarin ketika dia mendengar jika dia sudah menerima CV taaruf dari seorang istri kyai. Aku langsung mencari tahunya, hingga pada akhirnya aku bertemu dengan pucuk pimpinan pondok pesantren itu hanya demi satu hal, meminta bantuannya untuk menyerahkan profilku CV yang kubuat mendadak itu padanya. Aku tak banyak menuliskan detail diri. Percuma baginya posisi manager dan uang berlimpah, sebagai putri dari pemilik saham, dia pasti sudah punya semuanya. Aku hanya menuliskan satu hal. Aku ingin menebus semua kesalahanku padanya, menyayangi anak-anak dan membangun rumah tangga sakinah, mawadd
“Han, Mbak Hanumnya sudah dipanggil Mama.” Aku mengangkat wajah, Mas Rega melirik ke arah kami. “Yuk!” tukasnya seraya membagi pandang padaku dan Hana. Hana bangkit dan meraih lenganku. Aku pun ikut berdiri dan melangkah mengimbangi langkah Hana yang lebih dulu mengayun. “Mbak, tangannya dingin banget.” Hana terkekeh seraya berbisik. “Gugup, Na.” Aku menjawab sejujurnya. Bahkan aku merasa jika saat ini lebih gugup dari pada ketika aku pertama menikah dulu. “Bismillah, Mbak … Insya Allah ini yang terbaik buat Mbak Hanum.” Hana kembali meyakinkan. Aku pun menuruni anak tangga perlahan, Hana menggenggam erat lenganku dan menemani meniti anak tangga satu-satu. Sementara itu, Mas Rega sudah berjalan lebih dulu dan kembali bergabung di ruang tengah. Aku hanya menoleh sekilas, tetapi tak bisa jelas melihat seperti apa sosok lelaki pilihan Mama. Barulah ketika titian pada anak tangga terakhir, aku mendongakkan wajah. “Hanum, sini, Nak!”Mama melambaikan tangan ke arahku yang mematung
“CV-nya ada di rumah. Ummi sudah tunjukkan soft copy sama Bu Esti. Dia sudah pilih juga yang mana buat kamu. Mari ….” Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Bukannya apa-apa aku tak mau melihat-lihat dulu. Namun melihat kesetiaan Mama pada almarhum Papa, hal itu saja sudah membuktikan jika lelaki yang meninggalkannya adalah lelaki terbaik, tak bisa tergantikan hingga sekarang. Karenanya aku juga yakin, kalau Mama tak akan salah pilih untuk anaknya. Semoga saja setelah aku memilih, Mas Ramdan akan berhenti mengejar-ngejarku lagi.Kami sudah tiba di teras rumah luas milik Ummi. Seseorang datang dan menyajikan minuman. Tak berapa lama Ummi permisi ke dalam, lalu kembali dengan satu map yang dia pegang.“Bu Esti, ini hard copynya. Kemarin Ibu sudah baca-baca semua yang dikirimkan melalui whatsapp.” Ummi menyerahkan amplop berwarna cokelat itu pada Mama. Aku menunduk menetralkan jantung yang tiba-tiba terasa lebih cepat berdegub. “Makasih, Ummi.” Mama menerimanya dan tersenyum padaku.“Bis
“Ya sudah, nanti Mbak check kalau sudah sampai. Hati-hati kalau ada indikasi mencurigakan, kamu panggil keamanan saja, ya!” Aku wanti-wanti padanya. Sepulang dari psikolog kenalan Mama, aku tergesa minta di antar ke toko. Mahe dan Daffa pastinya sudah pulang juga kalau jam segini dan sudah di rumah. “Emang kenapa kok buru-buru banget, Num?” Perempuan paruh baya yang tengah memegang setir itu menatap padaku. “Hmmm, ada yang kirim paketan, Ma. Cuma rasanya aku gak ada pesan belanja online akhir-akhir ini.” “Salah alamat kali, Num.” Aku menggaruk kepala. Pikiranku juga sama, tapi kata Fitria memang benar namanya Hanum. Mobil berhenti juga. Aku turun dan lekas mencium punggung tangan Mama. Bergegas turun dan masuk ke dalam toko. Fitria tampak merapikan bekas makannya di atas meja. Biasanya memang dia suka makan kalau sambil kerja. Sudah kubilang gak apa, tetapi mungkin ada rasa tak enak juga. “Mbak, katanya sejam lagi?” Fitria bangun dan menyapaku. “Iya tadi ternyata lebih cepet
Aku lebih memilih diam, tak menimpali mereka. Kugiring menuju parkiran. Aku baru hendak memarkirkan sepeda motor ketika pertanyaan dari mulut mungil Mahendra membuat pergerakanku terhenti.“Ma, kenapa, sih, Papa gak tinggal sama kita?” “Ayo cepetan naik, sudah mau ujan!” tukasku. Tak hendak menjawab pertanyaan mereka. “Jadi ke timezone sama Papanya gak jadi, Ma?” Mahe mendesak. “Iya, Ma. Mau main basket lagi.” Daffa menimpali. “Sama mau mobil lagi sama Papa, Ma.” Mahe juga tak mau kalah. “Sekarang kita pulang dulu, ya! Time zonenya belum buka.” Ah apa saja yang penting mereka diam. “Oh belum buka, Ma?” “Hmmm ….” “Bukanya jam berapa, Ma?” Duhhh … makin hari, mereka makin aktif. Makin saja membuatku kewalahan tentang pertanyaannya yang semakin detail. “Kita pulang dulu, ya, Sayang! Habis Mahe sama Daffa makan, bobok siang, nanti Mama lihat apakah Timezonenya sudah buka atau belum? Oke?” tukasku untuk menyudahi perdebatan yang pastinya akan panjang ini. “Okeee.” Aku pun melaj
“Yah, Mama lupa. Jas ujannya gak kebawa.” Aku menghela napas kasar. Pada saat bersamaan, terdengar klakson dari arah belakang. “Duh, bentar, ya! Motor saya mogok!” Aku menoleh. Kukira orang yang kesal karena aku menghalangi jalannya. Namun, ketika aku menoleh, seketika sepasang mata ini mengerjap menatapnya. Seorang lelaki tersenyum dan bergegas keluar dengan sebuah payung menembus hujan. “Ayo naik mobil Papa!” tukasnya seraya berjalan mendekati Mahendra dan Daffa. Aku tersenyum ketika dia pun menoleh padaku. Aku dan dia sudah tak ada masalah lagi. “Num, ayo naik saja. Kebetulan tadi memang Mas mau ke sekolah anak-anak.” Lelaki dengan wajah tirus dan rambut gondrong itu mengalihkan perhatiannya padaku. Saat ini, anak-anak sudah berada di bawah payungnya. “Ahm, gak usah, Mas. Titip Mahe sama Daffa saja, ya … tolong anterin ke sekolah. Saya masih harus urus motor ini ke bengkel.” Kutepuk dua kali sepeda motor kesayanganku. “Gak apa, biar sekalian! Nanti pulang dari sekolah, kamu
Pov Hanum “Seperti biasa, Num. Permintaan Mama kamu sama Ummi, minta dicarikan jodoh buat kamu. Apa kamu sudah membuka hati lagi untuk lelaki lain?” Dia memandang lekat wajahku. Pertanyaan yang bukan pertama kali kudapatkan dari pemilik pondok yang tiap bulan memang selalu mendapatkan bantuan yang cukup besar dari Mama ini. Aku tersenyum, lantas menatap perempuan itu dan mama bergantian, lalu setelahnya aku menggeleng perlahan. Mama menghela napas kasar, tetapi Ummi tetap tersenyum dan mengangguk paham. “Sampai kapan, Num?” Mama menatapku. “Sampai hatiku siap, Ma.” Satu jawaban yang membuat Mama kembali bungkam. Aku kembali fokus pada kehidupanku yang sudah tertata dengan lebih baik. Menjadi seorang single mom dan memiliki usaha agen skincare dan kosmetik membuatku memenuhi waktu dengan rancangan masa depan. Mama juga mendukung usahaku. Dia memberiku sejumlah modal dan kini aku sudah mulai membuka satu toko juga. Jaraknya memang agak sedikit jauh dari rumah, tetapi masih bisa d
"Hanum, kemeja Mas untuk acara besok nanti sudah kamu setrikain ‘kan?” Aku bertanya pada Hanum---istriku. Saat itu dia tengah sibuk membereskan mainan si kembar Mahendra dan Daffa yang baru berusia satu setengah tahun. Kulempar tas kerja sembarang. Capek sekali rasanya hari ini di kantor. Banyak masalah berdatangan. Serta tuntutan bos yang memintaku untuk menaklukan salah satu customer baru yang mulai menunjukkan taringnya di dunia industri. Maklum, aku baru saja diangkat jadi manager. Jadi seolah perusahaan memintaku totalitas dan balas dari remunerasi yang merea berikan.“Sudah, Mas! Aku sudah simpan di dalam lemari! Hmmm … tapi, Mas! Kamu emang sendirian datang di acara ulang tahun perusahaannya? Rasanya aku lihat di undangannya boleh bawa pasangan?!” tanyanya. Ah, sial! Aku lupa tidak menyembunyikan surat undangan dari perusahaan waktu itu dan yang kukhawatirkan terjadi, Hanum menanyakan hal itu. “Oh, itu … itu mesti bayar lagi, Han! Jadi sebetulnya undangannya buat satu orang ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen