"Hanum, kemeja Mas untuk acara besok nanti sudah kamu setrikain ‘kan?” Aku bertanya pada Hanum---istriku. Saat itu dia tengah sibuk membereskan mainan si kembar Mahendra dan Daffa yang baru berusia satu setengah tahun.
Kulempar tas kerja sembarang. Capek sekali rasanya hari ini di kantor. Banyak masalah berdatangan. Serta tuntutan bos yang memintaku untuk menaklukan salah satu customer baru yang mulai menunjukkan taringnya di dunia industri. Maklum, aku baru saja diangkat jadi manager. Jadi seolah perusahaan memintaku totalitas dan balas dari remunerasi yang merea berikan.
“Sudah, Mas! Aku sudah simpan di dalam lemari! Hmmm … tapi, Mas! Kamu emang sendirian datang di acara ulang tahun perusahaannya? Rasanya aku lihat di undangannya boleh bawa pasangan?!” tanyanya.
Ah, sial! Aku lupa tidak menyembunyikan surat undangan dari perusahaan waktu itu dan yang kukhawatirkan terjadi, Hanum menanyakan hal itu.
“Oh, itu … itu mesti bayar lagi, Han! Jadi sebetulnya undangannya buat satu orang saja! Kalau mau bawa keluarga harus bayar! Lah kalau aku bawa kalian bisa-bisa uang bulanan nanti malah jadi gak cukup!” kilahku. Padahal aku sudah mengajak Meli---teman kantor baruku. Dia itu adik kelas waktu aku di SMA dulu. Beberapa bulan lalu dia menitip lamaran melalui aku dan akhirnya sama-sama keterima di perusahaan ini.
Aku sengaja mengajak Meli karena memang yang hadir ke acara besar ini harus membawa pasangan. Bagaimana bisa aku mengajak Hanum, sekarang penampilannya sangat berantakan. Wajahnya bukan hanya kusam, jerawat juga numbuh di mana-mana. Makin hari, Hanum makin jorok, dia tiap hari gak pernah cuci muka sepertinya kalau mau tidur. Terlebih anak-anakku sangat aktif, gak mungkin kalau harus bawa si kembar ke acara resmi perusahaan seperti ini.
Aku tidak ingin semua karyawan mengetahui siapa istriku dan nantinya dijadikan bahan ejekkan di kantor. Sepertinya wajahku dan wajah Hanum malah terlihat seperti tuaan dia sekarang. Padahal dia di rumah saja gak ngapa-ngapain. Memang semakin hari, dia semakin banyak tuntutan dan tidak pandai merias diri, padahal awal-awal nikah sering aku lihat dia pakai B erl, wajahnya kenyal dan mengkilap, setidaknya sedap dipandang dikala lelah. Sekarang selalu saja banyak alasan. Ketika aku suruh perawatan, dia selalu saja berkilah, uangnya tak cukup. Padahal setahuku harga B erl skincare harganya biasa saja. Buktinya, Meli saja selalu kulihat beli tiap bulannya.
“Oh ya udah kalau gitu! Hati-hati ya, Mas!” ujarnya sambil tersenyum.
“Iya, Han! Kamu jaga anak-anak di rumah, ya! Aku pulang sampai malem soalnya! Acaranya mungkin sampai jam sebelasan!” tukasku.
Padahal acaranya hanya sampai pukul Sembilan, tetapi aku ‘kan harus mengantar Meli pulang. Lagi pula gadis itu mengajakku untuk mampir ke mall sebentar sebelum tutup. Ada perlengkapan kantor yang harus dibelinya. Dia beli juga pakai uangnya. Uangku mana ada lagi hanya tinggal buat cadangan saja, jaga-jaga kalau Risna---adikku merengek minta dibeliin quota. Semua juga kubagi adil pada Hanum setelah kuberikan jatah untuk ibu dan adikku. Namun anehnya, Hanum bilang selalu tak ada sisa dan kurang. Entah dia pakai buat apa? Boros sekali Hanum sekarang.
“Iya, Mas! Padahal aku berharap kamu pulang sore, Mas! Kalau sore itu Mahendra Sama Daffa perang terus! Aku sampai kewalahan, Mas untuk melerai anak-anak kamu yang pada gak mau ngalah itu!” ujarnya sambil menarik napas.
“Iya, sabar! Namanya juga anak-anak!” ucapku sambil berlalu ke dapur. Perut sudah berteriak minta diisi.
“Han, kamu masak ini doang?” Seketika hatiku kecewa ketika melihat yang tertata di bawah tudung saji. Hanya ada oseng-oseng tahu, sambal dan sayur bening.
“Iya, Mas! Tadi sudah beli ikan! Tapi belum sempet aku bersihin! Mahe sama Daffa bertengkar mulu!” jawabnya.
Dia menghampiriku dengan daster rumahan yang tiap hari sepertinya gak ganti. Ya, karena dia membeli daster lusinan. Jadi seolah aku ini dalam kondisi dejavu setiap hari melihat penampilannya dengan baju yang sama. Kondisi rumah yang sama berantakannya dan teriakan Mahendra dan Daffa yang biasanya memekakkan telinga.
“Kamu itu selalu nyalahin mereka! Aku ‘kan udah bilang pengen makan gurame asam manis mumpung abis gajian! Nanti ujung bulan kamu malah suka ngeluh uangnya kurang!” gerutuku merasa kesal.
“Ya, mau gimana, Mas? Namanya juga mereka masih kecil! Apalagi aku ngurus rumah sama ngurus mereka sendirian! Capek banget, Mas!” keluhnya.
“Aku juga sama capek lah Han, tiap hari pergi pagi pulang sore! Kamu pikir aku di kantor main? Aku ‘kan cari nafkah buat kalian! Cuma minta dibuatin makan enak aja banyak alasan!” gerutuku lagi sambil menutup kembali tudung saji.
“Mas, aku ‘kan di rumah sibuk juga! Aku juga capek, Mas!” ucapnya sambil menatapku. Mulai deh, drama. Air matanya mulai menggenang.
“Kamu itu akhir-akhir ini makin banyak protes, ya! Nyesel aku gak ceraikan kamu sekalian!” tegasku sambil menatapnya.
“Oke, Mas! Kalau kamu sudah berkata demikian! Tidak ada lagi alasan aku untuk bertahan! Malam ini aku akan pergi! Ceraikan saja aku, Mas! Ceraikan!” ucapnya membuat aku semakin tersulut emosi.
“Jadi kamu nantangin? Oke kalau mau pergi, silakan pergi! Aku jatuhkan talak satu sama kamu! Pergilah ke mana kamu mau!” ucapku diluar kendali.
Hanum terdiam. Ada air mata menetes deras pada kedua pipinya. Dia berlari menuju kamar depan di mana anak-anak tadi sedang bermain mobil-mobilan. Sementara itu, aku berjalan ke luar. Sekedar mencari angin segar. Bosan sekali setiap kali pulang ke rumah selalu disuguhkan penampilan istriku yang semrawut, rumah berantakan, jeritan anak-anak yang bertengkar. Padahal aku capek, ingin sekali istirahat.
***
Aku cukup terkejut ketika aku pulang dan dia benar-benar pergi bawa anak-anak. Lagian sok-sokan nantangin cerai, ya, aku ceraikan saja sekalian. Ketika kepala sudah dingin, aku menyesali perbuatan itu. Aku tahu, Hanum tak secantik Meli yang terawat dan mulus. Namun, gimanapun dia adalah ibu dari anak-anak yang kusayangi. Huh, ke mana mereka pergi? Mana nomornya gak aktif pun.
Hanya saja, aku tak bisa mencarinya segera. Acara di perusahaan dilaksanakan oleh customer itu besok pagi. Aku tak mungkin absen, karena harus mewakili perusahaan bersama Meli.
Suasana ballrroom restaurant yang dipesan untuk ulang tahun perusahaan customer besarku terasa semarak. Berbagai hiasan warna warni menghias indah.
Kami memakai dress code yang sama. Aku berjalan bersisian bersama Meli. Memakai batik senada. Bangga sekali rasanya bisa menggandeng gadis secantik Meli pada acara semewah ini. Lagi pula, aku memang sudah jatuh hati padanya sejak SMA.
Batik yang kami kenakan senada. Meli tampak sangat cantik dengan rambut digerai. Warna lipstiknya membuat wajahnya tampak sangat segar.
Ada rasa berdesir dalam dada ketika lengan kami bersentuhan. Meli menggandeng tanganku seperti halnya ketika kami jalan saat SMA dulu.
“Ehmmm! Istrinya Pak Ramdan cantik, ya!” Puji Bu Indri---orang yang biasa berhubungan denganku dalam hal pekerjaan.
Meli menunduk tersipu. Ada senyum yang dikulumnya diam-diam.
“Pak Ramdan mari ke sini, Pak! Acaranya sudah akan dimulai!” seru Ervan---staff di divisiku.
“Wah ternyata, aku keduluan Bapak, nih! Meli single tapi sudah gak available!” celotehnya sambil melirik ke arah Meli yang menggelayut manja pada lenganku.
“Bapak dan Ibu, acara akan segera kita mulai! Marilah kita sambut putri dari salah satu pemilik saham terbesar sekaligus brand ambassador B erl cosmetics yang akan membuka perayaan ulang tahun perusahaan ini! Bu Hana Pramesti Hanggara!" ucapnya.
Berjalanlah seorang wanita dengan gamis moderen dan jilbab terpasang rapi. Wajahnya tampak segar dan sangat cantik. Aku tertegun dan degup jantungku terasa berdetak lebih cepat. Apakah aku terkena halusinasi? Tidak mungkin ‘kan wanita cantik itu Hanum---istri yang malam tadi kuceraikan?
Lekas aku mengambil gawai dan menelpon Hanum. Wajah itu begitu mirip dengannya. Namun, lagi-lagi nomornya tak bisa kuhubungi.
Sial, tak mungkin jika itu Hanum---mantan istriku. Di rumah saja penampilannya kusut semrawut gak karuan. Lagi pula, Hanum kan yatim piatu. Gak mungkin, gak mungkin kalau itu Hanum. Namun, kenapa wajah mereka sama?
Sial, tak mungkin jika itu mantan istriku. Di rumah saja penampilannya kusut semrawut gak karuan. Lagi pula, Hanum kan yatim piatu. Gak mungkin, gak mungkin kalau itu Hanum. Namun, kenapa wajah mereka sama?Perempuan itu pun melangkah dengan penuh percaya diri. Aku menatapnya sampai tak berkedip, terlebih ketika dia melirik dan melempar senyum kepada seluruh hadirin yang memenuhi ballroom hotel. Senyum itu, kerlingan mata dan lesung pipinya pun persis Hanum. Hanya saja, wajah perempuan yang berada di atas podium sana, tampak sekali mulus dan terawat. Namun, kalau dimake up, bisa saja ‘kan Hanum pun jadi seperti itu. Aku masih ingat, waktu awal nikah dulu, Hanum pun cantik. Hanya saja, aku memang belum cinta. Ya gitu, pernikahan karena dijodohkan, kadang seperti ini. Mungkin hanya ada di dalam drama yang berakhir dengan bucin dan indah. Namun dalam kehidupan nyata gak seindah itu.Dia pun mulai memberikan sambutan. “Terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan pada jajaran tim yang
Aku lekas memakai pakaian dan mengambil gawai. Semoga saja Hanum pulang ke rumah Ibuku. Biasanya kalau dia ngambek pulang ke sana. Ya, walau sama adikku gak pernah akur, tetapi hubungan Hanum cukup baik dengan Ibu. Semoga saja ada di sana, kalau tak ada, ke mana aku harus mencarinya? Aku memijat nomor Ibu. Panggilan pun terhubung. Beberapa detik menunggu, hingga akhirnya tak ada jawaban kudapatkan. Kucoba lagi, tapi masih sama. Akhirnya kusudahi saja, biar besok pagi aku mampir ke rumah Ibu sebelum berangkat kerja. Kurebahkan tubuh, baru saja hendak terpejam. Layar ponsel menyala, getarnya terdengar. Lekas kuraih lagi. Rupanya Meli yang mengirimiku pesan.[Night! Makasih dah anter pulang! Nice dream.] Lengkung bibirku tertarik begitu saja. Rasanya lagi nostalgia. Dulu, waktu Meli sering main sama Risna. Diam-diam kami pacaran. Meli sering sekali mengirimiku pesan seperti ini. Ah, rindu itu kembali beterbangan. Rindu masa-masa belia yang indah. Bahkan hanya saling pandang saja teras
Sontak aku tertegun. Kutelan saliva. Bingung harus menjawab dia seperti apa. “Aku masih sendiri sampai hari ini loh, Mas. Apa kamu tahu kenapa? Karena di sini masih dipenuhi oleh semua tentang kamu. Tentang kita dan janji masa lalu.” Meli berucap lirih dan terdengar sedih, membuat aku merasa semakin bersalah padanya. “Maaf ya, Mel ….” Hanya itu kata yang kulontarkan. Lalu kami terjebak dalam keheningan. Mobil melaju dalam diam. Hanya lantunan lagu janji suci yang mengalun membawa kami bernostalgia pada masa-masa belia. Di mana ada janji yang terpaksa kuingkari dan tak kutunaikan. Janji akan membawanya ke pelaminan. Kecanggungan itu berangsur sirna ketika mobil sudah terparkir di area parkiran perusahaan. Aku dan Meli turun. Dia menenteng pukis yang sudah tak panas lagi dan berjalan menjejeri langkahku. Pukisnya gak panas, tapi hatiku yang menghangat tiap kali dekat dengannya. “Mas, kita sarapan di lobi atau kantin?” tanyanya. “Di lobi saja, Mel. Buatin kopi, ya?” Aku menoleh pad
“Ramdan, kenapa di rumah gak ada orang? Ibu dari tadi manggil-manggil Hanum tapi gak ada yang jawab. Ponselnya gak aktif juga. Apa Hanum pergi ke luar sama kamu?” telisik Ibu seraya melongokkan kepala ke belakangku. Aku menelan saliva. Rupanya Hanum tak pergi ke rumah Ibu. Lalu, aku harus jawab apa sekarang? Ibu kan sayang banget sama cucu-cucunya. Kalau dia tahu Hanum pergi bawa Mahe dan Daffa entah ke mana, habislah aku. “Ibu sudah lama, ayo masuk dulu, Bu!” Aku belum bisa jawab pertanyaan Ibu. Lekas kubuka gerbang dan mengajak Ibu masuk. “Kok sepi banget, Dan? Pada ke mana cucu-cucu Ibu?” tanyanya. “Bu, minum dulu saja, ya! Bentar aku masukin mobil dulu.” Aku mengambilkan air mineral dari dalam lemari es untuk Ibu.“Hanum sama cucu-cucu Ibu pada ke mana, Dan? Kok tumben rumahnya sepi kayak gini?” tanyanya lagi. Aku melengos saja. Gegas kutinggalkan Ibu dan memarkirkan mobil ke garasi. Mesin mobil sudah mati, posisi pun sudah pas. Namun aku bingung mau turun. Harus jawab apa s
Gedoran pada daun pintu membuat kesadaranku yang lenyap, tiba-tiba kembali datang. Aku membuka mata, tetapi alangkah kaget kuar biasa. “M--Meli?!” Aku terlonjak ketika mendapati tubuh tanpa sehelai benang pun meringkuk di sampingku. “Astaghfirulloh, Mas Ramdan!” Meli sama-sama memekik kaget. Gedoran pada daun pintu membuat aku yang panik lekas masuk ke dalam. Lebih panik lagi ketika ternyata pakaianku pun hanya menyisakkan celana dalam. Kudengar Meli membuka pintu. “Mbak, tolong, ya! Di sini bukan tempat kumpul kebo! Para tetangga bilang, ada lelaki yang nginep di sini?!” Kudengar suara seseorang dengan suara penuh tekanan. Aku lekas mengenakan pakaian, sedangkan Meli terdengar tengah menyangkal. Namun, sial, rupanya seorang lelaki menerobos ke dalam. “Ini Pak, lelakinya ada di sini!” Beruntung aku sudah mengenakan celana panjang, Hanya saja memang masih telanjang d*da. Si*l sekali aku hari ini. Sudah dibuat lelah dalam pencarian Hanum, kenapa juga malah ketiban s*al lagi di si
“T--tapi, Mas. Aku gak mau pergi. Aku mau, kamu tanggung jawab sama apa yang sudah kamu lakukan malam tadi!” pekiknya seraya menepis tanganku. Ya Tuhaaan! Hampir pecah kepalaku jadinya sekarang. “Kita pergi dulu, ya! Aku gak mau ada keributan di sini. Masalah itu, kita urus nanti.” Aku mengisyaratkan agar Meli nurut. Dia tampak menghela napas panjang. Beruntungnya dia tak keras kepala, lalu mengangguk dan menuruti apa yang kukatakan. Aku menatap Ibu ketika Meli pergi ke kamar. “Aku akan ajak dia pergi, Bu. Tadi malam ada insiden. Pulang kerja nanti aku ceritakan.” Aku berucap sambil menunduk. Enggan menatap wajah Ibu yang diliputi kemarahan. Namun tiba-tiba Ibu terduduk dan menangkup wajah. Aku yang kaget lekas membangunkan tubuhnya.“Bu, jangan nangis.” “Hanum ke mana, Dan? Gimana nasib Mahe sama Daffa? Kamu kenapa gak cari mereka?” Ibu terisak. “Maafin aku, Bu. Hanum suka bikin gara-gara terus, sih. Aku jadinya kelepasan. Nanti aku cari lagi. Kemarin aku seharian sampai malam
“Jakarta?” Aku menatap sederet alamat itu. Lekas aku mengajak Ibu pulang kembali. Biar siang nanti aku sendiri yang mencarinya ke sana. Gila, masa dia mau bawa anak-anakku jadi pembantu. Ibu macam apa sih, dia?Perjalanan ini terasa melelahkan. Ibu duduk bersandar pada jok di sampingku. Sepanjang perjalanan, tak ada sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Kami sempat mampir dulu istirahat dan membeli makan, tetapi Ibu tetap diam seribu bahasa. Jujur, aku jadi sangat merasa bersalah. Aku tahu, Mahe dan Daffa sangat disayangi Ibu. “Bu, mau apa minumnya?” tanyaku. Namun, Ibu tak menjawab. Dia hanya fokus menyuap, menghabiskan makanan pada piringnya. “Bu, nambah, ya, sopnya!” Aku menawarinya, tetapi lagi-lagi, dia diam seribu bahasa. Ya sudahlah. Aku pun akhirnya diam. Kami di sini bersama tetapi seperti orang yang tak saling kenal. Kadang bingung juga dengan sikap Ibu. Dia selalu lebih membela Hanum dan anak-anak dari pada aku. Padahal ‘kan yang tiap bulan ngasih uang ke dia gaji siap
“Maafin Ayah, Mahe! Daffa!” Aku keluar dari mobil dan berlari-lari menuju ke arah orang berkerumun. Mendengar anak lelaki itu meninggal. Rasanya seluruh duniaku hancur lebur. Senyuman manis Meli yang memabukkan, bahkan terasa menjadi memuakkan. Bukankah gara-gara dia aku menjadi terlambat mencari kedua buah hatiku. Bunyi ambulance meraung kencang. Aku terlambat. Ketiga korban tersebut sudah di evakuasi. “Mahe! Daffa!” Aku seperti orang gila. Berlari-lari mengejar ambulance yang sudah melesat membelah kemacetan.“Mas, Mas! Percuma, kalau lari gak akan ke kejar. Mas keluarga korban?” Seorang tukang ojek dengan jaket berwarna hijau meneriakiku. Aku berhenti mengejar. Kujatuhkan tubuh dan bersedeku di tanah. Rasanya percuma aku sekolah tinggi-tinggi, bahkan kini aku merasa benar-benar gagal menjadi seorang ayah. Sepeda motor dengan lelaki berjaket hijau itu berhenti di sampingku. Tanpa kuduga, dia menyodorkan helm padaku. “Ayo, Mas! Kita kejar ambulance nya. Paling dibawa ke rumah s
“Hanum ….” Aku tengah mengusap seprai yang kosong seperti hatiku, ketika derit pintu terdengar. Sontak aku mengerjap ketika melihat sosok yang kurindukan datang dan berjalan masuk ke dalam kamar. “Apakah Hanumku sudah berubah pikiran? Apakah dia mau tidur bersamaku malam sekarang?” batinku meracau. Sementara netraku memperhatikannya yang berjalan dan membuka lemari pakaian. “Num!” Aku menatapnya yang ternyata mengambil selimut. Dia menoleh. “Ya, Mas.” “Kamu ambil apa?” Dia hanya mengangkat tangannya dan menunjukkan satu buah selimut yang dia ambil. “Kamu tidur di mana?” Dia yang sudah hendak melangkah, menoleh dan tersenyum. “Di kamar sebelah, Mas. Bareng anak-anak.” Aku beranjak dan menahannya. “Boleh Mas peluk kamu, Num?” Wajah sudah memanas, tetapi kukesampingkan rasa gengsi. Aku benar-benar merindukan dia. Sepasang mata bening itu menatapku sekilas. Namun sebuah anggukan membuatku merasa lega.“Sebentar saja, ya ….” Langsung saja kurengkuh tubuhnya. Harum yang mengu
“Kata orang, titik terbesar sebuah rasa cinta adalah merelakan. Jika kamu benar-benar mencintaiku, kenapa kamu tak merelakanku pergi menjalani hidupku sendiri, Mas? Hmmm, kamu tadi sudah janji akan mengabulkan apapun permintaanku ‘kan, Mas?” Dia bertanya lagi dan menatapku. Kali ini lebih lekat, bahkan aku yang tak sanggup membalas pendar manik hitam itu dan memilih membuang pandang.“Mas?” Suaranya kembali terdengar, meminta jawaban. Aku mengangguk ragu. Semoga saja dia tak meminta yang bukan-bukan. “Katakanlah … asal jangan kamu meminta Mas untuk melepasmu kembali, hmm?” Aku sudah menahan napas. Rasanya seperti hendak mendengar pengumuman hasil siding skripsi. Dia menggeleng. Lantas mengangkat wajah dan menatapku dengan pandangan yang entah.“Alasan kamu kembali demi anak-anak ‘kan, Mas?” “Hmmm.” “Aku mau kita tidur di kamar yang terpisah sampai aku benar-benar yakin jika kamu telah berubah.” Hening. Aku menggaruk tengkuk. Permintaannya begitu berat kurasa bagiku yang sudah s
Seratus gram emas batangan antam menjadi mas kawin pernikahanku yang kedua kalinya dengan dia dan dua cincin perak yang sama agar aku bisa juga memakainya. Setelah berpisah aku baru tahu kalau lelaki tak boleh memakai emas. Perempuan yang arti kehadirannya kurasakan setelah kusia-siakan. Ijab qabul kuucap dengan fasih. Sesekali kulihat wajahnya yang menunduk. Jujur, hati takut jika dia menolakku lagi. Kemarin ketika dia mendengar jika dia sudah menerima CV taaruf dari seorang istri kyai. Aku langsung mencari tahunya, hingga pada akhirnya aku bertemu dengan pucuk pimpinan pondok pesantren itu hanya demi satu hal, meminta bantuannya untuk menyerahkan profilku CV yang kubuat mendadak itu padanya. Aku tak banyak menuliskan detail diri. Percuma baginya posisi manager dan uang berlimpah, sebagai putri dari pemilik saham, dia pasti sudah punya semuanya. Aku hanya menuliskan satu hal. Aku ingin menebus semua kesalahanku padanya, menyayangi anak-anak dan membangun rumah tangga sakinah, mawadd
“Han, Mbak Hanumnya sudah dipanggil Mama.” Aku mengangkat wajah, Mas Rega melirik ke arah kami. “Yuk!” tukasnya seraya membagi pandang padaku dan Hana. Hana bangkit dan meraih lenganku. Aku pun ikut berdiri dan melangkah mengimbangi langkah Hana yang lebih dulu mengayun. “Mbak, tangannya dingin banget.” Hana terkekeh seraya berbisik. “Gugup, Na.” Aku menjawab sejujurnya. Bahkan aku merasa jika saat ini lebih gugup dari pada ketika aku pertama menikah dulu. “Bismillah, Mbak … Insya Allah ini yang terbaik buat Mbak Hanum.” Hana kembali meyakinkan. Aku pun menuruni anak tangga perlahan, Hana menggenggam erat lenganku dan menemani meniti anak tangga satu-satu. Sementara itu, Mas Rega sudah berjalan lebih dulu dan kembali bergabung di ruang tengah. Aku hanya menoleh sekilas, tetapi tak bisa jelas melihat seperti apa sosok lelaki pilihan Mama. Barulah ketika titian pada anak tangga terakhir, aku mendongakkan wajah. “Hanum, sini, Nak!”Mama melambaikan tangan ke arahku yang mematung
“CV-nya ada di rumah. Ummi sudah tunjukkan soft copy sama Bu Esti. Dia sudah pilih juga yang mana buat kamu. Mari ….” Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Bukannya apa-apa aku tak mau melihat-lihat dulu. Namun melihat kesetiaan Mama pada almarhum Papa, hal itu saja sudah membuktikan jika lelaki yang meninggalkannya adalah lelaki terbaik, tak bisa tergantikan hingga sekarang. Karenanya aku juga yakin, kalau Mama tak akan salah pilih untuk anaknya. Semoga saja setelah aku memilih, Mas Ramdan akan berhenti mengejar-ngejarku lagi.Kami sudah tiba di teras rumah luas milik Ummi. Seseorang datang dan menyajikan minuman. Tak berapa lama Ummi permisi ke dalam, lalu kembali dengan satu map yang dia pegang.“Bu Esti, ini hard copynya. Kemarin Ibu sudah baca-baca semua yang dikirimkan melalui whatsapp.” Ummi menyerahkan amplop berwarna cokelat itu pada Mama. Aku menunduk menetralkan jantung yang tiba-tiba terasa lebih cepat berdegub. “Makasih, Ummi.” Mama menerimanya dan tersenyum padaku.“Bis
“Ya sudah, nanti Mbak check kalau sudah sampai. Hati-hati kalau ada indikasi mencurigakan, kamu panggil keamanan saja, ya!” Aku wanti-wanti padanya. Sepulang dari psikolog kenalan Mama, aku tergesa minta di antar ke toko. Mahe dan Daffa pastinya sudah pulang juga kalau jam segini dan sudah di rumah. “Emang kenapa kok buru-buru banget, Num?” Perempuan paruh baya yang tengah memegang setir itu menatap padaku. “Hmmm, ada yang kirim paketan, Ma. Cuma rasanya aku gak ada pesan belanja online akhir-akhir ini.” “Salah alamat kali, Num.” Aku menggaruk kepala. Pikiranku juga sama, tapi kata Fitria memang benar namanya Hanum. Mobil berhenti juga. Aku turun dan lekas mencium punggung tangan Mama. Bergegas turun dan masuk ke dalam toko. Fitria tampak merapikan bekas makannya di atas meja. Biasanya memang dia suka makan kalau sambil kerja. Sudah kubilang gak apa, tetapi mungkin ada rasa tak enak juga. “Mbak, katanya sejam lagi?” Fitria bangun dan menyapaku. “Iya tadi ternyata lebih cepet
Aku lebih memilih diam, tak menimpali mereka. Kugiring menuju parkiran. Aku baru hendak memarkirkan sepeda motor ketika pertanyaan dari mulut mungil Mahendra membuat pergerakanku terhenti.“Ma, kenapa, sih, Papa gak tinggal sama kita?” “Ayo cepetan naik, sudah mau ujan!” tukasku. Tak hendak menjawab pertanyaan mereka. “Jadi ke timezone sama Papanya gak jadi, Ma?” Mahe mendesak. “Iya, Ma. Mau main basket lagi.” Daffa menimpali. “Sama mau mobil lagi sama Papa, Ma.” Mahe juga tak mau kalah. “Sekarang kita pulang dulu, ya! Time zonenya belum buka.” Ah apa saja yang penting mereka diam. “Oh belum buka, Ma?” “Hmmm ….” “Bukanya jam berapa, Ma?” Duhhh … makin hari, mereka makin aktif. Makin saja membuatku kewalahan tentang pertanyaannya yang semakin detail. “Kita pulang dulu, ya, Sayang! Habis Mahe sama Daffa makan, bobok siang, nanti Mama lihat apakah Timezonenya sudah buka atau belum? Oke?” tukasku untuk menyudahi perdebatan yang pastinya akan panjang ini. “Okeee.” Aku pun melaj
“Yah, Mama lupa. Jas ujannya gak kebawa.” Aku menghela napas kasar. Pada saat bersamaan, terdengar klakson dari arah belakang. “Duh, bentar, ya! Motor saya mogok!” Aku menoleh. Kukira orang yang kesal karena aku menghalangi jalannya. Namun, ketika aku menoleh, seketika sepasang mata ini mengerjap menatapnya. Seorang lelaki tersenyum dan bergegas keluar dengan sebuah payung menembus hujan. “Ayo naik mobil Papa!” tukasnya seraya berjalan mendekati Mahendra dan Daffa. Aku tersenyum ketika dia pun menoleh padaku. Aku dan dia sudah tak ada masalah lagi. “Num, ayo naik saja. Kebetulan tadi memang Mas mau ke sekolah anak-anak.” Lelaki dengan wajah tirus dan rambut gondrong itu mengalihkan perhatiannya padaku. Saat ini, anak-anak sudah berada di bawah payungnya. “Ahm, gak usah, Mas. Titip Mahe sama Daffa saja, ya … tolong anterin ke sekolah. Saya masih harus urus motor ini ke bengkel.” Kutepuk dua kali sepeda motor kesayanganku. “Gak apa, biar sekalian! Nanti pulang dari sekolah, kamu
Pov Hanum “Seperti biasa, Num. Permintaan Mama kamu sama Ummi, minta dicarikan jodoh buat kamu. Apa kamu sudah membuka hati lagi untuk lelaki lain?” Dia memandang lekat wajahku. Pertanyaan yang bukan pertama kali kudapatkan dari pemilik pondok yang tiap bulan memang selalu mendapatkan bantuan yang cukup besar dari Mama ini. Aku tersenyum, lantas menatap perempuan itu dan mama bergantian, lalu setelahnya aku menggeleng perlahan. Mama menghela napas kasar, tetapi Ummi tetap tersenyum dan mengangguk paham. “Sampai kapan, Num?” Mama menatapku. “Sampai hatiku siap, Ma.” Satu jawaban yang membuat Mama kembali bungkam. Aku kembali fokus pada kehidupanku yang sudah tertata dengan lebih baik. Menjadi seorang single mom dan memiliki usaha agen skincare dan kosmetik membuatku memenuhi waktu dengan rancangan masa depan. Mama juga mendukung usahaku. Dia memberiku sejumlah modal dan kini aku sudah mulai membuka satu toko juga. Jaraknya memang agak sedikit jauh dari rumah, tetapi masih bisa d