Share

Pertengkaran Itu

Aku mengejar Yumi yang sudah keterlaluan menyakiti hati Mama. Kemarahanku telah memuncak, hingga tak sadar menarik tangan gadis itu setelah menemukannya yang masih berada di ambang pintu pagar rumah.

"Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?" sarkas Yumi. Berusaha untuk melepas tanganku.

"Tidak! Sebelum kau meminta maaf kepada Mamaku."

Sikapku sudah seperti seorang suami yang marah terhadap istrinya. Didukung dengan mata membulat.

Aku sungguh marah terhadap gadis ini. Padahal kalau dipikir-pikir akulah yang bersalah. Bahkan hubungan kami tak sedekat rumah dan atapnya. Namun, egoku telah menguasai logika.

"Lepas, kataku!" seru Yumi. Berhasil melepas cengkraman.

"Siapa kau? Menyuruhku minta maaf kepada Ibumu. Apakah kau adalah pacarku yang sesungguhnya? Ku rasa hubungan kita tak sedekat itu."

Ucapan Yumi seperti menghempasku ke dalam danau. Aku sungguh malu, tapi hati ini masih sakit ketika mengingat Mama yang jatuh pingsan, karena wanita gila ini.

"Aku tidak perduli sedekat apa hubungan kita berdua. Aku juga tidak butuh kau dekat denganku. Yang aku tahu adalah kau harus meminta maaf kepada Mama sekarang juga! Karena egomu, Mama jatuh pingsan. Apa kau tidak bisa menahan diri sedikit saja? Malam ini adalah perayaan ulang tahun pernikahannya. Tidak bisakah kau memahami situasi kami?"

Aku menuntut begitu banyak kepada Yumi tanpa tahu malu. Sungguh egois.

"Lagi pula, bukankah kita sudah sepakat untuk saling membantu?" imbuhku, semakin menuntut tanggung jawab Yumi.

"Hei, bukankah kesepakatan kita sudah berakhir saat itu juga? Mengapa kau masih mengungkitnya? Aku juga telah menjalankan kewajibanku. Menghadapi orang-orang itu. Lalu mengapa sekarang kau justru meminta lebih dariku? Aku tidak mau meminta maaf kepada Ibumu. Aku tidak melakukan kesalahan apapun. Seharusnya kau lah yang minta maaf padanya, karena telah berbohong soal hubungn kita. Kau yang telah memulai kekacauan ini, bukan aku!"

Sekali lagi Yumi menamparku dengan kenyataan. Memang benar, bahwa aku yang telah memulai kekacauan ini, tapi bukankah Yumi yang memberiku jalan sebelum semua ini terjadi sangat jauh?

Ya, Yumi lah penyebab aku melakukan hal bodoh ini. Dia harus bertanggung jawab untuk itu.

"Tidak! Kau harus minta maaf kepada Mama... Harus!" 

Aku pun menarik paksa tangan Yumi untuk segera menemui Mama. Aku tidak ingin Mama jatuh sakit hanya karena gadis tak tahu diuntung ini.

"Yoga, hentikan!" Tiba-tiba Papa datang bersama Mama. Papa memapah Mama yang masih terlihat lemas.

"Mama..." Aku pun menghampiri Mama dan Papa.

"Masuklah sebentar, Mama ingin bicara." Ternyata Mama tidak memukulku. Mama mengajaku masuk ke dalam rumah.

"Kau juga, masuklah." Termasuk Yumi.

Mungkin Yumi merasa tertekan karena Mama. Aku telah menyeret gadis ini ke dalam masalah kami.

"Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Mama begitu kami masuk ke dalam rumah dan berkumpul di ruang tamu.

"Mama, aku..."

"Mama tidak sedang bicara padamu!" seru Mama, tidak mengizinkanku mengatakan apa-apa.

"Katakan, sebenarnya apa hubunganmu dengan Putraku? Benarkah kalian tidak memiliki hubungan apapun?"

Sumpah, jantungku berdegup kencang seiring dengan rasa takut yang ku alami. Aku menyesal telah membohongi Mama.

Kali ini pasti Mama tidak akan memaafkanku.

"Sebelumnya aku minta maaf, Tante. Karena tidak bisa mencegah masalah ini... Aku dan Putra Tante tidak memiliki hubungan apapun. Bahkan kami baru saling mengenal tadi pagi," papar Yumi mulai bercerita.

Aku bisa melihat mimik kekecewaan di wajah Mama. Semuanya begitu jelas. Sayang, aku hanya bisa menyaksikan tanpa melakukan pembelaan.

"Lalu?"

"Namun, sejujurnya ini bukan salah Putra Tante sepenuhnya. Akulah yang pertama kali meminta bantuan dia untuk menjadi kekasih palsu demi membalas mantan pacarku. Aku tahu ini sedikit aneh, tapi aku memiliki sedikit masalah yang tidak bisa ku jelaskan kepada kalian. Tolong maafkan aku."

Sungguh tidak ku duga. Yumi justru mengakui kesalahannya kepada Mama. Apakah wanita itu sedang membelaku?

"Baiklah, aku paham sekarang... Kau boleh pergi."

Ha? Hanya itu saja? Mama tidak marah padanya? Aku pikir Mama akan menjambak rambut Yumi. Atau paling tidak menampar wajah gadis itu, karena telah turut membantuku mengusung ide gila.

"Mama..."

Plak!

Baru saja aku menghampiri Mama, satu tamparan keras mendarat cantik di pipi ini. Lagi-lagi Mama memukulku.

"Anak kurang ajar! Tidak tahu malu! Bagaimana bisa kau membohongi Mama seperti ini? Kau bahkan menyeret gadis asing itu ke dalam masalah kita. Apa kau tidak punya harga diri sama sekali? Bagaimana caramu menghadapi media jika mereka sampai tahu yang sebenarnya? Keluarga kita pasti akan dipermalukan, Ga!"

Kali ini Mama benar-benar marah padaku. Sehingga membuatku takut. Lebih baik Mama menamparku, dari pada mengecewakannya. Hal yang paling aku hindari selama hidup ini.

"Ma, tolong maafkan aku. Aku tidak bermaksud membohongi Mama. Aku hanya ingin membungkam media yang terus menyebar berita tak mendasar," jelasku kepada Mama.

"Lalu, apa menurutmu kau telah berhasil membungkam mereka? Kau justru membuat masalah baru. Dasar bodoh!" seru Mama berapi-api.

Aku hanya bisa menunduk, membenarkan perkataan Mama. Soal Yumi, aku justru menimbulkan masalah baru, alih-alih membungkam mereka.

Aku pikir dengan memperkenalkan Yumi kepada media, orang-orang itu tak akan membuat berita yang tidak-tidak tentangku. Mereka tak akan lagi meragukan orientasi seksualku.

Namun, sepertinya aku telah melakukan kesalahan besar.

"Yoga, mengapa kau tidak memikirkan akibatnya sebelum melakukan kebohongan? Sekarang apa yang akan kau lakukan untuk membungkam media bila sampai tahu kebenaran itu? Apa kau yakin gadis tadi tidak akan membeberkan masalah kita kepada mereka?" Kali ini Papa yang bicara.

Sedang aku masih dalam posisi diam. Menunduk penuh sesal. Jujur, otakku terasa mati untuk sekedar memikirkan ide.

"Mau bagaimana lagi? Dia harus segera menikah dengan gadis pilihan Mama. Suka tidak suka, kau harus segera menikahi Magdalena, Putri Ibu Sumi."

Oh Tuhan, tamat sudah riwayatku. Aku harus menikahi gadis setengah gila yang setiap hari membawa celana dalam pria kemana-mana. Apakah Mama tidak salah memilih menantu?

Lebih baik aku memaksa Yumi untuk menjadi istriku ketimbang harus menjadi suami orang tak waras. Bisa-bisa aku juga ikutan gila.

"Tapi, Ma. Mengapa harus Anak Ibu Sumi? Memangnya tidak ada gadis lain untuk dijadikan istri? Aku tidak setuju dengan ide Mama," tolakku mentah-mentah.

Apa kata Indra bila akhirnya aku menikahi Magdalena? Gadis gila yang setiap hari menjadi bahan pergunjingan kami bila sedang merasa bosan di kantor.

"Kalau begitu Mama akan memberimu waktu tiga bulan untuk mencari calon istri. Jika selama itu kau tidak berhasil juga, maka kau harus menuruti semua perintah Mama. Suka tidak suka, kau tetap harus menikahi Magdalena!"

Tampaknya kali ini Mama bersungguh-sungguh memberiku tantangan. Hanya saja ku rasa tiga bulan cukup berat. Dari mana aku harus mendapatkan calon istri sesingkat itu?

Tantangan ini seperti sedang mengikuti kompetisi menanam jagung. Tiga bulan harus segera panen.

"Enam bulan, aku pasti akan mempertemukan Mama dengan calon istriku." Akhirnya aku membuat tawaran bersama Mama dengan penuh percaya diri. Padahal dalam hati terus waspada.

"Baiklah, Mama setuju. Tapi, jika kau gagal. Kau harus menikahi Putri Ibu Sumi," ucap Mama penuh penekanan.

"Beres..." balasku penuh percaya diri.

"Ingat, kau harus menepati janjimu. Mama tidak pernah main-main dengan ucapan Mama."

"Iya."

Akhirnya kami pun mengakhiri percakapan malam itu dengan sebuah kesepakatan.

"Selamat berusaha."

"Iya."

Aku memutar bola mata, sangat malas melihat mimik Papa yang seolah mengejekku.

Inilah awal pertarunganku dengan Mama. Seharusnya aku menolak syarat Mama kali ini. Namun, entah mengapa lidahku justru mengatakan hal berbeda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status