Aku mengejar Yumi yang sudah keterlaluan menyakiti hati Mama. Kemarahanku telah memuncak, hingga tak sadar menarik tangan gadis itu setelah menemukannya yang masih berada di ambang pintu pagar rumah.
"Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?" sarkas Yumi. Berusaha untuk melepas tanganku.
"Tidak! Sebelum kau meminta maaf kepada Mamaku."
Sikapku sudah seperti seorang suami yang marah terhadap istrinya. Didukung dengan mata membulat.
Aku sungguh marah terhadap gadis ini. Padahal kalau dipikir-pikir akulah yang bersalah. Bahkan hubungan kami tak sedekat rumah dan atapnya. Namun, egoku telah menguasai logika.
"Lepas, kataku!" seru Yumi. Berhasil melepas cengkraman.
"Siapa kau? Menyuruhku minta maaf kepada Ibumu. Apakah kau adalah pacarku yang sesungguhnya? Ku rasa hubungan kita tak sedekat itu."
Ucapan Yumi seperti menghempasku ke dalam danau. Aku sungguh malu, tapi hati ini masih sakit ketika mengingat Mama yang jatuh pingsan, karena wanita gila ini.
"Aku tidak perduli sedekat apa hubungan kita berdua. Aku juga tidak butuh kau dekat denganku. Yang aku tahu adalah kau harus meminta maaf kepada Mama sekarang juga! Karena egomu, Mama jatuh pingsan. Apa kau tidak bisa menahan diri sedikit saja? Malam ini adalah perayaan ulang tahun pernikahannya. Tidak bisakah kau memahami situasi kami?"
Aku menuntut begitu banyak kepada Yumi tanpa tahu malu. Sungguh egois.
"Lagi pula, bukankah kita sudah sepakat untuk saling membantu?" imbuhku, semakin menuntut tanggung jawab Yumi.
"Hei, bukankah kesepakatan kita sudah berakhir saat itu juga? Mengapa kau masih mengungkitnya? Aku juga telah menjalankan kewajibanku. Menghadapi orang-orang itu. Lalu mengapa sekarang kau justru meminta lebih dariku? Aku tidak mau meminta maaf kepada Ibumu. Aku tidak melakukan kesalahan apapun. Seharusnya kau lah yang minta maaf padanya, karena telah berbohong soal hubungn kita. Kau yang telah memulai kekacauan ini, bukan aku!"
Sekali lagi Yumi menamparku dengan kenyataan. Memang benar, bahwa aku yang telah memulai kekacauan ini, tapi bukankah Yumi yang memberiku jalan sebelum semua ini terjadi sangat jauh?
Ya, Yumi lah penyebab aku melakukan hal bodoh ini. Dia harus bertanggung jawab untuk itu.
"Tidak! Kau harus minta maaf kepada Mama... Harus!"
Aku pun menarik paksa tangan Yumi untuk segera menemui Mama. Aku tidak ingin Mama jatuh sakit hanya karena gadis tak tahu diuntung ini.
"Yoga, hentikan!" Tiba-tiba Papa datang bersama Mama. Papa memapah Mama yang masih terlihat lemas.
"Mama..." Aku pun menghampiri Mama dan Papa.
"Masuklah sebentar, Mama ingin bicara." Ternyata Mama tidak memukulku. Mama mengajaku masuk ke dalam rumah.
"Kau juga, masuklah." Termasuk Yumi.
Mungkin Yumi merasa tertekan karena Mama. Aku telah menyeret gadis ini ke dalam masalah kami.
"Katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Mama begitu kami masuk ke dalam rumah dan berkumpul di ruang tamu.
"Mama, aku..."
"Mama tidak sedang bicara padamu!" seru Mama, tidak mengizinkanku mengatakan apa-apa.
"Katakan, sebenarnya apa hubunganmu dengan Putraku? Benarkah kalian tidak memiliki hubungan apapun?"
Sumpah, jantungku berdegup kencang seiring dengan rasa takut yang ku alami. Aku menyesal telah membohongi Mama.
Kali ini pasti Mama tidak akan memaafkanku.
"Sebelumnya aku minta maaf, Tante. Karena tidak bisa mencegah masalah ini... Aku dan Putra Tante tidak memiliki hubungan apapun. Bahkan kami baru saling mengenal tadi pagi," papar Yumi mulai bercerita.
Aku bisa melihat mimik kekecewaan di wajah Mama. Semuanya begitu jelas. Sayang, aku hanya bisa menyaksikan tanpa melakukan pembelaan.
"Lalu?"
"Namun, sejujurnya ini bukan salah Putra Tante sepenuhnya. Akulah yang pertama kali meminta bantuan dia untuk menjadi kekasih palsu demi membalas mantan pacarku. Aku tahu ini sedikit aneh, tapi aku memiliki sedikit masalah yang tidak bisa ku jelaskan kepada kalian. Tolong maafkan aku."
Sungguh tidak ku duga. Yumi justru mengakui kesalahannya kepada Mama. Apakah wanita itu sedang membelaku?
"Baiklah, aku paham sekarang... Kau boleh pergi."
Ha? Hanya itu saja? Mama tidak marah padanya? Aku pikir Mama akan menjambak rambut Yumi. Atau paling tidak menampar wajah gadis itu, karena telah turut membantuku mengusung ide gila.
"Mama..."
Plak!
Baru saja aku menghampiri Mama, satu tamparan keras mendarat cantik di pipi ini. Lagi-lagi Mama memukulku.
"Anak kurang ajar! Tidak tahu malu! Bagaimana bisa kau membohongi Mama seperti ini? Kau bahkan menyeret gadis asing itu ke dalam masalah kita. Apa kau tidak punya harga diri sama sekali? Bagaimana caramu menghadapi media jika mereka sampai tahu yang sebenarnya? Keluarga kita pasti akan dipermalukan, Ga!"
Kali ini Mama benar-benar marah padaku. Sehingga membuatku takut. Lebih baik Mama menamparku, dari pada mengecewakannya. Hal yang paling aku hindari selama hidup ini.
"Ma, tolong maafkan aku. Aku tidak bermaksud membohongi Mama. Aku hanya ingin membungkam media yang terus menyebar berita tak mendasar," jelasku kepada Mama.
"Lalu, apa menurutmu kau telah berhasil membungkam mereka? Kau justru membuat masalah baru. Dasar bodoh!" seru Mama berapi-api.
Aku hanya bisa menunduk, membenarkan perkataan Mama. Soal Yumi, aku justru menimbulkan masalah baru, alih-alih membungkam mereka.
Aku pikir dengan memperkenalkan Yumi kepada media, orang-orang itu tak akan membuat berita yang tidak-tidak tentangku. Mereka tak akan lagi meragukan orientasi seksualku.
Namun, sepertinya aku telah melakukan kesalahan besar.
"Yoga, mengapa kau tidak memikirkan akibatnya sebelum melakukan kebohongan? Sekarang apa yang akan kau lakukan untuk membungkam media bila sampai tahu kebenaran itu? Apa kau yakin gadis tadi tidak akan membeberkan masalah kita kepada mereka?" Kali ini Papa yang bicara.
Sedang aku masih dalam posisi diam. Menunduk penuh sesal. Jujur, otakku terasa mati untuk sekedar memikirkan ide.
"Mau bagaimana lagi? Dia harus segera menikah dengan gadis pilihan Mama. Suka tidak suka, kau harus segera menikahi Magdalena, Putri Ibu Sumi."
Oh Tuhan, tamat sudah riwayatku. Aku harus menikahi gadis setengah gila yang setiap hari membawa celana dalam pria kemana-mana. Apakah Mama tidak salah memilih menantu?
Lebih baik aku memaksa Yumi untuk menjadi istriku ketimbang harus menjadi suami orang tak waras. Bisa-bisa aku juga ikutan gila.
"Tapi, Ma. Mengapa harus Anak Ibu Sumi? Memangnya tidak ada gadis lain untuk dijadikan istri? Aku tidak setuju dengan ide Mama," tolakku mentah-mentah.
Apa kata Indra bila akhirnya aku menikahi Magdalena? Gadis gila yang setiap hari menjadi bahan pergunjingan kami bila sedang merasa bosan di kantor.
"Kalau begitu Mama akan memberimu waktu tiga bulan untuk mencari calon istri. Jika selama itu kau tidak berhasil juga, maka kau harus menuruti semua perintah Mama. Suka tidak suka, kau tetap harus menikahi Magdalena!"
Tampaknya kali ini Mama bersungguh-sungguh memberiku tantangan. Hanya saja ku rasa tiga bulan cukup berat. Dari mana aku harus mendapatkan calon istri sesingkat itu?
Tantangan ini seperti sedang mengikuti kompetisi menanam jagung. Tiga bulan harus segera panen.
"Enam bulan, aku pasti akan mempertemukan Mama dengan calon istriku." Akhirnya aku membuat tawaran bersama Mama dengan penuh percaya diri. Padahal dalam hati terus waspada.
"Baiklah, Mama setuju. Tapi, jika kau gagal. Kau harus menikahi Putri Ibu Sumi," ucap Mama penuh penekanan.
"Beres..." balasku penuh percaya diri.
"Ingat, kau harus menepati janjimu. Mama tidak pernah main-main dengan ucapan Mama."
"Iya."
Akhirnya kami pun mengakhiri percakapan malam itu dengan sebuah kesepakatan.
"Selamat berusaha."
"Iya."
Aku memutar bola mata, sangat malas melihat mimik Papa yang seolah mengejekku.
Inilah awal pertarunganku dengan Mama. Seharusnya aku menolak syarat Mama kali ini. Namun, entah mengapa lidahku justru mengatakan hal berbeda.
"Hahaha... Jadi, akhirnya kau menerima tantangan itu?" Lagi-lagi Indra menertawakanku."Sialan, Lo!""Uhuk... Uhuk..." Bahkan Indra sampai terbatuk-batuk.Memang nasibku pantas untuk ditertawakan. Mau bagaimana lagi, aku benar-benar pria sial.Betapa tidak, baru juga melakukan kebohongan pertama kalinya. Eh, justru ketahuan saat itu juga. Belum lagi Mama yang berencana menikahkanku dengan Magdalena bila tak kunjung menemukan kekasih dalam kurun waktu enam bulan.Hais, mengapa aku harus menerima tantangan Mama saat itu? Mengapa aku tidak berusaha untuk menolaknya? Benar-benar payah aku ini. Wajar bila Indra menertawakanku, alih-alih iba."Lalu, apa rencanamu selanjutnya? Apa kau akan mulai berpetualang?" Indra meraih apel yang ada di keranjang buah depan meja ruanganku. Lalu menggigitnya dengan santai."Entahlah, aku tidak menemukan ide apapun. Aku tidak punyai pengalaman untuk itu," jawabku putus asa."Bagaimana kalau kau memulai dengan benar bersama gadis bernama Yumi itu?"Sepertiny
***Yumi Pov***Sayup-sayup ku mendengar suara perdebatan antara Yoga dan Ibunya. Aku tahu yang ku lakukan ini telah menyakiti hati mereka. Akan tetapi, aku tak bisa bersandiwara lebih lama lagi.Mengakui hubungan palsu, sungguh membuatku seperti seorang berandal sekaligus pembohong besar.Memang betul, bahwa akulah yang telah memulai kebohongan ini. Namun, siapa sangka bila Yoga justru semakin menyeretku ke dalam urusan asmaranya.Dan kali ini situasinya semakin rumit. Dimana ia mengumumkan hubungan kami di depan semua orang tanpa memberiku aba-aba.Aku yang masih setia dengan keterkejutanku, hanya bisa diam mematung melihat kelancangan lelaki menyebalkan itu.Sialnya, di depan semua orang pula. Dengan lantangnya Yoga menciumku. Seolah tak punya rasa malu sama sekali.Sungguh, aku tak tahu bila pesta ulang tahun yang dimaksud Uti adalah ulang tahun pernikahan kedua orang tua Yoga.Andai saja Uti sedikit lebih jujur padaku, mungkin aku tak akan berakhir seperti ini. Tak akan ada hati
"So... Kau merasakan jantungmu deg-degan ketika melihat senyuman Yoga?"Inilah yang membuatku kesal terhadap Uti. Dia tak pernah berhenti menggodaku semenjak terlibat sandiwara Yoga.Setiap hari gadis cerewet itu mempertanyakan perkembangan hubungan kami. Padahal dia satu-satunya orang yang paling tahu kehidupanku.Bahkan kemana arah kaki ini melangkah, Uti pasti tahu. Lantas sekarang dia sengaja menggodaku hanya karena selama ini aku jomlo."Is... Kau ini. Selalu saja menggodaku. Apa kau pikir aku segila itu sampai jatuh cinta pada pria seperti Yoga?" sarkasku tak terima."Aku kan hanya mempertanyakan kondisi jantungmu. Bukan cintamu pada pria itu. Atau jangan-jangan kau...""Pergi, gak?! Atau pena ini melayang cantik ke wajahmu!" Aku meraih pena di atas meja untuk digunakan sebagai objek pengancaman.Jujur, Uti membuatku kesal hari ini. Bisa-bisanya dia mempermainkanku."Baiklah... Baiklah... Oh iya, tadi pagi ada tiga pesanan pelanggan. Kali ini dia menginginkan gambar kalung berli
"Pokoknya Ibu tidak setuju bila kau ikut-ikutan warga untuk melawan para orang kaya itu!" Ibu menghardikku agar tak turut serta bersama orang pasar untuk memperjuangkan hak mereka. Padahal Ibu tahu betul, bahwa para bedebah itu sedang membodohi warga di sini."Tapi, Bu. Bukankah Ibu tahu sendiri bila yang dilakukan orang itu tidak benar?" Ibu seolah menyangkal kata hati sendiri. Itulah yang membuatku sedikit kecewa padanya.Dulu Ibu tidak seperti ini. Ibu sangat vokal memperjuangkan hak setiap orang yang membutuhkan bantuan. Walau bukan berprofesi sebagai pengacara, tetapi Ibu adalah seorang lulusan sarjana hukum. Sedikit banyak Ibu tetap tahu soal Undang-Undang. Jadi, wajar bila aku mendesak Ibu agar tidak diam saja menyaksikan kezoliman itu."Yumi, Ibu sedang tidak ingin membahas masalah pasar. Ibu hanya ingin kita hidup dengan tenang," kata Ibu, seolah pasrah kepada nasib."Yakin Ibu merasa tenang setelah menyaksikan ketidak adilan itu? Apakah hati Ibu tidak merasa iba pada warga?
"Yumi, hai." Aditya tiba-tiba menyapaku setelah kejadian beberapa waktu lalu di toko berlian. Mantan kekasihku itu mendadak datang ke tempatku bekerja."Aditya? Sedang apa kau di sini?" tanyaku bernada ketus.Melihat wajah pria menyebalkan ini, mendadak darahku mendidih. Namun, aku masih bisa mengendalikan diri."Tenanglah. Aku tidak akan membuat keributan." Dilihat dari wajahnya, Aditya seperti sedang bersungguh-sungguh."Baiklah, katakan apa yang kau inginkan dariku?" Jadi, aku berusaha menurunkan ego."Sayang... Maaf membuatmu menunggu. Soalnya tadi Papa sedang menghubungiku. Mau menanyakan soal rancangan cincin pernikahan kita apakah sudah siap atau belum."Sialnya, ego yang sepersekian detik lalu coba ku redam. Mendadak naik kembali begitu kekasih Aditya datang dengan gaya bar-barnya."Kau?"Kemudian wanita angkuh itu menatapku remeh dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu ia pun berdecak, seolah sedang meledekku."Sayang, apa kau berencana menggunakan jasa wanita ini untuk mem
"Uti, aku harus segera pergi. Ada urusan mendadak yang harus segera ku selesaikan," ucapku kepada Uti sembari bergegas."Tapi bagaimana dengan desain pesanan Ibu Yuni? Katanya nanti sore dia datang.""Aku sudah selesai desain. Bahkan set berliannya ada di dalam laci itu. Untuk Tuan Dirga, kau bisa mengambilnya di toko berlian langganan kita... Aku harus segera pergi. Toko, aku percayakan padamu dua hari ini.""Tapi..."Aku langsung meninggalkan Uti begitu saja tanpa mendengarkan perkataan selanjutnya. Masalah kali ini sepertinya cukup serius. Kalau tidak, orang pasar itu tidak akan menghubungiku seperti ini.Namun, yang sangat mengganggu pikiranku adalah bagaimana caranya agar Ibu tidak tahu aku berperan membantu warga. Sedangkan aku sangat takut mengecewakannya.Ibu adalah satu-satunya keluarga yang ku punya."Nona Yumi."Setibanya aku di rumah Pak Ujang, orang-orang menyambutku dengan wajah berbinar. Seperti ada sedikit harapan dari mata mereka.Terlepas dari itu, aku yakin. Sebelum
"Jadilah kekasihku.""Ha?"Syarat macam apa itu? Apa Yoga menganggapku seperti wanita murahan? Seenaknya memintaku menjadi kekasihnya.Aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama seperti dua minggu lalu."Apa kau sudah gila? Aku tidak mau menjadi kekasihmu!" tolakku tegas."Baiklah, tidak masalah... Kalau begitu aku permisi."Sungguh aku tak tahu permainan apa yang sedang Yoga coba mainkan saat ini. Seakan tengah menguji kesabaranku."Tunggu!"Yoga baru bergegas pergi, tetapi aku mencegahnya."Apa tidak ada syarat lain?" tanyaku ragu-ragu."No!"Yoga sungguh keterlaluan. Dia manusia terlicik yang pernah aku temui. Mengalahkan Aditya."Keterlaluan!" gumamku."What?" Tapi masih bisa didengar oleh Yoga."keterlaluan... Kau manusia tak punya hati nurani. Apa kau tidak bisa melihat penderitaan para warga? Setidaknya gunakan akal sehatmu jika hatimu tak berfungsi!" seruku berapi-api.Kini aku melupakan rasa hormatku terhadap Yoga. Aku mengenyampingkan kemanusiaan."Justru karena hatiku be
"Kita ke kantor Yoga sekarang," ucapku setelah berpikir panjang."Yakin kau mau kesana? Kau tidak akan membuat kegaduhan, kan?" tanya Uti, seakan tengah meledekku."Apa wajahku terlihat seperti tukang onar? Tentu saja aku tak akan membuat kegaduhan," jawabku penuh keyakinan."Baiklah, sesuai perintah. Aku akan mengantarmu ke kantor Yoga."Akhirnya Uti membawaku ke tempat Yoga berada. Dan setibanya di sana, semua mata tertuju padaku.Dari mereka, ada yang saling berbisik sembari melirikku. Ada pula yang hanya menatapku diam. Namun, yang tak kalah mencengangkan adalah beberapa dari mereka justru menyebut namaku."Ada apa dengan orang-orang itu? Mengapa mereka melihatku dengan tatapan aneh? Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" tanyaku kepada Uti begitu masuk ke dalam lift."Tidak ada yang salah dengan penampilanmu, Sayang. Tapi statusmu yang bermasalah," jawab Uti."Statusku? Ada apa dengan statusku?" Sampai di sini aku masih belum memahami perkataan Uti."Cckk, kau ini. Lelet ama
Jalan tengah dari permasalahan kami, aku pun memilih untuk damai. Menandatangani surat pernjanjian dari Yoga.Walau hati kecilku menolak, tetapi demi kebaikan semua orang. Aku rela sekali lagi berkorban.Usai menandatangi surat tersebut. Yoga tersenyum puas. Aku tidak sangka dia adalah pria yang licik. Meski terkadang tak sungkan menunjukkan perhatiannya terhadapku. Namun, hal itu tidak mengubah fakta, bahwa Yoga adalah manusia kejam."Yum, ada yang ingin ku sampaikan padamu. Apakah kita bisa bertemu?" Sore harinya. Aku mendapat panggilan dari Uti.Terdengar dari nadanya. Seperti ada sesuatu yang serius."Baiklah," sahutku."Kau mau kemana?" Baru saja aku berencana pergi, Yoga mencegatku di ruang tamu."Uti memanggilku. Katanya ada yang mau disampaikan padaku.""Jam berapa pulangnya?" tanya Yoga sekali lagi."Aku tidak tahu... Baiklah, aku pamit." Aku terburu-buru hendak menemui Uti. Hingga lupa di mana tempat pertemuan kami."Gunakan mobil untuk menemui Uti. Jangan pakai sepeda buntu
Hari ini aku dan Yoga akhirnya pindah rumah. Walau harus diawali dengan sejumlah drama.Semula orang tua Yoga tidak setuju pada keputusan kami. Terutama Mama. Namun, setelah berunding. Akhirnya Mama setuju juga.Entah apa yang telah Yoga katakan padanya. Saat itu aku sedang berada di luar kamar. Aku memberi mereka privasi."Jaga baik-baik menantu Mama, Ga. Jangan biarkan dia bersedih. Awas saja kalau sampai Mama tahu, Mama tidak akan melepasmu!" ucap Mama usai kami pamit padanya."Mama tenang saja. Aku tidak akan menggigitnya. Paling hanya mencakar sedikit," sahut Yoga, berkelakar."Cakarnya jangan dalam. Tipis-tipis saja," seloroh Papa penuh maksud.Percakapan ini terkesan random. Keluarga Yoga memang sungguh aneh. Mereka sangat akrab satu sama lain. Namun, cara menunjukkan kedekatan itu berbeda dari keluarga biasanya.Papa terkesan cerewet, tetapi sebagai kepala keluarga. Dia sangat perhatian serta bertanggung jawab.Sedangkan Mama, dia memang terlihat tegas. Akan tetapi, di balik k
Malama itu kami kumpul bersama keluarga besar Yoga. Ada Uti sudah pastinya. Tak ketinggalan Nindia, gadis yang sejak kecil mengejar Yoga serta menyebutnya sebagai suami masa depan.Aku mengenakan gaun merah pemberian Mama mertua. Kali ini rambutku sengaja ditata rapi agar terlihat lebih elegan. Pasalnya, konon keluarga Yoga datangnya dari kalangan atas semua.Namun, yang aku perhatikan mereka cukup sederhana dan tak mempersoalkan diriku yang berasal dari keluarga biasa.Mungkin dulu keluargaku seperti mereka. Namun, sekarang lain cerita setelah Ayah jatuh bangkrut."Kau sudah siap?" tanya Yoga begitu usai berdandan.Untuk penampilan Yoga, tidak perlu lagi dipertanyakan. Seperti biasa, dia hanya mengenakan setelan jas hitam."Iya," sahutku."Kita temui tamu sekarang. Pasti mereka sedang menunggu kita," ucapnya.Yoga mengulurkan tangan. Aku yang masih belum siap, terpaku untuk sesaat. Benarkah pria ini suamiku? Dia memperlakukanku dengan manis."Yumi," sapanya."Ah iya." Aku tersadar da
Hidup bersama mertua, sudah tentu tak bisa dihindari bagi sepasang suami istri yang baru menikah. Pun halnya denganku yang tiba-tiba sudah menjadi istri orang.Lantas bagaimana dengan saudara ipar yang dibenci oleh para istri sejuta umat?Tentu aku tidak menjadi salah satu dari mereka. Yoga berstatus anak tunggal."Mengapa harus di rumah orang tuamu? Aku mau di rumah Ibu," sarkasku menolak ajakan Yoga."Tidak masalah kalau kau ingin tinggal di sana. Tapi, kita harus tidur satu ranjang." Kali ini ide gila apa yang coba diusung Yoga. Sungguh memalukan.Tidur bersama? Oh tidak bisa. Tentu hal itu tak akan pernah terjadi. Pria ini tidak bisa dipercaya untuk urusan ranjang. Dia selalu mencuri ciuman dalam kesempitan. Tentu saja dengan alasan klasik. Tidak sengaja."Mengapa begitu? Kami memiliki tiga kamar tidur kok," tukasku tak terima."Lalu, apa kau ingin Ibumu tahu tentang kita yang sebenarnya? Baiklah, tidak masalah. Aku tidak merasa dirugikan untuk itu. Tapi bagaimana denganmu? Apa ya
Selayaknya bisnis simbiosis mutualis. Aku pun harus menyiapkan surat kontrak sebagai simbol dari hubungan ini. Lagi pula aku tidak ingin berlama-lama hidup dalam kepalsuan. Pernikahan ini, harus segera berakhir.Dalam surat tersebut, tak lupa aku cantumkan jangka waktu pernikahan kami. Hanya satu tahun lamanya.Jika biasanya dalam pernikahan kontrak pihak pria yang membuat surat-surat perjanjian, maka lain halnya dengan kami. Aku yang menyiapkan hal tersebut."Ada beberapa hal yang ingin ku sampaikan padamu." Usai makan, aku mengajak Yoga bicara."Katakanlah, aku mendengarkan," titahnya sembari membuka arloji."Tanda tangani surat perjanjian ini," ucapku seraya menyuguhkan surat kontrak yang seminggu lalu sengaja ku buat untuk berjaga-jaga."Surat kontrak?" Ku lihat kening Yoga berkerut nyaris menyatu. Mungkin dia terkejut aku memberinya sesuatu diluar nalar. Namun, inilah fakta yang harus ia terima. Surat kontrak ini sangat penting untukku.Dari surat inilah aku bisa melindungi selur
"Pelan-pelan tariknya... Sakit tahu!" Aku meringis kesakitan pada bagian bawah tubuh."Ini juga sudah pelan-pelan!" seru Yoga, menghardikku.Yoga terus berusaha menarik sesuatu yang menancap di bawah tubuhku secara perlahan.Suaraku menggema hingga memenuhi kamar pengantin kami. Mungkin saja orang di luar sana dapat mendengarnya cukup jelas."Aww... sakit! Tuh kan keluar darah. Huhuhu..." Tetapi, aku terus meringis kesakitan."Woi! Yoga... Hati-hati. Kasihan itu anak orang." Sesuai dugaan. Papa Yoga mendengar suaraku yang menggema hingga keluar ruangan. Entah apa yang sedang mereka pikirkan tentang kami."Iya, Pa. Ini juga sudah hati-hati," jawab Yoga dari dalam kamar, masih berusaha untuk menarik benda berukuran kecil itu."Yes, berhasil," katanya."Huaaa....""Cengeng banget sih jadi cewek?! Tenanglah, ini sakitnya tidak akan lama!" seru Yoga.Pria yang kini telah resmi menjadi suamiku itu terus mencercaku, karena tak bisa menahan perih yang menurutnya tak seberapa."Darah ini, kau
"Selamat, ya. Atas pernikahan kalian." Hari dimana aku dan Yoga bersanding akhirnya tiba juga.Ada banyak tamu undangan yang berdatangan. Tak terkecuali Aditya dan Maminya.Yoga yang sengaja mengundang langsung mantan pacarku itu sewaktu berkunjung ke rumah kami pada sore hari.Aku shock ketika tiba-tiba Yoga mengajak Aditya bicara. Entah apa yang mereka bahas. Saat itu aku hanya menyaksikan keduanya dari jauh.Sebelum pergi, Yoga memberi Aditya undangan pernikahan kami."Terimakasih," ucapku kepada salah satu tamu undangan yang menyalamiku."Congratulation, Beb. Semoga segera diberi momongan, ya... Aku sudah tak sabar lagi menggendong ponakan darimu." Entah Uti sengaja menggodaku. Atau dia bersungguh-sungguh mendoakanku. Wanita ini terlampau over akting.Seakan tidak tahu menahu ihwal perjanjianku dan saudara sepupunya itu."Kau jangan asal bicara." Aku mencecak lengan Uti sembari membisiknya. Kali ini Aku merasa dia sudah keterlaluan."Mengapa? Apa kau malu membayangkan malam pertam
"Yumi.""Aditya?"Pertemuan ini sungguh terasa canggung. Aku tidak pernah mengira akan bertemu Aditya dalam keadaan terjepit.Ada Yoga di sisiku. Semua orang tahu kami adalah pasangan kekasih. Pun Aditya, dia juga tahu itu.Lalu Yoga menghampiriku lebih dekat. Tadinya kami duduk saling berhadapan."Kita ketemu lagi... Apa kabar?" Aditya menyapaku tanpa menghiraukan Yoga."Aku baik," jawabku singkat.Meski hanya sandiwara, tapi aku tidak tega menyudutkan Yoga. Posisinya adalah sebagai calon suami. Bukan orang asing seperti yang disematkan pada diriku."Oh iya, apa kau sedang makan siang? Apakah aku boleh gabung?" Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba Aditya berubah drastis seperti ini. Kemana perginya kekasih yang dulu ia pamerkan padaku. Mengapa dia selalu berkeliaran seorang diri?"Tidak boleh!" seru Yoga tiba-tiba.Mendadak Yoga mengangkat suara menolak Aditya. Kali ini aku takut terjadi keributan. Tatapan mereka seolah menunjukkan permusuhan."Yumi, apa kau bisa memberitahu tunanganmu.
"Pantas saja Uti hafal betul setiap sudut kantormu. Ternyata kalian saudara." Kami berada di restoran Jepang dekat pusat kota. Untuk makan siang.Entah ada angin apa Yoga membawaku kesini. Padahal dia sendiri yang memberitahuku sangat anti wartawan. Sementara lokasi restoran tempat kami makan siang lumayan ramai pengunjung serta mudah dijangkau oleh para pencari berita itu."Makanlah! Aku sedang tidak berselera untuk membahas konflik antar wanita," jawab Yoga tanpa beban."Konflik antar wanita? Hei! Ini bukan hanya tentang aku dan Uti. Melainkan kau juga. Bukankah kau yang melarangnya untuk memberitahuku?" sarkasku tak terima."Habiskan makanmu!" balas Yoga singkat.Aku heran terhadap pria yang satu ini. Sikapnya seperti tidak terjadi apa-apa. Kenyataannya dialah penyebab dari semua persoalan."Cih! Dasar pria tidak bertanggung jawab," gumamku.Kemudian aku menyeruput jus lemon milikku tanpa menyentuh nasi goreng yang dipesan tadi."Ceritakan padaku, seperti apa masa kecil kalian? Apa