"Pokoknya Ibu tidak setuju bila kau ikut-ikutan warga untuk melawan para orang kaya itu!" Ibu menghardikku agar tak turut serta bersama orang pasar untuk memperjuangkan hak mereka. Padahal Ibu tahu betul, bahwa para bedebah itu sedang membodohi warga di sini."Tapi, Bu. Bukankah Ibu tahu sendiri bila yang dilakukan orang itu tidak benar?" Ibu seolah menyangkal kata hati sendiri. Itulah yang membuatku sedikit kecewa padanya.Dulu Ibu tidak seperti ini. Ibu sangat vokal memperjuangkan hak setiap orang yang membutuhkan bantuan. Walau bukan berprofesi sebagai pengacara, tetapi Ibu adalah seorang lulusan sarjana hukum. Sedikit banyak Ibu tetap tahu soal Undang-Undang. Jadi, wajar bila aku mendesak Ibu agar tidak diam saja menyaksikan kezoliman itu."Yumi, Ibu sedang tidak ingin membahas masalah pasar. Ibu hanya ingin kita hidup dengan tenang," kata Ibu, seolah pasrah kepada nasib."Yakin Ibu merasa tenang setelah menyaksikan ketidak adilan itu? Apakah hati Ibu tidak merasa iba pada warga?
"Yumi, hai." Aditya tiba-tiba menyapaku setelah kejadian beberapa waktu lalu di toko berlian. Mantan kekasihku itu mendadak datang ke tempatku bekerja."Aditya? Sedang apa kau di sini?" tanyaku bernada ketus.Melihat wajah pria menyebalkan ini, mendadak darahku mendidih. Namun, aku masih bisa mengendalikan diri."Tenanglah. Aku tidak akan membuat keributan." Dilihat dari wajahnya, Aditya seperti sedang bersungguh-sungguh."Baiklah, katakan apa yang kau inginkan dariku?" Jadi, aku berusaha menurunkan ego."Sayang... Maaf membuatmu menunggu. Soalnya tadi Papa sedang menghubungiku. Mau menanyakan soal rancangan cincin pernikahan kita apakah sudah siap atau belum."Sialnya, ego yang sepersekian detik lalu coba ku redam. Mendadak naik kembali begitu kekasih Aditya datang dengan gaya bar-barnya."Kau?"Kemudian wanita angkuh itu menatapku remeh dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu ia pun berdecak, seolah sedang meledekku."Sayang, apa kau berencana menggunakan jasa wanita ini untuk mem
"Uti, aku harus segera pergi. Ada urusan mendadak yang harus segera ku selesaikan," ucapku kepada Uti sembari bergegas."Tapi bagaimana dengan desain pesanan Ibu Yuni? Katanya nanti sore dia datang.""Aku sudah selesai desain. Bahkan set berliannya ada di dalam laci itu. Untuk Tuan Dirga, kau bisa mengambilnya di toko berlian langganan kita... Aku harus segera pergi. Toko, aku percayakan padamu dua hari ini.""Tapi..."Aku langsung meninggalkan Uti begitu saja tanpa mendengarkan perkataan selanjutnya. Masalah kali ini sepertinya cukup serius. Kalau tidak, orang pasar itu tidak akan menghubungiku seperti ini.Namun, yang sangat mengganggu pikiranku adalah bagaimana caranya agar Ibu tidak tahu aku berperan membantu warga. Sedangkan aku sangat takut mengecewakannya.Ibu adalah satu-satunya keluarga yang ku punya."Nona Yumi."Setibanya aku di rumah Pak Ujang, orang-orang menyambutku dengan wajah berbinar. Seperti ada sedikit harapan dari mata mereka.Terlepas dari itu, aku yakin. Sebelum
"Jadilah kekasihku.""Ha?"Syarat macam apa itu? Apa Yoga menganggapku seperti wanita murahan? Seenaknya memintaku menjadi kekasihnya.Aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama seperti dua minggu lalu."Apa kau sudah gila? Aku tidak mau menjadi kekasihmu!" tolakku tegas."Baiklah, tidak masalah... Kalau begitu aku permisi."Sungguh aku tak tahu permainan apa yang sedang Yoga coba mainkan saat ini. Seakan tengah menguji kesabaranku."Tunggu!"Yoga baru bergegas pergi, tetapi aku mencegahnya."Apa tidak ada syarat lain?" tanyaku ragu-ragu."No!"Yoga sungguh keterlaluan. Dia manusia terlicik yang pernah aku temui. Mengalahkan Aditya."Keterlaluan!" gumamku."What?" Tapi masih bisa didengar oleh Yoga."keterlaluan... Kau manusia tak punya hati nurani. Apa kau tidak bisa melihat penderitaan para warga? Setidaknya gunakan akal sehatmu jika hatimu tak berfungsi!" seruku berapi-api.Kini aku melupakan rasa hormatku terhadap Yoga. Aku mengenyampingkan kemanusiaan."Justru karena hatiku be
"Kita ke kantor Yoga sekarang," ucapku setelah berpikir panjang."Yakin kau mau kesana? Kau tidak akan membuat kegaduhan, kan?" tanya Uti, seakan tengah meledekku."Apa wajahku terlihat seperti tukang onar? Tentu saja aku tak akan membuat kegaduhan," jawabku penuh keyakinan."Baiklah, sesuai perintah. Aku akan mengantarmu ke kantor Yoga."Akhirnya Uti membawaku ke tempat Yoga berada. Dan setibanya di sana, semua mata tertuju padaku.Dari mereka, ada yang saling berbisik sembari melirikku. Ada pula yang hanya menatapku diam. Namun, yang tak kalah mencengangkan adalah beberapa dari mereka justru menyebut namaku."Ada apa dengan orang-orang itu? Mengapa mereka melihatku dengan tatapan aneh? Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" tanyaku kepada Uti begitu masuk ke dalam lift."Tidak ada yang salah dengan penampilanmu, Sayang. Tapi statusmu yang bermasalah," jawab Uti."Statusku? Ada apa dengan statusku?" Sampai di sini aku masih belum memahami perkataan Uti."Cckk, kau ini. Lelet ama
*Satu minggu kemudian...Aku masih ingat betul ketika dua wartawan itu memaksaku untuk wawancara. Mereka seolah tengah berusaha menjebakku demi membuat berita palsu yang memojokkan Yoga.Namun, sampai seminggu berlalu. Aku tidak menemukan berita apapun tentangku dan Yoga. Entah mereka tidak tertarik padaku atau memang ada sesuatu yang tidak ku ketahui.Ah sudahlah, yang penting media tidak membuat berita aneh tentangku. Aku takut Ibu terkena serangan jantung."Hai." Aditya datang lagi ke tempatku."Ada apa?" tanyaku sembari berpura-pura menyibukkan diri."Bagaimana dengan pesananku minggu lalu?""Sial! Aku lupa mengerjakan desain pesanan Aditya. Ini semua karena wartawan itu," ucapku di dalam hati."Kau tenang saja. Aku bisa menyelesaikannya tepat waktu... Bukankah Ibumu berulang tahun pekan depan?" balasku akhirnya."Iya, tapi apa aku boleh melihat hasil desainnya? Barangkali ada yang ingin ku tambahkan."Pelanggan cerewet seperti Aditya inilah yang membuatku malas menerima pesanan.
"Hmpp..." Yoga terus berusaha menciumku paksa. Sedangkan aku tak mau kalah. Terus melawan dan melawan. Sayang, tenagaku kalah kuat.Plak!Begitu Yoga melepasku, seketika aku menamparnya sekuat tenaga.Cup!Namun, lagi-lagi dia membalasku dengan ciuman paksa."Semakin kau menamparku, maka aku akan menciummu!" seru Yoga. Lalu kembali menciumku lagi.Plak!Cup!Adegan ini sungguh membuatku jijik. Telapak tangan dan bibirku terasa sakit. Aku sungguh lelah sekaligus muak."Lepaskan aku!" seruku. Tak mau lagi menampar Yoga. Atau dia akan membalasku dengan ciumannya."Mengapa aku harus melepasmu? Bukankah kau sendiri yang datang padaku? Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini!"Sontak aku ketakutan. Yoga seperti akan memperkosaku."Tidak! Ini tidak boleh terjadi. AKu tidak mau kesucianku direnggut oleh lelaki brengsek ini," ujarku di dalam hati."Baiklah... Baiklah. Aku minta maaf." Inilah jalan keluar agar bisa terlepas dari kungkungan Yoga. Meminta maaf.Yoga pun menyeringai. Seakannn
"Ibu tidak setuju!"Sudah ku duga, tidak mudah meyakinkan Ibu. Selama ini aku diketahui tidak mempunyai teman kencan.Bahkan kehadiran Aditya, pun Ibu tak pernah tahu. Kini tiba-tiba aku mengatakan akan ada lelaki yang datang bersilaturahmi sebagai kekasih.Tentu saja Ibu terkejut nyaris tak percaya. Seakan aku tengah membodohi dia. Faktanya memang begitu. Aku telah membohongi Ibu."Bu, aku bersungguh-sungguh. Dia lelaki baik kok," paparku. Berusaha meyakinkan Ibu yang tengah kecewa terhadapku.Ya, Ibu kecewa padaku, karena merasa tak dihargai. Aku tak jujur padanya soal urusan asmara."Baik katamu? Kalau baik, mengapa selama ini dia tidak pernah menemui Ibu?" sarkas Ibu masih belum percaya.Aku tahu ini pasti akan terjadi. Aku mengalami kesulitan untuk memenangkan kepercayaan Ibu."Bu, ini bukan salahnya, tapi salahku. Aku yang tidak mengizinkan dia menemui Ibu," lirihku."Mengapa? Apa kau malu mempunyai orang tua seperti Ibu?""Astaga, tentu saja tidak, Bu. Kok Ibu seperti itu sih,"