*Satu minggu kemudian...Aku masih ingat betul ketika dua wartawan itu memaksaku untuk wawancara. Mereka seolah tengah berusaha menjebakku demi membuat berita palsu yang memojokkan Yoga.Namun, sampai seminggu berlalu. Aku tidak menemukan berita apapun tentangku dan Yoga. Entah mereka tidak tertarik padaku atau memang ada sesuatu yang tidak ku ketahui.Ah sudahlah, yang penting media tidak membuat berita aneh tentangku. Aku takut Ibu terkena serangan jantung."Hai." Aditya datang lagi ke tempatku."Ada apa?" tanyaku sembari berpura-pura menyibukkan diri."Bagaimana dengan pesananku minggu lalu?""Sial! Aku lupa mengerjakan desain pesanan Aditya. Ini semua karena wartawan itu," ucapku di dalam hati."Kau tenang saja. Aku bisa menyelesaikannya tepat waktu... Bukankah Ibumu berulang tahun pekan depan?" balasku akhirnya."Iya, tapi apa aku boleh melihat hasil desainnya? Barangkali ada yang ingin ku tambahkan."Pelanggan cerewet seperti Aditya inilah yang membuatku malas menerima pesanan.
"Hmpp..." Yoga terus berusaha menciumku paksa. Sedangkan aku tak mau kalah. Terus melawan dan melawan. Sayang, tenagaku kalah kuat.Plak!Begitu Yoga melepasku, seketika aku menamparnya sekuat tenaga.Cup!Namun, lagi-lagi dia membalasku dengan ciuman paksa."Semakin kau menamparku, maka aku akan menciummu!" seru Yoga. Lalu kembali menciumku lagi.Plak!Cup!Adegan ini sungguh membuatku jijik. Telapak tangan dan bibirku terasa sakit. Aku sungguh lelah sekaligus muak."Lepaskan aku!" seruku. Tak mau lagi menampar Yoga. Atau dia akan membalasku dengan ciumannya."Mengapa aku harus melepasmu? Bukankah kau sendiri yang datang padaku? Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini!"Sontak aku ketakutan. Yoga seperti akan memperkosaku."Tidak! Ini tidak boleh terjadi. AKu tidak mau kesucianku direnggut oleh lelaki brengsek ini," ujarku di dalam hati."Baiklah... Baiklah. Aku minta maaf." Inilah jalan keluar agar bisa terlepas dari kungkungan Yoga. Meminta maaf.Yoga pun menyeringai. Seakannn
"Ibu tidak setuju!"Sudah ku duga, tidak mudah meyakinkan Ibu. Selama ini aku diketahui tidak mempunyai teman kencan.Bahkan kehadiran Aditya, pun Ibu tak pernah tahu. Kini tiba-tiba aku mengatakan akan ada lelaki yang datang bersilaturahmi sebagai kekasih.Tentu saja Ibu terkejut nyaris tak percaya. Seakan aku tengah membodohi dia. Faktanya memang begitu. Aku telah membohongi Ibu."Bu, aku bersungguh-sungguh. Dia lelaki baik kok," paparku. Berusaha meyakinkan Ibu yang tengah kecewa terhadapku.Ya, Ibu kecewa padaku, karena merasa tak dihargai. Aku tak jujur padanya soal urusan asmara."Baik katamu? Kalau baik, mengapa selama ini dia tidak pernah menemui Ibu?" sarkas Ibu masih belum percaya.Aku tahu ini pasti akan terjadi. Aku mengalami kesulitan untuk memenangkan kepercayaan Ibu."Bu, ini bukan salahnya, tapi salahku. Aku yang tidak mengizinkan dia menemui Ibu," lirihku."Mengapa? Apa kau malu mempunyai orang tua seperti Ibu?""Astaga, tentu saja tidak, Bu. Kok Ibu seperti itu sih,"
Aku tidak menyangka bila hari ini akan tiba. Dimana Ibu dan kedua orang tua Yoga bertemu.Ibu menyambut mereka dengan baik. Sedangkan aku masih menyimpan rasa bersalah di dalam hati.Peristiwa dua bulan lalu masih begitu kental dalam ingatan. Aku membuat Ibu Yoga jatuh pingsan setelah mendengar kejujuranku.Siapa sangka, hari ini takdir mempertemukan kami kembali."Yumi terlihat sangat cantik," ucap Ibu Yoga.Dalam pertemuan dua keluarga ini, aku mengenakan gaun putih bercorak bunga melati. Rambut sengaja ku gerai. Tak lupa ku selipkan jepitan rambut di bagian kanan.Lipstik berwarna nude, sengaja aku gunakan agar terlihat lebih natural. Aku tak suka penampilan mencolok. Akan membuatku tak nyaman."Terimakasih," ucapku sembari menundukkan kepala."Yoga juga terlihat sangat tampan," ujar Ibu, memuji Yoga.Sedangkan Yoga mengenakan setelan jas hitamnya seperti biasa. Tak ada yang berubah dari penampilan lelaki ini tiap kali berjumpa. Jas setelan. Hanya terkadang berganti warna."Ah, Jen
"Jadi akhirnya kau dan Yoga akan menikah?" tanya Uti padaku.Sejujurnya aku tidak berencana memberitahu soal tanggapan keluarga Yoga kepada Uti. Hanya saja hati kecilku seolah menentang. Ini tidak benar jika aku mendiamkannya. Toh hanya Uti satu-satunya sahabat yang ku miliki."Hem," jawabku bernada malas."Akhirnya...""Apa?""Bukan apa-apa."Aku seperti mencium aroma mencurigakan lewat perangai Uti. Dia pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku."Apa kau tidak menyembunyikan sesuatu dariku?" tanyaku penasaran."Menyembunyikan sesuatu? Tentu saja tidak." Entah mengapa hati kecilku seolah menolak jawaban Uti. Aku tidak yakin padanya."Yakin?" tanyaku sekali lagi."Yakin... Kamu kenapa sih? Panik ya karna sebentar lagi akan dilamar Yoga?" sahut Uti sembari menggodaku."Tidak, aku baik-baik saja... Oh iya, apakah beberapa hari lalu Adit datang kesini?" tanyaku, sengaja mengalihkan percakapan."Iya, dia sempat menanyakanmu. Tapi aku jawab kau sedang menerima pinangan seseorang. Makanya
Hari itu Yoga menginterupsiku tentang banyak hal. Diantaranya adalah selama berstatus sebagai Nyonya Yoga Iskandar, aku tidak dizinkan berinteraksi dengan pria manapun.Sikap Yoga yang satu ini persis menunjukkan seorang suami protektif. Sedangkan hubungan kami hanya berdasarkan simbiosis mutualis.Dan kini hari penantian pun tiba. Dimana aku dan Yoga akhirnya resmi bertunangan di sebuah hotel mewah. Konon katanya hotel ini adalah salah satu aset keluarga Yoga.Dalam hal ini, aku tak tahu harus mengekspresikan diri bagaimana. Bahagiakah? Atau justru sebaliknya.Aku telah membohongi semua orang. Mungkin Tuhan akan menghukumku karena ini.Demi menyelamatkan masa depan warga, aku rela mengorbankan diri. Bertunangan dengan pria yang tidak aku cintai sama sekali.Melihat senyuman Ibu dan kedua orang tua Yoga, rasa bersalah pun kian membuncah. Aku sungguh tak tahu lagi harus bagaimana.Namun, dari semua peristiwa yang ku lalui hari ini. Satu yang membuatku terkejut nyaris tak percaya, yakni
"Jelaskan padaku apa yang terjadi?" Keesokan harinya, aku mencerca Uti dengan sejumlah pertanyaan. Meminta penjelasan terkait Yoga.Aku sungguh kecewa padanya. Bagaimana bisa dia menyembunyikan hal sebesar ini dariku. Sedangkan dia sangat paham betul situasi yang ku hadapi selama tiga bulan terakhir."Apa yang harus ku jelaskan?" Uti masih berkelit. Menghindariku yang sedang marah padanya."Jadi kau tidak mau menjelaskan padaku mengenai hubunganmu dengan Yoga? Mau sampai kapan kau menutupinya dariku?!" seruku mulai tersulut emosi.Jujur saja, aku tidak akan semarah ini terhadap Uti andai dia bersedia berkata jujur sejak awal mula aku bertemu Yoga.Dia hanya menjelaskan identitas lelaki itu, tetapi tidak menyangkut pautkan dengan dirinya. Aku mengalami kesulitas selama ini, tapi Uti masih juga bungkam. Wajar bila aku sangat kecewa padanya."Aku tidak menutupinya darimu. Kau yang tidak pernah bertanya." Lihatlah, betapa cerdas Uti mencari alibi."Baiklah, katakan saja aku tidak pernah b
Sebulan pasca bertunangan. Yoga dan kedua orang tuanya kembali menyambangai rumah untuk membahas soal pernikahan.Uti dan kedua orang tuanya juga turut hadir bersama mereka. Aku yang masih kecewa terhadap Uti, berusaha menghindarinya.Sudah tiga pekan aku menutup tempat usaha. Enggan untuk bertatap muka dengan sahabatku itu.Bila mengingat apa yang dilakukannya padaku tempo lalu. Hatiku kembali terluka. Aku sungguh merasa ditipu oleh keluarga itu.Bukannya tidak tahu balas budi. Hanya saja aku masih butuh waktu untuk menyembuhkan lukaku."Jadi, Jeng Ratna. Pernikahan ini bisa dilaksanakan pekan depan, kan? Kebetulan kami sudah menyiapkan segalanya. Cincin, gedung, wedding organizer, undangan, sovenir, dan semua yang dibutuhkan untuk pernikahan. Jadi Jeng Ratna tidak perlu repot-repot menyiapkan apa-apa. Kalian cukup duduk manis dan tunggu hari H-nya," papar Ibu Yoga.Aku tahu kedua orang tua Yoga tidak berniat jahat padaku. Mereka adalah orang baik. Namun, entah mengapa aku merasa har
Jalan tengah dari permasalahan kami, aku pun memilih untuk damai. Menandatangani surat pernjanjian dari Yoga.Walau hati kecilku menolak, tetapi demi kebaikan semua orang. Aku rela sekali lagi berkorban.Usai menandatangi surat tersebut. Yoga tersenyum puas. Aku tidak sangka dia adalah pria yang licik. Meski terkadang tak sungkan menunjukkan perhatiannya terhadapku. Namun, hal itu tidak mengubah fakta, bahwa Yoga adalah manusia kejam."Yum, ada yang ingin ku sampaikan padamu. Apakah kita bisa bertemu?" Sore harinya. Aku mendapat panggilan dari Uti.Terdengar dari nadanya. Seperti ada sesuatu yang serius."Baiklah," sahutku."Kau mau kemana?" Baru saja aku berencana pergi, Yoga mencegatku di ruang tamu."Uti memanggilku. Katanya ada yang mau disampaikan padaku.""Jam berapa pulangnya?" tanya Yoga sekali lagi."Aku tidak tahu... Baiklah, aku pamit." Aku terburu-buru hendak menemui Uti. Hingga lupa di mana tempat pertemuan kami."Gunakan mobil untuk menemui Uti. Jangan pakai sepeda buntu
Hari ini aku dan Yoga akhirnya pindah rumah. Walau harus diawali dengan sejumlah drama.Semula orang tua Yoga tidak setuju pada keputusan kami. Terutama Mama. Namun, setelah berunding. Akhirnya Mama setuju juga.Entah apa yang telah Yoga katakan padanya. Saat itu aku sedang berada di luar kamar. Aku memberi mereka privasi."Jaga baik-baik menantu Mama, Ga. Jangan biarkan dia bersedih. Awas saja kalau sampai Mama tahu, Mama tidak akan melepasmu!" ucap Mama usai kami pamit padanya."Mama tenang saja. Aku tidak akan menggigitnya. Paling hanya mencakar sedikit," sahut Yoga, berkelakar."Cakarnya jangan dalam. Tipis-tipis saja," seloroh Papa penuh maksud.Percakapan ini terkesan random. Keluarga Yoga memang sungguh aneh. Mereka sangat akrab satu sama lain. Namun, cara menunjukkan kedekatan itu berbeda dari keluarga biasanya.Papa terkesan cerewet, tetapi sebagai kepala keluarga. Dia sangat perhatian serta bertanggung jawab.Sedangkan Mama, dia memang terlihat tegas. Akan tetapi, di balik k
Malama itu kami kumpul bersama keluarga besar Yoga. Ada Uti sudah pastinya. Tak ketinggalan Nindia, gadis yang sejak kecil mengejar Yoga serta menyebutnya sebagai suami masa depan.Aku mengenakan gaun merah pemberian Mama mertua. Kali ini rambutku sengaja ditata rapi agar terlihat lebih elegan. Pasalnya, konon keluarga Yoga datangnya dari kalangan atas semua.Namun, yang aku perhatikan mereka cukup sederhana dan tak mempersoalkan diriku yang berasal dari keluarga biasa.Mungkin dulu keluargaku seperti mereka. Namun, sekarang lain cerita setelah Ayah jatuh bangkrut."Kau sudah siap?" tanya Yoga begitu usai berdandan.Untuk penampilan Yoga, tidak perlu lagi dipertanyakan. Seperti biasa, dia hanya mengenakan setelan jas hitam."Iya," sahutku."Kita temui tamu sekarang. Pasti mereka sedang menunggu kita," ucapnya.Yoga mengulurkan tangan. Aku yang masih belum siap, terpaku untuk sesaat. Benarkah pria ini suamiku? Dia memperlakukanku dengan manis."Yumi," sapanya."Ah iya." Aku tersadar da
Hidup bersama mertua, sudah tentu tak bisa dihindari bagi sepasang suami istri yang baru menikah. Pun halnya denganku yang tiba-tiba sudah menjadi istri orang.Lantas bagaimana dengan saudara ipar yang dibenci oleh para istri sejuta umat?Tentu aku tidak menjadi salah satu dari mereka. Yoga berstatus anak tunggal."Mengapa harus di rumah orang tuamu? Aku mau di rumah Ibu," sarkasku menolak ajakan Yoga."Tidak masalah kalau kau ingin tinggal di sana. Tapi, kita harus tidur satu ranjang." Kali ini ide gila apa yang coba diusung Yoga. Sungguh memalukan.Tidur bersama? Oh tidak bisa. Tentu hal itu tak akan pernah terjadi. Pria ini tidak bisa dipercaya untuk urusan ranjang. Dia selalu mencuri ciuman dalam kesempitan. Tentu saja dengan alasan klasik. Tidak sengaja."Mengapa begitu? Kami memiliki tiga kamar tidur kok," tukasku tak terima."Lalu, apa kau ingin Ibumu tahu tentang kita yang sebenarnya? Baiklah, tidak masalah. Aku tidak merasa dirugikan untuk itu. Tapi bagaimana denganmu? Apa ya
Selayaknya bisnis simbiosis mutualis. Aku pun harus menyiapkan surat kontrak sebagai simbol dari hubungan ini. Lagi pula aku tidak ingin berlama-lama hidup dalam kepalsuan. Pernikahan ini, harus segera berakhir.Dalam surat tersebut, tak lupa aku cantumkan jangka waktu pernikahan kami. Hanya satu tahun lamanya.Jika biasanya dalam pernikahan kontrak pihak pria yang membuat surat-surat perjanjian, maka lain halnya dengan kami. Aku yang menyiapkan hal tersebut."Ada beberapa hal yang ingin ku sampaikan padamu." Usai makan, aku mengajak Yoga bicara."Katakanlah, aku mendengarkan," titahnya sembari membuka arloji."Tanda tangani surat perjanjian ini," ucapku seraya menyuguhkan surat kontrak yang seminggu lalu sengaja ku buat untuk berjaga-jaga."Surat kontrak?" Ku lihat kening Yoga berkerut nyaris menyatu. Mungkin dia terkejut aku memberinya sesuatu diluar nalar. Namun, inilah fakta yang harus ia terima. Surat kontrak ini sangat penting untukku.Dari surat inilah aku bisa melindungi selur
"Pelan-pelan tariknya... Sakit tahu!" Aku meringis kesakitan pada bagian bawah tubuh."Ini juga sudah pelan-pelan!" seru Yoga, menghardikku.Yoga terus berusaha menarik sesuatu yang menancap di bawah tubuhku secara perlahan.Suaraku menggema hingga memenuhi kamar pengantin kami. Mungkin saja orang di luar sana dapat mendengarnya cukup jelas."Aww... sakit! Tuh kan keluar darah. Huhuhu..." Tetapi, aku terus meringis kesakitan."Woi! Yoga... Hati-hati. Kasihan itu anak orang." Sesuai dugaan. Papa Yoga mendengar suaraku yang menggema hingga keluar ruangan. Entah apa yang sedang mereka pikirkan tentang kami."Iya, Pa. Ini juga sudah hati-hati," jawab Yoga dari dalam kamar, masih berusaha untuk menarik benda berukuran kecil itu."Yes, berhasil," katanya."Huaaa....""Cengeng banget sih jadi cewek?! Tenanglah, ini sakitnya tidak akan lama!" seru Yoga.Pria yang kini telah resmi menjadi suamiku itu terus mencercaku, karena tak bisa menahan perih yang menurutnya tak seberapa."Darah ini, kau
"Selamat, ya. Atas pernikahan kalian." Hari dimana aku dan Yoga bersanding akhirnya tiba juga.Ada banyak tamu undangan yang berdatangan. Tak terkecuali Aditya dan Maminya.Yoga yang sengaja mengundang langsung mantan pacarku itu sewaktu berkunjung ke rumah kami pada sore hari.Aku shock ketika tiba-tiba Yoga mengajak Aditya bicara. Entah apa yang mereka bahas. Saat itu aku hanya menyaksikan keduanya dari jauh.Sebelum pergi, Yoga memberi Aditya undangan pernikahan kami."Terimakasih," ucapku kepada salah satu tamu undangan yang menyalamiku."Congratulation, Beb. Semoga segera diberi momongan, ya... Aku sudah tak sabar lagi menggendong ponakan darimu." Entah Uti sengaja menggodaku. Atau dia bersungguh-sungguh mendoakanku. Wanita ini terlampau over akting.Seakan tidak tahu menahu ihwal perjanjianku dan saudara sepupunya itu."Kau jangan asal bicara." Aku mencecak lengan Uti sembari membisiknya. Kali ini Aku merasa dia sudah keterlaluan."Mengapa? Apa kau malu membayangkan malam pertam
"Yumi.""Aditya?"Pertemuan ini sungguh terasa canggung. Aku tidak pernah mengira akan bertemu Aditya dalam keadaan terjepit.Ada Yoga di sisiku. Semua orang tahu kami adalah pasangan kekasih. Pun Aditya, dia juga tahu itu.Lalu Yoga menghampiriku lebih dekat. Tadinya kami duduk saling berhadapan."Kita ketemu lagi... Apa kabar?" Aditya menyapaku tanpa menghiraukan Yoga."Aku baik," jawabku singkat.Meski hanya sandiwara, tapi aku tidak tega menyudutkan Yoga. Posisinya adalah sebagai calon suami. Bukan orang asing seperti yang disematkan pada diriku."Oh iya, apa kau sedang makan siang? Apakah aku boleh gabung?" Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba Aditya berubah drastis seperti ini. Kemana perginya kekasih yang dulu ia pamerkan padaku. Mengapa dia selalu berkeliaran seorang diri?"Tidak boleh!" seru Yoga tiba-tiba.Mendadak Yoga mengangkat suara menolak Aditya. Kali ini aku takut terjadi keributan. Tatapan mereka seolah menunjukkan permusuhan."Yumi, apa kau bisa memberitahu tunanganmu.
"Pantas saja Uti hafal betul setiap sudut kantormu. Ternyata kalian saudara." Kami berada di restoran Jepang dekat pusat kota. Untuk makan siang.Entah ada angin apa Yoga membawaku kesini. Padahal dia sendiri yang memberitahuku sangat anti wartawan. Sementara lokasi restoran tempat kami makan siang lumayan ramai pengunjung serta mudah dijangkau oleh para pencari berita itu."Makanlah! Aku sedang tidak berselera untuk membahas konflik antar wanita," jawab Yoga tanpa beban."Konflik antar wanita? Hei! Ini bukan hanya tentang aku dan Uti. Melainkan kau juga. Bukankah kau yang melarangnya untuk memberitahuku?" sarkasku tak terima."Habiskan makanmu!" balas Yoga singkat.Aku heran terhadap pria yang satu ini. Sikapnya seperti tidak terjadi apa-apa. Kenyataannya dialah penyebab dari semua persoalan."Cih! Dasar pria tidak bertanggung jawab," gumamku.Kemudian aku menyeruput jus lemon milikku tanpa menyentuh nasi goreng yang dipesan tadi."Ceritakan padaku, seperti apa masa kecil kalian? Apa