Hari itu Yoga menginterupsiku tentang banyak hal. Diantaranya adalah selama berstatus sebagai Nyonya Yoga Iskandar, aku tidak dizinkan berinteraksi dengan pria manapun.Sikap Yoga yang satu ini persis menunjukkan seorang suami protektif. Sedangkan hubungan kami hanya berdasarkan simbiosis mutualis.Dan kini hari penantian pun tiba. Dimana aku dan Yoga akhirnya resmi bertunangan di sebuah hotel mewah. Konon katanya hotel ini adalah salah satu aset keluarga Yoga.Dalam hal ini, aku tak tahu harus mengekspresikan diri bagaimana. Bahagiakah? Atau justru sebaliknya.Aku telah membohongi semua orang. Mungkin Tuhan akan menghukumku karena ini.Demi menyelamatkan masa depan warga, aku rela mengorbankan diri. Bertunangan dengan pria yang tidak aku cintai sama sekali.Melihat senyuman Ibu dan kedua orang tua Yoga, rasa bersalah pun kian membuncah. Aku sungguh tak tahu lagi harus bagaimana.Namun, dari semua peristiwa yang ku lalui hari ini. Satu yang membuatku terkejut nyaris tak percaya, yakni
"Jelaskan padaku apa yang terjadi?" Keesokan harinya, aku mencerca Uti dengan sejumlah pertanyaan. Meminta penjelasan terkait Yoga.Aku sungguh kecewa padanya. Bagaimana bisa dia menyembunyikan hal sebesar ini dariku. Sedangkan dia sangat paham betul situasi yang ku hadapi selama tiga bulan terakhir."Apa yang harus ku jelaskan?" Uti masih berkelit. Menghindariku yang sedang marah padanya."Jadi kau tidak mau menjelaskan padaku mengenai hubunganmu dengan Yoga? Mau sampai kapan kau menutupinya dariku?!" seruku mulai tersulut emosi.Jujur saja, aku tidak akan semarah ini terhadap Uti andai dia bersedia berkata jujur sejak awal mula aku bertemu Yoga.Dia hanya menjelaskan identitas lelaki itu, tetapi tidak menyangkut pautkan dengan dirinya. Aku mengalami kesulitas selama ini, tapi Uti masih juga bungkam. Wajar bila aku sangat kecewa padanya."Aku tidak menutupinya darimu. Kau yang tidak pernah bertanya." Lihatlah, betapa cerdas Uti mencari alibi."Baiklah, katakan saja aku tidak pernah b
Sebulan pasca bertunangan. Yoga dan kedua orang tuanya kembali menyambangai rumah untuk membahas soal pernikahan.Uti dan kedua orang tuanya juga turut hadir bersama mereka. Aku yang masih kecewa terhadap Uti, berusaha menghindarinya.Sudah tiga pekan aku menutup tempat usaha. Enggan untuk bertatap muka dengan sahabatku itu.Bila mengingat apa yang dilakukannya padaku tempo lalu. Hatiku kembali terluka. Aku sungguh merasa ditipu oleh keluarga itu.Bukannya tidak tahu balas budi. Hanya saja aku masih butuh waktu untuk menyembuhkan lukaku."Jadi, Jeng Ratna. Pernikahan ini bisa dilaksanakan pekan depan, kan? Kebetulan kami sudah menyiapkan segalanya. Cincin, gedung, wedding organizer, undangan, sovenir, dan semua yang dibutuhkan untuk pernikahan. Jadi Jeng Ratna tidak perlu repot-repot menyiapkan apa-apa. Kalian cukup duduk manis dan tunggu hari H-nya," papar Ibu Yoga.Aku tahu kedua orang tua Yoga tidak berniat jahat padaku. Mereka adalah orang baik. Namun, entah mengapa aku merasa har
"Pantas saja Uti hafal betul setiap sudut kantormu. Ternyata kalian saudara." Kami berada di restoran Jepang dekat pusat kota. Untuk makan siang.Entah ada angin apa Yoga membawaku kesini. Padahal dia sendiri yang memberitahuku sangat anti wartawan. Sementara lokasi restoran tempat kami makan siang lumayan ramai pengunjung serta mudah dijangkau oleh para pencari berita itu."Makanlah! Aku sedang tidak berselera untuk membahas konflik antar wanita," jawab Yoga tanpa beban."Konflik antar wanita? Hei! Ini bukan hanya tentang aku dan Uti. Melainkan kau juga. Bukankah kau yang melarangnya untuk memberitahuku?" sarkasku tak terima."Habiskan makanmu!" balas Yoga singkat.Aku heran terhadap pria yang satu ini. Sikapnya seperti tidak terjadi apa-apa. Kenyataannya dialah penyebab dari semua persoalan."Cih! Dasar pria tidak bertanggung jawab," gumamku.Kemudian aku menyeruput jus lemon milikku tanpa menyentuh nasi goreng yang dipesan tadi."Ceritakan padaku, seperti apa masa kecil kalian? Apa
"Yumi.""Aditya?"Pertemuan ini sungguh terasa canggung. Aku tidak pernah mengira akan bertemu Aditya dalam keadaan terjepit.Ada Yoga di sisiku. Semua orang tahu kami adalah pasangan kekasih. Pun Aditya, dia juga tahu itu.Lalu Yoga menghampiriku lebih dekat. Tadinya kami duduk saling berhadapan."Kita ketemu lagi... Apa kabar?" Aditya menyapaku tanpa menghiraukan Yoga."Aku baik," jawabku singkat.Meski hanya sandiwara, tapi aku tidak tega menyudutkan Yoga. Posisinya adalah sebagai calon suami. Bukan orang asing seperti yang disematkan pada diriku."Oh iya, apa kau sedang makan siang? Apakah aku boleh gabung?" Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba Aditya berubah drastis seperti ini. Kemana perginya kekasih yang dulu ia pamerkan padaku. Mengapa dia selalu berkeliaran seorang diri?"Tidak boleh!" seru Yoga tiba-tiba.Mendadak Yoga mengangkat suara menolak Aditya. Kali ini aku takut terjadi keributan. Tatapan mereka seolah menunjukkan permusuhan."Yumi, apa kau bisa memberitahu tunanganmu.
"Selamat, ya. Atas pernikahan kalian." Hari dimana aku dan Yoga bersanding akhirnya tiba juga.Ada banyak tamu undangan yang berdatangan. Tak terkecuali Aditya dan Maminya.Yoga yang sengaja mengundang langsung mantan pacarku itu sewaktu berkunjung ke rumah kami pada sore hari.Aku shock ketika tiba-tiba Yoga mengajak Aditya bicara. Entah apa yang mereka bahas. Saat itu aku hanya menyaksikan keduanya dari jauh.Sebelum pergi, Yoga memberi Aditya undangan pernikahan kami."Terimakasih," ucapku kepada salah satu tamu undangan yang menyalamiku."Congratulation, Beb. Semoga segera diberi momongan, ya... Aku sudah tak sabar lagi menggendong ponakan darimu." Entah Uti sengaja menggodaku. Atau dia bersungguh-sungguh mendoakanku. Wanita ini terlampau over akting.Seakan tidak tahu menahu ihwal perjanjianku dan saudara sepupunya itu."Kau jangan asal bicara." Aku mencecak lengan Uti sembari membisiknya. Kali ini Aku merasa dia sudah keterlaluan."Mengapa? Apa kau malu membayangkan malam pertam
"Pelan-pelan tariknya... Sakit tahu!" Aku meringis kesakitan pada bagian bawah tubuh."Ini juga sudah pelan-pelan!" seru Yoga, menghardikku.Yoga terus berusaha menarik sesuatu yang menancap di bawah tubuhku secara perlahan.Suaraku menggema hingga memenuhi kamar pengantin kami. Mungkin saja orang di luar sana dapat mendengarnya cukup jelas."Aww... sakit! Tuh kan keluar darah. Huhuhu..." Tetapi, aku terus meringis kesakitan."Woi! Yoga... Hati-hati. Kasihan itu anak orang." Sesuai dugaan. Papa Yoga mendengar suaraku yang menggema hingga keluar ruangan. Entah apa yang sedang mereka pikirkan tentang kami."Iya, Pa. Ini juga sudah hati-hati," jawab Yoga dari dalam kamar, masih berusaha untuk menarik benda berukuran kecil itu."Yes, berhasil," katanya."Huaaa....""Cengeng banget sih jadi cewek?! Tenanglah, ini sakitnya tidak akan lama!" seru Yoga.Pria yang kini telah resmi menjadi suamiku itu terus mencercaku, karena tak bisa menahan perih yang menurutnya tak seberapa."Darah ini, kau
Selayaknya bisnis simbiosis mutualis. Aku pun harus menyiapkan surat kontrak sebagai simbol dari hubungan ini. Lagi pula aku tidak ingin berlama-lama hidup dalam kepalsuan. Pernikahan ini, harus segera berakhir.Dalam surat tersebut, tak lupa aku cantumkan jangka waktu pernikahan kami. Hanya satu tahun lamanya.Jika biasanya dalam pernikahan kontrak pihak pria yang membuat surat-surat perjanjian, maka lain halnya dengan kami. Aku yang menyiapkan hal tersebut."Ada beberapa hal yang ingin ku sampaikan padamu." Usai makan, aku mengajak Yoga bicara."Katakanlah, aku mendengarkan," titahnya sembari membuka arloji."Tanda tangani surat perjanjian ini," ucapku seraya menyuguhkan surat kontrak yang seminggu lalu sengaja ku buat untuk berjaga-jaga."Surat kontrak?" Ku lihat kening Yoga berkerut nyaris menyatu. Mungkin dia terkejut aku memberinya sesuatu diluar nalar. Namun, inilah fakta yang harus ia terima. Surat kontrak ini sangat penting untukku.Dari surat inilah aku bisa melindungi selur