Selain mengabadikan momen, para wartawan juga mengajukan beberapa pertanyaan secara bertubi-tubi. Menuntut penjelasan kepada kami.
Sementara Yumi terlihat panik sekaligus tak suka. Dia berusaha untuk melarikan diri, tapi aku mencegahnya.
"Sekarang bukan waktunya untuk pergi. Bantu aku menyelesaikan masalah yang telah kita mulai sebelumnya," bisikku kepada Yumi.
"Apa kau sudah gila? Mengapa aku harus membantumu?"
Sepertinya Yumi tidak mau memahami situasiku kali ini. Aku harus membuatnya mengerti apapun yang terjadi.
"Teman-teman media, dengar... Malam ini, selain kami merayakan pesta ulang tahun pernikahan, kami pun akan mengumumkan hal penting yang lain. Yaitu tentang pertunanganku bersama gadis ini. Bukankah kalian selalu bertanya-tanya kapan aku memperkenalkan kekasihku? Kapan kami akan melangsungkan pernikahan, dan lain sebagaimana... Nah, pada kesempatan inilah aku secara resmi mengumumkan pertunangan kami berdua."
Mata Yumi semakin membeliak sempurnah ketika aku dengan percaya diri mengumumkan pertunangan di depan semua orang.
"Kau..."
"Tolong jangan dipotret lagi, dia masih belum terbiasa dengan kamera... Ayo Sayang, kita temui Papa dan Mama."
Aku tidak memberi kesempatan Yumi untuk bicara. Atau dia akan mengacaukan segalanya.
"Kak Yoga."
Nindia, gadis bar-bar yang tiap hari mengejarku. Dia selalu merayuku dengan berbagai macam idenya.
Jujur saja, aku tidak menyukai gadis agresif seperti Nindia. Dia terlalu ekstrim untuk dijadikan istri.
Sekarang dia datang memprotesku atas pengumuman yang baru saja ku lakukan. Nindia merupakan salah satu tamu undangan kami malam ini.
"Kau tega sekali! Padahal kau tahu betul, selama ini aku selalu mengejarmu. Tapi kau... Kau benar-benar keterlaluan! Aku membencimu!"
Nindia mengataiku berapi-api. Sayang, aku tidak peduli pada ucapannya. Lagi pula, aku tidak sedang mengkhianati wanita itu. Kami tak memiliki hubungan apapun.
"Sayang, ayo kita pergi. Jangan pedulikan gadis itu. Dia hanya terobsesi padaku. Tentu kau tahu, hanya kau lah satu-satunya gadis yang ku cinta."
Mulut nakal ini, entah mengapa tiba-tiba mencium pipi Yumi. Hingga menimbulkan rona merah di wajahnya.
Bisa ku pastikan, bahwa itu bukan hanya karena malu, melainkan marah.
Ya, Yumi pasti marah padaku, karena lagi-lagi tanpa seizinnya, aku melayangkan kecupan singkat.
Setelah ini Yumi pasti akan menamparku.
"Kau..."
"Ayo kita temui Mama dan Papa." Sengaja aku membawa Yumi untuk bertemu Mama. Atau dia akan membuat keributan.
"Ma, Pa. Perkenalkan, ini Yumi. Kekasihku."
Setibanya kami, aku pun langsung memperkenalkan Yumi kepada kedua orang tuaku.
Aku bisa melihat senyuman merekah di bibir Mama dan Papa. Sepertinya mereka menyukai gadis ini. Tampaknya aku tidak salah memilih orang.
"Kemarilah." Bahkan Mama memeluk Yumi dengan hangatnya. Sungguh sambutan tak terduga.
"Mengapa baru datang sekarang? Kami sudah menunggumu cukup lama," ucap Mama dengan mata berbinar.
Seketika itu juga hatiku merasa bersalah kepada Papa dan Mama, karena telah menipu mereka. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak menemukan ide apapun untuk membungkam mulut orang-orang itu.
"Tante, sebenarnya aku..."
"Ah Ma, Pa. Sepertinya kami harus segera pergi dari sini. Yumi masih belum terbiasa dengan keramaian. Nanti kami akan kembali lagi setelah acara ini selesai."
Sebelum Yumi mengatakan yang sebenarnya, buru-buru aku mencegah gadis itu. Takut rahasiaku terbongkar. Bukan hanya aku yang malu nantinya, melainkan Papa dan Mama.
"Baiklah, sampai ketemu lagi, ya?"
Untungnya kali ini Mama tidak banyak tuntutan. Dia hanya membiarkan kami meninggalkan pesta itu.
"Yoga, jaga calon menantu Papa. Jangan sembarang memperlakukan dia," pesan Papa sebelum akhirnya kami meninggalkan mereka.
"Beres..."
Akhirnya aku membawa Yumi pergi dari pesta yang membosankan itu. Mengajaknya ke taman belakang rumah.
"Lepaskan aku!"
Plak!
Sudah ku duga, Yumi pasti akan menamparku begitu mendapat kesempatan. Tapi, tidak masalah. Yang penting Yumi tidak membuat keributan di pesta.
"Menjijikan!" serunya dengan tatapan marah.
"Apa maksudmu mengumumkan pertunangan kepada semua orang? Kau bahkan tak segan menciumku di depan umum. Apa kau tidak punya rasa malu?!" imbuh Yumi berapi-api.
Aku tidak ingin membenarkan diri, tapi tidak juga mengatakan apa-apa. Aku sadar telah salah memperlakukan Yumi. Namun, yang aku lakukan barusan murni hanya ingin melindungi gadis itu dari incaran paparazi. Ya... meski sebagian besar demi menyelamatkan reputarisku di mata orang-orang.
"Satu lagi, bukankah sandiwara kita telah berakhir tadi pagi? Mengapa kau justru melanjutkannya? Kau bahkan memperburuk situasi. Apa yang harus aku lakukan jika orang-orang itu mengejarku?"
Yumi mencercaku secara bertubi-tubi. Aku paham, dia masih marah. Tapi, aku bisa apa? Sementara di sana ada Mama dan Papa yang sewaktu-waktu bisa menjadi sasaran empuk para paparazi.
Aku sangat paham cara kerja para pencari berita itu. Bahkan diantara mereka ada mata-mata dari saingan bisnis.
Biasa, dunia bisnis memang selalu seperti itu. Pasti akan menemukan saingan yang tak ingin kalah. Bersaing secara tak sehat.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa aku salah telah menyeret Yumi dalam masalahku. Sedangkan dia hanyalah gadis asing yang berniat membalas mantan pacarnya melalui bantuanku. Dia tidak berencana untuk melanjutkan akting kami.
Namun, siapa sangka bila aku justru semakin bergantung padanya.
"Aku mau pulang! Aku tidak ingin melihat wajahmu. Menyebalkan!"
Aku hanya diam mendengarkan Yumi. Sebab, membenarkan kemarahannya. Aku pun tak ingin membela diri. Menghadapi wanita yang sedang berapi-api sudah pasti akan berujung sia-sia. Ibarat mengisi air dalam kerangjang. Tak akan pernah penuh.
"Hei, kau mau kemana? Biar aku antar," ucapku, menawarkan bantuan.
"Tidak perlu! Aku tidak butuh bantuanmu," tolak Yumi.
Inilah alasan aku malas berkomitmen dengan wanita. Bila mereka marah, pasti maunya dirayu. Sementara aku tak suka melakukan hal memalukan itu.
Aku bukanlah tipe pria bermulut manis. Aku lebih suka langsung ke inti ketimbang harus basa-basi.
"Hei, kau mau kemana, Nak? Sudah mau pergi? Di luar masih banyak wartawan. Apa kau tidak keberatan bertemu mereka?"
Tiba-tiba Mama datang menemui kami.
"Tante, aku..."
"Mama..."
Buru-buru aku menghampiri dua wanita beda generasi itu. Berniat tak memberi Yumi kesempatan untuk membuka mulutnya kepada Mama. Atau Mama akan menamparku lebih keras dari sebelumnya.
"Ma, mengapa kemari? Bukankah diluar masih banyak tamu? Mereka pasti mau berbincang-bincang bersama Mama," ucapku, seolah tak terjadi apa-apa antara aku dan Yumi.
"Mama capek. Lebih baik Mama menemui calon menantu Mama yang cantik ini." Mama bahkan tak segan memuji kecantikan Yumi.
Ya, Yumi memang terlihat cukup cantik. Wajahnya yang oval oriental, persis seperti keturunan china. Belum lagi hidungnya yang mungil, tapi mancung. Bibir Yumi tipis, tapi padat. Berambut hitam lebat. Sementara mata gadis ini sangat bulat, serasi dengan alisnya yang terukir tebal alami. Tak ada sentulan cila sama sekali.
Untuk ukuran seorang wanita, fisik Yumi cukup sempurnah. Apa lagi bentuk tubuhnya yang tinggi ramping, seakan melengkapi kecantikan gadis tersebut.
Sayang, perangainya tak secantik wajahnya. Yumi memiliki sifat berani, lagi badas. Dan aku tak suka wanita jenis itu. Sialnya, takdir justru melibatkan kami berdua.
"Tante, ada yang ingin aku sampaikan kepada Tante."
Aku terkesiap ketika mendengar apa yang baru saja Yumi katakan.
"Apakah Yumi akan memberitahu Mama yang sebenarnya? Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Mungkin nanti, tapi tidak untuk saat ini. Mama pasti akan kecewa padaku. Terlebih lagi malam ini adalah ulang tahun pernikahannya. Aku tidak ingin merusak momen bahagia itu. Kalau bisa, biarkan aku egois sekali lagi," pikirku kala itu.
"Mama..."
"Sebelum kau memberitahuku apa itu, aku juga ingin menunjukkan sesuatu padamu. Ikutlah denganku..."
Mama membawa pergi Yumi. Entah dia mau membawa kemana gadis itu.
"Gawat, mengapa jadi seperti ini? Aku kan hanya bersandiwara, tapi mengapa jadi kacau. Sial!" seruku seorang diri.
Lalu aku menyusul Yumi dan Mama di dalam rumah. Ternyata Mama membawa gadis itu ke kamarnya.
"Yumi, lihatlah. Bukankah gelang ini sangat cantik?" tanya Mama kepada Yumi.
Aku mengintip mereka dari balik pintu kamar Mama. Tak ingin mengganggu privasi mereka. Mungkin Mama mau mengajak Yumi bicara sesama wanita.
"Wow, ini sangat cantik, Tante. Jika dilihat dari ukiran serta batu permata yang digunakan, seperti berusia cukup lama... enam puluh tahun?" tebak Yumi antusias.
"Kau benar, Nak. Bagaimana kau bisa tahu usia gelang ini?"
Aku juga penasaran bagaimana bisa Yumi tahu usia gelang Mama. Padahal ini pertama kalinya mereka bertemu. Apakah Yumi seorang peramal?
"Kebetulan aku berprofesi sebagai perancang perhiasan, Tante. Jadi, sedikit tahu tentang gelang itu."
Jadi, begitu rupanya. Yumi adalah seorang desainer perhiasan. Pantas saja dia tahu banyak tentang gelang Mama.
"Oh, begitu ya."
Kemudian Mama memasang gelang itu ke tangan Yumi.
"Wah, ternyata ukurannya pas di tanganmu... Cantik," ucap Mama sangat bahagia. Aku pun turut merasakan kebahagiaannya. Sudah lama aku tidak melihat senyuman itu di wajah Mama. Sepertinya aku harus berterimakasih kepada Yumi kali ini.
"Tante, ini..."
"Gelang ini untukmu, Nak."
Aku tak percaya ini, Mama memberikan gelang wasiat itu kepada Yumi yang baru saja ia temui. Padahal gelang itu pemberian mendiang Nenek untuk Mama sewaktu melangsungkan pernikahan.
katanya dulu Nenek sengaja memberi gelang itu kepada Mama sebagai hadiah mertua kepada menantunya. Apakah itu artinya Mama... Sial! Sepertinya sandiwara ini sudah terlalu jauh. Tapi, bagaimana cara untuk menghentikannya? Sementara Mama baru saja merasakan kebahagiaan setelah sekian lama.
"Ini gelang pemberian Nenek Yoga untukku sebagai hadiah mertua kepada menantunya. Karena sebentar lagi kau akan menjadi menantuku, maka gelang ini aku berikan kepadamu."
Oh Tuhan, sekali ini saja tolong bantu aku. Aku tak ingin membuat senyum bahagia di wajah Mama seketika pudar. Tapi bagaimana caraku menghentikan Yumi? gadis itu pasti tak terima pada apa yang diberikan Mama barusan.
"Maaf, Tante. Aku tidak bisa menerima gelang ini."
Sudah ku duga, Yumi pasti akan menolak gelang itu. Yumi memang sedikit bar-bar, tapi sepertinya dia tidak serakah.
"Tapi mengapa, Nak? Kau berhak memakai gelang ini. Kau adalah calon menantuku," kata Mama sekali lagi.
"Karena aku bukan kekasih Putra Anda, Tante. Hubungan kami tidak seperti yang dipamerkan kepada orang-orang barusan."
Hancur sudah harapan dan perasaan Mama. Yumi telah mengakui segalanya. Senyuman yang tadinya merekah, mendadak sirna. Berubah dengan kemuraman serta kekecewaan.
"Tapi..."
"Maafkan aku, Tante. Aku tidak bisa berbohong lebih lama lagi."
Akhirnya Yumi meninggalkan Mama yang patah hati tanpa menoleh ke belakang. Bahkan gadis itu tidak melirikku sama sekali.
"Mama!"
Dan akhirnya Mama jatuh pingsan.
"Mama, bangun, Ma. Tolong buka mata Mama," ucapku mulai ketakutan.
"Ada apa ini? Apa yang terjadi?" Tak lama Papa pun datang dengan perasaan cemas.
Akhirnya kami membaringkan Mama ke atas tempat tidur. Sementara aku mengejar Yumi yang begitu tega menyakiti hati Mama tanpa berpikir dua kali.
Aku mengejar Yumi yang sudah keterlaluan menyakiti hati Mama. Kemarahanku telah memuncak, hingga tak sadar menarik tangan gadis itu setelah menemukannya yang masih berada di ambang pintu pagar rumah."Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?" sarkas Yumi. Berusaha untuk melepas tanganku."Tidak! Sebelum kau meminta maaf kepada Mamaku."Sikapku sudah seperti seorang suami yang marah terhadap istrinya. Didukung dengan mata membulat.Aku sungguh marah terhadap gadis ini. Padahal kalau dipikir-pikir akulah yang bersalah. Bahkan hubungan kami tak sedekat rumah dan atapnya. Namun, egoku telah menguasai logika."Lepas, kataku!" seru Yumi. Berhasil melepas cengkraman."Siapa kau? Menyuruhku minta maaf kepada Ibumu. Apakah kau adalah pacarku yang sesungguhnya? Ku rasa hubungan kita tak sedekat itu."Ucapan Yumi seperti menghempasku ke dalam danau. Aku sungguh malu, tapi hati ini masih sakit ketika mengingat Mama yang jatuh pingsan, karena wanita gila ini."Aku tidak perduli sedekat apa hubungan kit
"Hahaha... Jadi, akhirnya kau menerima tantangan itu?" Lagi-lagi Indra menertawakanku."Sialan, Lo!""Uhuk... Uhuk..." Bahkan Indra sampai terbatuk-batuk.Memang nasibku pantas untuk ditertawakan. Mau bagaimana lagi, aku benar-benar pria sial.Betapa tidak, baru juga melakukan kebohongan pertama kalinya. Eh, justru ketahuan saat itu juga. Belum lagi Mama yang berencana menikahkanku dengan Magdalena bila tak kunjung menemukan kekasih dalam kurun waktu enam bulan.Hais, mengapa aku harus menerima tantangan Mama saat itu? Mengapa aku tidak berusaha untuk menolaknya? Benar-benar payah aku ini. Wajar bila Indra menertawakanku, alih-alih iba."Lalu, apa rencanamu selanjutnya? Apa kau akan mulai berpetualang?" Indra meraih apel yang ada di keranjang buah depan meja ruanganku. Lalu menggigitnya dengan santai."Entahlah, aku tidak menemukan ide apapun. Aku tidak punyai pengalaman untuk itu," jawabku putus asa."Bagaimana kalau kau memulai dengan benar bersama gadis bernama Yumi itu?"Sepertiny
***Yumi Pov***Sayup-sayup ku mendengar suara perdebatan antara Yoga dan Ibunya. Aku tahu yang ku lakukan ini telah menyakiti hati mereka. Akan tetapi, aku tak bisa bersandiwara lebih lama lagi.Mengakui hubungan palsu, sungguh membuatku seperti seorang berandal sekaligus pembohong besar.Memang betul, bahwa akulah yang telah memulai kebohongan ini. Namun, siapa sangka bila Yoga justru semakin menyeretku ke dalam urusan asmaranya.Dan kali ini situasinya semakin rumit. Dimana ia mengumumkan hubungan kami di depan semua orang tanpa memberiku aba-aba.Aku yang masih setia dengan keterkejutanku, hanya bisa diam mematung melihat kelancangan lelaki menyebalkan itu.Sialnya, di depan semua orang pula. Dengan lantangnya Yoga menciumku. Seolah tak punya rasa malu sama sekali.Sungguh, aku tak tahu bila pesta ulang tahun yang dimaksud Uti adalah ulang tahun pernikahan kedua orang tua Yoga.Andai saja Uti sedikit lebih jujur padaku, mungkin aku tak akan berakhir seperti ini. Tak akan ada hati
"So... Kau merasakan jantungmu deg-degan ketika melihat senyuman Yoga?"Inilah yang membuatku kesal terhadap Uti. Dia tak pernah berhenti menggodaku semenjak terlibat sandiwara Yoga.Setiap hari gadis cerewet itu mempertanyakan perkembangan hubungan kami. Padahal dia satu-satunya orang yang paling tahu kehidupanku.Bahkan kemana arah kaki ini melangkah, Uti pasti tahu. Lantas sekarang dia sengaja menggodaku hanya karena selama ini aku jomlo."Is... Kau ini. Selalu saja menggodaku. Apa kau pikir aku segila itu sampai jatuh cinta pada pria seperti Yoga?" sarkasku tak terima."Aku kan hanya mempertanyakan kondisi jantungmu. Bukan cintamu pada pria itu. Atau jangan-jangan kau...""Pergi, gak?! Atau pena ini melayang cantik ke wajahmu!" Aku meraih pena di atas meja untuk digunakan sebagai objek pengancaman.Jujur, Uti membuatku kesal hari ini. Bisa-bisanya dia mempermainkanku."Baiklah... Baiklah... Oh iya, tadi pagi ada tiga pesanan pelanggan. Kali ini dia menginginkan gambar kalung berli
"Pokoknya Ibu tidak setuju bila kau ikut-ikutan warga untuk melawan para orang kaya itu!" Ibu menghardikku agar tak turut serta bersama orang pasar untuk memperjuangkan hak mereka. Padahal Ibu tahu betul, bahwa para bedebah itu sedang membodohi warga di sini."Tapi, Bu. Bukankah Ibu tahu sendiri bila yang dilakukan orang itu tidak benar?" Ibu seolah menyangkal kata hati sendiri. Itulah yang membuatku sedikit kecewa padanya.Dulu Ibu tidak seperti ini. Ibu sangat vokal memperjuangkan hak setiap orang yang membutuhkan bantuan. Walau bukan berprofesi sebagai pengacara, tetapi Ibu adalah seorang lulusan sarjana hukum. Sedikit banyak Ibu tetap tahu soal Undang-Undang. Jadi, wajar bila aku mendesak Ibu agar tidak diam saja menyaksikan kezoliman itu."Yumi, Ibu sedang tidak ingin membahas masalah pasar. Ibu hanya ingin kita hidup dengan tenang," kata Ibu, seolah pasrah kepada nasib."Yakin Ibu merasa tenang setelah menyaksikan ketidak adilan itu? Apakah hati Ibu tidak merasa iba pada warga?
"Yumi, hai." Aditya tiba-tiba menyapaku setelah kejadian beberapa waktu lalu di toko berlian. Mantan kekasihku itu mendadak datang ke tempatku bekerja."Aditya? Sedang apa kau di sini?" tanyaku bernada ketus.Melihat wajah pria menyebalkan ini, mendadak darahku mendidih. Namun, aku masih bisa mengendalikan diri."Tenanglah. Aku tidak akan membuat keributan." Dilihat dari wajahnya, Aditya seperti sedang bersungguh-sungguh."Baiklah, katakan apa yang kau inginkan dariku?" Jadi, aku berusaha menurunkan ego."Sayang... Maaf membuatmu menunggu. Soalnya tadi Papa sedang menghubungiku. Mau menanyakan soal rancangan cincin pernikahan kita apakah sudah siap atau belum."Sialnya, ego yang sepersekian detik lalu coba ku redam. Mendadak naik kembali begitu kekasih Aditya datang dengan gaya bar-barnya."Kau?"Kemudian wanita angkuh itu menatapku remeh dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu ia pun berdecak, seolah sedang meledekku."Sayang, apa kau berencana menggunakan jasa wanita ini untuk mem
"Uti, aku harus segera pergi. Ada urusan mendadak yang harus segera ku selesaikan," ucapku kepada Uti sembari bergegas."Tapi bagaimana dengan desain pesanan Ibu Yuni? Katanya nanti sore dia datang.""Aku sudah selesai desain. Bahkan set berliannya ada di dalam laci itu. Untuk Tuan Dirga, kau bisa mengambilnya di toko berlian langganan kita... Aku harus segera pergi. Toko, aku percayakan padamu dua hari ini.""Tapi..."Aku langsung meninggalkan Uti begitu saja tanpa mendengarkan perkataan selanjutnya. Masalah kali ini sepertinya cukup serius. Kalau tidak, orang pasar itu tidak akan menghubungiku seperti ini.Namun, yang sangat mengganggu pikiranku adalah bagaimana caranya agar Ibu tidak tahu aku berperan membantu warga. Sedangkan aku sangat takut mengecewakannya.Ibu adalah satu-satunya keluarga yang ku punya."Nona Yumi."Setibanya aku di rumah Pak Ujang, orang-orang menyambutku dengan wajah berbinar. Seperti ada sedikit harapan dari mata mereka.Terlepas dari itu, aku yakin. Sebelum
"Jadilah kekasihku.""Ha?"Syarat macam apa itu? Apa Yoga menganggapku seperti wanita murahan? Seenaknya memintaku menjadi kekasihnya.Aku tidak ingin melakukan kesalahan yang sama seperti dua minggu lalu."Apa kau sudah gila? Aku tidak mau menjadi kekasihmu!" tolakku tegas."Baiklah, tidak masalah... Kalau begitu aku permisi."Sungguh aku tak tahu permainan apa yang sedang Yoga coba mainkan saat ini. Seakan tengah menguji kesabaranku."Tunggu!"Yoga baru bergegas pergi, tetapi aku mencegahnya."Apa tidak ada syarat lain?" tanyaku ragu-ragu."No!"Yoga sungguh keterlaluan. Dia manusia terlicik yang pernah aku temui. Mengalahkan Aditya."Keterlaluan!" gumamku."What?" Tapi masih bisa didengar oleh Yoga."keterlaluan... Kau manusia tak punya hati nurani. Apa kau tidak bisa melihat penderitaan para warga? Setidaknya gunakan akal sehatmu jika hatimu tak berfungsi!" seruku berapi-api.Kini aku melupakan rasa hormatku terhadap Yoga. Aku mengenyampingkan kemanusiaan."Justru karena hatiku be
Jalan tengah dari permasalahan kami, aku pun memilih untuk damai. Menandatangani surat pernjanjian dari Yoga.Walau hati kecilku menolak, tetapi demi kebaikan semua orang. Aku rela sekali lagi berkorban.Usai menandatangi surat tersebut. Yoga tersenyum puas. Aku tidak sangka dia adalah pria yang licik. Meski terkadang tak sungkan menunjukkan perhatiannya terhadapku. Namun, hal itu tidak mengubah fakta, bahwa Yoga adalah manusia kejam."Yum, ada yang ingin ku sampaikan padamu. Apakah kita bisa bertemu?" Sore harinya. Aku mendapat panggilan dari Uti.Terdengar dari nadanya. Seperti ada sesuatu yang serius."Baiklah," sahutku."Kau mau kemana?" Baru saja aku berencana pergi, Yoga mencegatku di ruang tamu."Uti memanggilku. Katanya ada yang mau disampaikan padaku.""Jam berapa pulangnya?" tanya Yoga sekali lagi."Aku tidak tahu... Baiklah, aku pamit." Aku terburu-buru hendak menemui Uti. Hingga lupa di mana tempat pertemuan kami."Gunakan mobil untuk menemui Uti. Jangan pakai sepeda buntu
Hari ini aku dan Yoga akhirnya pindah rumah. Walau harus diawali dengan sejumlah drama.Semula orang tua Yoga tidak setuju pada keputusan kami. Terutama Mama. Namun, setelah berunding. Akhirnya Mama setuju juga.Entah apa yang telah Yoga katakan padanya. Saat itu aku sedang berada di luar kamar. Aku memberi mereka privasi."Jaga baik-baik menantu Mama, Ga. Jangan biarkan dia bersedih. Awas saja kalau sampai Mama tahu, Mama tidak akan melepasmu!" ucap Mama usai kami pamit padanya."Mama tenang saja. Aku tidak akan menggigitnya. Paling hanya mencakar sedikit," sahut Yoga, berkelakar."Cakarnya jangan dalam. Tipis-tipis saja," seloroh Papa penuh maksud.Percakapan ini terkesan random. Keluarga Yoga memang sungguh aneh. Mereka sangat akrab satu sama lain. Namun, cara menunjukkan kedekatan itu berbeda dari keluarga biasanya.Papa terkesan cerewet, tetapi sebagai kepala keluarga. Dia sangat perhatian serta bertanggung jawab.Sedangkan Mama, dia memang terlihat tegas. Akan tetapi, di balik k
Malama itu kami kumpul bersama keluarga besar Yoga. Ada Uti sudah pastinya. Tak ketinggalan Nindia, gadis yang sejak kecil mengejar Yoga serta menyebutnya sebagai suami masa depan.Aku mengenakan gaun merah pemberian Mama mertua. Kali ini rambutku sengaja ditata rapi agar terlihat lebih elegan. Pasalnya, konon keluarga Yoga datangnya dari kalangan atas semua.Namun, yang aku perhatikan mereka cukup sederhana dan tak mempersoalkan diriku yang berasal dari keluarga biasa.Mungkin dulu keluargaku seperti mereka. Namun, sekarang lain cerita setelah Ayah jatuh bangkrut."Kau sudah siap?" tanya Yoga begitu usai berdandan.Untuk penampilan Yoga, tidak perlu lagi dipertanyakan. Seperti biasa, dia hanya mengenakan setelan jas hitam."Iya," sahutku."Kita temui tamu sekarang. Pasti mereka sedang menunggu kita," ucapnya.Yoga mengulurkan tangan. Aku yang masih belum siap, terpaku untuk sesaat. Benarkah pria ini suamiku? Dia memperlakukanku dengan manis."Yumi," sapanya."Ah iya." Aku tersadar da
Hidup bersama mertua, sudah tentu tak bisa dihindari bagi sepasang suami istri yang baru menikah. Pun halnya denganku yang tiba-tiba sudah menjadi istri orang.Lantas bagaimana dengan saudara ipar yang dibenci oleh para istri sejuta umat?Tentu aku tidak menjadi salah satu dari mereka. Yoga berstatus anak tunggal."Mengapa harus di rumah orang tuamu? Aku mau di rumah Ibu," sarkasku menolak ajakan Yoga."Tidak masalah kalau kau ingin tinggal di sana. Tapi, kita harus tidur satu ranjang." Kali ini ide gila apa yang coba diusung Yoga. Sungguh memalukan.Tidur bersama? Oh tidak bisa. Tentu hal itu tak akan pernah terjadi. Pria ini tidak bisa dipercaya untuk urusan ranjang. Dia selalu mencuri ciuman dalam kesempitan. Tentu saja dengan alasan klasik. Tidak sengaja."Mengapa begitu? Kami memiliki tiga kamar tidur kok," tukasku tak terima."Lalu, apa kau ingin Ibumu tahu tentang kita yang sebenarnya? Baiklah, tidak masalah. Aku tidak merasa dirugikan untuk itu. Tapi bagaimana denganmu? Apa ya
Selayaknya bisnis simbiosis mutualis. Aku pun harus menyiapkan surat kontrak sebagai simbol dari hubungan ini. Lagi pula aku tidak ingin berlama-lama hidup dalam kepalsuan. Pernikahan ini, harus segera berakhir.Dalam surat tersebut, tak lupa aku cantumkan jangka waktu pernikahan kami. Hanya satu tahun lamanya.Jika biasanya dalam pernikahan kontrak pihak pria yang membuat surat-surat perjanjian, maka lain halnya dengan kami. Aku yang menyiapkan hal tersebut."Ada beberapa hal yang ingin ku sampaikan padamu." Usai makan, aku mengajak Yoga bicara."Katakanlah, aku mendengarkan," titahnya sembari membuka arloji."Tanda tangani surat perjanjian ini," ucapku seraya menyuguhkan surat kontrak yang seminggu lalu sengaja ku buat untuk berjaga-jaga."Surat kontrak?" Ku lihat kening Yoga berkerut nyaris menyatu. Mungkin dia terkejut aku memberinya sesuatu diluar nalar. Namun, inilah fakta yang harus ia terima. Surat kontrak ini sangat penting untukku.Dari surat inilah aku bisa melindungi selur
"Pelan-pelan tariknya... Sakit tahu!" Aku meringis kesakitan pada bagian bawah tubuh."Ini juga sudah pelan-pelan!" seru Yoga, menghardikku.Yoga terus berusaha menarik sesuatu yang menancap di bawah tubuhku secara perlahan.Suaraku menggema hingga memenuhi kamar pengantin kami. Mungkin saja orang di luar sana dapat mendengarnya cukup jelas."Aww... sakit! Tuh kan keluar darah. Huhuhu..." Tetapi, aku terus meringis kesakitan."Woi! Yoga... Hati-hati. Kasihan itu anak orang." Sesuai dugaan. Papa Yoga mendengar suaraku yang menggema hingga keluar ruangan. Entah apa yang sedang mereka pikirkan tentang kami."Iya, Pa. Ini juga sudah hati-hati," jawab Yoga dari dalam kamar, masih berusaha untuk menarik benda berukuran kecil itu."Yes, berhasil," katanya."Huaaa....""Cengeng banget sih jadi cewek?! Tenanglah, ini sakitnya tidak akan lama!" seru Yoga.Pria yang kini telah resmi menjadi suamiku itu terus mencercaku, karena tak bisa menahan perih yang menurutnya tak seberapa."Darah ini, kau
"Selamat, ya. Atas pernikahan kalian." Hari dimana aku dan Yoga bersanding akhirnya tiba juga.Ada banyak tamu undangan yang berdatangan. Tak terkecuali Aditya dan Maminya.Yoga yang sengaja mengundang langsung mantan pacarku itu sewaktu berkunjung ke rumah kami pada sore hari.Aku shock ketika tiba-tiba Yoga mengajak Aditya bicara. Entah apa yang mereka bahas. Saat itu aku hanya menyaksikan keduanya dari jauh.Sebelum pergi, Yoga memberi Aditya undangan pernikahan kami."Terimakasih," ucapku kepada salah satu tamu undangan yang menyalamiku."Congratulation, Beb. Semoga segera diberi momongan, ya... Aku sudah tak sabar lagi menggendong ponakan darimu." Entah Uti sengaja menggodaku. Atau dia bersungguh-sungguh mendoakanku. Wanita ini terlampau over akting.Seakan tidak tahu menahu ihwal perjanjianku dan saudara sepupunya itu."Kau jangan asal bicara." Aku mencecak lengan Uti sembari membisiknya. Kali ini Aku merasa dia sudah keterlaluan."Mengapa? Apa kau malu membayangkan malam pertam
"Yumi.""Aditya?"Pertemuan ini sungguh terasa canggung. Aku tidak pernah mengira akan bertemu Aditya dalam keadaan terjepit.Ada Yoga di sisiku. Semua orang tahu kami adalah pasangan kekasih. Pun Aditya, dia juga tahu itu.Lalu Yoga menghampiriku lebih dekat. Tadinya kami duduk saling berhadapan."Kita ketemu lagi... Apa kabar?" Aditya menyapaku tanpa menghiraukan Yoga."Aku baik," jawabku singkat.Meski hanya sandiwara, tapi aku tidak tega menyudutkan Yoga. Posisinya adalah sebagai calon suami. Bukan orang asing seperti yang disematkan pada diriku."Oh iya, apa kau sedang makan siang? Apakah aku boleh gabung?" Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba Aditya berubah drastis seperti ini. Kemana perginya kekasih yang dulu ia pamerkan padaku. Mengapa dia selalu berkeliaran seorang diri?"Tidak boleh!" seru Yoga tiba-tiba.Mendadak Yoga mengangkat suara menolak Aditya. Kali ini aku takut terjadi keributan. Tatapan mereka seolah menunjukkan permusuhan."Yumi, apa kau bisa memberitahu tunanganmu.
"Pantas saja Uti hafal betul setiap sudut kantormu. Ternyata kalian saudara." Kami berada di restoran Jepang dekat pusat kota. Untuk makan siang.Entah ada angin apa Yoga membawaku kesini. Padahal dia sendiri yang memberitahuku sangat anti wartawan. Sementara lokasi restoran tempat kami makan siang lumayan ramai pengunjung serta mudah dijangkau oleh para pencari berita itu."Makanlah! Aku sedang tidak berselera untuk membahas konflik antar wanita," jawab Yoga tanpa beban."Konflik antar wanita? Hei! Ini bukan hanya tentang aku dan Uti. Melainkan kau juga. Bukankah kau yang melarangnya untuk memberitahuku?" sarkasku tak terima."Habiskan makanmu!" balas Yoga singkat.Aku heran terhadap pria yang satu ini. Sikapnya seperti tidak terjadi apa-apa. Kenyataannya dialah penyebab dari semua persoalan."Cih! Dasar pria tidak bertanggung jawab," gumamku.Kemudian aku menyeruput jus lemon milikku tanpa menyentuh nasi goreng yang dipesan tadi."Ceritakan padaku, seperti apa masa kecil kalian? Apa