Share

Gelang Nenek

Selain  mengabadikan momen, para wartawan juga mengajukan beberapa pertanyaan secara bertubi-tubi. Menuntut penjelasan kepada kami.

Sementara Yumi terlihat panik sekaligus tak suka. Dia berusaha untuk melarikan diri, tapi aku mencegahnya.

"Sekarang bukan waktunya untuk pergi. Bantu aku menyelesaikan masalah yang telah kita mulai sebelumnya," bisikku kepada Yumi.

"Apa kau sudah gila? Mengapa aku harus membantumu?"

Sepertinya Yumi tidak mau memahami situasiku kali ini. Aku harus membuatnya mengerti apapun yang terjadi.

"Teman-teman media, dengar... Malam ini, selain kami merayakan pesta ulang tahun pernikahan, kami pun akan mengumumkan hal penting yang lain. Yaitu tentang pertunanganku bersama gadis ini. Bukankah kalian selalu bertanya-tanya kapan aku memperkenalkan kekasihku? Kapan kami akan melangsungkan pernikahan, dan lain sebagaimana... Nah, pada kesempatan inilah aku secara resmi mengumumkan pertunangan kami berdua."

Mata Yumi semakin membeliak sempurnah ketika aku dengan percaya diri mengumumkan pertunangan di depan semua orang.

"Kau..."

"Tolong jangan dipotret lagi, dia masih belum terbiasa dengan kamera... Ayo Sayang, kita temui Papa dan Mama."

Aku tidak memberi kesempatan Yumi untuk bicara. Atau dia akan mengacaukan segalanya.

"Kak Yoga."

Nindia, gadis bar-bar yang tiap hari mengejarku. Dia selalu merayuku dengan berbagai macam idenya.

Jujur saja, aku tidak menyukai gadis agresif seperti Nindia. Dia terlalu ekstrim untuk dijadikan istri.

Sekarang dia datang memprotesku atas pengumuman yang baru saja ku lakukan. Nindia merupakan salah satu tamu undangan kami malam ini.

"Kau tega sekali! Padahal kau tahu betul, selama ini aku selalu mengejarmu. Tapi kau... Kau benar-benar keterlaluan! Aku membencimu!"

Nindia mengataiku berapi-api. Sayang, aku tidak peduli pada ucapannya. Lagi pula, aku tidak sedang mengkhianati wanita itu. Kami tak memiliki hubungan apapun.

"Sayang, ayo kita pergi. Jangan pedulikan gadis itu. Dia hanya terobsesi padaku. Tentu kau tahu, hanya kau lah satu-satunya gadis yang ku cinta."

Mulut nakal ini, entah mengapa tiba-tiba mencium pipi Yumi. Hingga menimbulkan rona merah di wajahnya.

Bisa ku pastikan, bahwa itu bukan hanya karena malu, melainkan marah.

Ya, Yumi pasti marah padaku, karena lagi-lagi tanpa seizinnya, aku melayangkan kecupan singkat.

Setelah ini Yumi pasti akan menamparku.

"Kau..."

"Ayo kita temui Mama dan Papa." Sengaja aku membawa Yumi untuk bertemu Mama. Atau dia akan membuat keributan.

"Ma, Pa. Perkenalkan, ini Yumi. Kekasihku."

Setibanya kami, aku pun langsung memperkenalkan Yumi kepada kedua orang tuaku.

Aku bisa melihat senyuman merekah di bibir Mama dan Papa. Sepertinya mereka menyukai gadis ini. Tampaknya aku tidak salah memilih orang.

"Kemarilah." Bahkan Mama memeluk Yumi dengan hangatnya. Sungguh sambutan tak terduga.

"Mengapa baru datang sekarang? Kami sudah menunggumu cukup lama," ucap Mama dengan mata berbinar.

Seketika itu juga hatiku merasa bersalah kepada Papa dan Mama, karena telah menipu mereka. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak menemukan ide apapun untuk membungkam mulut orang-orang itu.

"Tante, sebenarnya aku..."

"Ah Ma, Pa. Sepertinya kami harus segera pergi dari sini. Yumi masih belum terbiasa dengan keramaian. Nanti kami akan kembali lagi setelah acara ini selesai."

Sebelum Yumi mengatakan yang sebenarnya, buru-buru aku mencegah gadis itu. Takut rahasiaku terbongkar. Bukan hanya aku yang malu nantinya, melainkan Papa dan Mama.

"Baiklah, sampai ketemu lagi, ya?"

Untungnya kali ini Mama tidak banyak tuntutan. Dia hanya membiarkan kami meninggalkan pesta itu.

"Yoga, jaga calon menantu Papa. Jangan sembarang memperlakukan dia," pesan Papa sebelum akhirnya kami meninggalkan mereka.

"Beres..."

Akhirnya aku membawa Yumi pergi dari pesta yang membosankan itu. Mengajaknya ke taman belakang rumah.

"Lepaskan aku!"

Plak!

Sudah ku duga, Yumi pasti akan menamparku begitu mendapat kesempatan. Tapi, tidak masalah. Yang penting Yumi tidak membuat keributan di pesta.

"Menjijikan!" serunya dengan tatapan marah.

"Apa maksudmu mengumumkan pertunangan kepada semua orang? Kau bahkan tak segan menciumku di depan umum. Apa kau tidak punya rasa malu?!" imbuh Yumi berapi-api.

Aku tidak ingin membenarkan diri, tapi tidak juga mengatakan apa-apa. Aku sadar telah salah memperlakukan Yumi. Namun, yang aku lakukan barusan murni hanya ingin melindungi gadis itu dari incaran paparazi. Ya... meski sebagian besar demi menyelamatkan reputarisku di mata orang-orang.

"Satu lagi, bukankah sandiwara kita telah berakhir tadi pagi? Mengapa kau justru melanjutkannya? Kau bahkan memperburuk situasi. Apa yang harus aku lakukan jika orang-orang itu mengejarku?"

Yumi mencercaku secara bertubi-tubi. Aku paham, dia masih marah. Tapi, aku bisa apa? Sementara di sana ada Mama dan Papa yang sewaktu-waktu bisa menjadi sasaran empuk para paparazi.

Aku sangat paham cara kerja para pencari berita itu. Bahkan diantara mereka ada mata-mata dari saingan bisnis.

Biasa, dunia bisnis memang selalu seperti itu. Pasti akan menemukan saingan yang tak ingin kalah. Bersaing secara tak sehat.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa aku salah telah menyeret Yumi dalam masalahku. Sedangkan dia hanyalah gadis asing yang berniat membalas mantan pacarnya melalui bantuanku. Dia tidak berencana untuk melanjutkan akting kami.

Namun, siapa sangka bila aku justru semakin bergantung padanya.

"Aku mau pulang! Aku tidak ingin melihat wajahmu. Menyebalkan!"

Aku hanya diam mendengarkan Yumi. Sebab, membenarkan kemarahannya. Aku pun tak ingin membela diri. Menghadapi wanita yang sedang berapi-api sudah pasti akan berujung sia-sia. Ibarat mengisi air dalam kerangjang. Tak akan pernah penuh.

"Hei, kau mau kemana? Biar aku antar," ucapku, menawarkan bantuan.

"Tidak perlu! Aku tidak butuh bantuanmu," tolak Yumi.

Inilah alasan aku malas berkomitmen dengan wanita. Bila mereka marah, pasti maunya dirayu. Sementara aku tak suka melakukan hal memalukan itu.

Aku bukanlah tipe pria bermulut manis. Aku lebih suka langsung ke inti ketimbang harus basa-basi.

"Hei, kau mau kemana, Nak? Sudah mau pergi? Di luar masih banyak wartawan. Apa kau tidak keberatan bertemu mereka?"

Tiba-tiba Mama datang menemui kami.

"Tante, aku..."

"Mama..."

Buru-buru aku menghampiri dua wanita beda generasi itu. Berniat tak memberi Yumi kesempatan untuk membuka mulutnya kepada Mama. Atau Mama akan menamparku lebih keras dari sebelumnya.

"Ma, mengapa kemari? Bukankah diluar masih banyak tamu? Mereka pasti mau berbincang-bincang bersama Mama," ucapku, seolah tak terjadi apa-apa antara aku dan Yumi.

"Mama capek. Lebih baik Mama menemui calon menantu Mama yang cantik ini." Mama bahkan tak segan memuji kecantikan Yumi.

Ya, Yumi memang terlihat cukup cantik. Wajahnya yang oval oriental, persis seperti keturunan china. Belum lagi hidungnya yang mungil, tapi mancung. Bibir Yumi tipis, tapi padat. Berambut hitam lebat. Sementara mata gadis ini sangat bulat, serasi dengan alisnya yang terukir tebal alami. Tak ada sentulan cila sama sekali.

Untuk ukuran seorang wanita, fisik Yumi cukup sempurnah. Apa lagi bentuk tubuhnya yang tinggi ramping, seakan melengkapi kecantikan gadis tersebut.

Sayang, perangainya tak secantik wajahnya. Yumi memiliki sifat berani, lagi badas. Dan aku tak suka wanita jenis itu. Sialnya, takdir justru melibatkan kami berdua.

"Tante, ada yang ingin aku sampaikan kepada Tante."

Aku terkesiap ketika mendengar apa yang baru saja Yumi katakan.

"Apakah Yumi akan memberitahu Mama yang sebenarnya? Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Mungkin nanti, tapi tidak untuk saat ini. Mama pasti akan kecewa padaku. Terlebih lagi malam ini adalah ulang tahun pernikahannya. Aku tidak ingin merusak momen bahagia itu. Kalau bisa, biarkan aku egois sekali lagi," pikirku kala itu.

"Mama..."

"Sebelum kau memberitahuku apa itu, aku juga ingin menunjukkan sesuatu padamu. Ikutlah denganku..."

Mama membawa pergi Yumi. Entah dia mau membawa kemana gadis itu.

"Gawat, mengapa jadi seperti ini? Aku kan hanya bersandiwara, tapi mengapa jadi kacau. Sial!" seruku seorang diri.

Lalu aku menyusul Yumi dan Mama di dalam rumah. Ternyata Mama membawa gadis itu ke kamarnya.

"Yumi, lihatlah. Bukankah gelang ini sangat cantik?" tanya Mama kepada Yumi.

Aku mengintip mereka dari balik pintu kamar Mama. Tak ingin mengganggu privasi mereka. Mungkin Mama mau mengajak Yumi bicara sesama wanita.

"Wow, ini sangat cantik, Tante. Jika dilihat dari ukiran serta batu permata yang digunakan, seperti berusia cukup lama... enam puluh tahun?" tebak Yumi antusias.

"Kau benar, Nak. Bagaimana kau bisa tahu usia gelang ini?"

Aku juga penasaran bagaimana bisa Yumi tahu usia gelang Mama. Padahal ini pertama kalinya mereka bertemu. Apakah Yumi seorang peramal?

"Kebetulan aku berprofesi sebagai perancang perhiasan, Tante. Jadi, sedikit tahu tentang gelang itu."

Jadi, begitu rupanya. Yumi adalah seorang desainer perhiasan. Pantas saja dia tahu banyak tentang gelang Mama.

"Oh, begitu ya."

Kemudian Mama memasang gelang itu ke tangan Yumi.

"Wah, ternyata ukurannya pas di tanganmu... Cantik," ucap Mama sangat bahagia. Aku pun turut merasakan kebahagiaannya. Sudah lama aku tidak melihat senyuman itu di wajah Mama. Sepertinya aku harus berterimakasih kepada Yumi kali ini.

"Tante, ini..."

"Gelang ini untukmu, Nak."

Aku tak percaya ini, Mama memberikan gelang wasiat itu kepada Yumi yang baru saja ia temui. Padahal gelang itu pemberian mendiang Nenek untuk Mama sewaktu melangsungkan pernikahan.

katanya dulu Nenek sengaja memberi gelang itu kepada Mama sebagai hadiah mertua kepada menantunya. Apakah itu artinya Mama... Sial! Sepertinya sandiwara ini sudah terlalu jauh. Tapi, bagaimana cara untuk menghentikannya? Sementara Mama baru saja merasakan kebahagiaan setelah sekian lama.

"Ini gelang pemberian Nenek Yoga untukku sebagai hadiah mertua kepada menantunya. Karena sebentar lagi kau akan menjadi menantuku, maka gelang ini aku berikan kepadamu."

Oh Tuhan, sekali ini saja tolong bantu aku. Aku tak ingin membuat senyum bahagia di wajah Mama seketika pudar. Tapi bagaimana caraku menghentikan Yumi? gadis itu pasti tak terima pada apa yang diberikan Mama barusan.

"Maaf, Tante. Aku tidak bisa menerima gelang ini."

Sudah ku duga, Yumi pasti akan menolak gelang itu. Yumi memang sedikit bar-bar, tapi sepertinya dia tidak serakah.

"Tapi mengapa, Nak? Kau berhak memakai gelang ini. Kau adalah calon menantuku," kata Mama sekali lagi.

"Karena aku bukan kekasih Putra Anda, Tante. Hubungan kami tidak seperti yang dipamerkan kepada orang-orang barusan."

Hancur sudah harapan dan perasaan Mama. Yumi telah mengakui segalanya. Senyuman yang tadinya merekah, mendadak sirna. Berubah dengan kemuraman serta kekecewaan.

"Tapi..."

"Maafkan aku, Tante. Aku tidak bisa berbohong lebih lama lagi."

Akhirnya Yumi meninggalkan Mama yang patah hati tanpa menoleh ke belakang. Bahkan gadis itu tidak melirikku sama sekali.

"Mama!"

Dan akhirnya Mama jatuh pingsan.

"Mama, bangun, Ma. Tolong buka mata Mama," ucapku mulai ketakutan.

"Ada apa ini? Apa yang terjadi?" Tak lama Papa pun datang dengan perasaan cemas.

Akhirnya kami membaringkan Mama ke atas tempat tidur. Sementara aku mengejar Yumi yang begitu tega menyakiti hati Mama tanpa berpikir dua kali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status