Pipiku masih terasa nyeri malam ini. Tamparan Mama sungguh menyakitkan, hingga bekasnya masih terlihat jelas.
"Aww... Sstt, sakit. Aku harus bagaimana sekarang? Masa iya harus keluar dengan kondisi seperti ini?" gumamku. Memperhatikan wajah lebamku di depan cermin.
"Kau masih belum siap juga?" Tiba-tiba Papa masuk ke kamar.
"Belum," jawabku sedikit kesal.
Hubunganku dan Papa memang tak terlalu akur. Sebab, Papa selalu mendesakku untuk menikah dan menikah terus. Tak beda jauh dari Mama yang menginginkan cucu.
Bedanya, Papa kerap menghasut Mama bila aku tak mengindahkan ucapannya. Sedangkan Mama, Ibu berapi-api yang siap memarahi Putranya kapan saja. Benar-benar memabuatku gila.
Meski begitu, aku sangat menyayangi mereka. Merekalah satu-satunya alasanku semangat mencari cuan.
"Kau masih marah sama Papa, ya?"
"Kali ini apa lagi rencana Papa? Mau menjodohkanku dengan salah satu Anak kerabat kita seperti yang sudah-sudah?"
Dari ekspresi Papa, aku bisa menebak apa isi otaknya. Pasti tak jauh dari topik pernikahan. Papa dan Mama selalu memperlakukanku selayaknya pria tak laku-laku, karena tak pernah menunjukkan pasangan kepada mereka.
Ditambah lagi media kerap menyebar berita palsu tentangku, bahwa Aku mengalami penyimpangan seksual.
Alasan orang-orang itu berspekulasi demikian, karena beberapa bulan lalu seorang Ibu-Ibu memergokiku tengah menindih seorang pria yang tak ku kenal.
Sialnya, aku menindih pria tersebut tepat mengenai burungnya. Alhasil Ibu itu pun berteriak ketakutan sekaligus merasa jijik.
Padahal insiden itu murni kecelakaan. Aku tak sengaja menabrak pria itu saat keluar dari toilet hotel ketika usai bertemu klien.
Aku yang memang sering diikuti wartawan kemanapun, akhirnya memuat berita memalukan itu. Ditambah lagi mereka tak pernah melihatku menggandeng seorang wanita. Kemana-mana selalu sendirian.
Maklum saja, hidupku sudah seperti selebriti. Tak ada ruang privasi untukku. Selalu paparazi mengekoriku kemanapun itu. Bahkan jenis celana dalam yang ku gunakan, sebagian besar orang pasti tahu.
Beruntungnya, aku memiliki koneksi untuk dimintai bantuan agar berita tak mendasar itu segera dihapus dari seluruh media. Akan tetapi, semua orang sudah terlanjur percaya, bahwa aku berasal dari kaum pelangi. Walau dari mereka masih ada yang meragukan kebenaran berita tersebut.
Aku juga tidak berniat untuk melakukan jumpa pers demi mengklarifikasi hal tersebut. Sebab, hanya akan menimbulkan masalah baru.
Jadi, aku memutuskan untuk diam. Sayang, masyarakat justru semakin mendesakku untuk membuktikan diri sebagai pria normal, yakni menikahi seorang gadis.
"Papa dan Mama hanya ingin yang terbaik untukmu, Nak. Tidak lebih. Jika gadis tadi pagi dapat membuatmu bahagia, maka bawa dia kepada kami. Perkenalkan secara baik-baik. Kami pasti akan mendukung hubungan kalian," jelas Papa.
"Astaga, Pa. Harus berapa kali sih aku jelaskan? Gadis itu hanya orang asing yang kebetulan meminta bantuanku. Dan karena aku juga sedang membutuhkan bantuan seseorang. Maka kami pun saling bekerjasama. Simbiosis mutualis, Pa. Masa sih Papa tidak tahu?" tukasku bernada kesal.
"Baiklah, terserah kau saja. Mulai sekarang Papa hanya ngikut."
Entah ucapan Papa bisa dipercaya atau tidak. Kedengarannya seperti bersungguh-sungguh.
***
Di pesta, ada banyak tamu undangan yang datang. Semuanya terlihat elegan dan menawan.
Para gadis berdandan sesuai dengan trend yang disukai. Pun para pria yang lain.
Para kolega, kerabat, sahabat, dan tetangga. Semuanya berdatangan memberi ucapan doa dan selamat kepada Papa dan Mama.
Namun, yang tak kalah mencengangkan adalah ketika mataku menangkap sosok tak asing diantara kerumunan para tamu undangan.
"Gadis itu? Apakah dia termasuk tamu undangan Papa dan Mama?" gumamku.
Mata ini terus mengawasi. Entah siapa yang membawanya kemari. Apakah dia salah satu Anak kolega Papa? Entahlah.
"Yumi, ayo kemari... Perkenalkan, ini adalah sahabat sekaligus atasan tempatku bekerja."
Ya, dia adalah Yumi. Tunangan palsuku.
Sayup-sayup ku mendengar seseorang memperkenalkan gadis itu kepada teman prianya.
"Aiman."
"Yumi."
Aku bisa menangkap senyuman manis keluar dari kedua garis bibir tipis Yumi. Sepertinya dia tampak bahagia begitu diperkenalkan kepada seorang pria.
"Dasar wanita murahan. Tadi pagi dia memintaku jadi kekasihnya. Malam ini dia justru berkenalan dengan pria lain."
Entah apa yang membuatku kesal hingga menggerutu tak jelas seperti ini. Bahkan suhu tubuhku mulai kepanasan. Padahal cuaca sedang dingin.
"Hahaha."
Suara tawa Yumi menggelegar diantara para tamu.
"Apakah dia tidak bisa menahan diri? Suaranya seperti ayam kampung yang nyaris terlindas mobil truk!" umpatku seorang diri.
Kemudian mataku tertuju pada seseorang yang berdiri di ujung pintu masuk. Jika dilihat dari wajah dan gelagatnya, sepertinya dia bukan tamu undangan. Melainkan...
"Paparazi? Sial! Orang itu pasti sedang mengincar Yumi. Mengapa aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya? Bagaimana jika pria itu mengajak Yumi berkencan? Lalu Yumi mengiyakan. Aku bisa ketahuan sedang membohongi media... Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku harus segera mencegah pria itu."
Tanpa berpikir banyak lagi, akhirnya aku pun segera menghampiri Yumi. Lantas memeluk pinggang gadis itu.
"Hai, Sayang? Kau sudah datang?"
"Ha?"
Yumi terperangah begitu melihatku mendadak merangkul tubuh rampingnya.
"Teman-teman sekalian, mohon perhatiannya sebentar... Perkenalkan, gadis ini adalah tunanganku, Yumi."
Tanpa meminta persetujuan gadis itu, aku pun mengumumkan pertunangan kami di depan khalayak ramai.
"Eh, itu Tuan Yoga Iskandar bersama tunangannya... Ayo ambil gambar mereka."
Dan semua mata pun tertuju kepada kami. Para wartawan yang menjadi tamu undangan malam itu, seolah mendapat berita gratis. Mereka pun mengabadikan momen dengan mengambil beberapa gambar kami berdua.
Sementara mata Yumi justru menatapku marah sekaligus tak percaya. Aku tahu, gadis ini pasti menganggapku gila. Sebab, memeluknya tanpa memberi aba-aba.
Bukan hanya Yumi, tapi aku pun sepertinya merasa demikian. Tapi tidak masalah, asal media itu tidak menyebar berita hoax lagi dan lagi.
Aku tahu lambat laun hal ini pasti akan terjadi. Dimana Yumi menjadi incaran para media untuk mencari tahu kebenaran hubungan kami berdua.
Aku tidak ingin gadis ini membuka rahasia. Kami sudah memulainya, dan kami pula yang harus menyelesaikannya.
Jika Yumi berani membuka suara sekarang juga, maka bisa dipastikan aku dan kedua orang tuaku dipermalukan di pesta ulang tahunnya yang ketiga puluh dua tahun.
Para media akan mencetak berita sesuka hati mereka. Menulis artikel dengan menyudutkanku. Kali ini bisa dipastikan, bahwa aku hanya menyewa seorang gadis untuk dijadikan tunangan palsu.
Tajuk ini akan diletakkan di halaman paling depan. Agar semua orang bisa melihatnya dengan mudah sembari mengumpat serta merendahkan martabatku.
Tapi, bukan itu masalahnya sekarang. Masalahnya adalah bagaimana caraku menjelaskan kepada Mama dan Papa terkait apa yang terjadi saat ini.
Selain mengabadikan momen, para wartawan juga mengajukan beberapa pertanyaan secara bertubi-tubi. Menuntut penjelasan kepada kami.Sementara Yumi terlihat panik sekaligus tak suka. Dia berusaha untuk melarikan diri, tapi aku mencegahnya."Sekarang bukan waktunya untuk pergi. Bantu aku menyelesaikan masalah yang telah kita mulai sebelumnya," bisikku kepada Yumi."Apa kau sudah gila? Mengapa aku harus membantumu?"Sepertinya Yumi tidak mau memahami situasiku kali ini. Aku harus membuatnya mengerti apapun yang terjadi."Teman-teman media, dengar... Malam ini, selain kami merayakan pesta ulang tahun pernikahan, kami pun akan mengumumkan hal penting yang lain. Yaitu tentang pertunanganku bersama gadis ini. Bukankah kalian selalu bertanya-tanya kapan aku memperkenalkan kekasihku? Kapan kami akan melangsungkan pernikahan, dan lain sebagaimana... Nah, pada kesempatan inilah aku secara resmi mengumumkan pertunangan kami berdua."Mata Yumi semakin membeliak sempurnah ketika aku dengan percaya
Aku mengejar Yumi yang sudah keterlaluan menyakiti hati Mama. Kemarahanku telah memuncak, hingga tak sadar menarik tangan gadis itu setelah menemukannya yang masih berada di ambang pintu pagar rumah."Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan?" sarkas Yumi. Berusaha untuk melepas tanganku."Tidak! Sebelum kau meminta maaf kepada Mamaku."Sikapku sudah seperti seorang suami yang marah terhadap istrinya. Didukung dengan mata membulat.Aku sungguh marah terhadap gadis ini. Padahal kalau dipikir-pikir akulah yang bersalah. Bahkan hubungan kami tak sedekat rumah dan atapnya. Namun, egoku telah menguasai logika."Lepas, kataku!" seru Yumi. Berhasil melepas cengkraman."Siapa kau? Menyuruhku minta maaf kepada Ibumu. Apakah kau adalah pacarku yang sesungguhnya? Ku rasa hubungan kita tak sedekat itu."Ucapan Yumi seperti menghempasku ke dalam danau. Aku sungguh malu, tapi hati ini masih sakit ketika mengingat Mama yang jatuh pingsan, karena wanita gila ini."Aku tidak perduli sedekat apa hubungan kit
"Hahaha... Jadi, akhirnya kau menerima tantangan itu?" Lagi-lagi Indra menertawakanku."Sialan, Lo!""Uhuk... Uhuk..." Bahkan Indra sampai terbatuk-batuk.Memang nasibku pantas untuk ditertawakan. Mau bagaimana lagi, aku benar-benar pria sial.Betapa tidak, baru juga melakukan kebohongan pertama kalinya. Eh, justru ketahuan saat itu juga. Belum lagi Mama yang berencana menikahkanku dengan Magdalena bila tak kunjung menemukan kekasih dalam kurun waktu enam bulan.Hais, mengapa aku harus menerima tantangan Mama saat itu? Mengapa aku tidak berusaha untuk menolaknya? Benar-benar payah aku ini. Wajar bila Indra menertawakanku, alih-alih iba."Lalu, apa rencanamu selanjutnya? Apa kau akan mulai berpetualang?" Indra meraih apel yang ada di keranjang buah depan meja ruanganku. Lalu menggigitnya dengan santai."Entahlah, aku tidak menemukan ide apapun. Aku tidak punyai pengalaman untuk itu," jawabku putus asa."Bagaimana kalau kau memulai dengan benar bersama gadis bernama Yumi itu?"Sepertiny
***Yumi Pov***Sayup-sayup ku mendengar suara perdebatan antara Yoga dan Ibunya. Aku tahu yang ku lakukan ini telah menyakiti hati mereka. Akan tetapi, aku tak bisa bersandiwara lebih lama lagi.Mengakui hubungan palsu, sungguh membuatku seperti seorang berandal sekaligus pembohong besar.Memang betul, bahwa akulah yang telah memulai kebohongan ini. Namun, siapa sangka bila Yoga justru semakin menyeretku ke dalam urusan asmaranya.Dan kali ini situasinya semakin rumit. Dimana ia mengumumkan hubungan kami di depan semua orang tanpa memberiku aba-aba.Aku yang masih setia dengan keterkejutanku, hanya bisa diam mematung melihat kelancangan lelaki menyebalkan itu.Sialnya, di depan semua orang pula. Dengan lantangnya Yoga menciumku. Seolah tak punya rasa malu sama sekali.Sungguh, aku tak tahu bila pesta ulang tahun yang dimaksud Uti adalah ulang tahun pernikahan kedua orang tua Yoga.Andai saja Uti sedikit lebih jujur padaku, mungkin aku tak akan berakhir seperti ini. Tak akan ada hati
"So... Kau merasakan jantungmu deg-degan ketika melihat senyuman Yoga?"Inilah yang membuatku kesal terhadap Uti. Dia tak pernah berhenti menggodaku semenjak terlibat sandiwara Yoga.Setiap hari gadis cerewet itu mempertanyakan perkembangan hubungan kami. Padahal dia satu-satunya orang yang paling tahu kehidupanku.Bahkan kemana arah kaki ini melangkah, Uti pasti tahu. Lantas sekarang dia sengaja menggodaku hanya karena selama ini aku jomlo."Is... Kau ini. Selalu saja menggodaku. Apa kau pikir aku segila itu sampai jatuh cinta pada pria seperti Yoga?" sarkasku tak terima."Aku kan hanya mempertanyakan kondisi jantungmu. Bukan cintamu pada pria itu. Atau jangan-jangan kau...""Pergi, gak?! Atau pena ini melayang cantik ke wajahmu!" Aku meraih pena di atas meja untuk digunakan sebagai objek pengancaman.Jujur, Uti membuatku kesal hari ini. Bisa-bisanya dia mempermainkanku."Baiklah... Baiklah... Oh iya, tadi pagi ada tiga pesanan pelanggan. Kali ini dia menginginkan gambar kalung berli
"Pokoknya Ibu tidak setuju bila kau ikut-ikutan warga untuk melawan para orang kaya itu!" Ibu menghardikku agar tak turut serta bersama orang pasar untuk memperjuangkan hak mereka. Padahal Ibu tahu betul, bahwa para bedebah itu sedang membodohi warga di sini."Tapi, Bu. Bukankah Ibu tahu sendiri bila yang dilakukan orang itu tidak benar?" Ibu seolah menyangkal kata hati sendiri. Itulah yang membuatku sedikit kecewa padanya.Dulu Ibu tidak seperti ini. Ibu sangat vokal memperjuangkan hak setiap orang yang membutuhkan bantuan. Walau bukan berprofesi sebagai pengacara, tetapi Ibu adalah seorang lulusan sarjana hukum. Sedikit banyak Ibu tetap tahu soal Undang-Undang. Jadi, wajar bila aku mendesak Ibu agar tidak diam saja menyaksikan kezoliman itu."Yumi, Ibu sedang tidak ingin membahas masalah pasar. Ibu hanya ingin kita hidup dengan tenang," kata Ibu, seolah pasrah kepada nasib."Yakin Ibu merasa tenang setelah menyaksikan ketidak adilan itu? Apakah hati Ibu tidak merasa iba pada warga?
"Yumi, hai." Aditya tiba-tiba menyapaku setelah kejadian beberapa waktu lalu di toko berlian. Mantan kekasihku itu mendadak datang ke tempatku bekerja."Aditya? Sedang apa kau di sini?" tanyaku bernada ketus.Melihat wajah pria menyebalkan ini, mendadak darahku mendidih. Namun, aku masih bisa mengendalikan diri."Tenanglah. Aku tidak akan membuat keributan." Dilihat dari wajahnya, Aditya seperti sedang bersungguh-sungguh."Baiklah, katakan apa yang kau inginkan dariku?" Jadi, aku berusaha menurunkan ego."Sayang... Maaf membuatmu menunggu. Soalnya tadi Papa sedang menghubungiku. Mau menanyakan soal rancangan cincin pernikahan kita apakah sudah siap atau belum."Sialnya, ego yang sepersekian detik lalu coba ku redam. Mendadak naik kembali begitu kekasih Aditya datang dengan gaya bar-barnya."Kau?"Kemudian wanita angkuh itu menatapku remeh dari ujung kepala sampai ujung kaki. Lalu ia pun berdecak, seolah sedang meledekku."Sayang, apa kau berencana menggunakan jasa wanita ini untuk mem
"Uti, aku harus segera pergi. Ada urusan mendadak yang harus segera ku selesaikan," ucapku kepada Uti sembari bergegas."Tapi bagaimana dengan desain pesanan Ibu Yuni? Katanya nanti sore dia datang.""Aku sudah selesai desain. Bahkan set berliannya ada di dalam laci itu. Untuk Tuan Dirga, kau bisa mengambilnya di toko berlian langganan kita... Aku harus segera pergi. Toko, aku percayakan padamu dua hari ini.""Tapi..."Aku langsung meninggalkan Uti begitu saja tanpa mendengarkan perkataan selanjutnya. Masalah kali ini sepertinya cukup serius. Kalau tidak, orang pasar itu tidak akan menghubungiku seperti ini.Namun, yang sangat mengganggu pikiranku adalah bagaimana caranya agar Ibu tidak tahu aku berperan membantu warga. Sedangkan aku sangat takut mengecewakannya.Ibu adalah satu-satunya keluarga yang ku punya."Nona Yumi."Setibanya aku di rumah Pak Ujang, orang-orang menyambutku dengan wajah berbinar. Seperti ada sedikit harapan dari mata mereka.Terlepas dari itu, aku yakin. Sebelum