Tania mampir ke kantor Arnold. Terpaksa merendahkan harga dirinya demi membalaskan sakit hatinya.
'Tok ... tok
"Masuk ...." ucap Arnold dari dalam ruangan.
Tania membuka pintu. Arnold duduk di belakang meja. Menatap tajam ke arah Tania. Setelah lelah mengejar Tania datang sendiri menghadapnya.
"Halo ... sayang! Makin cantik aja! Tau aja kalau aku merindukanmu, kini di hadapanku!" Arnold tersenyum mengoda Tania. Sosok yang dicintai selama masa kuliah kini di hadapanya. Padahal dulu Tania susah di jangkau. Pendekatan dengan berbagai cara tak bisa meluluhkan hatinya. Mungkin Arnold terkenal lelaki playboy yang gemar main cewek dan tidur sama perempuan.
Tania eneg melihat wajah Arnold begitu dekat denganya. Dari dulu tak berubah perangainya.
"Hancurkan anak perusahaaan Chandra company.
"Apa imbalanya?" Tanya Arnold tersenyum miring.
"Mau berapa? Tanya Tania
"Aku tak butuh uangmu, kau tau aku punya perusahaan cukup besar untuk membiayai hidupku!"
"Lalu kau mau apa dariku?" Tanya Tania menatap tajam manik netra milik arnold.
"Aku butuh cinta dan tubuhmu!" ucap Arnold menyusuri pipi Tania.
Ia ngeri, Apalagi Ryan belum pernah menyentuhnya. Saat kejadian waktu malam itu hanya untuk menjebak Ryan supaya menikahinya. Saat ini dirinya masih perawan. 'Haruskah ku serahkan pada Arnod? Padahal aku tak pernah menyintainya, tapi ....' batin Tania. Ia mengigit bibir bawahnya. Pilu mengiris hati. Membayangkan sesuatu yang berharga harus di ambil orang yang tak di cintai.
Tania menelan salivanya. Ada rasa tersekat di tengorokanya.
"Baiklah ... kalau itu maumu, aku akan datang ketika anak perusahaan Chandra company hancur tak bersisa!" ucap Tania terasa serak seraya menatap benci pada lelaki jangkung di hadapanya.
"Aku pergi!" Ketika Tania ingin berbalik badan. Arnold mencekal tanganya. Spontan tubuh Tania menegang. Matanya menunduk, menunggu reaksi Arnold.
Arnold mencium pipi kiri Tania.
'Cup'
"Aku menunggu mu sayang ...."
Arnold menelisik wajah mulus Tania. Tak sabar mencicipi tubuh manisnya.
Tania geram tanganya mengepal ingin memberi bogem mentah pada lelaki mesum ini.
Tania melangkah keluar sambil menutup pintu keras. Nafasnya naik turun menghadapi lelaki angkuh itu. Segera melangkahkan kaki menuju Bandara di sana kakaknya sudah menunggu.
"Haloo kak, maaf nunggu lama,"
"Ayo cepat, sebentar lagi pesawat lepas landas,"
Tania mengiringi langkah lebar kakaknya. Ia tak memberi tau masalah ini pada kakaknya. Merasa malu hendak bercerita. Tubuh dan harga dirinya sudah tergadaikan. Mendudukkan diri di kursi pesawat. Menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata.
"Kamu kenapa Dek? Ada yang di pikirkan?"
"Enggak kak," Tania mengeleng lemah. Ketika Pramugari menawari minuman ia segera mengambilnya. Air yang mengalir ke tengorokanya. Sedikit melonggarkan sesak di dada.
Tak lama kemudian Pesawat mendarat di Bandara. Tania dan kakaknya turun dari pesawat melangkahkan kaki menuju apartemen.
Ruangan modern khas eropa mewarnai apartemen ini. Tania mendudukan dirinya di sofa empuk. Menghembuskan nafas pelan.
"Kamu kenapa Dek? Wajahmu pucat?"
"Nggak apa- apa kak,"
"Ya udah, kamu masuk ke kamar istirahat,"
"Ya kak,"
Tania beranjak menuju kamar, memejamkan mata. Bayangan wajah Arnold ingin melahap dirinya menari di pikiranya. Tapi terlanjur sudah mengadaikan tubuhnya demi balas dendam. Omonganya tak bisa di tarik. Seandainya mengingkari janji. Arnold akan mengejar sampai ke ujung dunia. Menyesal melakukan itu. Tapi sakit hati akibat di campakan Ryan terpaksa melakukan itu.
Bunyi gawai bergetar nama Arnold terpampang di layar. Ia enggan mengangkatnya. Membiarkan panggilan mati sendiri. Tak lama kemudian hp mati. Tania lega.
Layar hp Tania kelap kelip tanda masuk pesan.
Arnold:"Kau jangan coba- coba menghindar dariku Tania! Nyawa taruhanmu kalau menghindar dariku!"
Deg.
Jantung Tania berdegup kencang. Melihat ancaman Arnold. Menelan ludah yang tiba- tiba terasa pahit. Dengan tangan gemetar ia meraih hpnya membalas pesan Arnold.
Tania: "Iya,"
Segera meletakan hpnya di atas nakas. Memeluk guling membenamkan kepalanya. Membiarkan nasib bermain dalam hidupnya. Bayangan kehancuran Ryan sudah membutakan hati Tania. Rela mengadaikan tubuh demi sakit hati yang terbalas.
Bersambung..
Arnold kembali ke meja kerjanya. Membuka laptop berselancar mencari informasi tentang cabang perusahaan Chandra Company. Dia mencari para pemegang saham dari Perusahaan Ryan. Setelah dapat, mencoba menghubungi. Tapi rata- rata dari mereka menolak mencabut Investasi dari Perusahaan Ryan dan beralih ke Perusahaan miliknya. Memang Perusahaan Milik Ryan. Loyal terhadap para investornya. Mereka selalu mendapat keuntungan yang besar tatkala Perusahaan mengalami untung besar. Arnold menghela nafas sejenak. Memikirkan langkah apa yang tepat menghancurkan perusahaan Milik Ryan. Dia juga punya dendam pribadi dengan perusahaan milik Ryan. Ia selalu menang tender darinya. Saat ini adalah waktu yang tepat menghancurkan cabang perusahaan tersebut. Arnold mencoba sekali lagi merayu para investor untuk Menarik sahamnya di perusahaan Chandra Companya. Tapi jawaban mereka sama. Menolak memcabut investasi. Hari ini Arnold
Suplier menepuk jidatnya sendiri lupa menanyakan nama orang suruhan Ryan. Ia terlalu percaya saat ada orang nyang membawa surat kuasa dari Ryan. Suplier itu terlalu percaya pada Ryan. Hingga tak menyadari telah di tipu. "Bagaimana ciri- cirinya?" Suplier itu menjelaskan cirinya. Dan Ryan merasa tak punya karyawan seperti itu. "Akbar tolong cari tau siapa yang telah sabosate bahan!" "Iya pak," "Tuan tolong kirim lagi bahan yang premium seperti biasa," "Baik tuan Ryan, maaf karena telah mempercayai orang yang salah," ucap suplier seraya menangkup kedua tanganya. "Ya nggak apa- apa Tuan, nanti lagi konfirmasi aku dulu ketika orangku memesan bahan. "Baik tuan Ryan," Suplier itu menganguk hormat. Lega Tuan Ryan tidak marah kepadanya. "Karena Tuan sudah berbaik hati, saya kasih diskon," "Oke ... makasih," ucap
Tania sudah hampir dua minggu berada di Belanda. Ia jalan- jalan menikmati kota Belanda. Tak lupa kulineran bersama Kakaknya. Sejenak melupakan Arnold yang sudah menuntut tubuhnya. Ia tak mau melakukannya sebelum perusahaan Ryan hancur berkeping. Ia rela mengorbankan tubuhnya. Tania menghela nafas sejenak. Panggilan Arnold terus menyeruak ke dalam telingga. "Itu siapa sih Dek? Telepon terus? Pacar kamu ya?" Tanya Nando, kakaknya Tania. "Bukan kak, Hanya temen." ucap Tania santai kemudian membiarkan telepon itu mati sendiri. "Ya udah kita jalan lagi, di rumah kulkasnya kosong," "Oke ...." Senyum Tania mengembang sempurna. Kini saatnya meluapkan suntuk. Berusaha mengalihkan pikiranya. Walau udah minggu jauh berada dari Ryan. Tapi pikiranya tentang Ryan tak bisa jauh dari pikiranya. ****** Di Kediaman Orang Tua Amelia.&n
Ryan packing, tak banyak yang ia bawa. Baju di rumah Amelia masih banyak. Hanya beberapa baju yang ia bawa. Selesai packing ia pesen Tiket ke Jakarta. Merasa semuanya beres. Ia menghubungi Akbar untuk sementara menghandle semuanya. Akbar cukup bisa di andalkan seperti saat ini. "Haloo Akbar ...." "Iya pak," " Besok ada Klien dari Thailand kamu handle ya, Aku mau jemput istri dulu," ucap Ryan memerintah. "Baik Pak," "Terus kamu kesini antar saya ke Bandara," "Iya pak," Ryan menutup telepon. Gegas ia mandi. Berganti kaos tak lupa pake jaket,Akbar sudah menunggu di ruang tamu. "Kita berangkat sekarang Akbar," "Baik Pak," Akbar membawa koper kecil milik Ryan. Kemudian di taruh di bagasi. Dengan gerak cepat Akbar membukakan pintu untuk Bosnya. Ryan masuk ke mobil di ikuti Akbar. Tubuh Ryan s
Amelia merasa pipinya ada yang menepuk berulang kali, tapi tak di hiraukan. Di alam mimpinya Ryan datang menciumnya. "Mas Ryan, Amelia kangen banget ...." suara Amelia mengigau. Ryan tersenyum mendengar isi hati Amelia. Selama ini ternyata dia juga merindukanya. Tak sabar melihat Amelia membuka mata. Ryan mencium hangat kening Amelia. Cup. Amelia mengejap matanya. Ia merasa di alam mimpi. Suaminya kini di hadapanya. Mata Amelia membulat sempurna ternyata bukan mimpi. Ryan tersenyum ke arahnya. "Mas Ryan !" Amelia mengucek matanya berulang kali. Ini mimpi atau tidak ? Tapi laki- laki tampan ini malah tersenyum. "Ini aku sayang ... kamu tidak mimpi," ucap Ryan tersenyum haru. Bahagia mendengar isi hati Istrinya yang sebenarnya. Amelia gengsi ingin memeluk suaminya. Ia menatap lelaki di depanya tampak kurus. Sebaga
Ryan masih berpikir, kenapa dia melakukan itu. Menurutnya ini harus di luruskan tak ingin hubungan dengan Mr.Choi terganggu. Ryan menemui Arnold di kantornya. Arnold tampak kaget saat Ryan di hadapanya. "Silakan duduk Tuan Ryan," "Maaf apa yang bisa saya bantu?' "Gimana kabar Mr.Choi Tuan Arnold?" "Ohh ... Ayahku baik- baik saja," "Ad gerangan apa Tuan Ryan sampai menyempatkan kemari?" "Suatu kehormatan mendapat kedatangan Tuan Ryan," "Ah ... anda terlalu merendah Tuan Arnold?" "Saya hanya ingin menawarkan kerja sama, kita Ekspor pakaian ke Indonesia, saya melihat konsumen Indonesia sangat bagus. Sangat bagus bila produk kita laris di sana," Arnold terdiam sejenak. Bagaimana aku akan menghancurkan dia ? dia malah baik seperti ini. Tapi bayangan tubuh Tania mengoda iman Arnold. "Heemm ... makasih atas tawaran k
Tania merasa kehilangan ketika Arnold hilang dari pandanganya. Perasaan apa ini? Tania menghempaskan diri di sofa. Sakit hati di campakan Ryan masih bergulat di hati dan pikiranya. Semakin memelihara dendam ini. Semakin sakit rasanya. 'Haruskah aku menghilangkan dendam ini?' Batin Tania. Ia memijit keningnya sendiri. Pusing memikirkan itu semua. Drrrt ... Suara gawai berbunyi. Nomer Arnold terpampang di layar. "Ada apa Arnold? Tolong aku ingin sendiri dulu!" "Baiklah, tapi aku mencintaimu Tania, lebih dari apapun di dunia ini!" Tania tersentuh dengan kata cinta Arnold. Kemudian mematikan gawainya. Menghembuskan nafas pelan. Karena pusing ia tertidur di sofa. Tepukan tangan membangunkan Tania. "Tania, pindah ke kamarmu !" "Iya kak," Tania berjalan lunglai ke kamar Bayangan Arnold berputar di kepalanya. 'Hufft ... aku b
Ryan menyuruh Mamanya duduk di sofa, ia kembali berkutat dengan pekerjaanya. Agar tak mengganggu konsentrasinya. Akhirnya Mama Lina mau menuruti anaknya duduk di sofa. Tapi mulutnya tak bisa berhenti ngomel. "Kamu tuh keterlaluan banget ya, udah lupa sama Mamamu ini hah?! Beberapa Bulan tak ada kabar!" "Tapi Ryan selalu komunikasi sama kakak Ma?" "Kalau kakakmu aja di hubungi masa sama Mama nggak?" Lina semakin emosi. Anak bungsunya ini bikin gemes. Ryan kembali menekuri pekerjaanya. Tanpa melirik Mamanya. Tapi Mamanya masih aja nyerocos. "Kamu tuh belum tau rasanya jadi orang Tua sih!" Deg Hati Ryan tercubit. Ada Nyeri menyapa. Mencoba sabar omelan Mamanya. 'Ya Tuhan, sabarkanlah hamba menghadapi Mama' "Oh ya Si Amel udah hamil belum?" "Belum, kenapa Ma?&n