Ryan packing, tak banyak yang ia bawa. Baju di rumah Amelia masih banyak. Hanya beberapa baju yang ia bawa. Selesai packing ia pesen Tiket ke Jakarta. Merasa semuanya beres. Ia menghubungi Akbar untuk sementara menghandle semuanya. Akbar cukup bisa di andalkan seperti saat ini.
"Haloo Akbar ...."
"Iya pak,"
" Besok ada Klien dari Thailand kamu handle ya, Aku mau jemput istri dulu," ucap Ryan memerintah.
"Baik Pak,"
"Terus kamu kesini antar saya ke Bandara,"
"Iya pak,"
Ryan menutup telepon. Gegas ia mandi. Berganti kaos tak lupa pake jaket, Akbar sudah menunggu di ruang tamu.
"Kita berangkat sekarang Akbar,"
"Baik Pak,"
Akbar membawa koper kecil milik Ryan. Kemudian di taruh di bagasi. Dengan gerak cepat Akbar membukakan pintu untuk Bosnya. Ryan masuk ke mobil di ikuti Akbar. Tubuh Ryan serasa ringan. Rasanya ingin segera sampai di pelabuhan cinta Amelia. Kangen mengebu dalam Dada. Ingin segera meluapkan kangen ini.
"Pak Ryan, udah sampai di Bandara," ucap Akbar sopan.
"Ooh ... iya," Ryan tersadar dari lamunanya. Segera turun dari mobil.
"Saya titip perusahaan ya Akbar, mungkin minggu depan aku udah pulang,"
Saat ini perusahaanya ada yang ingin menjatuhkan. Akbar masih menyelidikinya sampai sekarang belum ketemu siapa dalangnya.
"Iya Pak," Akbar menganguk. Ia memutar balik menuju apartemenya. Segera istirahat, Besok harus bangun pagi karena Ada Klien dari Thailand yang harus di tangani, Juga ingin menanyakan pada bawahanya. Sudah sampai mana menyelidiki yang sabosate kemaren.
Ryan sampai di Bandara. Sebelum Chek in. Ia menghubungi Istrinya dulu tapi tidak di angkat.
'Mungkin sedang tidur' batin Ryan.
Pesawat mendarat dengan selamat. Ryan bersama penumpang lainya turun. Angin malam yang dingin menyambut Ryan di Bandara. Tapi ini serasa sejuk bagi Ryan. Kangen membuatnya lupa akan hawa dingin yang menusuk. Dengan langkah lebar ia bersemangat mencari taksi.
Tak lama kemudian ia mendapatkanya.
"Pak tolong antarkan saya ke Tegal," ucap Ryan sopan.
"Iya pak, sesuai kargo ya pak," ucap pak Sopir taksi itu.
"Iya pak,"
Sopir taksi melaju membelah jalan. Pak sopir tenang di belakang kemudinya. Untung jalanan lengang tak banyak mobil yang lewat. Hanya truk pengangkut bahan pokok yang melintas. Memudahkan Pak sopir taksi melewati jalan pantura ini dengan cepat. Selama di perjalanan Ryan tak merasa ngantuk. Matanya tak bisa ia pejamkan. Hatinya berbunga mekar. Bayangan wajah Amelia menari di benaknya.
Akhirnya Ryan sampai di depan Orang tua Amelia. Ia membayar kargo taksi.
"Ini pak, kembalianya ambil ya pak,"
"Makasih Mas," ucap pak sopir itu terharu memegang uang dari Ryan. Ada uang untuk anak istri di rumah.
Suara Adzan subuh berkumandang. Ryan gegas ke Masjid dekat rumah Amelia. Di letakan koper kecil itu tak jauh darinya. Menyalakan kran. Membasahi wajahnya dulu agar tidak ngantuk. Kemudian ia berwudhu. Ryan melangkah menuju masjid. Di dalam masjid sudah ada beberapa orang yang melakukan sholat sunah sebelum subuh.
Ryan kaget saat seseorang menepuk pundaknya. Tapi berubah senang ketika bapak mertuanya di hadapanya.
"Bapak ...." Ryan segera meraih tangan Bapak mertuanya dan menciumnya takzim.
"Kapan datang? Ko nggak ke rumah?"
"Baru aja sampai pak, takut kalian terganggu, Makanya sholat subuh dulu,"
"Ya udah, kita sholat subuh dulu, itu udah iqomah,"
suara iqomah berkumandang menandakan waktu sholat akan di mulai.
"Iya pak,"
Ryan dan Pak Broto berdiri paling belakang mengikuti Imam. Dua Rokaat mereka jalani dengan khusyuk. Bahagia membuncah dalam dada Ryan sebentar lagi bertemu belahan jiwanya akan terlaksana.
Akhirnya sholat selesai. Ryan dan Bapak mertuanya berjalan menuju rumah.
"Amelia sudah bangun pak?" Tanya Ryan tak sabar bertemu istrinya.
"Belum kayaknya, nanti Bapak bangunin," ucap Pak Broto sambil tersenyum.
Dari gelagat wajahnya menandakan tak sabar bertemu istrinya.
Mereka sampai di rumah. Ibunya Amelia baru bangun. Matanya membulat sempurna saat Ryan ada di belakang suaminya.
"Ryan ...." ucap Bu Narti seolah tak percaya dengan penglihatanya. Ia mengucek berulang kali. Ini takut mimpi.
"Ini bukan mimpi Bu, ini memang Ryan! Mantu kita,"
"Iya kah, kenapa tak beritahu kita. Nnti kita jemput,"
"Nggak usah Bu, tadi naik taksi," ucap Ryan.
"Udah sholat Ryan?"
"Udah Bu,"
"Sebentar, Ibu bangunin Amelia dulu,"
"Nggak usah Bu, biar aku sendiri yang bangunin Amelia," ucap Ryan tersenyum.
"Baiklah, Ibu mau sholat subuh dulu,"
Ryan menganguk kemudian melangkah menuju kamar Amelia. Kalau tidur sendiri biasanya pintu kamar Amelia tidak di kunci hanya di tutup saja.
Ceklek
Ryan membuka pelan pintu kamar.
Wajah polos Amelia masih nyenyak dalam tidurnya. Ryan tak henti memandang wajah cantiknya. Ingin mengecup pipinya tapi takut membangunkanya. Ryan mengelus kepala istrinya. Mata Ryan sejuk memandang wajah Istrinya. Juga ketenangan batin yang menyelinap rasa ini selama yang ia rindukan.
"Sayang ...." panggil Ryan menepuk pipinya pelan. Mencoba membangunkan istrinya untuk sholat subuh.
Bersambung..
Amelia merasa pipinya ada yang menepuk berulang kali, tapi tak di hiraukan. Di alam mimpinya Ryan datang menciumnya. "Mas Ryan, Amelia kangen banget ...." suara Amelia mengigau. Ryan tersenyum mendengar isi hati Amelia. Selama ini ternyata dia juga merindukanya. Tak sabar melihat Amelia membuka mata. Ryan mencium hangat kening Amelia. Cup. Amelia mengejap matanya. Ia merasa di alam mimpi. Suaminya kini di hadapanya. Mata Amelia membulat sempurna ternyata bukan mimpi. Ryan tersenyum ke arahnya. "Mas Ryan !" Amelia mengucek matanya berulang kali. Ini mimpi atau tidak ? Tapi laki- laki tampan ini malah tersenyum. "Ini aku sayang ... kamu tidak mimpi," ucap Ryan tersenyum haru. Bahagia mendengar isi hati Istrinya yang sebenarnya. Amelia gengsi ingin memeluk suaminya. Ia menatap lelaki di depanya tampak kurus. Sebaga
Ryan masih berpikir, kenapa dia melakukan itu. Menurutnya ini harus di luruskan tak ingin hubungan dengan Mr.Choi terganggu. Ryan menemui Arnold di kantornya. Arnold tampak kaget saat Ryan di hadapanya. "Silakan duduk Tuan Ryan," "Maaf apa yang bisa saya bantu?' "Gimana kabar Mr.Choi Tuan Arnold?" "Ohh ... Ayahku baik- baik saja," "Ad gerangan apa Tuan Ryan sampai menyempatkan kemari?" "Suatu kehormatan mendapat kedatangan Tuan Ryan," "Ah ... anda terlalu merendah Tuan Arnold?" "Saya hanya ingin menawarkan kerja sama, kita Ekspor pakaian ke Indonesia, saya melihat konsumen Indonesia sangat bagus. Sangat bagus bila produk kita laris di sana," Arnold terdiam sejenak. Bagaimana aku akan menghancurkan dia ? dia malah baik seperti ini. Tapi bayangan tubuh Tania mengoda iman Arnold. "Heemm ... makasih atas tawaran k
Tania merasa kehilangan ketika Arnold hilang dari pandanganya. Perasaan apa ini? Tania menghempaskan diri di sofa. Sakit hati di campakan Ryan masih bergulat di hati dan pikiranya. Semakin memelihara dendam ini. Semakin sakit rasanya. 'Haruskah aku menghilangkan dendam ini?' Batin Tania. Ia memijit keningnya sendiri. Pusing memikirkan itu semua. Drrrt ... Suara gawai berbunyi. Nomer Arnold terpampang di layar. "Ada apa Arnold? Tolong aku ingin sendiri dulu!" "Baiklah, tapi aku mencintaimu Tania, lebih dari apapun di dunia ini!" Tania tersentuh dengan kata cinta Arnold. Kemudian mematikan gawainya. Menghembuskan nafas pelan. Karena pusing ia tertidur di sofa. Tepukan tangan membangunkan Tania. "Tania, pindah ke kamarmu !" "Iya kak," Tania berjalan lunglai ke kamar Bayangan Arnold berputar di kepalanya. 'Hufft ... aku b
Ryan menyuruh Mamanya duduk di sofa, ia kembali berkutat dengan pekerjaanya. Agar tak mengganggu konsentrasinya. Akhirnya Mama Lina mau menuruti anaknya duduk di sofa. Tapi mulutnya tak bisa berhenti ngomel. "Kamu tuh keterlaluan banget ya, udah lupa sama Mamamu ini hah?! Beberapa Bulan tak ada kabar!" "Tapi Ryan selalu komunikasi sama kakak Ma?" "Kalau kakakmu aja di hubungi masa sama Mama nggak?" Lina semakin emosi. Anak bungsunya ini bikin gemes. Ryan kembali menekuri pekerjaanya. Tanpa melirik Mamanya. Tapi Mamanya masih aja nyerocos. "Kamu tuh belum tau rasanya jadi orang Tua sih!" Deg Hati Ryan tercubit. Ada Nyeri menyapa. Mencoba sabar omelan Mamanya. 'Ya Tuhan, sabarkanlah hamba menghadapi Mama' "Oh ya Si Amel udah hamil belum?" "Belum, kenapa Ma?&n
Arnold masih berada di Hotel mewah. terpekur sendiri. Memikirkan Tania. Mencoba menghubungi gawainya tapi tak aktif. Kangen di dada serasa akan meledak. Akhirnya ia menemui kembali Tania. Bukankah cinta harus di perjuangkan? Pikir Arnold. Di depan Apartemen kakaknya. Ia memencet bel. Ting tong. Arnold berniat ingin melamar Tania secara baik- baik. Tania bangkit dan membuka pintu. Alangkah terkejutnya ia saat tau Arnold ada di depanya. "Arnold ...." gumam Tania lirih. "Iya ini aku, sambil memegangi daun pintu. Tania menatap manik mata milik Arnold. Ada cinta yang dalam di matanya. "Ada apa, kenapa menatapku seperti itu?" Arnold tersenyum semanis mungkin di hadapan belahan jiwanya. "Tania ... aku ingin melamarmu," Jantung Tania serasa ingin melompat keluar juga deg- deg an. Senang mendapat perhatian dari lak
"Kenapa diam Tania?" "Kamu masih memikirkan Ryan? Laki- laki pengecut seperti itu masih kau pikirin! Kurang kerjaan aja !" Arga selalu marah apabila Tania memikirkan Ryan. "Aku nggak mikirin Ryan kak, tapi memikirkan bagaimana membalas sakit hatiku!" ucap Tania sambil mengepalkan tangan menahan marah di dada. "Hemm ... sampai kapan kau memelihara dendam di hati? Bikin sakit aja!" "Udahlah ... tak ingin dengar alasanmu, kak Arga pingin kamu melupakan Ryan dan menerima Arnold. Itu demi kebaikanmu!" Arga berlalu dari hadapan Tania. Memberi ultimatum telak. Menbuat Tania tak berkutik. Apakah aku harus menerima Arnold? Tania melangkah gontai ke kamar. Ia menjatuhkan dirinya di Bed. Menarik selimut sampai ke leher. Memejamkan mata berharap pelangi datang lewat mimpinya. Tania mengejap matanya tatkala sinar mentari menerobos lewat celah kecil dari jendelanya. Dan m
Kembali ke Amelia. Amelia mengejap matanya berulangkali. Ia melihat jam di beker di nakas. Jam 3 sore. Ia bangkit dan melangkah ke kamar mandi tak jauh dari kamarnya. Ritual mandi dilakukan dengan cepat. Selesai mandi segera ke dapur. Memasak untuk nanti makan nanti malam. Aroma masakan menyeruak menyebar di seluruh ruangan rumah ini. Jam lima sore Ryan pulang. Pintu rumah tak di kunci. Ia langsung masuk saja. "Ceklek" "Assalamualaikum," "Walaikum salam Mas Ryan," Senyum mengembang dari kedua sudut mulut Amelia. Ia menyambut suaminya dan mencium tanganya. "Masak apa sayang?" Tanya Ryan sembari mencium kening istrinya. "Masak kesukaan Mas Ryan," ucap Amelia sembari menaruh Ayam goreng di meja. "Mas mandi dulu, nanti kita malam bareng," "Iya sayang," Ryan melangkah ke kamar. Mandi juga berganti pakaian. Ryan terlihat segar. Waj
Amelia melanjutkan makannya. Ucapan mertuanya yang menohok membuat selera makanya terhenti. 'Kapan Mama akan menerimaku?' Batin Amelia sambil menunduk. Ryan mengerti istrinya sedih. "Mas, ayo kita periksa ke dokter," rajuk Amelia dengan tatapan memohon. "Iya ... sayang, besok kita periksa. Kebetulan tak ada jadwal penting di kantor," Mata Amelia menyiratkan bahagia. Keinginan memiliki zuriat begitu besar baginya. Bukan sekedar menghindari ocehan mertuanya. Tapi ada kebahagiaan tersendiri di saat bayi mungil tumbuh besar di rahimnya. Melahirkan dan membesarkan dengan penuh cinta kasih. Untungnya suaminya sangat pengertian. Tak menuntutnya memiliki keturunan segera. Tapi anak adalah rejeki dan harus berusaha meraihnya. Juga doa yang tak pernah putus. Amelia mengeliat dalam pelukan suaminya. Hangat mengaliri darah Amelia. Ia mengejap dan mengedarkan pandanganya. Masih gelap jam berapa ini?