“Gue belum bilang setuju, ya, Lex! Jangan seenaknya memutuskan.” Aku menatap tajam pemuda di hadapanku.
Aku memang berutang banyak padanya, tapi bukan berarti dia bisa mengendalikan hidupku seenaknya.
“Kali ini posisi lo hanya bisa menurut, Ra? Jangan buat semuanya jadi sulit. Gue gak mau menggunakan cara kasar.” Alex berbicara santai. Dia bahkan sempat-sempatnya membereskan bekas makan kami.
“Lo bener-bener brengsek!” umpatku sambil menghentakkan kaki.
“Mulut lo, Ra! Sejak kapan kata-kata lo jadi kasar begini?” Alex menatapku tajam.
“Gue gak mau nikah sama lo. Lo pasti punya rencana macam-macam, kan?”
“Mau gue cuma satu macam. Tubuh lo! Lo gak mau ngelakuin itu di luar nikah, kan, makanya gue ajak lo nikah siri.”
Aarrrggh.
Dada mulai bergemuruh melihat Alex yang terus-menerus bisa mengendalikan keadaan. Haruskah aku menurut begitu saja. Kalau aku membantah, memangnya aku bisa mendapat uang sebanyak itu dari mana.
Tuhan. Kirimkan aku dewa penolong yang memberi tanpa pamrih.
“Ijan qabul di rumah gue. Lo cukup bawa saksi aja.” Alex berdiri dan melangkah begitu saja. Tidak peduli denganku yang masih menahan gemuruh di dada ini. Dasar orang kaya, seenaknya mengambil keputusan di kehidupan orang.
**
“Teh, berasnya abis, besok gak bisa masak nasi?” Aku terhenyak dengan pernyataan Ridho. Adikku ini memang bertugas untuk menanak nasi setiap harinya. Karena terkadang aku mencari tambahan uang dengan mencuci baju tetangga. Itu kukerjakan di pagi hari, tepat sebelum berangkat sekolah. Dan Ridho dengan senang hati mau membantu pekerjaan rumah.
“Besok kita puasa dulu gak apa-apa, Dek?” Hatiku nyeri saat mengatakan itu. Sudah sering kami terpaksa puasa karena tidak ada makanan yang bisa dimakan.
“Gak apa-apa atuh, Teh. Tadi siang udah makan enak ini.” Rani menyahut dengan wajah semringah. Hatiku bertambah nyeri melihat ekspresi kedua adikku yang tidak keberatan sama sekali. Jika aku menolak permintaan Alex, nasib kedua adikku akan lebih buruk dari ini. Kami akan jadi gelandangan karena pemuda itu pasti tidak sudi membiarkanku hidup tenang di sini, padahal belum bisa membayar utang.
“Ya udah, sekarang Teteh mau keluar dulu bentar. Kalian kunci pintunya. Jangan bukain pintu buat siapa pun sebelum teteh pulang, oke. Kalau teteh kemalaman, kalian tidur aja. Nanti teteh bawa kunci cadangan.”
“Mau ke mana, Teh? Ini udah jam delapan malam.” Ridho bertanya dengan nada khawatir.
“Ketempat temen teteh.”
Aku akan ke tempat Alex. Mau tidak mau harus menuruti maunya. Sudah bisa ditebak, pemuda itu tidak akan melepaskanku begitu saja. Jadi, sebaiknya aku bekerja sama. Kuputuskan berbicara di rumahnya karena tidak ingin teman sekolah tahu. Kebetulan malam ini warung Bu Jamilah tutup. Jadi aku rasa ini waktu yang tepat.
Rumah Alex cukup jauh. Berjarak dua puluh menit dengan kendaraan bermotor. Aku menggunakan angkutan umum yang masih banyak beroperasi. Lebih murah ketimbang naik ojek. Meskipun untuk ke dalam perumahan aku harus berjalan kaki.
Tepat pukul 20.30, aku sampai di kediaman Alex. Bangunan lama dengan pagar besi setinggi pinggang dan di cat cikelat. Halamannya ditumbuhi rumput yang subur. Ada sebuah pohon mangga yang terletak di sudut ruang terbuka tersebut.
Menurut kabar, Alex tinggal di rumah neneknya agar lebih dekat dengan sekolah. Walaupun kuno, tapi penataan taman kecil di halaman ini membuat suasana rumah tampak nyaman. Sangat terawat.
Aku berdecak saat menyadari sesuatu. Kenapa tadi tidak mengirim pesan. Bisa jadi Alex sedang keluar. Menurut Sarah pemuda itu kerap nongkrong di klub bersama temannya.
“Ah bodoh! Sudah capek malah orangnya gak ada.” Aku mengomel sendiri. Sudah memencet bel berkali-kali, si empunya rumah tidak juga membukakan pintu.
Fix. Alex pasti sedang keluar.
Baru dua langkah meninggalkan teras, terdengar suara pintu dibuka. “Ra, kok, gak kasih kabar mau ke sini?”
Aku bernapas lega mendengar suara Alex. Pemuda itu sepertinya baru selesai mandi. Terlihat dari rambutnya yang masih basah.
Oooh jadi itu sebabnya Alex tidak segera membuka pintu.
“Lo ada waktu gak? Gue mau ngomong masalah kemarin.”
“Masuk dulu, Ra. Di luar dingin. Kamu ke sini naik apa? Gak pakai baju hangat lagi.” Alex menggeleng melihat penampilanku yang hanya mengenakan kaos plus celana jeans, “lain kali telepon aja. Biar gue yang ke tempat lo.”
Alex menarikku begitu saja lalu membimbingku duduk di sofa. “Gue bikin minum dulu.”
“Gak usah, Lex –” Belum selesai bicara Alex susah menghilang di balik pintu.
Aku mengamati sekeliling. Ruangan ini bercat putih ini sangat nyaman. Satu set sofa warna hitam. Ada meja panjang tepat di seberangnya dengan beberapa pernak-pernik dan foto keluarga. Di atasnya ada hiasan dinding berupa kaligrafi Asmaul Husna. Aku menduga, itu pasti pilihan neneknya Alex. Karena mustahil pemuda seperti Alex memilih hiasan semacam itu.
“Nih, biar badanmu anget. Lain kali gak usah ke sini. Biar gue yang ke sana. Gak baik cewek jalan sendirian malam-malam gini.”
“Ck, aku usah lebay deh.” Aku mencibir pada Alex. Sikapnya makin ke sini sok ngatur. Sok peduli. Padahal aku belum mengatakan setuju dengan pernikahan itu.
“Bukan lebay, tapi gue gak mau kalau sampai apa yang gue inginkan diambil orang. Lo lupa tempo hari Juragan Jaka mau nodai lo.”
Astaga! Aku kira dia peduli denganku. Nyatanya hanya mengkhawatirkan kesenangannya sendiri.
Sebelum mengatakan niatku ke rumah ini, aku menyeruput lebih dulu cokelat panas yang dibikinkan Alex. Manis. Creme. Dan aromanya menenangkan. Alex pintar sekali memilihkan minuman untukku.
“Gue setuju dengan permintaan lo. Dan setelah itu, apa yang harus gue lakuin?”
“Pakai nanya, ya belah durenlah?” Alex menyeringai lebar.
Sial. Kenapa dia santai sekali mengatakan itu. Padahal jantungku sudah dag dig dug.
“Maksudnya, gue gak perlu tinggal bareng lo, kan? Karena gue gak mungkin ninggalin adik-adik gue.”
“Soal itu gampang, Ra. Gue bakal jemput lo kalau emang lagi pengen aja, kok.”
Aku mendelik mendengar ucapan Alex. Sekarang menjadi gadis paling murahan. Cewek panggilan. Yang dipanggil ketika mau begituan saja.
Astaga! Jalan hidup apa yang aku pilih?
“Lo udah makan?” tanya Alex dengan lembut.
Aku menjawab dengan gelengan. Sumpah. Sekarang berasa jadi gadis paling lemah, yang bergantung pada Alex. Sekedar memenuhi isi perut pun dia yang memenuhinya.
“Ya udah, yuk! Makan dulu di luar sekalian gue antar pulang. Gue ambil jaket dulu.”
Lagi-lagi Alex langsung nyelonong masuk. Begitu kembali dia langsung memakaikan jumper army di tubuhku. Aku yang terkejut, hanya menurut saja ketika dia memasukan kepalaku ke lubang baju hangat tersebut. Pemuda ini merapikan rambutku begitu selesai memakaikan baju.
“Yuk!”
Aku berjalan di belakang Alex. Pemuda itu gegas mengunci pintu dan mengeluarkan motor dari garasi. Aku berdecak kesal, motor Alex tidak nyaman jika dibuat berboncengan. Aku harus duduk merapat agar tidak pegal atau pun jatuh.
“Peluk, Ra!” serunya sambil menarik tanganku lalu melingkarkannya di perutnya.
Aku hanya bisa mendengkus menuruti semua permintaannya. Hanya beberapa menit, kami berhenti di depan kedai sate.
“Lex, boleh gak makan malamnya diganti uang aja.” Aku mengatakan itu dengan menahan malu. Apalagi Alex sekarang menatapku dengan satu alis terangkat.
Bodo amat Alex mau berpikir apa. Yang terpenting besok Ridho dan Rani bisa makan. Akan kugunakan uang pemberian Alex untuk membeli beras dan telur.
“Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.“Ck, gak gue itung utang, Ra?
Aku mengerjap, mencoba mencerna ucapan Alex.Pengen gue? Maksudnya apa?Namun, belum juga aku memahami kata-katanya, dia kembali merapatkan bibir kami. Ciumannya makin intens. Kasar. Dan menuntut. Membuat seluruh tubuhku merinding.Bangun Maura! Kenapa kamu diam saja menerima perlakuan Alex? Dia akan makin berani jika kamu tidak melawan.Seperti tahu kegelisahanku, Alex menyudahi ciumannya. Pemuda itu menatapku dengan intens. Namun, kurasakan sesuatu yang menggelitik di bagian perut. Tangan Alex mulai berani membelai perutku dari balik baju. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyelimuti seluruh tubuh.Astaga! Kenapa aku jadi begini?Tubuhku panas. Apalagi Alex kembali merapatkan bibir kami dengan penuh nafsu. Tak berhenti di situ, dia pun mulai meraba punggung. Memberikan sentuhan halus di sana. Memainkan jemarinya dengan lihai dan berhenti di pengait .... Sial! Jangan bilang maksudnya tadi
“Mau mahar apa?” bisik seseorang tiba-tiba.Deg!Aku yang sedang fokus membaca latihan soal ujian, sontak terlonjak. Seorang pemuda dengan santainya sudah berdiri di belakangku.Ish! Alex rese! Sudah berapa kali aku bilang jangan membahas pernikahan di sekolah?Aku melirik ke tangannya. Syukurlah! Pemuda ini tidak membawa makanan cepat saji seperti kemarin-kemarin. Dalam seminggu ini dia membuktikan ucapannya tempo hari, membawakan makanan dari brand terkenal yang berasal dari negeri Sakura.“Lo mau mahar apa, Ra?” tanyanya lagi karena belum juga mendapatkan jawaban.“Gue udah pernah bilang, kan, jangan ngomong masalah itu di sini!” seruku tajam sambil melayangkan pukulan di bahu Alex.“Mumpung inget, kalau nanti-nanti bakallbakal ” Alex menjatuhkan pantatnya tepat di sebelahku.“Iih, sana lagi ngapa, sih? Seneng banget gangguin gue!&rdquo
Aku mengernyit heran saat motor Alex berhenti di sebuah butik baju pengantin yang cukup ternama. Siang ini dia sengaja memintaku untuk pulang bersamanya. Dia sampai meyakinkan aku kalau Ridho dan Rani sudah makan siang. Bukannya langsung ke rumah, sekarang justru singgah ke tempat yang memajang beberapa gaun pengantin mewah. Dalam tidur pun aku tidak berani memimpikan datang ke tempat ini.“Ngapain kita ke sini?”“Pernikahan kita memang siri, tapi aku mau kamu punya kesan yang indah dengan hari spesial itu. Salah satunya gaun pengantin.” Alex mengatakan itu masih dengan penuh kelembutan.Hadeeeh! Kesambet setan mana, sih, nih orang? Udah gak ada siapa-siapa masih sok mesra. Panggilannya sudah berubah jadi aku kamu.“Lo kesambet setan mana, sih? Badan lo juga gak anget.” Aku menempelkan punggung tangan di kening Alex. Pemuda rese itu justru menarik jemariku lalu mengecupnya lembut.“Jijik benget, sih!” cibirku sambil memukul lengannya.
“Stop!” Kudorong kuat pemuda yang tengah memelukku, “gue gak mau, Lex. Jangan bikin gue berubah pikiran! Lo gak bisa, ya, sedikit aja ngehargain gue?”Alex menyeringai lebar.“Tadi kamu ngedesah lho, Ra! Kamu juga pengen lebih dari tadi, kan? Kenapa malu?”Ck, kenapa pemuda ini tidak paham juga. Kalau aku tidak memberikan mahkota yang satu itu selain untuk suamiku.Aku memang menikmati keintiman tadi, tapi bukan berarti harus berlanjut dan menyerahkan semuanya. Jujur, terlalu sering didekati Alex, membuat pikiranku mulai tercemar. Tubuh refleks menerima semua sentuhan pemuda itu yang sangat lihai dan menggoda. Hingga tanpa sadar, aku pun mulai membalasnya.“Tinggal satu Minggu, Lex. Kenapa gak bisa sabar, sih? Makanya gak usah temui aku dulu. Dipingit. Lo tau dipingit, kan? Gak usah ketemu dulu beberapa hari sebelum menikah.”“Ah! Maura gak asik! Kamu takut a
“Tidur sama gue, utang lo lunas.”Plaak.Satu tamparan kulayangkan pada pemuda jangkung di hadapan. Dia menyeringai, badannya semakin mendekat dan kini sukses mengurungku yang kini terjebak di sudut gudang.Tuhan, harusnya aku curiga saat dia meminta ketemuan di ruangan pengap ini.“Bahkan gue bisa jadi langganan, lo!” bisiknya serak di telinga.Napasku memburu. Dada terasa terbakar dan sesak sekaligus.Brengsek! Alex benar-benar kurang ajar. Aku salah mengira. Kupikir pertolongannya kemarin murni karena empati. Ternyata ada udang di balik batu. Dia sepertinya sudah merencanakan ini.“Ayolah, Ra, gue tau kalau lo tadi sempat tanya-tanya Sarah tentang kerjaan sampingannya.”Dengan berani Alex mulai membelai pipiku. Kedua tangan yang tadi sempat mendorong tubuhnya justru dicekal kuat. Mata sudah panas dan siap meneteskan butiran bening.Tahan, Maura, tahan. Jangan sampai pe
“Kenapa diem, Ra? Nanti keburu dingin kalau makan sambil melamun.”Lagi, pria di depanku tersenyum manis.Duuuh. Gimana bisa makan kalau dia ngeliatin terus seperti itu?“Saya tadi lagi cari bangku yang masih layak pakai di gudang. Eeh, kok, lihat ada yang jongkok. Saya kira siapa, gak tahunya malah kamu. Sebenarnya kamu lagi apa di sana? Tumben-tumbenan. Biasanya gak pernah menunda-nunda pulang.”“Ehm, itu, anu, Pak, sa—saya—” Aku tergagap. Bingung harus menjelaskan apa.“Ya udah kalau kamu gak mau cerita. Cepet makan, kasian adik-adik kamu nungguin.”Gegas aku melahap bakso yang sudah mulai dingin. Pak Damar sampai menggeleng keras melihatku yang makan dengan cepat. Jantung berdetak kencang saat tiba-tiba tangannya mengusap sudut bibirku. “Ada noda saos,” lirihnya dengan kikuk. Cepat-cepat dia menarik tangannya dan berdiri menjauh. Beliau mendekati gerobak dan menyebutkan semua pesanannya tadi.Aaiiih! Apa-apaan sih Pak Damar? Bikin deg-de
“Maaf, gue telat,” bisik Alex dengan lembut sambil membuka ikatan mulut dan juga tanganku. Lalu, pemuda jangkung ini melepaskan hoodie-nya dan memakaikannya di tubuhku.Aku memandangnya lekat-lekat.Ada apa dengannya? Kenapa sikapnya jadi manis begini?“Kenapa lihat-lihat? Udah naksir, ya?” tanya Alex dengan menyeringai.“Apaan!” Aku mendorong tubuh Alex dengan kasar.“Jadi gini tanggapan lo sama orang yang udah nolongin lo dari kebuasan tua bangka tadi.”Alex merengkuh pinggangku dengan kasar.“Lo sama biadabnya dengan Juragan Jaka, jadi buat apa gue bersikap manis.” Aku membalas tatapan Alex dengan sama tajamnya. Pemuda ini tidak bisa diprediksi. Sebentar lembut. Sebentar kasar.“Benar juga, gue memang gak ada bedanya sama rentenir tadi. Sama-sama menginginkan tubuh lo. Sialnya pria
“Stop!” Kudorong kuat pemuda yang tengah memelukku, “gue gak mau, Lex. Jangan bikin gue berubah pikiran! Lo gak bisa, ya, sedikit aja ngehargain gue?”Alex menyeringai lebar.“Tadi kamu ngedesah lho, Ra! Kamu juga pengen lebih dari tadi, kan? Kenapa malu?”Ck, kenapa pemuda ini tidak paham juga. Kalau aku tidak memberikan mahkota yang satu itu selain untuk suamiku.Aku memang menikmati keintiman tadi, tapi bukan berarti harus berlanjut dan menyerahkan semuanya. Jujur, terlalu sering didekati Alex, membuat pikiranku mulai tercemar. Tubuh refleks menerima semua sentuhan pemuda itu yang sangat lihai dan menggoda. Hingga tanpa sadar, aku pun mulai membalasnya.“Tinggal satu Minggu, Lex. Kenapa gak bisa sabar, sih? Makanya gak usah temui aku dulu. Dipingit. Lo tau dipingit, kan? Gak usah ketemu dulu beberapa hari sebelum menikah.”“Ah! Maura gak asik! Kamu takut a
Aku mengernyit heran saat motor Alex berhenti di sebuah butik baju pengantin yang cukup ternama. Siang ini dia sengaja memintaku untuk pulang bersamanya. Dia sampai meyakinkan aku kalau Ridho dan Rani sudah makan siang. Bukannya langsung ke rumah, sekarang justru singgah ke tempat yang memajang beberapa gaun pengantin mewah. Dalam tidur pun aku tidak berani memimpikan datang ke tempat ini.“Ngapain kita ke sini?”“Pernikahan kita memang siri, tapi aku mau kamu punya kesan yang indah dengan hari spesial itu. Salah satunya gaun pengantin.” Alex mengatakan itu masih dengan penuh kelembutan.Hadeeeh! Kesambet setan mana, sih, nih orang? Udah gak ada siapa-siapa masih sok mesra. Panggilannya sudah berubah jadi aku kamu.“Lo kesambet setan mana, sih? Badan lo juga gak anget.” Aku menempelkan punggung tangan di kening Alex. Pemuda rese itu justru menarik jemariku lalu mengecupnya lembut.“Jijik benget, sih!” cibirku sambil memukul lengannya.
“Mau mahar apa?” bisik seseorang tiba-tiba.Deg!Aku yang sedang fokus membaca latihan soal ujian, sontak terlonjak. Seorang pemuda dengan santainya sudah berdiri di belakangku.Ish! Alex rese! Sudah berapa kali aku bilang jangan membahas pernikahan di sekolah?Aku melirik ke tangannya. Syukurlah! Pemuda ini tidak membawa makanan cepat saji seperti kemarin-kemarin. Dalam seminggu ini dia membuktikan ucapannya tempo hari, membawakan makanan dari brand terkenal yang berasal dari negeri Sakura.“Lo mau mahar apa, Ra?” tanyanya lagi karena belum juga mendapatkan jawaban.“Gue udah pernah bilang, kan, jangan ngomong masalah itu di sini!” seruku tajam sambil melayangkan pukulan di bahu Alex.“Mumpung inget, kalau nanti-nanti bakallbakal ” Alex menjatuhkan pantatnya tepat di sebelahku.“Iih, sana lagi ngapa, sih? Seneng banget gangguin gue!&rdquo
Aku mengerjap, mencoba mencerna ucapan Alex.Pengen gue? Maksudnya apa?Namun, belum juga aku memahami kata-katanya, dia kembali merapatkan bibir kami. Ciumannya makin intens. Kasar. Dan menuntut. Membuat seluruh tubuhku merinding.Bangun Maura! Kenapa kamu diam saja menerima perlakuan Alex? Dia akan makin berani jika kamu tidak melawan.Seperti tahu kegelisahanku, Alex menyudahi ciumannya. Pemuda itu menatapku dengan intens. Namun, kurasakan sesuatu yang menggelitik di bagian perut. Tangan Alex mulai berani membelai perutku dari balik baju. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyelimuti seluruh tubuh.Astaga! Kenapa aku jadi begini?Tubuhku panas. Apalagi Alex kembali merapatkan bibir kami dengan penuh nafsu. Tak berhenti di situ, dia pun mulai meraba punggung. Memberikan sentuhan halus di sana. Memainkan jemarinya dengan lihai dan berhenti di pengait .... Sial! Jangan bilang maksudnya tadi
“Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.“Ck, gak gue itung utang, Ra?
“Gue belum bilang setuju, ya, Lex! Jangan seenaknya memutuskan.” Aku menatap tajam pemuda di hadapanku.Aku memang berutang banyak padanya, tapi bukan berarti dia bisa mengendalikan hidupku seenaknya.“Kali ini posisi lo hanya bisa menurut, Ra? Jangan buat semuanya jadi sulit. Gue gak mau menggunakan cara kasar.” Alex berbicara santai. Dia bahkan sempat-sempatnya membereskan bekas makan kami.“Lo bener-bener brengsek!” umpatku sambil menghentakkan kaki.“Mulut lo, Ra! Sejak kapan kata-kata lo jadi kasar begini?” Alex menatapku tajam.“Gue gak mau nikah sama lo. Lo pasti punya rencana macam-macam, kan?”“Mau gue cuma satu macam. Tubuh lo! Lo gak mau ngelakuin itu di luar nikah, kan, makanya gue ajak lo nikah siri.”Aarrrggh.Dada mulai bergemuruh melihat Alex yang terus-menerus bisa mengendalikan keadaan. Haruskah aku menurut begitu saja. Kalau aku membantah, memangnya aku bisa mendapat uang sebanyak itu dari mana.Tuhan. Kirimkan
“Ra, gue mau ngomong, gue tunggu di taman deket kantin.” Suara Alex mengagetkanku yang sedang merapikan buku-buku pelajaran. Belum juga menjawab, pemuda itu sudah melangkah pergi.“Gimana keputusan lo?” Sarah menatapku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Karena sampai detik ini masih belum bisa mengambil keputusan.“Gue ke taman dulu, ya, Alex nungguin.”“Gue ikut, mau ke kantin juga.” Sarah mensejajarkan langkahnya.“Kayaknya tuh cowok ngebet banget sama lo, ya?”Aku mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Sarah. Makin hari, pemuda itu memang makin menunjukkan kedekatannya denganku.“Anak tajir, lo tau sendiri gimana gayanya mereka.”“Kalau gue jadi lo, gue manfaatin tuh cowok. Biar aja dia bayar keperluan kita. Mereka bakal lakuin apa aja buat cewek yang dicinta.”Aku mencibir mendengar omongan sahabatku ini. &ldqu
“Gue tadi nungguin lo sampe setengah jam, karena takut kelamaan gue milih pulang sama Pak Damar.”“Tapi faktanya gue nyampe lebih dulu.”“Tadi gue ngerasa pusing, makanya Pak Damar berhenti dulu beliin gue obat, nih kalau lo gak percaya.” Aku merogoh kantong pemberian Pak Damar dan mencari benda yang kumaksud.“Gue gak peduli lo mau ngeluyur dulu atau langsung pulang, cuma gue merasa bodoh aja. Pulang ngebut karena kepikiran adik-adik lo yang nungguin kakaknya pulang bawa makanan. Sementara kakaknya—”Aku menunduk dalam. Entah mengapa merasa sangat bersalah. Aku tidak suka jika Alex berpikiran kalau aku tadi bersenang-senang dengan Pak Damar.“Duduk sini! Gue lapar. Mau sampe kapan lo berdiri di situ?”Aku mengerjap, cepat-cepat menaruh kantong plastik dan duduk dekat Alex. Kuambil piring yang bersih di meja lantas mengambil sebungkus nasi, membukanya dan memberikannya pada Alex.“Seb
Aku melirik jam tangan yang terlihat usang, sudah hampir tiga puluh menit tapi Alex belum juga muncul.“Ish. Alex ngeselin banget, tadi bilangnya cuma nunggu sebentar. Kan, aku udah bilang kalau adik-adikku nunggu buat makan siang.” Aku menggerutu sambil menghentak-hentakkan kaki.Sebelum pulang, aku akan mampir dulu ke warung mengambil dua nasi bungkus untuk adikku. Dulu, sebelum mulai pekerjaan di tempat Bu Jamilah, beliau menyuruhku makan terlebih dahulu. Namun, karena Rani dan Ridho juga belum makan siang, aku selalu membungkus nasi tersebut untuk diberikan pada kedua adikku.Mengetahui hal tersebut, pemilik warung tempatku bekerja berbaik hati memberikan dua nasi bungkus untuk adikku. Aku sudah menolak, karena sudah diberi upah bulanan. Namun, wanita baik itu bersikeras agar aku menerimanya. Semenjak itu, setiap pulang sekolah aku mampir terlebih dulu untuk mengambil nasi bungkus tersebut.Itu sebabnya aku merasa sungk