Beranda / Romansa / Terjebak Utang Rentenir / Bab 5 Jatuh Setelah Melayang

Share

Bab 5 Jatuh Setelah Melayang

Penulis: aicha aisah
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-07 22:53:38

Aku melirik jam tangan yang terlihat usang, sudah hampir tiga puluh menit tapi Alex belum juga muncul.

“Ish. Alex ngeselin banget, tadi bilangnya cuma nunggu sebentar. Kan, aku udah bilang kalau adik-adikku nunggu buat makan siang.” Aku menggerutu sambil menghentak-hentakkan kaki.

 Sebelum pulang, aku akan mampir dulu ke warung mengambil dua nasi bungkus untuk adikku. Dulu, sebelum mulai pekerjaan di tempat Bu Jamilah, beliau menyuruhku makan terlebih dahulu. Namun, karena Rani dan Ridho juga belum makan siang, aku selalu membungkus nasi tersebut untuk diberikan pada kedua adikku.

Mengetahui hal tersebut, pemilik warung tempatku bekerja berbaik hati memberikan dua nasi bungkus untuk adikku. Aku sudah menolak, karena sudah diberi upah bulanan. Namun, wanita baik itu bersikeras agar aku menerimanya. Semenjak itu, setiap pulang sekolah aku mampir terlebih dulu untuk mengambil nasi bungkus tersebut.

Itu sebabnya aku merasa sungkan beberapa hari ini sering telat datang ke warung. Bu Jamilah sudah sangat baik. Tidak sepatutnya aku bersantai-santai seperti sekarang.

Huft.

Aku mengibas-ngibaskan tangan untuk mengurangi rasa gerah. Matahari bersinar terik, ditambah tidak ada pepohonan dekat gerbang membuatku sukses terpanggang di sini. Kelakuan Alex makin menambah hawa panas.

Ya Tuhan, harusnya aku tidak perlu menunggunya. Akan memakan waktu lebih lama jika aku menghampiri Alex di lapangan indor. Karena letaknya paling ujung sekolah ini.

“Maura, belum pulang?” Aku tersentak saat sebuah suara menegur.

Pak Damar. Pria tersebut tersenyum semringah di atas motornya.

“Dari tadi gak kebagian angkutan, Pak,” jawabku berbohong. Malu kalau harus jujur sedang menunggu Alex.

“Ya udah, pulang bareng, yuk! Nanti kamu telat kerja loh.”

Aku melirik arloji, lalu melihat ke dalam sekolah dan tidak ada tanda-tanda Alex muncul.

“Ya udah, Pak. Saya ikut.”

Pak Damar makin semringah dan memberikan helm yang tergantung di belakang jok. Heran, beliau selalu berangkat sendiri tapi benda satu itu selalu tergantung di sana. Mungkin beliau berjaga-jaga jika bertemu seseorang yang dikenal dan butuh tumpangan. Seperti aku.

“Dah, Pak,” ujarku setelah duduk menyamping di jok belakang.

“Coba dari tadi saya keluar, ya, jadi kita bisa mampir makan bakso dulu.” Suara Pak Damar berlomba dengan bising kendaraan lainnya.

“Jangan sering-sering traktir saya, Pak. Nanti saya banyak utang Budi.”

“Hahahaha, kamu tuh lucu, ya. Masa traktir bakso aja jadi utang budi.” Pak Damar menggeleng pelan.

Kenapa pria ini terlihat santai saat berinteraksi denganku? Apa beliau tidak malu berboncengan dengan gadis sepertiku. Pak Damar adalah sosok mencolok. Meskipun seorang guru, tapi penampilannya sangat wow. Terlihat jelas dari semua barang yang dikenakannya. Baju, sepatu, tas, serta jam tangan mahal yang melingkar dipergelangan tangannya. Semua barang branded. Dengar-dengar orang tuanya seorang pengusaha travel yang sukses.

“Ra, kok, diem aja?” Pak Damar menatap lewat kaca spion.

“Hehehe, gak apa-apa, Pak. Mungkin karena tadi kepanasan jadi pusing.”

Tiba-tiba Pak Damar menepikan sepeda motornya ke bahu jalan dan berhenti.

“Kamu pasti dehidrasi, Ra. Tunggu bentar saya belikan minuman dulu.”

Aku langsung turun dari motor dan menatap tak percaya pada sosok yang kini berlari ke sebuah toko kelontong. Dari nada bicaranya tadi, terdengar jelas kalau Pak Damar sangat khawatir. Selama beberapa menit, aku hanya diam menunggu.

Dasar bodoh! Kenapa tadi bilang pusing. Sekarang makin ngerepotin Pak Damar, kan?

Aku memukul-mukul kepalaku sendiri.

“Ya ampun, Ra. Jangan dipukul-pukul kepalanya! Memang pusing banget, ya?” Pak Damar terburu-buru mencantolkan kantong yang dibawanya ke motor. Tangannya langsung menangkap pergelangan tanganku yang tadi sempat memukul kepala.

Badan seketika benar-benar meriang karena efek sentuhan pria di depanku ini. Dengan gerakan lembut Pak Damar mengusap peluh yang ada di wajahku.

“Kamu duduk dulu,” ujarnya lagi sambil membantuku duduk di jok. Tangannya kemudian mengambil air mineral yang tadi baru dibelinya. “Minum dulu,” ujarnya lagi sambil memberikan botol yang sudah dibuka.

Ragu-ragu aku menerimanya dan langsung menenggaknya separuh.

Nyesss.

Tenggorokan langsung terasa adem. Namun, pipiku mulai menghangat karena pandangan Pak Damar tidak lepas dariku.

“Makasih, Pak.”

“Siang tadi kamu gak jajan, ya? Sampai bisa pusing begini.”

“Pusing dikit aja, kok, Pak. Ini aja udah ilang.” Aku tersenyum kikuk.

Tak berhenti di situ, guruku ini ternyata juga membelikan roti. Beliau sendiri yang membukakan bungkusnya, baru diberikan padaku.

“Kamu makan sambil kita jalan, ya. Biar perut kamu keisi dan gak tambah pusing. Saya jalan pelan-pelan, kok.”

Lagi, aku hanya bisa tersenyum kikuk. Jantungku sudah mau melompat karena senang dengan semua perlakuan Pak Damar.

Duuuh!

Sebenarnya pria ini menganggap aku siapa? Kenapa sikapnya selalu perhatian seperti ini?

Sepanjang sisa perjalanan Pak Damar terus melirik lewat kaca spion. Beliau sesekali menanyakan apa aku masih pusing atau tidak. Bahkan pria ini menawarkan untuk singgah di klinik. Perhatiannya ini makin membuatku sungkan.

Besok-besok sepertinya aku harus menolak jika diajak pulang bersama. Takut jika jantungku benar-benar lepas dari tempatnya. Aku memegangi dada. Debarannya benar-benar menggila. Lebih kencang dari yang sudah-sudah jika berdua dengan Pak Damar. Untung saja suaranya tidak sampai terdengar oleh pria di depanku ini.

Dasar konyol. Jika terus-terusan begini aku bisa mati muda.

Aku tersenyum lega saat sudah sampai depan rumah. Kemarin aku sangat menikmati kedekatan kami. Namun, kali ini getaran di dalam sini justru menyiksa. Aku tidak sanggup menerima perhatian yang bertubi-tubi dari pujaan hatiku ini.

“Buat camilan biar perut kamu gak kosong, ada obat pusing juga. Sebaiknya hari ini kamu ijin gak kerja.”

Aku menerima kantong yang terisi penuh. Entah apa saja yang tadi dibeli Pak Damar. Tubuhku membeku saat tiba-tiba beliau membuka helmku.

“Jaga kesehatan, saya pulang dulu.” Pak Damar tersenyum lembut dan langsung menaiki motornya.

“Sekali lagi makasih banyak, Pak.” Aku membungkukkan badan dan dibalas dengan anggukan kecil Pak Damar.

“Assalamu’alaikum,” ucapnya sebelum akhirnya melajukan motor.

“Wa’alaikumsalam.”

 Ya Tuhan, mimpi apa aku semalam? Sampai-sampai hari ini harus mendapatkan perhatian khusus dari Pak Damar.

Aku menepuk pipi sambil terus tersenyum. Tubuh tersentak saat mendapati kedua adikku sudah berdiri di belakang. Mereka sampai menatap heran.

“Teteh? Ada apa? Senyum-senyum sendiri, tadi kabogoh Teteh, ya?” tanya Rani dengan tatapan ingin tahu.

“Eh eh, apa itu kabogoh-kabogoh?” Aku mencubit gemas pipi Rani. Gadis cilik itu tertawa lepas. Cepat-cepat aku menggiring mereka masuk sambil terus mengulum senyum.

Barus saja sampai pintu, senyumku sirna seketika. Aku dikejutkan dengan sosok yang kini duduk di ruang tamu. Mata elangnya menatap tajam dengan mulut mengatup rapat.

“Kak Alex nungguin dari tadi, Teh. Beliau sampai nahan lapar biar bisa makan bareng sama Teteh,” ujar Ridho penuh semangat.

Jantung berdebar kencang melihat dua bungkus nasi yang masih utuh. Sementara di sebelahnya, ada sampah bungkus nasi dan juga teh kemasan. Pasti itu bekas makan Ridho dan Rani.

Debaran jantungku makin tidak terkendali. Namun, kali ini jauh berbeda dengan debaran saat berdua dengan Pak Damar.

Ya Tuhan. 

Mati aku.

Bersambung

Bab terkait

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 6 Tak Bisa Menolak

    “Gue tadi nungguin lo sampe setengah jam, karena takut kelamaan gue milih pulang sama Pak Damar.”“Tapi faktanya gue nyampe lebih dulu.”“Tadi gue ngerasa pusing, makanya Pak Damar berhenti dulu beliin gue obat, nih kalau lo gak percaya.” Aku merogoh kantong pemberian Pak Damar dan mencari benda yang kumaksud.“Gue gak peduli lo mau ngeluyur dulu atau langsung pulang, cuma gue merasa bodoh aja. Pulang ngebut karena kepikiran adik-adik lo yang nungguin kakaknya pulang bawa makanan. Sementara kakaknya—”Aku menunduk dalam. Entah mengapa merasa sangat bersalah. Aku tidak suka jika Alex berpikiran kalau aku tadi bersenang-senang dengan Pak Damar.“Duduk sini! Gue lapar. Mau sampe kapan lo berdiri di situ?”Aku mengerjap, cepat-cepat menaruh kantong plastik dan duduk dekat Alex. Kuambil piring yang bersih di meja lantas mengambil sebungkus nasi, membukanya dan memberikannya pada Alex.“Seb

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-14
  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 7 Rencana

    “Ra, gue mau ngomong, gue tunggu di taman deket kantin.” Suara Alex mengagetkanku yang sedang merapikan buku-buku pelajaran. Belum juga menjawab, pemuda itu sudah melangkah pergi.“Gimana keputusan lo?” Sarah menatapku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Karena sampai detik ini masih belum bisa mengambil keputusan.“Gue ke taman dulu, ya, Alex nungguin.”“Gue ikut, mau ke kantin juga.” Sarah mensejajarkan langkahnya.“Kayaknya tuh cowok ngebet banget sama lo, ya?”Aku mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Sarah. Makin hari, pemuda itu memang makin menunjukkan kedekatannya denganku.“Anak tajir, lo tau sendiri gimana gayanya mereka.”“Kalau gue jadi lo, gue manfaatin tuh cowok. Biar aja dia bayar keperluan kita. Mereka bakal lakuin apa aja buat cewek yang dicinta.”Aku mencibir mendengar omongan sahabatku ini. &ldqu

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-18
  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 8 Kesepakatan

    “Gue belum bilang setuju, ya, Lex! Jangan seenaknya memutuskan.” Aku menatap tajam pemuda di hadapanku.Aku memang berutang banyak padanya, tapi bukan berarti dia bisa mengendalikan hidupku seenaknya.“Kali ini posisi lo hanya bisa menurut, Ra? Jangan buat semuanya jadi sulit. Gue gak mau menggunakan cara kasar.” Alex berbicara santai. Dia bahkan sempat-sempatnya membereskan bekas makan kami.“Lo bener-bener brengsek!” umpatku sambil menghentakkan kaki.“Mulut lo, Ra! Sejak kapan kata-kata lo jadi kasar begini?” Alex menatapku tajam.“Gue gak mau nikah sama lo. Lo pasti punya rencana macam-macam, kan?”“Mau gue cuma satu macam. Tubuh lo! Lo gak mau ngelakuin itu di luar nikah, kan, makanya gue ajak lo nikah siri.”Aarrrggh.Dada mulai bergemuruh melihat Alex yang terus-menerus bisa mengendalikan keadaan. Haruskah aku menurut begitu saja. Kalau aku membantah, memangnya aku bisa mendapat uang sebanyak itu dari mana.Tuhan. Kirimkan

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-03
  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 9 Sentuhan Memabukkan

    “Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.“Ck, gak gue itung utang, Ra?

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-04
  • Terjebak Utang Rentenir   10. Dag Dig Dug

    Aku mengerjap, mencoba mencerna ucapan Alex.Pengen gue? Maksudnya apa?Namun, belum juga aku memahami kata-katanya, dia kembali merapatkan bibir kami. Ciumannya makin intens. Kasar. Dan menuntut. Membuat seluruh tubuhku merinding.Bangun Maura! Kenapa kamu diam saja menerima perlakuan Alex? Dia akan makin berani jika kamu tidak melawan.Seperti tahu kegelisahanku, Alex menyudahi ciumannya. Pemuda itu menatapku dengan intens. Namun, kurasakan sesuatu yang menggelitik di bagian perut. Tangan Alex mulai berani membelai perutku dari balik baju. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyelimuti seluruh tubuh.Astaga! Kenapa aku jadi begini?Tubuhku panas. Apalagi Alex kembali merapatkan bibir kami dengan penuh nafsu. Tak berhenti di situ, dia pun mulai meraba punggung. Memberikan sentuhan halus di sana. Memainkan jemarinya dengan lihai dan berhenti di pengait .... Sial! Jangan bilang maksudnya tadi

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-13
  • Terjebak Utang Rentenir   11 Kamu Mau Mahar Apa?

    “Mau mahar apa?” bisik seseorang tiba-tiba.Deg!Aku yang sedang fokus membaca latihan soal ujian, sontak terlonjak. Seorang pemuda dengan santainya sudah berdiri di belakangku.Ish! Alex rese! Sudah berapa kali aku bilang jangan membahas pernikahan di sekolah?Aku melirik ke tangannya. Syukurlah! Pemuda ini tidak membawa makanan cepat saji seperti kemarin-kemarin. Dalam seminggu ini dia membuktikan ucapannya tempo hari, membawakan makanan dari brand terkenal yang berasal dari negeri Sakura.“Lo mau mahar apa, Ra?” tanyanya lagi karena belum juga mendapatkan jawaban.“Gue udah pernah bilang, kan, jangan ngomong masalah itu di sini!” seruku tajam sambil melayangkan pukulan di bahu Alex.“Mumpung inget, kalau nanti-nanti bakallbakal ” Alex menjatuhkan pantatnya tepat di sebelahku.“Iih, sana lagi ngapa, sih? Seneng banget gangguin gue!&rdquo

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-15
  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 12 Kebaya Pengantin

    Aku mengernyit heran saat motor Alex berhenti di sebuah butik baju pengantin yang cukup ternama. Siang ini dia sengaja memintaku untuk pulang bersamanya. Dia sampai meyakinkan aku kalau Ridho dan Rani sudah makan siang. Bukannya langsung ke rumah, sekarang justru singgah ke tempat yang memajang beberapa gaun pengantin mewah. Dalam tidur pun aku tidak berani memimpikan datang ke tempat ini.“Ngapain kita ke sini?”“Pernikahan kita memang siri, tapi aku mau kamu punya kesan yang indah dengan hari spesial itu. Salah satunya gaun pengantin.” Alex mengatakan itu masih dengan penuh kelembutan.Hadeeeh! Kesambet setan mana, sih, nih orang? Udah gak ada siapa-siapa masih sok mesra. Panggilannya sudah berubah jadi aku kamu.“Lo kesambet setan mana, sih? Badan lo juga gak anget.” Aku menempelkan punggung tangan di kening Alex. Pemuda rese itu justru menarik jemariku lalu mengecupnya lembut.“Jijik benget, sih!” cibirku sambil memukul lengannya.

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-21
  • Terjebak Utang Rentenir   13 Pertengkaran

    “Stop!” Kudorong kuat pemuda yang tengah memelukku, “gue gak mau, Lex. Jangan bikin gue berubah pikiran! Lo gak bisa, ya, sedikit aja ngehargain gue?”Alex menyeringai lebar.“Tadi kamu ngedesah lho, Ra! Kamu juga pengen lebih dari tadi, kan? Kenapa malu?”Ck, kenapa pemuda ini tidak paham juga. Kalau aku tidak memberikan mahkota yang satu itu selain untuk suamiku.Aku memang menikmati keintiman tadi, tapi bukan berarti harus berlanjut dan menyerahkan semuanya. Jujur, terlalu sering didekati Alex, membuat pikiranku mulai tercemar. Tubuh refleks menerima semua sentuhan pemuda itu yang sangat lihai dan menggoda. Hingga tanpa sadar, aku pun mulai membalasnya.“Tinggal satu Minggu, Lex. Kenapa gak bisa sabar, sih? Makanya gak usah temui aku dulu. Dipingit. Lo tau dipingit, kan? Gak usah ketemu dulu beberapa hari sebelum menikah.”“Ah! Maura gak asik! Kamu takut a

    Terakhir Diperbarui : 2021-05-28

Bab terbaru

  • Terjebak Utang Rentenir   13 Pertengkaran

    “Stop!” Kudorong kuat pemuda yang tengah memelukku, “gue gak mau, Lex. Jangan bikin gue berubah pikiran! Lo gak bisa, ya, sedikit aja ngehargain gue?”Alex menyeringai lebar.“Tadi kamu ngedesah lho, Ra! Kamu juga pengen lebih dari tadi, kan? Kenapa malu?”Ck, kenapa pemuda ini tidak paham juga. Kalau aku tidak memberikan mahkota yang satu itu selain untuk suamiku.Aku memang menikmati keintiman tadi, tapi bukan berarti harus berlanjut dan menyerahkan semuanya. Jujur, terlalu sering didekati Alex, membuat pikiranku mulai tercemar. Tubuh refleks menerima semua sentuhan pemuda itu yang sangat lihai dan menggoda. Hingga tanpa sadar, aku pun mulai membalasnya.“Tinggal satu Minggu, Lex. Kenapa gak bisa sabar, sih? Makanya gak usah temui aku dulu. Dipingit. Lo tau dipingit, kan? Gak usah ketemu dulu beberapa hari sebelum menikah.”“Ah! Maura gak asik! Kamu takut a

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 12 Kebaya Pengantin

    Aku mengernyit heran saat motor Alex berhenti di sebuah butik baju pengantin yang cukup ternama. Siang ini dia sengaja memintaku untuk pulang bersamanya. Dia sampai meyakinkan aku kalau Ridho dan Rani sudah makan siang. Bukannya langsung ke rumah, sekarang justru singgah ke tempat yang memajang beberapa gaun pengantin mewah. Dalam tidur pun aku tidak berani memimpikan datang ke tempat ini.“Ngapain kita ke sini?”“Pernikahan kita memang siri, tapi aku mau kamu punya kesan yang indah dengan hari spesial itu. Salah satunya gaun pengantin.” Alex mengatakan itu masih dengan penuh kelembutan.Hadeeeh! Kesambet setan mana, sih, nih orang? Udah gak ada siapa-siapa masih sok mesra. Panggilannya sudah berubah jadi aku kamu.“Lo kesambet setan mana, sih? Badan lo juga gak anget.” Aku menempelkan punggung tangan di kening Alex. Pemuda rese itu justru menarik jemariku lalu mengecupnya lembut.“Jijik benget, sih!” cibirku sambil memukul lengannya.

  • Terjebak Utang Rentenir   11 Kamu Mau Mahar Apa?

    “Mau mahar apa?” bisik seseorang tiba-tiba.Deg!Aku yang sedang fokus membaca latihan soal ujian, sontak terlonjak. Seorang pemuda dengan santainya sudah berdiri di belakangku.Ish! Alex rese! Sudah berapa kali aku bilang jangan membahas pernikahan di sekolah?Aku melirik ke tangannya. Syukurlah! Pemuda ini tidak membawa makanan cepat saji seperti kemarin-kemarin. Dalam seminggu ini dia membuktikan ucapannya tempo hari, membawakan makanan dari brand terkenal yang berasal dari negeri Sakura.“Lo mau mahar apa, Ra?” tanyanya lagi karena belum juga mendapatkan jawaban.“Gue udah pernah bilang, kan, jangan ngomong masalah itu di sini!” seruku tajam sambil melayangkan pukulan di bahu Alex.“Mumpung inget, kalau nanti-nanti bakallbakal ” Alex menjatuhkan pantatnya tepat di sebelahku.“Iih, sana lagi ngapa, sih? Seneng banget gangguin gue!&rdquo

  • Terjebak Utang Rentenir   10. Dag Dig Dug

    Aku mengerjap, mencoba mencerna ucapan Alex.Pengen gue? Maksudnya apa?Namun, belum juga aku memahami kata-katanya, dia kembali merapatkan bibir kami. Ciumannya makin intens. Kasar. Dan menuntut. Membuat seluruh tubuhku merinding.Bangun Maura! Kenapa kamu diam saja menerima perlakuan Alex? Dia akan makin berani jika kamu tidak melawan.Seperti tahu kegelisahanku, Alex menyudahi ciumannya. Pemuda itu menatapku dengan intens. Namun, kurasakan sesuatu yang menggelitik di bagian perut. Tangan Alex mulai berani membelai perutku dari balik baju. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyelimuti seluruh tubuh.Astaga! Kenapa aku jadi begini?Tubuhku panas. Apalagi Alex kembali merapatkan bibir kami dengan penuh nafsu. Tak berhenti di situ, dia pun mulai meraba punggung. Memberikan sentuhan halus di sana. Memainkan jemarinya dengan lihai dan berhenti di pengait .... Sial! Jangan bilang maksudnya tadi

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 9 Sentuhan Memabukkan

    “Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.“Ck, gak gue itung utang, Ra?

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 8 Kesepakatan

    “Gue belum bilang setuju, ya, Lex! Jangan seenaknya memutuskan.” Aku menatap tajam pemuda di hadapanku.Aku memang berutang banyak padanya, tapi bukan berarti dia bisa mengendalikan hidupku seenaknya.“Kali ini posisi lo hanya bisa menurut, Ra? Jangan buat semuanya jadi sulit. Gue gak mau menggunakan cara kasar.” Alex berbicara santai. Dia bahkan sempat-sempatnya membereskan bekas makan kami.“Lo bener-bener brengsek!” umpatku sambil menghentakkan kaki.“Mulut lo, Ra! Sejak kapan kata-kata lo jadi kasar begini?” Alex menatapku tajam.“Gue gak mau nikah sama lo. Lo pasti punya rencana macam-macam, kan?”“Mau gue cuma satu macam. Tubuh lo! Lo gak mau ngelakuin itu di luar nikah, kan, makanya gue ajak lo nikah siri.”Aarrrggh.Dada mulai bergemuruh melihat Alex yang terus-menerus bisa mengendalikan keadaan. Haruskah aku menurut begitu saja. Kalau aku membantah, memangnya aku bisa mendapat uang sebanyak itu dari mana.Tuhan. Kirimkan

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 7 Rencana

    “Ra, gue mau ngomong, gue tunggu di taman deket kantin.” Suara Alex mengagetkanku yang sedang merapikan buku-buku pelajaran. Belum juga menjawab, pemuda itu sudah melangkah pergi.“Gimana keputusan lo?” Sarah menatapku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Karena sampai detik ini masih belum bisa mengambil keputusan.“Gue ke taman dulu, ya, Alex nungguin.”“Gue ikut, mau ke kantin juga.” Sarah mensejajarkan langkahnya.“Kayaknya tuh cowok ngebet banget sama lo, ya?”Aku mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Sarah. Makin hari, pemuda itu memang makin menunjukkan kedekatannya denganku.“Anak tajir, lo tau sendiri gimana gayanya mereka.”“Kalau gue jadi lo, gue manfaatin tuh cowok. Biar aja dia bayar keperluan kita. Mereka bakal lakuin apa aja buat cewek yang dicinta.”Aku mencibir mendengar omongan sahabatku ini. &ldqu

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 6 Tak Bisa Menolak

    “Gue tadi nungguin lo sampe setengah jam, karena takut kelamaan gue milih pulang sama Pak Damar.”“Tapi faktanya gue nyampe lebih dulu.”“Tadi gue ngerasa pusing, makanya Pak Damar berhenti dulu beliin gue obat, nih kalau lo gak percaya.” Aku merogoh kantong pemberian Pak Damar dan mencari benda yang kumaksud.“Gue gak peduli lo mau ngeluyur dulu atau langsung pulang, cuma gue merasa bodoh aja. Pulang ngebut karena kepikiran adik-adik lo yang nungguin kakaknya pulang bawa makanan. Sementara kakaknya—”Aku menunduk dalam. Entah mengapa merasa sangat bersalah. Aku tidak suka jika Alex berpikiran kalau aku tadi bersenang-senang dengan Pak Damar.“Duduk sini! Gue lapar. Mau sampe kapan lo berdiri di situ?”Aku mengerjap, cepat-cepat menaruh kantong plastik dan duduk dekat Alex. Kuambil piring yang bersih di meja lantas mengambil sebungkus nasi, membukanya dan memberikannya pada Alex.“Seb

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 5 Jatuh Setelah Melayang

    Aku melirik jam tangan yang terlihat usang, sudah hampir tiga puluh menit tapi Alex belum juga muncul.“Ish. Alex ngeselin banget, tadi bilangnya cuma nunggu sebentar. Kan, aku udah bilang kalau adik-adikku nunggu buat makan siang.” Aku menggerutu sambil menghentak-hentakkan kaki.Sebelum pulang, aku akan mampir dulu ke warung mengambil dua nasi bungkus untuk adikku. Dulu, sebelum mulai pekerjaan di tempat Bu Jamilah, beliau menyuruhku makan terlebih dahulu. Namun, karena Rani dan Ridho juga belum makan siang, aku selalu membungkus nasi tersebut untuk diberikan pada kedua adikku.Mengetahui hal tersebut, pemilik warung tempatku bekerja berbaik hati memberikan dua nasi bungkus untuk adikku. Aku sudah menolak, karena sudah diberi upah bulanan. Namun, wanita baik itu bersikeras agar aku menerimanya. Semenjak itu, setiap pulang sekolah aku mampir terlebih dulu untuk mengambil nasi bungkus tersebut.Itu sebabnya aku merasa sungk

DMCA.com Protection Status