“Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.
“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.
Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.
“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”
Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?
“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”
Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.
“Ck, gak gue itung utang, Ra? Takut banget!”
“Tapi tetep aja jadi utang budi!” gerutuku kemudian.
Setelah lima belas menit pesanan selesai. Kami segera meluncur membelah jalanan Kota Hujan yang masih ramai. Sampai di rumah, rupanya Rani dan Ridho belum tidur.
“Ajak adek-adek lo makan duluan. Sisakan seporsi aja buat gue. Gue mau ke depan dulu.” Alex menyerahkan bungkusan berisi sate tadi. Belum juga menjawab pertanyaan, pemuda itu sudah melajukan motornya.
Huft. Dasar bossy!
Aku menoleh ke belakang, Rani dan Ridho berdiri di ambang pintu. “Lihat teteh bawa apa!” seruku sambil mengacungkan bungkusan berisi sate.
“Asyik!” teriak Kedua adikku berbarengan. Mereka segera mencium aroma dari bungkusan tersebut. “Waaah, sateeee!” teriak Rani dan Ridho berbarengan.
“A’ Alex pacar Teteh, ya? Baik banget,” tanya Ridho di sela-sela makannya.
Aku tersenyum tipis mendengar pertanyaan polos Ridho. “Bukan Idho, ‘A Alex cuma temen.”
Kedua adikku tampak lahap menikmati makanan berbahan daging tersebut. Bisa dibilang kami tidak pernah memakan makanan ini. Kalau pun pernah, itu sudah lama sekali.
Aku membiarkan Rani dan Ridho memakan empat porsi sate. Meskipun akhirnya mereka hanya menghabiskan tiga porsi saja. Tersisa tiga porsi lagi. Aku menunggu agar bisa makan bersama-sama dengan Alex. Entah ke mana dulu dia. Sudah setengah jam belum juga muncul.
“Teh, Rani tidur dulu, ya?”
“Idho juga, Teh.”
Aku mengangguk. Tak lama terdengar motor berhenti di depan rumah. Gegas aku keluar. Mulut spontan melongo melihat tumpukan belanjaan yang terikat di jok belakang kendaraan roda dua milik Alex. Pemuda itu dengan kesusahan memanggul sekarung beras dan meletakkannya di ruang tamu.
“Bawa masuk yang lain, Ra!” perintahnya pelan. Segera aku mengangkat satu piring telur dan satu kardus mie instan. Di kardus lainnya masih ada minyak, gula, susu, sarden dan tepung terigu.
“Lex, ini terlalu banyak.” Jujur aku sungkan dengan sikap baik yang ditunjukkan Alex. Ini terlalu berlebihan.
“Ck, gak boleh ngeluh kalau dapat rezeki.”
“Abis lo suka modus. Gue gak mau makin terikat sama lo.”
“Nyatanya lo emang gak bisa lepas dari gue, kan? Jadi nikmati aja. Ini lo udah makan?” Alex melirik pada bungkusan yang masih tersisa di meja.
Aku menggeleng pelan. Pemuda itu langsung menarikku agar duduk di sampingnya. Kami pun makan dalam diam. Aku sesekali memperhatikan Alex yang makan dengan lahapnya. Sampai-sampai bumbu satenya belepotan di dekat pipi.
“Pelan-pelan, Lex. Ngalah-ngalahin Idho aja sampe belepotan gini.” Aku mengusap pipinya dengan lembut. Alex tertegun, lalu menyunggingkan senyum tipis dan menggenggam jemariku.
Eh! Kok, aku jadi manis begini?
Cepat-cepat aku menarik tangan. Alex terkekeh geli melihatku yang kini salah tingkah.
“Mulai suka, ya, sama gue?” sindirnya senang. Aku hanya mencibir dan melemparnya dengan tisu.
Aku lebih dulu menghabiskan makanan. Malam sudah makin larut. Aku mencuci muka dan gosok gigi bersiap untuk tidur. Selesai makan Alex harus langsung pulang.
Setelah menghabiskan dua porsi sate, Alex mendekati salah kardus dan mengeluarkan sesuatu. Rupanya sikat dan juga pasta gigi. Aku menggeleng saat pemuda itu nyelonong begitu saja ke dalam. Pasti ke kamar mandi.
Aku makin terheran-heran ketika selesai dari belakang, Alex langsung ke teras dan memasukkan motornya. “Jangan bilang lo mau nginep!” seruku tajam.
Alex mengangkat bahunya dengan cuek.
“Lo mau ngapain, Lex?” tanyaku dengan panik saat pemuda itu memasuki kamarku. Cepat aku menyusulnya lalu berkacak pinggang di depannya.
“Gue ngantuk, Ra. Gak berani bawa motor dalam keadaan kayak gini.” Alex dengan santai mulai berbaring di kasur.
“Gue gak mau cari masalah, Lex. Lo bisa digebuki warga kalau ketahuan tidur di tem–” Badanku terhuyung karena Alex menarikku begitu saja hingga berbaring di sebelahnya. Untung saja posisiku memunggungi pemuda itu. Jadi dia tidak bisa melihat wajahku yang saat ini pasti sudah merona.
“Ssst, nanti adek-adek lo bangun kalau lo berisik.” Tubuhku seketika membeku. Jarak kami sangat dekat. Alex melingkarkan tangannya di perutku. Kurasakan juga dia mencium puncak kepalaku beberapa kali.
“Lex, jangan gini, dong!” cicitku tertahan. Entah kenapa aku tiba-tiba tidak berani berontak. Debaran di dada makin kencang. Apalagi kemudian Alex memutar badanku hingga wajah kami berhadapan.
“Nurut atau gue cium?” Bulu di tubuhku meremang, melihat Alex yang menatapku dengan intens. Jemari pemuda ini dengan berani mulai mengusap lembut bibirku.
“Gue suka bibir lo, Ra!”
Astaga! Perasaan apa ini?
Desiran halus mulai merambat ke seluruh tubuh. Menghadirkan sensasi asing bagiku. Sensasi yang membuatku perlahan mulai memejamkan mata. Menikmati sentuhan lembut jemari Alex di bibirku.
Detik berikutnya, kurasakan sesuatu yang lebih lembut menekan bibirku. Tubuhku menegang. Tangan rasanya hilang tenaga untuk sekedar mendorong pemuda ini menjauh.
Jantungku makin berpatalu-talu. Meskipun ini bukan ciuman Alex yang pertama, tapi rasanya masih sama. Mendebarkan sesuatu di dalam sini.
Otakku berperang. Antara menolak atau membalasnya. Sialnya, reaksi tubuhku menginginkan lebih. Tanganku tanpa bisa dicegah mulai menarik kaus Alex, memintanya agar lebih merapatkan tubuh kami.
Alex begitu hebat dalam hal yang satu ini. Meskipun aku tidak membalasnya, tapi sentuhannya sanggup membuatku melayang.
Duuuh, kenapa aku hanya bisa pasrah dengan semua perlakuannya?
Astaga! Kenapa ini benar-benar nikmat. Ciuman Alex sangat memabukkan.
“Lex,” lirihku di tengah-tengah ciumannya. Pemuda ini hanya bergumam tak jelas, masih sibuk dengan ciuman yang kini sudah beralih ke leherku.
“Stop, Lex!” seruku berusaha menjauhkan wajahnya. Dan berhasil, Alex kini sudah menyingkir dari leherku. Napasku masih memburu, demikian juga dengan Alex. Maniknya kini menyiratkan sesuatu yang aku tidak tahu apa itu.
Tajam. Seperti ingin menerkamku detik ini juga. Hati mencelos saat satu pernyataan keluar dari bibirnya. “Gue pengen lo, Ra, sekarang!”
Bersambung
Aku mengerjap, mencoba mencerna ucapan Alex.Pengen gue? Maksudnya apa?Namun, belum juga aku memahami kata-katanya, dia kembali merapatkan bibir kami. Ciumannya makin intens. Kasar. Dan menuntut. Membuat seluruh tubuhku merinding.Bangun Maura! Kenapa kamu diam saja menerima perlakuan Alex? Dia akan makin berani jika kamu tidak melawan.Seperti tahu kegelisahanku, Alex menyudahi ciumannya. Pemuda itu menatapku dengan intens. Namun, kurasakan sesuatu yang menggelitik di bagian perut. Tangan Alex mulai berani membelai perutku dari balik baju. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyelimuti seluruh tubuh.Astaga! Kenapa aku jadi begini?Tubuhku panas. Apalagi Alex kembali merapatkan bibir kami dengan penuh nafsu. Tak berhenti di situ, dia pun mulai meraba punggung. Memberikan sentuhan halus di sana. Memainkan jemarinya dengan lihai dan berhenti di pengait .... Sial! Jangan bilang maksudnya tadi
“Mau mahar apa?” bisik seseorang tiba-tiba.Deg!Aku yang sedang fokus membaca latihan soal ujian, sontak terlonjak. Seorang pemuda dengan santainya sudah berdiri di belakangku.Ish! Alex rese! Sudah berapa kali aku bilang jangan membahas pernikahan di sekolah?Aku melirik ke tangannya. Syukurlah! Pemuda ini tidak membawa makanan cepat saji seperti kemarin-kemarin. Dalam seminggu ini dia membuktikan ucapannya tempo hari, membawakan makanan dari brand terkenal yang berasal dari negeri Sakura.“Lo mau mahar apa, Ra?” tanyanya lagi karena belum juga mendapatkan jawaban.“Gue udah pernah bilang, kan, jangan ngomong masalah itu di sini!” seruku tajam sambil melayangkan pukulan di bahu Alex.“Mumpung inget, kalau nanti-nanti bakallbakal ” Alex menjatuhkan pantatnya tepat di sebelahku.“Iih, sana lagi ngapa, sih? Seneng banget gangguin gue!&rdquo
Aku mengernyit heran saat motor Alex berhenti di sebuah butik baju pengantin yang cukup ternama. Siang ini dia sengaja memintaku untuk pulang bersamanya. Dia sampai meyakinkan aku kalau Ridho dan Rani sudah makan siang. Bukannya langsung ke rumah, sekarang justru singgah ke tempat yang memajang beberapa gaun pengantin mewah. Dalam tidur pun aku tidak berani memimpikan datang ke tempat ini.“Ngapain kita ke sini?”“Pernikahan kita memang siri, tapi aku mau kamu punya kesan yang indah dengan hari spesial itu. Salah satunya gaun pengantin.” Alex mengatakan itu masih dengan penuh kelembutan.Hadeeeh! Kesambet setan mana, sih, nih orang? Udah gak ada siapa-siapa masih sok mesra. Panggilannya sudah berubah jadi aku kamu.“Lo kesambet setan mana, sih? Badan lo juga gak anget.” Aku menempelkan punggung tangan di kening Alex. Pemuda rese itu justru menarik jemariku lalu mengecupnya lembut.“Jijik benget, sih!” cibirku sambil memukul lengannya.
“Stop!” Kudorong kuat pemuda yang tengah memelukku, “gue gak mau, Lex. Jangan bikin gue berubah pikiran! Lo gak bisa, ya, sedikit aja ngehargain gue?”Alex menyeringai lebar.“Tadi kamu ngedesah lho, Ra! Kamu juga pengen lebih dari tadi, kan? Kenapa malu?”Ck, kenapa pemuda ini tidak paham juga. Kalau aku tidak memberikan mahkota yang satu itu selain untuk suamiku.Aku memang menikmati keintiman tadi, tapi bukan berarti harus berlanjut dan menyerahkan semuanya. Jujur, terlalu sering didekati Alex, membuat pikiranku mulai tercemar. Tubuh refleks menerima semua sentuhan pemuda itu yang sangat lihai dan menggoda. Hingga tanpa sadar, aku pun mulai membalasnya.“Tinggal satu Minggu, Lex. Kenapa gak bisa sabar, sih? Makanya gak usah temui aku dulu. Dipingit. Lo tau dipingit, kan? Gak usah ketemu dulu beberapa hari sebelum menikah.”“Ah! Maura gak asik! Kamu takut a
“Tidur sama gue, utang lo lunas.”Plaak.Satu tamparan kulayangkan pada pemuda jangkung di hadapan. Dia menyeringai, badannya semakin mendekat dan kini sukses mengurungku yang kini terjebak di sudut gudang.Tuhan, harusnya aku curiga saat dia meminta ketemuan di ruangan pengap ini.“Bahkan gue bisa jadi langganan, lo!” bisiknya serak di telinga.Napasku memburu. Dada terasa terbakar dan sesak sekaligus.Brengsek! Alex benar-benar kurang ajar. Aku salah mengira. Kupikir pertolongannya kemarin murni karena empati. Ternyata ada udang di balik batu. Dia sepertinya sudah merencanakan ini.“Ayolah, Ra, gue tau kalau lo tadi sempat tanya-tanya Sarah tentang kerjaan sampingannya.”Dengan berani Alex mulai membelai pipiku. Kedua tangan yang tadi sempat mendorong tubuhnya justru dicekal kuat. Mata sudah panas dan siap meneteskan butiran bening.Tahan, Maura, tahan. Jangan sampai pe
“Kenapa diem, Ra? Nanti keburu dingin kalau makan sambil melamun.”Lagi, pria di depanku tersenyum manis.Duuuh. Gimana bisa makan kalau dia ngeliatin terus seperti itu?“Saya tadi lagi cari bangku yang masih layak pakai di gudang. Eeh, kok, lihat ada yang jongkok. Saya kira siapa, gak tahunya malah kamu. Sebenarnya kamu lagi apa di sana? Tumben-tumbenan. Biasanya gak pernah menunda-nunda pulang.”“Ehm, itu, anu, Pak, sa—saya—” Aku tergagap. Bingung harus menjelaskan apa.“Ya udah kalau kamu gak mau cerita. Cepet makan, kasian adik-adik kamu nungguin.”Gegas aku melahap bakso yang sudah mulai dingin. Pak Damar sampai menggeleng keras melihatku yang makan dengan cepat. Jantung berdetak kencang saat tiba-tiba tangannya mengusap sudut bibirku. “Ada noda saos,” lirihnya dengan kikuk. Cepat-cepat dia menarik tangannya dan berdiri menjauh. Beliau mendekati gerobak dan menyebutkan semua pesanannya tadi.Aaiiih! Apa-apaan sih Pak Damar? Bikin deg-de
“Maaf, gue telat,” bisik Alex dengan lembut sambil membuka ikatan mulut dan juga tanganku. Lalu, pemuda jangkung ini melepaskan hoodie-nya dan memakaikannya di tubuhku.Aku memandangnya lekat-lekat.Ada apa dengannya? Kenapa sikapnya jadi manis begini?“Kenapa lihat-lihat? Udah naksir, ya?” tanya Alex dengan menyeringai.“Apaan!” Aku mendorong tubuh Alex dengan kasar.“Jadi gini tanggapan lo sama orang yang udah nolongin lo dari kebuasan tua bangka tadi.”Alex merengkuh pinggangku dengan kasar.“Lo sama biadabnya dengan Juragan Jaka, jadi buat apa gue bersikap manis.” Aku membalas tatapan Alex dengan sama tajamnya. Pemuda ini tidak bisa diprediksi. Sebentar lembut. Sebentar kasar.“Benar juga, gue memang gak ada bedanya sama rentenir tadi. Sama-sama menginginkan tubuh lo. Sialnya pria
“Gimana? Udah berhasil belum?”Terdengar suara seorang pemuda yang cukup familiar. Aku mengintip di balik tembok belakang gudang. Ada Alex, Rey, Radit dan Dion. Tiga siswa yang satu kelas denganku. Mereka anak-anak orang kaya yang terkenal dengan pergaulan bebasnya.“Gue bilang juga apa? Susah si Maura ini,” ujar Rey sambil mengembuskan asap rokok.Jadi, mereka sedang membicarakanku. Apa ini ada kaitannya dengan sesuatu yang Alex minta kemarin.“Kalau lo gak sanggup, biar gue aja yang maju. Gue juga pengen kali nyicipin perawan.”“Bangsat! Sejak kapan lo ngelanggar kesepakatan geng kita? Gak ada namanya berebut cewek.” Itu suara Alex. Dia sepertinya tidak terima dengan perkataan Radit.“Hahahahaha, Lex Lex! Lo serius amat? Gak kali gue mau rebutan sama Lo. Lagian kan kalian cuma temenan, kalau dia nolak lo, gak apa-apa, kan, gue maju.”“Lo kayak gak tau Alex aja, apa yang dia mau harus didapeti
“Stop!” Kudorong kuat pemuda yang tengah memelukku, “gue gak mau, Lex. Jangan bikin gue berubah pikiran! Lo gak bisa, ya, sedikit aja ngehargain gue?”Alex menyeringai lebar.“Tadi kamu ngedesah lho, Ra! Kamu juga pengen lebih dari tadi, kan? Kenapa malu?”Ck, kenapa pemuda ini tidak paham juga. Kalau aku tidak memberikan mahkota yang satu itu selain untuk suamiku.Aku memang menikmati keintiman tadi, tapi bukan berarti harus berlanjut dan menyerahkan semuanya. Jujur, terlalu sering didekati Alex, membuat pikiranku mulai tercemar. Tubuh refleks menerima semua sentuhan pemuda itu yang sangat lihai dan menggoda. Hingga tanpa sadar, aku pun mulai membalasnya.“Tinggal satu Minggu, Lex. Kenapa gak bisa sabar, sih? Makanya gak usah temui aku dulu. Dipingit. Lo tau dipingit, kan? Gak usah ketemu dulu beberapa hari sebelum menikah.”“Ah! Maura gak asik! Kamu takut a
Aku mengernyit heran saat motor Alex berhenti di sebuah butik baju pengantin yang cukup ternama. Siang ini dia sengaja memintaku untuk pulang bersamanya. Dia sampai meyakinkan aku kalau Ridho dan Rani sudah makan siang. Bukannya langsung ke rumah, sekarang justru singgah ke tempat yang memajang beberapa gaun pengantin mewah. Dalam tidur pun aku tidak berani memimpikan datang ke tempat ini.“Ngapain kita ke sini?”“Pernikahan kita memang siri, tapi aku mau kamu punya kesan yang indah dengan hari spesial itu. Salah satunya gaun pengantin.” Alex mengatakan itu masih dengan penuh kelembutan.Hadeeeh! Kesambet setan mana, sih, nih orang? Udah gak ada siapa-siapa masih sok mesra. Panggilannya sudah berubah jadi aku kamu.“Lo kesambet setan mana, sih? Badan lo juga gak anget.” Aku menempelkan punggung tangan di kening Alex. Pemuda rese itu justru menarik jemariku lalu mengecupnya lembut.“Jijik benget, sih!” cibirku sambil memukul lengannya.
“Mau mahar apa?” bisik seseorang tiba-tiba.Deg!Aku yang sedang fokus membaca latihan soal ujian, sontak terlonjak. Seorang pemuda dengan santainya sudah berdiri di belakangku.Ish! Alex rese! Sudah berapa kali aku bilang jangan membahas pernikahan di sekolah?Aku melirik ke tangannya. Syukurlah! Pemuda ini tidak membawa makanan cepat saji seperti kemarin-kemarin. Dalam seminggu ini dia membuktikan ucapannya tempo hari, membawakan makanan dari brand terkenal yang berasal dari negeri Sakura.“Lo mau mahar apa, Ra?” tanyanya lagi karena belum juga mendapatkan jawaban.“Gue udah pernah bilang, kan, jangan ngomong masalah itu di sini!” seruku tajam sambil melayangkan pukulan di bahu Alex.“Mumpung inget, kalau nanti-nanti bakallbakal ” Alex menjatuhkan pantatnya tepat di sebelahku.“Iih, sana lagi ngapa, sih? Seneng banget gangguin gue!&rdquo
Aku mengerjap, mencoba mencerna ucapan Alex.Pengen gue? Maksudnya apa?Namun, belum juga aku memahami kata-katanya, dia kembali merapatkan bibir kami. Ciumannya makin intens. Kasar. Dan menuntut. Membuat seluruh tubuhku merinding.Bangun Maura! Kenapa kamu diam saja menerima perlakuan Alex? Dia akan makin berani jika kamu tidak melawan.Seperti tahu kegelisahanku, Alex menyudahi ciumannya. Pemuda itu menatapku dengan intens. Namun, kurasakan sesuatu yang menggelitik di bagian perut. Tangan Alex mulai berani membelai perutku dari balik baju. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyelimuti seluruh tubuh.Astaga! Kenapa aku jadi begini?Tubuhku panas. Apalagi Alex kembali merapatkan bibir kami dengan penuh nafsu. Tak berhenti di situ, dia pun mulai meraba punggung. Memberikan sentuhan halus di sana. Memainkan jemarinya dengan lihai dan berhenti di pengait .... Sial! Jangan bilang maksudnya tadi
“Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.“Ck, gak gue itung utang, Ra?
“Gue belum bilang setuju, ya, Lex! Jangan seenaknya memutuskan.” Aku menatap tajam pemuda di hadapanku.Aku memang berutang banyak padanya, tapi bukan berarti dia bisa mengendalikan hidupku seenaknya.“Kali ini posisi lo hanya bisa menurut, Ra? Jangan buat semuanya jadi sulit. Gue gak mau menggunakan cara kasar.” Alex berbicara santai. Dia bahkan sempat-sempatnya membereskan bekas makan kami.“Lo bener-bener brengsek!” umpatku sambil menghentakkan kaki.“Mulut lo, Ra! Sejak kapan kata-kata lo jadi kasar begini?” Alex menatapku tajam.“Gue gak mau nikah sama lo. Lo pasti punya rencana macam-macam, kan?”“Mau gue cuma satu macam. Tubuh lo! Lo gak mau ngelakuin itu di luar nikah, kan, makanya gue ajak lo nikah siri.”Aarrrggh.Dada mulai bergemuruh melihat Alex yang terus-menerus bisa mengendalikan keadaan. Haruskah aku menurut begitu saja. Kalau aku membantah, memangnya aku bisa mendapat uang sebanyak itu dari mana.Tuhan. Kirimkan
“Ra, gue mau ngomong, gue tunggu di taman deket kantin.” Suara Alex mengagetkanku yang sedang merapikan buku-buku pelajaran. Belum juga menjawab, pemuda itu sudah melangkah pergi.“Gimana keputusan lo?” Sarah menatapku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Karena sampai detik ini masih belum bisa mengambil keputusan.“Gue ke taman dulu, ya, Alex nungguin.”“Gue ikut, mau ke kantin juga.” Sarah mensejajarkan langkahnya.“Kayaknya tuh cowok ngebet banget sama lo, ya?”Aku mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Sarah. Makin hari, pemuda itu memang makin menunjukkan kedekatannya denganku.“Anak tajir, lo tau sendiri gimana gayanya mereka.”“Kalau gue jadi lo, gue manfaatin tuh cowok. Biar aja dia bayar keperluan kita. Mereka bakal lakuin apa aja buat cewek yang dicinta.”Aku mencibir mendengar omongan sahabatku ini. &ldqu
“Gue tadi nungguin lo sampe setengah jam, karena takut kelamaan gue milih pulang sama Pak Damar.”“Tapi faktanya gue nyampe lebih dulu.”“Tadi gue ngerasa pusing, makanya Pak Damar berhenti dulu beliin gue obat, nih kalau lo gak percaya.” Aku merogoh kantong pemberian Pak Damar dan mencari benda yang kumaksud.“Gue gak peduli lo mau ngeluyur dulu atau langsung pulang, cuma gue merasa bodoh aja. Pulang ngebut karena kepikiran adik-adik lo yang nungguin kakaknya pulang bawa makanan. Sementara kakaknya—”Aku menunduk dalam. Entah mengapa merasa sangat bersalah. Aku tidak suka jika Alex berpikiran kalau aku tadi bersenang-senang dengan Pak Damar.“Duduk sini! Gue lapar. Mau sampe kapan lo berdiri di situ?”Aku mengerjap, cepat-cepat menaruh kantong plastik dan duduk dekat Alex. Kuambil piring yang bersih di meja lantas mengambil sebungkus nasi, membukanya dan memberikannya pada Alex.“Seb
Aku melirik jam tangan yang terlihat usang, sudah hampir tiga puluh menit tapi Alex belum juga muncul.“Ish. Alex ngeselin banget, tadi bilangnya cuma nunggu sebentar. Kan, aku udah bilang kalau adik-adikku nunggu buat makan siang.” Aku menggerutu sambil menghentak-hentakkan kaki.Sebelum pulang, aku akan mampir dulu ke warung mengambil dua nasi bungkus untuk adikku. Dulu, sebelum mulai pekerjaan di tempat Bu Jamilah, beliau menyuruhku makan terlebih dahulu. Namun, karena Rani dan Ridho juga belum makan siang, aku selalu membungkus nasi tersebut untuk diberikan pada kedua adikku.Mengetahui hal tersebut, pemilik warung tempatku bekerja berbaik hati memberikan dua nasi bungkus untuk adikku. Aku sudah menolak, karena sudah diberi upah bulanan. Namun, wanita baik itu bersikeras agar aku menerimanya. Semenjak itu, setiap pulang sekolah aku mampir terlebih dulu untuk mengambil nasi bungkus tersebut.Itu sebabnya aku merasa sungk