“Tidur sama gue, utang lo lunas.”
Plaak.
Satu tamparan kulayangkan pada pemuda jangkung di hadapan. Dia menyeringai, badannya semakin mendekat dan kini sukses mengurungku yang kini terjebak di sudut gudang.
Tuhan, harusnya aku curiga saat dia meminta ketemuan di ruangan pengap ini.
“Bahkan gue bisa jadi langganan, lo!” bisiknya serak di telinga.
Napasku memburu. Dada terasa terbakar dan sesak sekaligus.
Brengsek! Alex benar-benar kurang ajar. Aku salah mengira. Kupikir pertolongannya kemarin murni karena empati. Ternyata ada udang di balik batu. Dia sepertinya sudah merencanakan ini.
“Ayolah, Ra, gue tau kalau lo tadi sempat tanya-tanya Sarah tentang kerjaan sampingannya.”
Dengan berani Alex mulai membelai pipiku. Kedua tangan yang tadi sempat mendorong tubuhnya justru dicekal kuat. Mata sudah panas dan siap meneteskan butiran bening.
Tahan, Maura, tahan. Jangan sampai pemuda kurang ajar ini senang melihat ketakutan di wajahmu.
“Beri gue waktu seminggu. Gue pasti bakal balikin duit lo.”
Alex terkekeh. Pandangannya penuh dengan ejekan. Aku sangat bersyukur karena akhirnya dia melepas cekalannya dan bergerak mundur.
Alex berdiri angkuh sambil melipat kedua tangannya di dada. Dari jarak dua langkah, dia menatapku tajam. Memindai dari atas sampai bawah. Lagi-lagi seringai melecehkan tersungging di bibirnya yang kecokelatan.
“Dalam sebulan aja lo gak bisa dapetin tu duit, sekarang lo bilang seminggu? Jangan ngimpi, Ra. Bahkan lusa lo masih harus membayar utang bokap lo yang masih tersisa empat puluh juta sama tua bangka itu.”
“Gue minta seminggu, oke?”
Aku berkata sekenanya. Padahal tidak tahu dari mana akan mendapatkan uang secepat itu. Sepuluh juta dalam seminggu. Ditambah cicilan yang harus kubayar lusa.
Aku masih memberanikan diri membalas tatapan dingin Alex. Pemuda itu, dengan cepat sudah kembali merengkuh pinggangku sampai tubuh kami tidak lagi berjarak.
“Jangan kurang ajar, Lex!” seruku berusaha melepaskan tangannya.
“Kenapa? Lo mau teriak? Teriak aja! Gak ada yang bakal denger suara lo.”
“Bukan ini awal perjanjian kita, lo bilang mau kasih kelonggaran buat lunasi utang.”
“Lo percaya? Kasian,” ejek pemuda sialan di depanku ini. Lagi-lagi dia menyeringai. Memutus jarak antara wajah kami dan ... sesuatu yang basah dan kasar menyentuh bibirku. Seketika aroma tembakau tercium tajam.
Alexander Wiguna menciumku.
Sesaat aku terpaku. Masih berusaha mengumpulkan kesadaran yang tiba-tiba kabur, tapi sialnya itu digunakan Alex untuk semakin memperdalam ciumannya. Melumat lembut bibirku yang bergetar. Tubuhku tiba-tiba menjadi lemas. Ini adalah kali pertama ada lawan jenis yang menyentuhku dan rasanya ... dada seperti mendidih siap memuntahkan lahar panas.
“Aaaw!” pekik Alex sambil mengusap bibirnya yang kini berdarah karena gigitanku.
Dia menggeleng melihatku. Wajahku pasti sudah semerah tomat. Tangan mengepal. Satu pukulan siap kulayangkan padanya. Namun, pemuda itu gesit mengelak. Sekarang justru tanganku yang di putar dan dikunci di belakang punggung.
“Lo mau maen kasar, Ra!” desisnya tajam.
“Lepasin gue, lepasin gak!” Aku terus meronta. Tidak peduli dengan pergelangan tangan yang terasa nyeri.
“Semakin lo ngelawan, gue bisa lebih berani dari tadi. Dengan paksa mengambil apa yang gue inginkan.”
Bulu kudukku merinding mendengar ancaman Alex. Ya Tuhan! Apa dia ingin ....
Aku menggeleng keras mengenyahkan pikiran buruk. Dalam hati terus merapal doa. Semoga ada orang yang tiba-tiba muncul ke ruangan sepi ini, tapi mustahil. Jam segini semua murid pasti sudah pulang. Belum lagi tempat ini terletak di sudut sekolah. Jarang sekali ada yang melintas di sekitar sini.
“Gue gak mau bersikap kasar, Ra? Jadi, mending lo ikutin saran gue. Gue juga tau kalau tua bangka itu ngincer tubuh lo.”
Aku menggigil ketakutan. Badan merosot ke lantai saat Alex tiba-tiba melepas tanganku. Pemuda itu melangkah pergi begitu saja meninggalkan gudang.
Dan aku ... air mata mengalir deras membasahi pipi.
Tuhan, terima kasih, setidaknya Alex tidak melakukan lebih dari tadi. Aku sangat takut kalau dia benar-benar kalap dan memaksaku melakukan keinginannya.
Selama beberapa menit aku masih menangis. Badan terlonjak kaget saat sebuah tangan menyentuh bahuku. Tidak. Tidak. Jangan sampai Alex kembali masuk dan melakukan ancamannya.
Tubuhku semakin bergetar karena ketakutan.
“Maura! Hei! Ada apa?”
Seperti ada angin segar berembus di tengah gurun pasir. Hati begitu lega saat melihat sosok yang ada di belakangku.
Pak Damar. Guru Bahasa Inggris di sekolah ini.
“Apa ada yang menyakitimu? Kamu terluka? Kenapa kamu sendirian di gudang?”
Dengan panik Pak Damar memeriksa tubuhku. Beliau sepertinya takut kalau ada yang melukaiku. Matanya tajam memindai setiap inci wajahku.
“Ra, say something?”
Bukannya menjawab. Aku makin terisak pilu. Bingung harus menjelaskan apa. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Tapi aku takut Alex akan makin murka. Lagi pula apakah Pak Damar akan mempercayaiku?
**
“Minumlah.”
Pak Damar menyodorkan sebotol air mineral dingin.
Dengan sedikit tergesa, aku menenggaknya sampai separuh.
“Pelan-pelan, Ra.”
Nada suara Pak Damar masih seperti tadi. Khawatir. Pria ini sungguh sabar menenangkanku. Dalam diam menungguku sampai selesai menangis. Setelah itu mengajakku duduk di kedai bakso dekat sekolah.
“Kalau kamu gak mau cerita gak apa-apa. Tapi saya harap kamu gak menutupi sesuatu. Jangan diam kalau ada anak lain melakukan perundungan.”
Suara tegas Pak Damar terdengar menyejukkan. Sesaat aku merasa begitu diperhatikan. Pria ini, kenapa selalu peduli padaku? Beberapa kali beliau menawarkan tumpangan saat pulang sekolah. Katanya searah. Tidak tega melihatku yang kepanasan menunggu angkutan umum.
Aku yang diam-diam mengaguminya, tentu seperti mendapat durian runtuh. Namun, rasa malu membuatku menjaga jarak. Merasa tidak pantas mengharapkan lebih.
“Makan dulu. Baru saya antar pulang.”
Aku menggeleng. Tidak ingin makin berutang budi atas kebaikkannya.
“Saya bungkuskan juga buat adik-adik kamu.”
Pipiku memanas. Malu. Bagaimana mungkin Pak Damar mengingat perkataanku tempo hari. Sebulan yang lalu, beliau pernah mengajakku untuk makan dulu sebelum mangantarku pulang. Aku menolak. Beralasan tidak bisa makan sementara kedua adikku kelaparan di rumah.
Mungkin terdengar sok, tapi memang itu kenyataannya. Rasanya susah menelan makanan, jika ingat adikku yang mungkin menahan lapar karena menungguku pulang.
Keadaan ekonomi yang susah. Membuat kami sering kali menahan lapar. Sepulang sekolah aku bekerja di warung makan dekat rumah. Dengan upah dua bungkus nasi plus lauknya dan uang sebesar lima ratus ribu sebulan.
“Sudah saya pesankan, mubazir kalau ditolak.”
Dengan malu-malu aku mulai menyendok kuah bakso dalam mangkuk. Dada berdebar tak karuan saat pandanganku bertemu dengan mata teduh Pak Damar. Ketakutan yang tadi menyelimutiku, berangsur-angsur hilang berganti desir-desir dalam hati.
Tenggorokan terasa susah menelan makanan berbahan dasar daging ini. Bukan, bukan karena memikirkan adikku seperti biasanya. Melainkan karena gejolak rasa yang meletup-letup dalam dada. Hati ini, sepertinya telah dicuri olehnya. Pria gagah dan tampan di depanku ini. Yang di dekatnya, membuat badanku panas dingin seperti orang meriang.
Maura, semoga kamu tidak salah menumbuhkan rasa ini di hati.
“Kenapa diem, Ra? Nanti keburu dingin kalau makan sambil melamun.”Lagi, pria di depanku tersenyum manis.Duuuh. Gimana bisa makan kalau dia ngeliatin terus seperti itu?“Saya tadi lagi cari bangku yang masih layak pakai di gudang. Eeh, kok, lihat ada yang jongkok. Saya kira siapa, gak tahunya malah kamu. Sebenarnya kamu lagi apa di sana? Tumben-tumbenan. Biasanya gak pernah menunda-nunda pulang.”“Ehm, itu, anu, Pak, sa—saya—” Aku tergagap. Bingung harus menjelaskan apa.“Ya udah kalau kamu gak mau cerita. Cepet makan, kasian adik-adik kamu nungguin.”Gegas aku melahap bakso yang sudah mulai dingin. Pak Damar sampai menggeleng keras melihatku yang makan dengan cepat. Jantung berdetak kencang saat tiba-tiba tangannya mengusap sudut bibirku. “Ada noda saos,” lirihnya dengan kikuk. Cepat-cepat dia menarik tangannya dan berdiri menjauh. Beliau mendekati gerobak dan menyebutkan semua pesanannya tadi.Aaiiih! Apa-apaan sih Pak Damar? Bikin deg-de
“Maaf, gue telat,” bisik Alex dengan lembut sambil membuka ikatan mulut dan juga tanganku. Lalu, pemuda jangkung ini melepaskan hoodie-nya dan memakaikannya di tubuhku.Aku memandangnya lekat-lekat.Ada apa dengannya? Kenapa sikapnya jadi manis begini?“Kenapa lihat-lihat? Udah naksir, ya?” tanya Alex dengan menyeringai.“Apaan!” Aku mendorong tubuh Alex dengan kasar.“Jadi gini tanggapan lo sama orang yang udah nolongin lo dari kebuasan tua bangka tadi.”Alex merengkuh pinggangku dengan kasar.“Lo sama biadabnya dengan Juragan Jaka, jadi buat apa gue bersikap manis.” Aku membalas tatapan Alex dengan sama tajamnya. Pemuda ini tidak bisa diprediksi. Sebentar lembut. Sebentar kasar.“Benar juga, gue memang gak ada bedanya sama rentenir tadi. Sama-sama menginginkan tubuh lo. Sialnya pria
“Gimana? Udah berhasil belum?”Terdengar suara seorang pemuda yang cukup familiar. Aku mengintip di balik tembok belakang gudang. Ada Alex, Rey, Radit dan Dion. Tiga siswa yang satu kelas denganku. Mereka anak-anak orang kaya yang terkenal dengan pergaulan bebasnya.“Gue bilang juga apa? Susah si Maura ini,” ujar Rey sambil mengembuskan asap rokok.Jadi, mereka sedang membicarakanku. Apa ini ada kaitannya dengan sesuatu yang Alex minta kemarin.“Kalau lo gak sanggup, biar gue aja yang maju. Gue juga pengen kali nyicipin perawan.”“Bangsat! Sejak kapan lo ngelanggar kesepakatan geng kita? Gak ada namanya berebut cewek.” Itu suara Alex. Dia sepertinya tidak terima dengan perkataan Radit.“Hahahahaha, Lex Lex! Lo serius amat? Gak kali gue mau rebutan sama Lo. Lagian kan kalian cuma temenan, kalau dia nolak lo, gak apa-apa, kan, gue maju.”“Lo kayak gak tau Alex aja, apa yang dia mau harus didapeti
Aku melirik jam tangan yang terlihat usang, sudah hampir tiga puluh menit tapi Alex belum juga muncul.“Ish. Alex ngeselin banget, tadi bilangnya cuma nunggu sebentar. Kan, aku udah bilang kalau adik-adikku nunggu buat makan siang.” Aku menggerutu sambil menghentak-hentakkan kaki.Sebelum pulang, aku akan mampir dulu ke warung mengambil dua nasi bungkus untuk adikku. Dulu, sebelum mulai pekerjaan di tempat Bu Jamilah, beliau menyuruhku makan terlebih dahulu. Namun, karena Rani dan Ridho juga belum makan siang, aku selalu membungkus nasi tersebut untuk diberikan pada kedua adikku.Mengetahui hal tersebut, pemilik warung tempatku bekerja berbaik hati memberikan dua nasi bungkus untuk adikku. Aku sudah menolak, karena sudah diberi upah bulanan. Namun, wanita baik itu bersikeras agar aku menerimanya. Semenjak itu, setiap pulang sekolah aku mampir terlebih dulu untuk mengambil nasi bungkus tersebut.Itu sebabnya aku merasa sungk
“Gue tadi nungguin lo sampe setengah jam, karena takut kelamaan gue milih pulang sama Pak Damar.”“Tapi faktanya gue nyampe lebih dulu.”“Tadi gue ngerasa pusing, makanya Pak Damar berhenti dulu beliin gue obat, nih kalau lo gak percaya.” Aku merogoh kantong pemberian Pak Damar dan mencari benda yang kumaksud.“Gue gak peduli lo mau ngeluyur dulu atau langsung pulang, cuma gue merasa bodoh aja. Pulang ngebut karena kepikiran adik-adik lo yang nungguin kakaknya pulang bawa makanan. Sementara kakaknya—”Aku menunduk dalam. Entah mengapa merasa sangat bersalah. Aku tidak suka jika Alex berpikiran kalau aku tadi bersenang-senang dengan Pak Damar.“Duduk sini! Gue lapar. Mau sampe kapan lo berdiri di situ?”Aku mengerjap, cepat-cepat menaruh kantong plastik dan duduk dekat Alex. Kuambil piring yang bersih di meja lantas mengambil sebungkus nasi, membukanya dan memberikannya pada Alex.“Seb
“Ra, gue mau ngomong, gue tunggu di taman deket kantin.” Suara Alex mengagetkanku yang sedang merapikan buku-buku pelajaran. Belum juga menjawab, pemuda itu sudah melangkah pergi.“Gimana keputusan lo?” Sarah menatapku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Karena sampai detik ini masih belum bisa mengambil keputusan.“Gue ke taman dulu, ya, Alex nungguin.”“Gue ikut, mau ke kantin juga.” Sarah mensejajarkan langkahnya.“Kayaknya tuh cowok ngebet banget sama lo, ya?”Aku mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Sarah. Makin hari, pemuda itu memang makin menunjukkan kedekatannya denganku.“Anak tajir, lo tau sendiri gimana gayanya mereka.”“Kalau gue jadi lo, gue manfaatin tuh cowok. Biar aja dia bayar keperluan kita. Mereka bakal lakuin apa aja buat cewek yang dicinta.”Aku mencibir mendengar omongan sahabatku ini. &ldqu
“Gue belum bilang setuju, ya, Lex! Jangan seenaknya memutuskan.” Aku menatap tajam pemuda di hadapanku.Aku memang berutang banyak padanya, tapi bukan berarti dia bisa mengendalikan hidupku seenaknya.“Kali ini posisi lo hanya bisa menurut, Ra? Jangan buat semuanya jadi sulit. Gue gak mau menggunakan cara kasar.” Alex berbicara santai. Dia bahkan sempat-sempatnya membereskan bekas makan kami.“Lo bener-bener brengsek!” umpatku sambil menghentakkan kaki.“Mulut lo, Ra! Sejak kapan kata-kata lo jadi kasar begini?” Alex menatapku tajam.“Gue gak mau nikah sama lo. Lo pasti punya rencana macam-macam, kan?”“Mau gue cuma satu macam. Tubuh lo! Lo gak mau ngelakuin itu di luar nikah, kan, makanya gue ajak lo nikah siri.”Aarrrggh.Dada mulai bergemuruh melihat Alex yang terus-menerus bisa mengendalikan keadaan. Haruskah aku menurut begitu saja. Kalau aku membantah, memangnya aku bisa mendapat uang sebanyak itu dari mana.Tuhan. Kirimkan
“Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.“Ck, gak gue itung utang, Ra?
“Stop!” Kudorong kuat pemuda yang tengah memelukku, “gue gak mau, Lex. Jangan bikin gue berubah pikiran! Lo gak bisa, ya, sedikit aja ngehargain gue?”Alex menyeringai lebar.“Tadi kamu ngedesah lho, Ra! Kamu juga pengen lebih dari tadi, kan? Kenapa malu?”Ck, kenapa pemuda ini tidak paham juga. Kalau aku tidak memberikan mahkota yang satu itu selain untuk suamiku.Aku memang menikmati keintiman tadi, tapi bukan berarti harus berlanjut dan menyerahkan semuanya. Jujur, terlalu sering didekati Alex, membuat pikiranku mulai tercemar. Tubuh refleks menerima semua sentuhan pemuda itu yang sangat lihai dan menggoda. Hingga tanpa sadar, aku pun mulai membalasnya.“Tinggal satu Minggu, Lex. Kenapa gak bisa sabar, sih? Makanya gak usah temui aku dulu. Dipingit. Lo tau dipingit, kan? Gak usah ketemu dulu beberapa hari sebelum menikah.”“Ah! Maura gak asik! Kamu takut a
Aku mengernyit heran saat motor Alex berhenti di sebuah butik baju pengantin yang cukup ternama. Siang ini dia sengaja memintaku untuk pulang bersamanya. Dia sampai meyakinkan aku kalau Ridho dan Rani sudah makan siang. Bukannya langsung ke rumah, sekarang justru singgah ke tempat yang memajang beberapa gaun pengantin mewah. Dalam tidur pun aku tidak berani memimpikan datang ke tempat ini.“Ngapain kita ke sini?”“Pernikahan kita memang siri, tapi aku mau kamu punya kesan yang indah dengan hari spesial itu. Salah satunya gaun pengantin.” Alex mengatakan itu masih dengan penuh kelembutan.Hadeeeh! Kesambet setan mana, sih, nih orang? Udah gak ada siapa-siapa masih sok mesra. Panggilannya sudah berubah jadi aku kamu.“Lo kesambet setan mana, sih? Badan lo juga gak anget.” Aku menempelkan punggung tangan di kening Alex. Pemuda rese itu justru menarik jemariku lalu mengecupnya lembut.“Jijik benget, sih!” cibirku sambil memukul lengannya.
“Mau mahar apa?” bisik seseorang tiba-tiba.Deg!Aku yang sedang fokus membaca latihan soal ujian, sontak terlonjak. Seorang pemuda dengan santainya sudah berdiri di belakangku.Ish! Alex rese! Sudah berapa kali aku bilang jangan membahas pernikahan di sekolah?Aku melirik ke tangannya. Syukurlah! Pemuda ini tidak membawa makanan cepat saji seperti kemarin-kemarin. Dalam seminggu ini dia membuktikan ucapannya tempo hari, membawakan makanan dari brand terkenal yang berasal dari negeri Sakura.“Lo mau mahar apa, Ra?” tanyanya lagi karena belum juga mendapatkan jawaban.“Gue udah pernah bilang, kan, jangan ngomong masalah itu di sini!” seruku tajam sambil melayangkan pukulan di bahu Alex.“Mumpung inget, kalau nanti-nanti bakallbakal ” Alex menjatuhkan pantatnya tepat di sebelahku.“Iih, sana lagi ngapa, sih? Seneng banget gangguin gue!&rdquo
Aku mengerjap, mencoba mencerna ucapan Alex.Pengen gue? Maksudnya apa?Namun, belum juga aku memahami kata-katanya, dia kembali merapatkan bibir kami. Ciumannya makin intens. Kasar. Dan menuntut. Membuat seluruh tubuhku merinding.Bangun Maura! Kenapa kamu diam saja menerima perlakuan Alex? Dia akan makin berani jika kamu tidak melawan.Seperti tahu kegelisahanku, Alex menyudahi ciumannya. Pemuda itu menatapku dengan intens. Namun, kurasakan sesuatu yang menggelitik di bagian perut. Tangan Alex mulai berani membelai perutku dari balik baju. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyelimuti seluruh tubuh.Astaga! Kenapa aku jadi begini?Tubuhku panas. Apalagi Alex kembali merapatkan bibir kami dengan penuh nafsu. Tak berhenti di situ, dia pun mulai meraba punggung. Memberikan sentuhan halus di sana. Memainkan jemarinya dengan lihai dan berhenti di pengait .... Sial! Jangan bilang maksudnya tadi
“Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.“Ck, gak gue itung utang, Ra?
“Gue belum bilang setuju, ya, Lex! Jangan seenaknya memutuskan.” Aku menatap tajam pemuda di hadapanku.Aku memang berutang banyak padanya, tapi bukan berarti dia bisa mengendalikan hidupku seenaknya.“Kali ini posisi lo hanya bisa menurut, Ra? Jangan buat semuanya jadi sulit. Gue gak mau menggunakan cara kasar.” Alex berbicara santai. Dia bahkan sempat-sempatnya membereskan bekas makan kami.“Lo bener-bener brengsek!” umpatku sambil menghentakkan kaki.“Mulut lo, Ra! Sejak kapan kata-kata lo jadi kasar begini?” Alex menatapku tajam.“Gue gak mau nikah sama lo. Lo pasti punya rencana macam-macam, kan?”“Mau gue cuma satu macam. Tubuh lo! Lo gak mau ngelakuin itu di luar nikah, kan, makanya gue ajak lo nikah siri.”Aarrrggh.Dada mulai bergemuruh melihat Alex yang terus-menerus bisa mengendalikan keadaan. Haruskah aku menurut begitu saja. Kalau aku membantah, memangnya aku bisa mendapat uang sebanyak itu dari mana.Tuhan. Kirimkan
“Ra, gue mau ngomong, gue tunggu di taman deket kantin.” Suara Alex mengagetkanku yang sedang merapikan buku-buku pelajaran. Belum juga menjawab, pemuda itu sudah melangkah pergi.“Gimana keputusan lo?” Sarah menatapku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Karena sampai detik ini masih belum bisa mengambil keputusan.“Gue ke taman dulu, ya, Alex nungguin.”“Gue ikut, mau ke kantin juga.” Sarah mensejajarkan langkahnya.“Kayaknya tuh cowok ngebet banget sama lo, ya?”Aku mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Sarah. Makin hari, pemuda itu memang makin menunjukkan kedekatannya denganku.“Anak tajir, lo tau sendiri gimana gayanya mereka.”“Kalau gue jadi lo, gue manfaatin tuh cowok. Biar aja dia bayar keperluan kita. Mereka bakal lakuin apa aja buat cewek yang dicinta.”Aku mencibir mendengar omongan sahabatku ini. &ldqu
“Gue tadi nungguin lo sampe setengah jam, karena takut kelamaan gue milih pulang sama Pak Damar.”“Tapi faktanya gue nyampe lebih dulu.”“Tadi gue ngerasa pusing, makanya Pak Damar berhenti dulu beliin gue obat, nih kalau lo gak percaya.” Aku merogoh kantong pemberian Pak Damar dan mencari benda yang kumaksud.“Gue gak peduli lo mau ngeluyur dulu atau langsung pulang, cuma gue merasa bodoh aja. Pulang ngebut karena kepikiran adik-adik lo yang nungguin kakaknya pulang bawa makanan. Sementara kakaknya—”Aku menunduk dalam. Entah mengapa merasa sangat bersalah. Aku tidak suka jika Alex berpikiran kalau aku tadi bersenang-senang dengan Pak Damar.“Duduk sini! Gue lapar. Mau sampe kapan lo berdiri di situ?”Aku mengerjap, cepat-cepat menaruh kantong plastik dan duduk dekat Alex. Kuambil piring yang bersih di meja lantas mengambil sebungkus nasi, membukanya dan memberikannya pada Alex.“Seb
Aku melirik jam tangan yang terlihat usang, sudah hampir tiga puluh menit tapi Alex belum juga muncul.“Ish. Alex ngeselin banget, tadi bilangnya cuma nunggu sebentar. Kan, aku udah bilang kalau adik-adikku nunggu buat makan siang.” Aku menggerutu sambil menghentak-hentakkan kaki.Sebelum pulang, aku akan mampir dulu ke warung mengambil dua nasi bungkus untuk adikku. Dulu, sebelum mulai pekerjaan di tempat Bu Jamilah, beliau menyuruhku makan terlebih dahulu. Namun, karena Rani dan Ridho juga belum makan siang, aku selalu membungkus nasi tersebut untuk diberikan pada kedua adikku.Mengetahui hal tersebut, pemilik warung tempatku bekerja berbaik hati memberikan dua nasi bungkus untuk adikku. Aku sudah menolak, karena sudah diberi upah bulanan. Namun, wanita baik itu bersikeras agar aku menerimanya. Semenjak itu, setiap pulang sekolah aku mampir terlebih dulu untuk mengambil nasi bungkus tersebut.Itu sebabnya aku merasa sungk