“Gimana? Udah berhasil belum?”
Terdengar suara seorang pemuda yang cukup familiar. Aku mengintip di balik tembok belakang gudang. Ada Alex, Rey, Radit dan Dion. Tiga siswa yang satu kelas denganku. Mereka anak-anak orang kaya yang terkenal dengan pergaulan bebasnya.
“Gue bilang juga apa? Susah si Maura ini,” ujar Rey sambil mengembuskan asap rokok. Jadi, mereka sedang membicarakanku. Apa ini ada kaitannya dengan sesuatu yang Alex minta kemarin. “Kalau lo gak sanggup, biar gue aja yang maju. Gue juga pengen kali nyicipin perawan.” “Bangsat! Sejak kapan lo ngelanggar kesepakatan geng kita? Gak ada namanya berebut cewek.” Itu suara Alex. Dia sepertinya tidak terima dengan perkataan Radit.“Hahahahaha, Lex Lex! Lo serius amat? Gak kali gue mau rebutan sama Lo. Lagian kan kalian cuma temenan, kalau dia nolak lo, gak apa-apa, kan, gue maju.” “Lo kayak gak tau Alex aja, apa yang dia mau harus didapetin, meskipun harus mengorbankan motor kesayangannya itu.” Mereka semua terbahak. Kecuali Alex tentunya. Memang apa yang membuat Alex Wiguna begitu menginginkanku? Aku gadis biasa dengan penampilan yang juga di bawah standar. Masih banyak siswi lain yang jauh lebih menarik. “Lagian lo aneh, Bro. Sejak kapan kita maen-maen sama cewek baik-baik? Kita bejad, tapi gak juga ngerusak cewek yang masih polos kayak Maura. Dia yatim piatu, Lex. Lo gak mau kuwalat, kan?” “Berisik kalian semua.” Aku segera memutar badan dan menjauh dari sana ketika melihat Alex yang melangkah pergi meninggalkan teman-temannya. Jangan sampai pemuda itu melihat keberadaanku. Napasku sampai memburu karena harus berlari agar tidak ketahuan. “Dari mana lo? Sampai ngos-ngosan banget,” tanya Sarah yang duduk di bawah pohon Sery. Dia senang sekali duduk menyendiri di sini sambil mencorat-coret desain baju di buku tulis. “Sar, lo apa gak takut dengan kerjaan lo sekarang?” Gadis berlesung pipi di sampingku itu menghentikan kegiatannya. Bibirnya tersenyum tipis, matanya menatap sendu. “Awalnya iya, takut dosa, takut hamil, takut ketemu cowok brengsek, takut kena penyakit dan banyak lagi. Tapi, gue butuh makan, Ra. Lo tau sendiri sejak nyokap bokap gue cerai mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Gue harus tinggal sama nenek yang udah gak bisa cari uang lagi. Lebih tepatnya gue kasian kalau orang seperti nenek harus membanting tulang demi menghidupi gue. Yah ... dengan terpaksa. Gimana? Lo jadi ikut gue, gue yakin bakal banyak yang mau nawar lo mahal, secara masih ting-ting. Tenang, nanti gue ajarin gimana biar gak hamil dan tetep aman.” “Gue masih takut, Sar. Apa gue terima aja, ya, tawaran Juragan Jaka jadi istri keduanya.” Pandanganku menerawang pada siswa dan siswi yang sedang asyik bersenda gurau di kantin. “Kamu pikirkan baik-baik, karena ini menyangkut masa depan lo. Gue gak mau maksa lo ikut-ikutan kayak gue. Karena jalan gue itu salah.”“Iya, gue pasti pikir matang-matang. Thanks, ya, Sar. Udah mau denger keluh kesah gue selama ini.” Sarah terkekeh geli, “Elaaah, lo kayak sama siapa aja. Oh iya, sorry banget kemarin pas kita ngobrol tentang kerjaan sampingan gue, ternyata ada orang lain yang dengerin. Untung sebelum ini dia emang udah tau kerjaan gue apa, jadi amanlah gue. Gue khawatir dia jadi mandang rendah lo.”Aku mengembuskan napas panjang, “Alex, kan? Iya, kemarin dia juga bilang ke gue soal itu.” Aku menutup muka dengan kedua tangan.“Serius?” tanya Sarah dengan suara keras. Aku hanya mengangguk dalam masih dengan menutup muka.
“Jangan bilang kalau dia minta lo buat--” Sarah menggantungkan kalimatnya, tapi aku tahu ke mana arah pembicaraan selanjutnya. Itu sebabnya aku lagi-lagi mengangguk dalam. “Ah gila! Lo beruntung banget, Ra. Alex itu pemilih loh. Lo tau sendiri dia susah didekati cewek. Dan sekarang dia milih lo.” “Beruntung apanya? Kalau dia ngajak aku merid atau setidaknya pacaran mending. Lah ini ngajak buat ena-ena. Sama aja dia ngerendahin gue.” Sarah menggeleng keras. “Gue tau Alex, Ra. Gue sering banget ketemu sama geng mereka. Dan dari keempat cowok itu, gue paling jarang lihat Alex mesra-mesraan sama lawan jenis. Dia tuh pemilih banget. Makanya lo beruntung bisa dilirik sosok tajir macam Alex.” “Gue juga bingung kenapa dia tiba-tiba mau sama gue, lo, kan tau sendiri kita di kelas gak pernah ngomong. Dan penampilan gue paling gak banget di antara temen-temen cewek yang lain.” “Ya ampun, Ra, Ra, kok, kamu gak nyadar sih dengan pesona sendiri. Casing lo aja yang buluk, tapi body lo oke punya. Wajah lo itu polos-polos ngegemisin tau gak?” “Apaan?” Aku melotot tajam.“Di balik seragam lo yang kedodoran, gue tau ada tubuh yang—” Sarah mengerakkan kedua tangannya membentuk body. “Sialan, lo!” Aku memukul lengan Sarah dengan keras. “Astaga! Jangan-jangan ini karena—” Sarah melotot tajam sambil menutup mulutnya yang terbuka lebar.“Apaan?” Entah kenapa aku tiba-tiba ikut panik. “Aduuh, sorry banget, Ra. Lo inget, kan, pas lo tenggelam di kolam renang rumah Radit tempo hari. Pas acara ulang tahun dia.” “Iya kenapa dia yang nolong gue, dia gak ngapa-ngapain gue, kan?” Dadaku makin berdebar menunggu ucapan Sarah selanjutnya. “Kan, sambil nunggu dokter keluarga Radit dateng, gue disuruh gantiin baju lo yang basah dan pas gue sibuk bukain baju lo, Alex berdiri di belakang sambil bawa baju ganti buat lo.” Leees. Jantungku rasanya merosot ke bawah. Pipi langsung memanas karena rasa malu yang tiba-tiba menyergap. Ya Tuhan. Alex sudah melihat tubuh polosku. Kulirik Sarah yang kini memperlihatkan raut bersalah. Dia pasti tidak enak karena selama ini tidak cerita tentang kejadian itu. “Kok, lo gak pernah ngomong?” Aku menatap sebal Sarah. Gadis itu justru terkekeh geli. “Alex yang larang dan gue pikir lo bakal malu kalau tau ini. Makanya gue--” Sarah meringis sambil mengacungkan jari tengah dan telunjuknya. “Tau, ah! Gue ngambek.” Aku langsung berdiri dan meninggalkan Sarah. “Yah, yah, Ra. Udah dong ... lagian Alex gak pernah bahas ini sama lo, kan, cuek aja, sih, anggap aja lo gak pernah tau.” Sarah berusaha mensejajarkan langkah. Aku malu, kesal dan gemas sekali. Kucubiti gadis itu sampai dia berusaha menghindar. Tepat di sebuah tikungan dekat kelas Sarah berlari cepat. Sigap aku pun ikut mengejarnya. Namun, saat akan berbelok, tiba-tiba Alex muncul di depanku yang refleks membuatku berhenti. Naas, keseimbanganku goyah dan aku hampir saja terjengkang. Dada berdebar kencang saat tanganku ditarik kuat dan berakhir di pelukan seseorang.Wangi ini? Dekapan ini? Aku hapal sekali. Cepat aku mengangkat wajah. Dan ....Deg. Dada makin berdebar kencang saat mata elang Alex menatapku tajam. Pipiku lagi-lagi memanas. Pasti saat ini sudah menampakkan rona kemerahan. “Kayaknya lo seneng banget bikin masalah, ya? Sengaja biar gue nolongin!” Aku mendengus sebal dan langsung mendorong tubuh Alex menjauh. Pemuda itu justru menyeringai senang.Cepat-cepat aku berjalan menjauhi pemuda itu. Namun, baru selangkah lenganku lagi-lagi ditarik. “Apa lagi! Nunggu ucapan terima kasih? Ya udah, Alex, terima kasih udah nolongin lagi.” Aku melotot tajam.“Jam pulang tunggu di gerbang, kita pulang sama-sama.” “Gak mau!” tolakku tegas. Namun, melihat tatapan tajam mata Alex, nyaliku menciut seketika. “Ya udah, jangan lama-lama. Telat lima menit gue pulang naik angkot,” jawabku akhirnya. Tiba-tiba ingatan tentang Alex pernah melihat tubuh polosku melintas. Dada kembali berdebar kencang diikuti hawa panas di muka. Tubuh membeku saat jemari Alex yang tadi mencengkeram lenganku kini berpindah mengelus lembut pipiku.“Kamu makin cantik jika sedang merona seperti ini.”
Aku melotot tajam. Lalu cepat membalik badan dan melangkah menjauh. Masih bisa kudengar kekehan kecil dari pemuda menyebalkan itu.Sial! Kenapa jantungku berdetak kencang seperti ini?Bersambung
Aku melirik jam tangan yang terlihat usang, sudah hampir tiga puluh menit tapi Alex belum juga muncul.“Ish. Alex ngeselin banget, tadi bilangnya cuma nunggu sebentar. Kan, aku udah bilang kalau adik-adikku nunggu buat makan siang.” Aku menggerutu sambil menghentak-hentakkan kaki.Sebelum pulang, aku akan mampir dulu ke warung mengambil dua nasi bungkus untuk adikku. Dulu, sebelum mulai pekerjaan di tempat Bu Jamilah, beliau menyuruhku makan terlebih dahulu. Namun, karena Rani dan Ridho juga belum makan siang, aku selalu membungkus nasi tersebut untuk diberikan pada kedua adikku.Mengetahui hal tersebut, pemilik warung tempatku bekerja berbaik hati memberikan dua nasi bungkus untuk adikku. Aku sudah menolak, karena sudah diberi upah bulanan. Namun, wanita baik itu bersikeras agar aku menerimanya. Semenjak itu, setiap pulang sekolah aku mampir terlebih dulu untuk mengambil nasi bungkus tersebut.Itu sebabnya aku merasa sungk
“Gue tadi nungguin lo sampe setengah jam, karena takut kelamaan gue milih pulang sama Pak Damar.”“Tapi faktanya gue nyampe lebih dulu.”“Tadi gue ngerasa pusing, makanya Pak Damar berhenti dulu beliin gue obat, nih kalau lo gak percaya.” Aku merogoh kantong pemberian Pak Damar dan mencari benda yang kumaksud.“Gue gak peduli lo mau ngeluyur dulu atau langsung pulang, cuma gue merasa bodoh aja. Pulang ngebut karena kepikiran adik-adik lo yang nungguin kakaknya pulang bawa makanan. Sementara kakaknya—”Aku menunduk dalam. Entah mengapa merasa sangat bersalah. Aku tidak suka jika Alex berpikiran kalau aku tadi bersenang-senang dengan Pak Damar.“Duduk sini! Gue lapar. Mau sampe kapan lo berdiri di situ?”Aku mengerjap, cepat-cepat menaruh kantong plastik dan duduk dekat Alex. Kuambil piring yang bersih di meja lantas mengambil sebungkus nasi, membukanya dan memberikannya pada Alex.“Seb
“Ra, gue mau ngomong, gue tunggu di taman deket kantin.” Suara Alex mengagetkanku yang sedang merapikan buku-buku pelajaran. Belum juga menjawab, pemuda itu sudah melangkah pergi.“Gimana keputusan lo?” Sarah menatapku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Karena sampai detik ini masih belum bisa mengambil keputusan.“Gue ke taman dulu, ya, Alex nungguin.”“Gue ikut, mau ke kantin juga.” Sarah mensejajarkan langkahnya.“Kayaknya tuh cowok ngebet banget sama lo, ya?”Aku mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Sarah. Makin hari, pemuda itu memang makin menunjukkan kedekatannya denganku.“Anak tajir, lo tau sendiri gimana gayanya mereka.”“Kalau gue jadi lo, gue manfaatin tuh cowok. Biar aja dia bayar keperluan kita. Mereka bakal lakuin apa aja buat cewek yang dicinta.”Aku mencibir mendengar omongan sahabatku ini. &ldqu
“Gue belum bilang setuju, ya, Lex! Jangan seenaknya memutuskan.” Aku menatap tajam pemuda di hadapanku.Aku memang berutang banyak padanya, tapi bukan berarti dia bisa mengendalikan hidupku seenaknya.“Kali ini posisi lo hanya bisa menurut, Ra? Jangan buat semuanya jadi sulit. Gue gak mau menggunakan cara kasar.” Alex berbicara santai. Dia bahkan sempat-sempatnya membereskan bekas makan kami.“Lo bener-bener brengsek!” umpatku sambil menghentakkan kaki.“Mulut lo, Ra! Sejak kapan kata-kata lo jadi kasar begini?” Alex menatapku tajam.“Gue gak mau nikah sama lo. Lo pasti punya rencana macam-macam, kan?”“Mau gue cuma satu macam. Tubuh lo! Lo gak mau ngelakuin itu di luar nikah, kan, makanya gue ajak lo nikah siri.”Aarrrggh.Dada mulai bergemuruh melihat Alex yang terus-menerus bisa mengendalikan keadaan. Haruskah aku menurut begitu saja. Kalau aku membantah, memangnya aku bisa mendapat uang sebanyak itu dari mana.Tuhan. Kirimkan
“Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.“Ck, gak gue itung utang, Ra?
Aku mengerjap, mencoba mencerna ucapan Alex.Pengen gue? Maksudnya apa?Namun, belum juga aku memahami kata-katanya, dia kembali merapatkan bibir kami. Ciumannya makin intens. Kasar. Dan menuntut. Membuat seluruh tubuhku merinding.Bangun Maura! Kenapa kamu diam saja menerima perlakuan Alex? Dia akan makin berani jika kamu tidak melawan.Seperti tahu kegelisahanku, Alex menyudahi ciumannya. Pemuda itu menatapku dengan intens. Namun, kurasakan sesuatu yang menggelitik di bagian perut. Tangan Alex mulai berani membelai perutku dari balik baju. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyelimuti seluruh tubuh.Astaga! Kenapa aku jadi begini?Tubuhku panas. Apalagi Alex kembali merapatkan bibir kami dengan penuh nafsu. Tak berhenti di situ, dia pun mulai meraba punggung. Memberikan sentuhan halus di sana. Memainkan jemarinya dengan lihai dan berhenti di pengait .... Sial! Jangan bilang maksudnya tadi
“Mau mahar apa?” bisik seseorang tiba-tiba.Deg!Aku yang sedang fokus membaca latihan soal ujian, sontak terlonjak. Seorang pemuda dengan santainya sudah berdiri di belakangku.Ish! Alex rese! Sudah berapa kali aku bilang jangan membahas pernikahan di sekolah?Aku melirik ke tangannya. Syukurlah! Pemuda ini tidak membawa makanan cepat saji seperti kemarin-kemarin. Dalam seminggu ini dia membuktikan ucapannya tempo hari, membawakan makanan dari brand terkenal yang berasal dari negeri Sakura.“Lo mau mahar apa, Ra?” tanyanya lagi karena belum juga mendapatkan jawaban.“Gue udah pernah bilang, kan, jangan ngomong masalah itu di sini!” seruku tajam sambil melayangkan pukulan di bahu Alex.“Mumpung inget, kalau nanti-nanti bakallbakal ” Alex menjatuhkan pantatnya tepat di sebelahku.“Iih, sana lagi ngapa, sih? Seneng banget gangguin gue!&rdquo
Aku mengernyit heran saat motor Alex berhenti di sebuah butik baju pengantin yang cukup ternama. Siang ini dia sengaja memintaku untuk pulang bersamanya. Dia sampai meyakinkan aku kalau Ridho dan Rani sudah makan siang. Bukannya langsung ke rumah, sekarang justru singgah ke tempat yang memajang beberapa gaun pengantin mewah. Dalam tidur pun aku tidak berani memimpikan datang ke tempat ini.“Ngapain kita ke sini?”“Pernikahan kita memang siri, tapi aku mau kamu punya kesan yang indah dengan hari spesial itu. Salah satunya gaun pengantin.” Alex mengatakan itu masih dengan penuh kelembutan.Hadeeeh! Kesambet setan mana, sih, nih orang? Udah gak ada siapa-siapa masih sok mesra. Panggilannya sudah berubah jadi aku kamu.“Lo kesambet setan mana, sih? Badan lo juga gak anget.” Aku menempelkan punggung tangan di kening Alex. Pemuda rese itu justru menarik jemariku lalu mengecupnya lembut.“Jijik benget, sih!” cibirku sambil memukul lengannya.
“Stop!” Kudorong kuat pemuda yang tengah memelukku, “gue gak mau, Lex. Jangan bikin gue berubah pikiran! Lo gak bisa, ya, sedikit aja ngehargain gue?”Alex menyeringai lebar.“Tadi kamu ngedesah lho, Ra! Kamu juga pengen lebih dari tadi, kan? Kenapa malu?”Ck, kenapa pemuda ini tidak paham juga. Kalau aku tidak memberikan mahkota yang satu itu selain untuk suamiku.Aku memang menikmati keintiman tadi, tapi bukan berarti harus berlanjut dan menyerahkan semuanya. Jujur, terlalu sering didekati Alex, membuat pikiranku mulai tercemar. Tubuh refleks menerima semua sentuhan pemuda itu yang sangat lihai dan menggoda. Hingga tanpa sadar, aku pun mulai membalasnya.“Tinggal satu Minggu, Lex. Kenapa gak bisa sabar, sih? Makanya gak usah temui aku dulu. Dipingit. Lo tau dipingit, kan? Gak usah ketemu dulu beberapa hari sebelum menikah.”“Ah! Maura gak asik! Kamu takut a
Aku mengernyit heran saat motor Alex berhenti di sebuah butik baju pengantin yang cukup ternama. Siang ini dia sengaja memintaku untuk pulang bersamanya. Dia sampai meyakinkan aku kalau Ridho dan Rani sudah makan siang. Bukannya langsung ke rumah, sekarang justru singgah ke tempat yang memajang beberapa gaun pengantin mewah. Dalam tidur pun aku tidak berani memimpikan datang ke tempat ini.“Ngapain kita ke sini?”“Pernikahan kita memang siri, tapi aku mau kamu punya kesan yang indah dengan hari spesial itu. Salah satunya gaun pengantin.” Alex mengatakan itu masih dengan penuh kelembutan.Hadeeeh! Kesambet setan mana, sih, nih orang? Udah gak ada siapa-siapa masih sok mesra. Panggilannya sudah berubah jadi aku kamu.“Lo kesambet setan mana, sih? Badan lo juga gak anget.” Aku menempelkan punggung tangan di kening Alex. Pemuda rese itu justru menarik jemariku lalu mengecupnya lembut.“Jijik benget, sih!” cibirku sambil memukul lengannya.
“Mau mahar apa?” bisik seseorang tiba-tiba.Deg!Aku yang sedang fokus membaca latihan soal ujian, sontak terlonjak. Seorang pemuda dengan santainya sudah berdiri di belakangku.Ish! Alex rese! Sudah berapa kali aku bilang jangan membahas pernikahan di sekolah?Aku melirik ke tangannya. Syukurlah! Pemuda ini tidak membawa makanan cepat saji seperti kemarin-kemarin. Dalam seminggu ini dia membuktikan ucapannya tempo hari, membawakan makanan dari brand terkenal yang berasal dari negeri Sakura.“Lo mau mahar apa, Ra?” tanyanya lagi karena belum juga mendapatkan jawaban.“Gue udah pernah bilang, kan, jangan ngomong masalah itu di sini!” seruku tajam sambil melayangkan pukulan di bahu Alex.“Mumpung inget, kalau nanti-nanti bakallbakal ” Alex menjatuhkan pantatnya tepat di sebelahku.“Iih, sana lagi ngapa, sih? Seneng banget gangguin gue!&rdquo
Aku mengerjap, mencoba mencerna ucapan Alex.Pengen gue? Maksudnya apa?Namun, belum juga aku memahami kata-katanya, dia kembali merapatkan bibir kami. Ciumannya makin intens. Kasar. Dan menuntut. Membuat seluruh tubuhku merinding.Bangun Maura! Kenapa kamu diam saja menerima perlakuan Alex? Dia akan makin berani jika kamu tidak melawan.Seperti tahu kegelisahanku, Alex menyudahi ciumannya. Pemuda itu menatapku dengan intens. Namun, kurasakan sesuatu yang menggelitik di bagian perut. Tangan Alex mulai berani membelai perutku dari balik baju. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyelimuti seluruh tubuh.Astaga! Kenapa aku jadi begini?Tubuhku panas. Apalagi Alex kembali merapatkan bibir kami dengan penuh nafsu. Tak berhenti di situ, dia pun mulai meraba punggung. Memberikan sentuhan halus di sana. Memainkan jemarinya dengan lihai dan berhenti di pengait .... Sial! Jangan bilang maksudnya tadi
“Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.“Ck, gak gue itung utang, Ra?
“Gue belum bilang setuju, ya, Lex! Jangan seenaknya memutuskan.” Aku menatap tajam pemuda di hadapanku.Aku memang berutang banyak padanya, tapi bukan berarti dia bisa mengendalikan hidupku seenaknya.“Kali ini posisi lo hanya bisa menurut, Ra? Jangan buat semuanya jadi sulit. Gue gak mau menggunakan cara kasar.” Alex berbicara santai. Dia bahkan sempat-sempatnya membereskan bekas makan kami.“Lo bener-bener brengsek!” umpatku sambil menghentakkan kaki.“Mulut lo, Ra! Sejak kapan kata-kata lo jadi kasar begini?” Alex menatapku tajam.“Gue gak mau nikah sama lo. Lo pasti punya rencana macam-macam, kan?”“Mau gue cuma satu macam. Tubuh lo! Lo gak mau ngelakuin itu di luar nikah, kan, makanya gue ajak lo nikah siri.”Aarrrggh.Dada mulai bergemuruh melihat Alex yang terus-menerus bisa mengendalikan keadaan. Haruskah aku menurut begitu saja. Kalau aku membantah, memangnya aku bisa mendapat uang sebanyak itu dari mana.Tuhan. Kirimkan
“Ra, gue mau ngomong, gue tunggu di taman deket kantin.” Suara Alex mengagetkanku yang sedang merapikan buku-buku pelajaran. Belum juga menjawab, pemuda itu sudah melangkah pergi.“Gimana keputusan lo?” Sarah menatapku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Karena sampai detik ini masih belum bisa mengambil keputusan.“Gue ke taman dulu, ya, Alex nungguin.”“Gue ikut, mau ke kantin juga.” Sarah mensejajarkan langkahnya.“Kayaknya tuh cowok ngebet banget sama lo, ya?”Aku mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Sarah. Makin hari, pemuda itu memang makin menunjukkan kedekatannya denganku.“Anak tajir, lo tau sendiri gimana gayanya mereka.”“Kalau gue jadi lo, gue manfaatin tuh cowok. Biar aja dia bayar keperluan kita. Mereka bakal lakuin apa aja buat cewek yang dicinta.”Aku mencibir mendengar omongan sahabatku ini. &ldqu
“Gue tadi nungguin lo sampe setengah jam, karena takut kelamaan gue milih pulang sama Pak Damar.”“Tapi faktanya gue nyampe lebih dulu.”“Tadi gue ngerasa pusing, makanya Pak Damar berhenti dulu beliin gue obat, nih kalau lo gak percaya.” Aku merogoh kantong pemberian Pak Damar dan mencari benda yang kumaksud.“Gue gak peduli lo mau ngeluyur dulu atau langsung pulang, cuma gue merasa bodoh aja. Pulang ngebut karena kepikiran adik-adik lo yang nungguin kakaknya pulang bawa makanan. Sementara kakaknya—”Aku menunduk dalam. Entah mengapa merasa sangat bersalah. Aku tidak suka jika Alex berpikiran kalau aku tadi bersenang-senang dengan Pak Damar.“Duduk sini! Gue lapar. Mau sampe kapan lo berdiri di situ?”Aku mengerjap, cepat-cepat menaruh kantong plastik dan duduk dekat Alex. Kuambil piring yang bersih di meja lantas mengambil sebungkus nasi, membukanya dan memberikannya pada Alex.“Seb
Aku melirik jam tangan yang terlihat usang, sudah hampir tiga puluh menit tapi Alex belum juga muncul.“Ish. Alex ngeselin banget, tadi bilangnya cuma nunggu sebentar. Kan, aku udah bilang kalau adik-adikku nunggu buat makan siang.” Aku menggerutu sambil menghentak-hentakkan kaki.Sebelum pulang, aku akan mampir dulu ke warung mengambil dua nasi bungkus untuk adikku. Dulu, sebelum mulai pekerjaan di tempat Bu Jamilah, beliau menyuruhku makan terlebih dahulu. Namun, karena Rani dan Ridho juga belum makan siang, aku selalu membungkus nasi tersebut untuk diberikan pada kedua adikku.Mengetahui hal tersebut, pemilik warung tempatku bekerja berbaik hati memberikan dua nasi bungkus untuk adikku. Aku sudah menolak, karena sudah diberi upah bulanan. Namun, wanita baik itu bersikeras agar aku menerimanya. Semenjak itu, setiap pulang sekolah aku mampir terlebih dulu untuk mengambil nasi bungkus tersebut.Itu sebabnya aku merasa sungk