“Ra, gue mau ngomong, gue tunggu di taman deket kantin.” Suara Alex mengagetkanku yang sedang merapikan buku-buku pelajaran. Belum juga menjawab, pemuda itu sudah melangkah pergi.
“Gimana keputusan lo?” Sarah menatapku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Karena sampai detik ini masih belum bisa mengambil keputusan.
“Gue ke taman dulu, ya, Alex nungguin.”
“Gue ikut, mau ke kantin juga.” Sarah mensejajarkan langkahnya.
“Kayaknya tuh cowok ngebet banget sama lo, ya?”
Aku mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Sarah. Makin hari, pemuda itu memang makin menunjukkan kedekatannya denganku.
“Anak tajir, lo tau sendiri gimana gayanya mereka.”
“Kalau gue jadi lo, gue manfaatin tuh cowok. Biar aja dia bayar keperluan kita. Mereka bakal lakuin apa aja buat cewek yang dicinta.”
Aku mencibir mendengar omongan sahabatku ini. “Masalahnya Alex tuh bukannya cinta sama gue. Cuma ngebet buat nidurin gue,” bisikku cepat.
“Ah sok tau lo. Kalau gak cinta, ngapain dia nempelin lo terus. Bersikap lembut. Padahal setahu gue Alex dan teman-temannya tipe memaksa. Mereka bakal lakuin apa aja demi mendapatkan apa yang mereka mau. Nah sama lo, Alex sabar banget buat ngedapetin lo.”
“Cuma modus.”
“Ck, serah lo deh, Ra. Gue doain lo jodoh sama dia. Kan, lumayan punya suami tajir dan keren kayak Alex. Gak perlu susah-susah cari duit.”
“Apaan? Belum juga lulus sekolah udah mikirin nikah aja.”
Sarah terkekeh geli menyadari kekonyolan barusan.
“Ya udah, gue ke kantin dulu. Noh Alex udah duduk manis.”
Aku melirik ke arah yang ditunjukkan Sarah. Benar saja, pemuda itu sudah berada di sana dengan earphone yang menempel di telinganya.
“Makan dulu, gue gak mau lo ngeluh pusing lagi kayak kemarin.” Alex menyodorkan kotak makan fast food bertuliskan brand terkenal yang menyajikan makanan dari negeri sakura.
Dasar orang kaya, ada kantin malah pesan makan dari luar. Eh, memang bisa, ya, pesan makan dari luar?
Aku melongo begitu membuka kotak makan tersebut. Ada nasi, udang dibalut tepung. Saus. Salad. Potongan daging dicampur irisan bawang Bombay dan paprika.
Hhhmm! Aku langsung menelan ludah melihat makanan yang tampak lezat itu. Jujur, seumur-umur belum pernah makan makanan seperti ini. Entah rasanya enak atau tidak.
Tanpa sadar, Alex juga sudah membuka kotak makan miliknya. Pemuda itu juga membukakan sumpit milikku.
Huft. Kalau saja kami berpacaran, pasti aku sudah melayang karena semua sikap manisnya. Tapi sayangnya,i pemuda ini baik karenamkarena ada maunya.
Alex menaikkan alis saat aku terus saja memperhatikannya.
“Memang bakal kenyang, ya, kalau liatin gue terus?” godanya dengan senyum jahil.
Idiiiiiih! Kepedean. Aku mencibir ke arahnya. Baru akan menyuap sepotong daging, tiba-tiba aku teringat Ridho dan Rani.
Ya Tuhan, mereka hanya bisa jajan gorengan dan teh kemasan seribuan. Sementara aku makan enak dan lengkap seperti ini. Aku meletakkan kembali potongan daging, mengurungkan niat menyantap makan siang ini dan membungkusnya kembali.
“Kenapa? Gak suka? Mau makan yang lain aja?” Alex menatap heran.
“Belum lapar.”
“Serius? Ini udah jam satu lho.”
“Dua rius,” jawabku malas.
“Ridho sama Rani udah gue beliin juga. Dikirim ke rumah lo. Jam segini mereka udah pulang, kan?”
Aku menatap tidak percaya. Dengan cuek, pemuda itu melahap makanannya. Bahkan Alex menyodorkan sepotong daging untukku. Bodohnya, aku menurut saja dan menerima suapannya.
Hmmm, ini lezat. Gurih. Manis dan beraroma wijen.
“Enak, kan?” tanyanya dengan mulut penuh.
Aku mengangguk, kemudian mengerjap menyadari pernyataan tadi. Alex membelikan makanan yang sama untuk kedua adikku.
“Seriusan lo kirim makanan yang sama ke rumah?” tanyaku untuk meyakinkan.
Pemuda itu merogoh kantongnya dan memperlihatkan secarik kertas. Di sana tertulis alamat lengkap rumahku sebagai alamat penerima dua porsi makanan dari gerai yang sama.
“Sekarang lo udah bisa makan. Atau sengaja minta gue suapin? Belum jadi pengantin udah mau suap-suapan melulu.”
Aku berdecak melihat Alex yang tersenyum geli. Dia senang sekali menggodaku. Matanya terus saja menatapku dalam. Membuat pipi mulai menghangat karena terus saja diperhatikan.
“Enak,” gumamku setelah menyuapkan daging beraroma wijen tersebut. Udang tepungnya pun lezat. Gurih. Empuk di dalam dan renyah di luar. Benar-benar perpaduan yang pas.
“Ini namanya Beef Yakiniku, dan ini Ebi Furai. Next time gue ajak langsung ke tempatnya.”
“Bareng Ridho sama Rani?”
“Iya, sama adik-adik lo.”
Aku tersenyum tipis membayangkan Ridho dan Rani yang semringah ketika diajak ke tempat itu. Mereka pasti sangat antusias dan senang.
Hei. Kenapa obrolan kami jadi hangat seperti ini. Aku dan Alex seperti sepasang kekasih yang sedang membahas libur akhir pekan.
Aku mengangkat bahu. Tidak peduli dengan hubungan apa yang sedang aku dan Alex jalani. Selama pemuda ini tidak bersikap kurang ajar, aku santai saja kalau harus berduaan seperti ini.
Dalam waktu beberapa menit, semua makanan tandas. Teh kemasan kotak dingin menjadi penutup makan siang kali ini. Punya teman orang kaya ternyata menyenangkan. Bisa makan lengkap dan lezat.
Baru saja membereskan bekas makan, aku dibuat terkejut dengan kelakuan Alex. Pemuda ini mengulurkan tangan dan mengusap sudut bibirku. “Lo kayak anak kecil, makan aja belepotan gini,” ujarnya lembut.
Astaga! Jantungku langsung berdetak kencang. Kata-kata ketus yang selalu keluar sebagai tanda protes, kini menghilang entah ke mana.
“Suka sama makan siangnya?” tanya Alex. Lagi-lagi aku bertingkah seperti orang linglung, hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
“Tiap istirahat gue bakal beliin buat lo. Kita makan sama-sama di sini.”
Aku hanya bisa melongo mendengar pernyataannya.
Ha! Yang benar saja? Makan makanan ini setiap hari. Dan gue yakin dia juga bakal belikan juga buat kedua adikku. Serius? Memang uang jajan Alex berapa banyak?
“Gue punya usaha sendiri, Ra. Jadi lo gak usah khawatir.” Jawaban Alex seperti tahu kegelisahanku.
“Gak perlu tiap hari, nanti gue kaget makan enak terus. Ya udah makasih buat makan siangnya. Udah beres, kan, gue balik ke kelas, ya,” ujarku dengan suara lembut.
“Tunggu dulu.” Tangan Alex mencekal lenganku.
“Apa? Lo gak mau minta bayaran, kan, untuk makan spesial kali ini,” ujarku panik. Alex, kan, begitu. Kebaikannya sering kali terselubung.
Pemuda itu tertawa lepas. Dia sampai menggeleng pelan.
“Kali ini gratis, Ra. Gue gak akan pungut biaya atau bunga buat makan siang ini. Utang lo udah cukup banyak. Gue gak tega kalau yang ini juga dimasukkan ke bon.”
Sialan. Aku melemparkan tatapan tajam.
“Terus apa lagi? Jangan bilang minta kita jalan bareng sampe kelas sambil gandengan tangan. Ewh. Gak banget. Gue gak mau seluruh kelas menganggap kita pacaran.”
“Memang kenapa kalau mereka tau hubungan kita? Cewek lain ngincer gue loh, Ra. Mereka bahkan rela gue jadiin perempuan satu malam.”
“Itu dia, gue gak mau cari musuh.”
“Lagian telat juga. Lo kira dari tadi kita gak jadi bahan pembicaraan yang lain.” Alex menunjuk dengan dagunya. Aku mendesah pelan saat menyadari siswa di kantin yang saat ini sedang memperhatikan kami.
“Ya udah cepetan mau ngomong apa?”
“Duduk dulu.” Alex kembali menarikku untuk duduk di sebelahnya.
“Gue udah nemu jadwal pernikahan kita. Dua Minggu lagi. Gue udah siapin penghulu dan saksi. Gue butuh saksi dari lo. Jadi, kalau ada apa-apa, ada pihak lo yang tau tentang pernikahan kita.”
Tubuhku menegang seketika. Tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
Pernikahan? Dua Minggu lagi?
Ya Tuhan. Alex serius degan ucapannya yang mau menikahiku.
Bersambung
“Gue belum bilang setuju, ya, Lex! Jangan seenaknya memutuskan.” Aku menatap tajam pemuda di hadapanku.Aku memang berutang banyak padanya, tapi bukan berarti dia bisa mengendalikan hidupku seenaknya.“Kali ini posisi lo hanya bisa menurut, Ra? Jangan buat semuanya jadi sulit. Gue gak mau menggunakan cara kasar.” Alex berbicara santai. Dia bahkan sempat-sempatnya membereskan bekas makan kami.“Lo bener-bener brengsek!” umpatku sambil menghentakkan kaki.“Mulut lo, Ra! Sejak kapan kata-kata lo jadi kasar begini?” Alex menatapku tajam.“Gue gak mau nikah sama lo. Lo pasti punya rencana macam-macam, kan?”“Mau gue cuma satu macam. Tubuh lo! Lo gak mau ngelakuin itu di luar nikah, kan, makanya gue ajak lo nikah siri.”Aarrrggh.Dada mulai bergemuruh melihat Alex yang terus-menerus bisa mengendalikan keadaan. Haruskah aku menurut begitu saja. Kalau aku membantah, memangnya aku bisa mendapat uang sebanyak itu dari mana.Tuhan. Kirimkan
“Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.“Ck, gak gue itung utang, Ra?
Aku mengerjap, mencoba mencerna ucapan Alex.Pengen gue? Maksudnya apa?Namun, belum juga aku memahami kata-katanya, dia kembali merapatkan bibir kami. Ciumannya makin intens. Kasar. Dan menuntut. Membuat seluruh tubuhku merinding.Bangun Maura! Kenapa kamu diam saja menerima perlakuan Alex? Dia akan makin berani jika kamu tidak melawan.Seperti tahu kegelisahanku, Alex menyudahi ciumannya. Pemuda itu menatapku dengan intens. Namun, kurasakan sesuatu yang menggelitik di bagian perut. Tangan Alex mulai berani membelai perutku dari balik baju. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyelimuti seluruh tubuh.Astaga! Kenapa aku jadi begini?Tubuhku panas. Apalagi Alex kembali merapatkan bibir kami dengan penuh nafsu. Tak berhenti di situ, dia pun mulai meraba punggung. Memberikan sentuhan halus di sana. Memainkan jemarinya dengan lihai dan berhenti di pengait .... Sial! Jangan bilang maksudnya tadi
“Mau mahar apa?” bisik seseorang tiba-tiba.Deg!Aku yang sedang fokus membaca latihan soal ujian, sontak terlonjak. Seorang pemuda dengan santainya sudah berdiri di belakangku.Ish! Alex rese! Sudah berapa kali aku bilang jangan membahas pernikahan di sekolah?Aku melirik ke tangannya. Syukurlah! Pemuda ini tidak membawa makanan cepat saji seperti kemarin-kemarin. Dalam seminggu ini dia membuktikan ucapannya tempo hari, membawakan makanan dari brand terkenal yang berasal dari negeri Sakura.“Lo mau mahar apa, Ra?” tanyanya lagi karena belum juga mendapatkan jawaban.“Gue udah pernah bilang, kan, jangan ngomong masalah itu di sini!” seruku tajam sambil melayangkan pukulan di bahu Alex.“Mumpung inget, kalau nanti-nanti bakallbakal ” Alex menjatuhkan pantatnya tepat di sebelahku.“Iih, sana lagi ngapa, sih? Seneng banget gangguin gue!&rdquo
Aku mengernyit heran saat motor Alex berhenti di sebuah butik baju pengantin yang cukup ternama. Siang ini dia sengaja memintaku untuk pulang bersamanya. Dia sampai meyakinkan aku kalau Ridho dan Rani sudah makan siang. Bukannya langsung ke rumah, sekarang justru singgah ke tempat yang memajang beberapa gaun pengantin mewah. Dalam tidur pun aku tidak berani memimpikan datang ke tempat ini.“Ngapain kita ke sini?”“Pernikahan kita memang siri, tapi aku mau kamu punya kesan yang indah dengan hari spesial itu. Salah satunya gaun pengantin.” Alex mengatakan itu masih dengan penuh kelembutan.Hadeeeh! Kesambet setan mana, sih, nih orang? Udah gak ada siapa-siapa masih sok mesra. Panggilannya sudah berubah jadi aku kamu.“Lo kesambet setan mana, sih? Badan lo juga gak anget.” Aku menempelkan punggung tangan di kening Alex. Pemuda rese itu justru menarik jemariku lalu mengecupnya lembut.“Jijik benget, sih!” cibirku sambil memukul lengannya.
“Stop!” Kudorong kuat pemuda yang tengah memelukku, “gue gak mau, Lex. Jangan bikin gue berubah pikiran! Lo gak bisa, ya, sedikit aja ngehargain gue?”Alex menyeringai lebar.“Tadi kamu ngedesah lho, Ra! Kamu juga pengen lebih dari tadi, kan? Kenapa malu?”Ck, kenapa pemuda ini tidak paham juga. Kalau aku tidak memberikan mahkota yang satu itu selain untuk suamiku.Aku memang menikmati keintiman tadi, tapi bukan berarti harus berlanjut dan menyerahkan semuanya. Jujur, terlalu sering didekati Alex, membuat pikiranku mulai tercemar. Tubuh refleks menerima semua sentuhan pemuda itu yang sangat lihai dan menggoda. Hingga tanpa sadar, aku pun mulai membalasnya.“Tinggal satu Minggu, Lex. Kenapa gak bisa sabar, sih? Makanya gak usah temui aku dulu. Dipingit. Lo tau dipingit, kan? Gak usah ketemu dulu beberapa hari sebelum menikah.”“Ah! Maura gak asik! Kamu takut a
“Tidur sama gue, utang lo lunas.”Plaak.Satu tamparan kulayangkan pada pemuda jangkung di hadapan. Dia menyeringai, badannya semakin mendekat dan kini sukses mengurungku yang kini terjebak di sudut gudang.Tuhan, harusnya aku curiga saat dia meminta ketemuan di ruangan pengap ini.“Bahkan gue bisa jadi langganan, lo!” bisiknya serak di telinga.Napasku memburu. Dada terasa terbakar dan sesak sekaligus.Brengsek! Alex benar-benar kurang ajar. Aku salah mengira. Kupikir pertolongannya kemarin murni karena empati. Ternyata ada udang di balik batu. Dia sepertinya sudah merencanakan ini.“Ayolah, Ra, gue tau kalau lo tadi sempat tanya-tanya Sarah tentang kerjaan sampingannya.”Dengan berani Alex mulai membelai pipiku. Kedua tangan yang tadi sempat mendorong tubuhnya justru dicekal kuat. Mata sudah panas dan siap meneteskan butiran bening.Tahan, Maura, tahan. Jangan sampai pe
“Kenapa diem, Ra? Nanti keburu dingin kalau makan sambil melamun.”Lagi, pria di depanku tersenyum manis.Duuuh. Gimana bisa makan kalau dia ngeliatin terus seperti itu?“Saya tadi lagi cari bangku yang masih layak pakai di gudang. Eeh, kok, lihat ada yang jongkok. Saya kira siapa, gak tahunya malah kamu. Sebenarnya kamu lagi apa di sana? Tumben-tumbenan. Biasanya gak pernah menunda-nunda pulang.”“Ehm, itu, anu, Pak, sa—saya—” Aku tergagap. Bingung harus menjelaskan apa.“Ya udah kalau kamu gak mau cerita. Cepet makan, kasian adik-adik kamu nungguin.”Gegas aku melahap bakso yang sudah mulai dingin. Pak Damar sampai menggeleng keras melihatku yang makan dengan cepat. Jantung berdetak kencang saat tiba-tiba tangannya mengusap sudut bibirku. “Ada noda saos,” lirihnya dengan kikuk. Cepat-cepat dia menarik tangannya dan berdiri menjauh. Beliau mendekati gerobak dan menyebutkan semua pesanannya tadi.Aaiiih! Apa-apaan sih Pak Damar? Bikin deg-de
“Stop!” Kudorong kuat pemuda yang tengah memelukku, “gue gak mau, Lex. Jangan bikin gue berubah pikiran! Lo gak bisa, ya, sedikit aja ngehargain gue?”Alex menyeringai lebar.“Tadi kamu ngedesah lho, Ra! Kamu juga pengen lebih dari tadi, kan? Kenapa malu?”Ck, kenapa pemuda ini tidak paham juga. Kalau aku tidak memberikan mahkota yang satu itu selain untuk suamiku.Aku memang menikmati keintiman tadi, tapi bukan berarti harus berlanjut dan menyerahkan semuanya. Jujur, terlalu sering didekati Alex, membuat pikiranku mulai tercemar. Tubuh refleks menerima semua sentuhan pemuda itu yang sangat lihai dan menggoda. Hingga tanpa sadar, aku pun mulai membalasnya.“Tinggal satu Minggu, Lex. Kenapa gak bisa sabar, sih? Makanya gak usah temui aku dulu. Dipingit. Lo tau dipingit, kan? Gak usah ketemu dulu beberapa hari sebelum menikah.”“Ah! Maura gak asik! Kamu takut a
Aku mengernyit heran saat motor Alex berhenti di sebuah butik baju pengantin yang cukup ternama. Siang ini dia sengaja memintaku untuk pulang bersamanya. Dia sampai meyakinkan aku kalau Ridho dan Rani sudah makan siang. Bukannya langsung ke rumah, sekarang justru singgah ke tempat yang memajang beberapa gaun pengantin mewah. Dalam tidur pun aku tidak berani memimpikan datang ke tempat ini.“Ngapain kita ke sini?”“Pernikahan kita memang siri, tapi aku mau kamu punya kesan yang indah dengan hari spesial itu. Salah satunya gaun pengantin.” Alex mengatakan itu masih dengan penuh kelembutan.Hadeeeh! Kesambet setan mana, sih, nih orang? Udah gak ada siapa-siapa masih sok mesra. Panggilannya sudah berubah jadi aku kamu.“Lo kesambet setan mana, sih? Badan lo juga gak anget.” Aku menempelkan punggung tangan di kening Alex. Pemuda rese itu justru menarik jemariku lalu mengecupnya lembut.“Jijik benget, sih!” cibirku sambil memukul lengannya.
“Mau mahar apa?” bisik seseorang tiba-tiba.Deg!Aku yang sedang fokus membaca latihan soal ujian, sontak terlonjak. Seorang pemuda dengan santainya sudah berdiri di belakangku.Ish! Alex rese! Sudah berapa kali aku bilang jangan membahas pernikahan di sekolah?Aku melirik ke tangannya. Syukurlah! Pemuda ini tidak membawa makanan cepat saji seperti kemarin-kemarin. Dalam seminggu ini dia membuktikan ucapannya tempo hari, membawakan makanan dari brand terkenal yang berasal dari negeri Sakura.“Lo mau mahar apa, Ra?” tanyanya lagi karena belum juga mendapatkan jawaban.“Gue udah pernah bilang, kan, jangan ngomong masalah itu di sini!” seruku tajam sambil melayangkan pukulan di bahu Alex.“Mumpung inget, kalau nanti-nanti bakallbakal ” Alex menjatuhkan pantatnya tepat di sebelahku.“Iih, sana lagi ngapa, sih? Seneng banget gangguin gue!&rdquo
Aku mengerjap, mencoba mencerna ucapan Alex.Pengen gue? Maksudnya apa?Namun, belum juga aku memahami kata-katanya, dia kembali merapatkan bibir kami. Ciumannya makin intens. Kasar. Dan menuntut. Membuat seluruh tubuhku merinding.Bangun Maura! Kenapa kamu diam saja menerima perlakuan Alex? Dia akan makin berani jika kamu tidak melawan.Seperti tahu kegelisahanku, Alex menyudahi ciumannya. Pemuda itu menatapku dengan intens. Namun, kurasakan sesuatu yang menggelitik di bagian perut. Tangan Alex mulai berani membelai perutku dari balik baju. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyelimuti seluruh tubuh.Astaga! Kenapa aku jadi begini?Tubuhku panas. Apalagi Alex kembali merapatkan bibir kami dengan penuh nafsu. Tak berhenti di situ, dia pun mulai meraba punggung. Memberikan sentuhan halus di sana. Memainkan jemarinya dengan lihai dan berhenti di pengait .... Sial! Jangan bilang maksudnya tadi
“Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.“Ck, gak gue itung utang, Ra?
“Gue belum bilang setuju, ya, Lex! Jangan seenaknya memutuskan.” Aku menatap tajam pemuda di hadapanku.Aku memang berutang banyak padanya, tapi bukan berarti dia bisa mengendalikan hidupku seenaknya.“Kali ini posisi lo hanya bisa menurut, Ra? Jangan buat semuanya jadi sulit. Gue gak mau menggunakan cara kasar.” Alex berbicara santai. Dia bahkan sempat-sempatnya membereskan bekas makan kami.“Lo bener-bener brengsek!” umpatku sambil menghentakkan kaki.“Mulut lo, Ra! Sejak kapan kata-kata lo jadi kasar begini?” Alex menatapku tajam.“Gue gak mau nikah sama lo. Lo pasti punya rencana macam-macam, kan?”“Mau gue cuma satu macam. Tubuh lo! Lo gak mau ngelakuin itu di luar nikah, kan, makanya gue ajak lo nikah siri.”Aarrrggh.Dada mulai bergemuruh melihat Alex yang terus-menerus bisa mengendalikan keadaan. Haruskah aku menurut begitu saja. Kalau aku membantah, memangnya aku bisa mendapat uang sebanyak itu dari mana.Tuhan. Kirimkan
“Ra, gue mau ngomong, gue tunggu di taman deket kantin.” Suara Alex mengagetkanku yang sedang merapikan buku-buku pelajaran. Belum juga menjawab, pemuda itu sudah melangkah pergi.“Gimana keputusan lo?” Sarah menatapku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Karena sampai detik ini masih belum bisa mengambil keputusan.“Gue ke taman dulu, ya, Alex nungguin.”“Gue ikut, mau ke kantin juga.” Sarah mensejajarkan langkahnya.“Kayaknya tuh cowok ngebet banget sama lo, ya?”Aku mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Sarah. Makin hari, pemuda itu memang makin menunjukkan kedekatannya denganku.“Anak tajir, lo tau sendiri gimana gayanya mereka.”“Kalau gue jadi lo, gue manfaatin tuh cowok. Biar aja dia bayar keperluan kita. Mereka bakal lakuin apa aja buat cewek yang dicinta.”Aku mencibir mendengar omongan sahabatku ini. &ldqu
“Gue tadi nungguin lo sampe setengah jam, karena takut kelamaan gue milih pulang sama Pak Damar.”“Tapi faktanya gue nyampe lebih dulu.”“Tadi gue ngerasa pusing, makanya Pak Damar berhenti dulu beliin gue obat, nih kalau lo gak percaya.” Aku merogoh kantong pemberian Pak Damar dan mencari benda yang kumaksud.“Gue gak peduli lo mau ngeluyur dulu atau langsung pulang, cuma gue merasa bodoh aja. Pulang ngebut karena kepikiran adik-adik lo yang nungguin kakaknya pulang bawa makanan. Sementara kakaknya—”Aku menunduk dalam. Entah mengapa merasa sangat bersalah. Aku tidak suka jika Alex berpikiran kalau aku tadi bersenang-senang dengan Pak Damar.“Duduk sini! Gue lapar. Mau sampe kapan lo berdiri di situ?”Aku mengerjap, cepat-cepat menaruh kantong plastik dan duduk dekat Alex. Kuambil piring yang bersih di meja lantas mengambil sebungkus nasi, membukanya dan memberikannya pada Alex.“Seb
Aku melirik jam tangan yang terlihat usang, sudah hampir tiga puluh menit tapi Alex belum juga muncul.“Ish. Alex ngeselin banget, tadi bilangnya cuma nunggu sebentar. Kan, aku udah bilang kalau adik-adikku nunggu buat makan siang.” Aku menggerutu sambil menghentak-hentakkan kaki.Sebelum pulang, aku akan mampir dulu ke warung mengambil dua nasi bungkus untuk adikku. Dulu, sebelum mulai pekerjaan di tempat Bu Jamilah, beliau menyuruhku makan terlebih dahulu. Namun, karena Rani dan Ridho juga belum makan siang, aku selalu membungkus nasi tersebut untuk diberikan pada kedua adikku.Mengetahui hal tersebut, pemilik warung tempatku bekerja berbaik hati memberikan dua nasi bungkus untuk adikku. Aku sudah menolak, karena sudah diberi upah bulanan. Namun, wanita baik itu bersikeras agar aku menerimanya. Semenjak itu, setiap pulang sekolah aku mampir terlebih dulu untuk mengambil nasi bungkus tersebut.Itu sebabnya aku merasa sungk