Share

Desakan

Penulis: aicha aisah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Kenapa diem, Ra? Nanti keburu dingin kalau makan sambil melamun.”

Lagi, pria di depanku tersenyum manis.

Duuuh. Gimana bisa makan kalau dia ngeliatin terus seperti itu?

“Saya tadi lagi cari bangku yang masih layak pakai di gudang. Eeh, kok, lihat ada yang jongkok. Saya kira siapa, gak tahunya malah kamu. Sebenarnya kamu lagi apa di sana? Tumben-tumbenan. Biasanya gak pernah menunda-nunda pulang.”

“Ehm, itu, anu, Pak, sa—saya—” Aku tergagap. Bingung harus menjelaskan apa.

“Ya udah kalau kamu gak mau cerita. Cepet makan, kasian adik-adik kamu nungguin.”

Gegas aku melahap bakso yang sudah mulai dingin. Pak Damar sampai menggeleng keras melihatku yang makan dengan cepat. Jantung berdetak kencang saat tiba-tiba tangannya mengusap sudut bibirku. “Ada noda saos,” lirihnya dengan kikuk. Cepat-cepat dia menarik tangannya dan berdiri menjauh. Beliau mendekati gerobak dan menyebutkan semua pesanannya tadi.

Aaiiih! Apa-apaan sih Pak Damar? Bikin deg-degan aja.

“Maura, ayo pulang!” serunya dengan tegas. Wajahnya berubah datar. Senyum yang tadi terus menghiasi bibirnya sirna entah ke mana. Mungkin beliau malu karena tadi sempat lepas kendali.

Hish. Aneh. Dia yang mulai dia juga grogi. Kalau sudah begini, gimana aku gak makin ge-er.

“Kamu masih kerja di warung tetanggamu, Ra?” Suara Pak Damar terdengar lirih. Berbaur dengan bising kendaraan di jalanan.

“Masih, Pak.”

“Setelag lulus, mau lanjut di mana?”

“Bisa tamat sekolah aja udah untung, Pak. Paling lansung cari kerjaan.”

“Wah, sayang sekali. Padahal kamu siswa berprestasi.”

Kulihat Pak Damar memperhatikanku lewat kaca spion. Lagi-lagi beliau menyunggingkan senyum tipis.

Tuhan. Tolong buat Pak Damar lupa arah rumahku, hingga dia tersesat dan kebersamaan kami makin lama.

Aku terkikik menyadari pikiran konyol barusan. Membuat orang di depanku memalingkan muka keheranan.

“Apa yang lucu, Ra?” tanyanya lembut.

“Eh gak ada, Pak. Tadi Cuma keinget kejadian di sekolah.”

“Jangan suka senyum-senyum sendiri, nanti dikira gak waras.” Pak Damar terbahak. Sepertinya puas sekali bisa mengejekku. Bukannya marah, aku justru ikut terkekeh geli. Berdekatan dengan pria yang satu ini, membuat mood-ku melonjak drastis. Bawaannya senang terus.

Sayang, rumahku sudah berjarak beberapa meter lagi. Kebersamaan yang menyenangkan ini harus berakhir.

“Oke, dah sampai!” serunya dengan ceria. Sikap Pak Damar jika di luar sekolah sangat berbeda. Beliau seperti sedang mengantar teman atau orang terdekatnya. Begitu lepas. Begitu semringah. Pak Damar memang pernah bilang, saat di luar sekolah jangan menganggapnya seperti guru. Anggaplah sebagai teman. Biar lebih akrab katanya. Terdengar janggal, tapi aku menyukainya.

“Makasih untuk bakso dan tumpangannya, Pak.”

“Santai, Ra. Kamu kalau ada apa-apa jangan sungkan bilang ke saya. Ya udah, saya pamit dulu. Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Setelah memastikan Pak Damar sudah pergi, aku bergegas masuk ke sebuah bangunan mungil. Rumah sederhana yang menjadi peninggalan kedua orang tua. Rani dan Ridho – kedua adikku, mereka langsung semringah menerima bakso pemberian guru Bahasa Inggris-ku.

Namun, baru saja berganti pakaian. Gedoran di pintu membuatku terlonjak kaget.

Kedua adikku tergopoh-gopoh masuk ke kamarku. “Teh, di depan ada orang suruhan Juragan Jaka.” Suara Ridho terdengar bergetar. Tangannya sampai terasa dingin saat kusentuh.

“Kalian tunggu sini, biar Teteh yang temuin mereka.”

Aku berjalan dengan langkah cepat. Sebenarnya juga nyaliku ciut, tapi di depan adik-adik aku tidak boleh terlihat lemah. Bisa-bisa mereka makin ketakutan.

“Halo Neng Geulis, akhirnya ketemu kamu juga.”

“Kenapa Juragan Jaka ke sini? Bukannya masih lusa jatuh temponya. Jangan suka seenaknya begini dong. Mentang-mentang saya perempuan jadi seenaknya.” Aku memasang wajah garang. Dalam dada sebenarnya sudah dag dig dug tidak karuan.

“Udahlah, Maura, gak usah jual mahal. Kamu harusnya seneng Aa mau menikahimu, jadi segala urusan utang beres.”

Pria bertubuh tambun itu mendekat, bau aneh langsung tercium, seperti minyak angin atau semacam minta gosok. Mulutnya menyeringai, memperlihatkan deretan gigi yang sedikit menguning. Kakiku hampir meluruh jika tidak berpegang pada kursi kayu di ruang tamu.

“Jangan kurang ajar, Juragan. Saya bisa teriak dan membuat orang-orang berdatangan ke sini.” Aku melotot, badan bergerak mundur karena Juragan Jaka makin menyudutkanku ke kursi.

“Saya sudah bilang sama Sairoh, dia sudah mempersiapkan acara pernikahan kita. Tenang saja, istri pertama saya gak rewel. Dia gak pernah protes kalau saya nikah lagi.” Jari yang penuh dengan cincin batu akik itu mengelus pipiku. Pria paruh baya itu sudah berani melewati batas.

“Dang, ikat dia. Kamu Darmaji, jagain adiknya biar gak ganggu urusan saya, ” Suara Juragan Jaka terdengar dingin.

Tunggu, apa maksudnya mereka menutup rapat pintu depan?

Badan langsung gemetar melihat ekspresi wajah Juragan Jaka di depanku. Bibirnya menyeringai lebar. Sementara matanya menatapku dengan pandangan penuh nafsu.

Tuhan, apa Juragan Jaka mau melecehkanku?

Kedua adikku diseret ke belakang. Aku bergeser cepat dan bersiap lari. Namun, tangan pria paruh baya itu mencengkeram lenganku kuat dan menyeretku masuk ke dalam kamar tepat di sisi ruang tamu.

“Apa-apaan ini, Juragan—” Pria bernama Dadang membekap mulutku dan mengikatnya dengan kain. Kedua tanganku pun diikat ke sisi ranjang. Kaki menendang asal. Sayang tenaga pria ini bukan tandinganku.

“Aku udah gak sabar pengen nyentuh kamu, Neng Geulis. Kamu gak perlu takut, setelah ini aku bakal ngawinin kamu. Sekarang, biar aku DP dulu.”

Aku tak bisa berteriak. Mulut hanya bergumam tidak jelas karena disumpal kain. Keberanian seketika menguap, yang ada hanya gigil dan juga keringat dingin.

Mata ini sengaja terpejam saat bibir lancangnya bergerak maju ingin menciumku. Dalam hati hanya bisa merapalkan doa memohon pertolongan.

Pria bernama Dadang sudah keluar dengan kekehan kecil. Bajingan! Juragan Jaka benar-benar keterlaluan.

Kenapa tidak ada tetangga yang datang menolong?

Aah. Posisi rumahku memang paling ujung, jam segini banyak yang sedang berangkat kerja. Jadi, di luar pasti sepi. Bagaimana dengan kedua adikku? Mereka pasti sekarang sangat ketakutan.

Aku hanya bisa memekik saat tangan kasar Juragan Jaka mulai melucuti pakaianku. Tubuh bagian atas sudah terbuka, hanya tersisa kain kecil penutup dada.

Ayah. Ibu. Tolong Maura.

“Kamu sangat menggoda, Neng. Aa beruntung bisa melihat keindahan tubuh kamu.”

Pria itu menatap dengan lapar. Aku benar-benar jijik melihat ekspresinya yang sudah dipenuhi nafsu. Air mata tak bisa dibendung saat jemarinya mulai menyentuh tubuh bagian atasku.

Bajingan. Ini benar-benar biadab.

Aku menendang tubuh sensitif Juragan Jaka dengan keras. Pria itu mengerang dan melayangkan tamparan keras tepat di pipiku.

“Dasar jalang cilik! Kamu mau bermain kasar, ha!”

Plaaak.

Lagi, satu tamparan mendarat di bagian yang sama.

Pipiku sangat pedih. Namun, jauh di dalam sini lebih merasakan sakit. Bagaimana bisa seseorang yang harusnya mengayomi anak yatim sepertiku, kini bertindak di luar kewarasan?

“Coba kamu nurut, Neng. Jadi Aa gak maen kasar kayak gini. Udah dari lama Aa memendam keinginan untuk menyentuhmu.”

Sekarang, bukan hanya aroma minyak angin yang tercium, tapi juga bau alkohol yang begitu menyengat dari mulutnya yang lebar.

Menjijikkan. Aku ingin sekali berteriak dan memakinya dengan kasar. Namun, semua itu hanya bisa kutahan dalam hati. Mulutku hanya bisa mengerang saat tangannya meremas kasar puncak dadaku.

Ya Tuhan. Ini adalah hari terburuk yang pernah kulalui. Tadi Alex yang menciumku dengan paksa. Sekarang tua bangka ini akan menggagahiku.

Aku tidak sanggup melihat semua ini dengan mata terbuka. Aku memejamkan mata tidak ingin melihat wajah penuh nafsu Juragan Jaka yang sedang menyentuhku.

Namun, saat pria tua itu baru saja menempelkan bibirnya di leherku, terdengar bunyi bedebam dan disusul pekikkan keras.

“Bangsat! Siapa yang berani-beraninya menganggu kesenangan!” umpat Juragan Jaka penuh emosi.

Aku mengerjap, sosok jangkung itu sudah berdiri di ambang pintu. Matanya menyorot tajam pada pria tua yang kini sudah melepas celananya. Sebuah amplop cokelat dilempar tepat ke wajah Juragan Jaka.

“Seratus juta, sesuai permintaan Juragan. Utang Maura lunas. Sekarang keluar! Jangan berani untuk mengingkari kesepakatan kita kemarin. Atau ... saya telepon polisi!” Suara pemuda itu tegas dan dingin.

Sekali lagi aku terkesiap. Pria itu kehabisan kata-kata dan langsung memakai kembali celananya. Tanpa melihatku lagi, Juragan Jaka langsung keluar meninggalkan kamar ini.

“Gue udah lunasi semua utang lo, dua kali lipat. Sekarang lo gak bisa membantah keinginan gue lagi.”

Setelah tadi cukup merasa lega, hatiku kembali mencelos melihat pemuda itu menutup pintu dan berjalan mendekatiku. 

Ya Tuhan, kukira dia dewa penolongku. Ternyata ... dia masih pemuda yang sama seperti tadi siang.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dewi intan
Oke aku dapat imnu darinsini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 3 Dilema

    “Maaf, gue telat,” bisik Alex dengan lembut sambil membuka ikatan mulut dan juga tanganku. Lalu, pemuda jangkung ini melepaskan hoodie-nya dan memakaikannya di tubuhku.Aku memandangnya lekat-lekat.Ada apa dengannya? Kenapa sikapnya jadi manis begini?“Kenapa lihat-lihat? Udah naksir, ya?” tanya Alex dengan menyeringai.“Apaan!” Aku mendorong tubuh Alex dengan kasar.“Jadi gini tanggapan lo sama orang yang udah nolongin lo dari kebuasan tua bangka tadi.”Alex merengkuh pinggangku dengan kasar.“Lo sama biadabnya dengan Juragan Jaka, jadi buat apa gue bersikap manis.” Aku membalas tatapan Alex dengan sama tajamnya. Pemuda ini tidak bisa diprediksi. Sebentar lembut. Sebentar kasar.“Benar juga, gue memang gak ada bedanya sama rentenir tadi. Sama-sama menginginkan tubuh lo. Sialnya pria

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 4 Sebuah Alasan

    “Gimana? Udah berhasil belum?”Terdengar suara seorang pemuda yang cukup familiar. Aku mengintip di balik tembok belakang gudang. Ada Alex, Rey, Radit dan Dion. Tiga siswa yang satu kelas denganku. Mereka anak-anak orang kaya yang terkenal dengan pergaulan bebasnya.“Gue bilang juga apa? Susah si Maura ini,” ujar Rey sambil mengembuskan asap rokok.Jadi, mereka sedang membicarakanku. Apa ini ada kaitannya dengan sesuatu yang Alex minta kemarin.“Kalau lo gak sanggup, biar gue aja yang maju. Gue juga pengen kali nyicipin perawan.”“Bangsat! Sejak kapan lo ngelanggar kesepakatan geng kita? Gak ada namanya berebut cewek.” Itu suara Alex. Dia sepertinya tidak terima dengan perkataan Radit.“Hahahahaha, Lex Lex! Lo serius amat? Gak kali gue mau rebutan sama Lo. Lagian kan kalian cuma temenan, kalau dia nolak lo, gak apa-apa, kan, gue maju.”“Lo kayak gak tau Alex aja, apa yang dia mau harus didapeti

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 5 Jatuh Setelah Melayang

    Aku melirik jam tangan yang terlihat usang, sudah hampir tiga puluh menit tapi Alex belum juga muncul.“Ish. Alex ngeselin banget, tadi bilangnya cuma nunggu sebentar. Kan, aku udah bilang kalau adik-adikku nunggu buat makan siang.” Aku menggerutu sambil menghentak-hentakkan kaki.Sebelum pulang, aku akan mampir dulu ke warung mengambil dua nasi bungkus untuk adikku. Dulu, sebelum mulai pekerjaan di tempat Bu Jamilah, beliau menyuruhku makan terlebih dahulu. Namun, karena Rani dan Ridho juga belum makan siang, aku selalu membungkus nasi tersebut untuk diberikan pada kedua adikku.Mengetahui hal tersebut, pemilik warung tempatku bekerja berbaik hati memberikan dua nasi bungkus untuk adikku. Aku sudah menolak, karena sudah diberi upah bulanan. Namun, wanita baik itu bersikeras agar aku menerimanya. Semenjak itu, setiap pulang sekolah aku mampir terlebih dulu untuk mengambil nasi bungkus tersebut.Itu sebabnya aku merasa sungk

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 6 Tak Bisa Menolak

    “Gue tadi nungguin lo sampe setengah jam, karena takut kelamaan gue milih pulang sama Pak Damar.”“Tapi faktanya gue nyampe lebih dulu.”“Tadi gue ngerasa pusing, makanya Pak Damar berhenti dulu beliin gue obat, nih kalau lo gak percaya.” Aku merogoh kantong pemberian Pak Damar dan mencari benda yang kumaksud.“Gue gak peduli lo mau ngeluyur dulu atau langsung pulang, cuma gue merasa bodoh aja. Pulang ngebut karena kepikiran adik-adik lo yang nungguin kakaknya pulang bawa makanan. Sementara kakaknya—”Aku menunduk dalam. Entah mengapa merasa sangat bersalah. Aku tidak suka jika Alex berpikiran kalau aku tadi bersenang-senang dengan Pak Damar.“Duduk sini! Gue lapar. Mau sampe kapan lo berdiri di situ?”Aku mengerjap, cepat-cepat menaruh kantong plastik dan duduk dekat Alex. Kuambil piring yang bersih di meja lantas mengambil sebungkus nasi, membukanya dan memberikannya pada Alex.“Seb

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 7 Rencana

    “Ra, gue mau ngomong, gue tunggu di taman deket kantin.” Suara Alex mengagetkanku yang sedang merapikan buku-buku pelajaran. Belum juga menjawab, pemuda itu sudah melangkah pergi.“Gimana keputusan lo?” Sarah menatapku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Karena sampai detik ini masih belum bisa mengambil keputusan.“Gue ke taman dulu, ya, Alex nungguin.”“Gue ikut, mau ke kantin juga.” Sarah mensejajarkan langkahnya.“Kayaknya tuh cowok ngebet banget sama lo, ya?”Aku mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Sarah. Makin hari, pemuda itu memang makin menunjukkan kedekatannya denganku.“Anak tajir, lo tau sendiri gimana gayanya mereka.”“Kalau gue jadi lo, gue manfaatin tuh cowok. Biar aja dia bayar keperluan kita. Mereka bakal lakuin apa aja buat cewek yang dicinta.”Aku mencibir mendengar omongan sahabatku ini. &ldqu

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 8 Kesepakatan

    “Gue belum bilang setuju, ya, Lex! Jangan seenaknya memutuskan.” Aku menatap tajam pemuda di hadapanku.Aku memang berutang banyak padanya, tapi bukan berarti dia bisa mengendalikan hidupku seenaknya.“Kali ini posisi lo hanya bisa menurut, Ra? Jangan buat semuanya jadi sulit. Gue gak mau menggunakan cara kasar.” Alex berbicara santai. Dia bahkan sempat-sempatnya membereskan bekas makan kami.“Lo bener-bener brengsek!” umpatku sambil menghentakkan kaki.“Mulut lo, Ra! Sejak kapan kata-kata lo jadi kasar begini?” Alex menatapku tajam.“Gue gak mau nikah sama lo. Lo pasti punya rencana macam-macam, kan?”“Mau gue cuma satu macam. Tubuh lo! Lo gak mau ngelakuin itu di luar nikah, kan, makanya gue ajak lo nikah siri.”Aarrrggh.Dada mulai bergemuruh melihat Alex yang terus-menerus bisa mengendalikan keadaan. Haruskah aku menurut begitu saja. Kalau aku membantah, memangnya aku bisa mendapat uang sebanyak itu dari mana.Tuhan. Kirimkan

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 9 Sentuhan Memabukkan

    “Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.“Ck, gak gue itung utang, Ra?

  • Terjebak Utang Rentenir   10. Dag Dig Dug

    Aku mengerjap, mencoba mencerna ucapan Alex.Pengen gue? Maksudnya apa?Namun, belum juga aku memahami kata-katanya, dia kembali merapatkan bibir kami. Ciumannya makin intens. Kasar. Dan menuntut. Membuat seluruh tubuhku merinding.Bangun Maura! Kenapa kamu diam saja menerima perlakuan Alex? Dia akan makin berani jika kamu tidak melawan.Seperti tahu kegelisahanku, Alex menyudahi ciumannya. Pemuda itu menatapku dengan intens. Namun, kurasakan sesuatu yang menggelitik di bagian perut. Tangan Alex mulai berani membelai perutku dari balik baju. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyelimuti seluruh tubuh.Astaga! Kenapa aku jadi begini?Tubuhku panas. Apalagi Alex kembali merapatkan bibir kami dengan penuh nafsu. Tak berhenti di situ, dia pun mulai meraba punggung. Memberikan sentuhan halus di sana. Memainkan jemarinya dengan lihai dan berhenti di pengait .... Sial! Jangan bilang maksudnya tadi

Bab terbaru

  • Terjebak Utang Rentenir   13 Pertengkaran

    “Stop!” Kudorong kuat pemuda yang tengah memelukku, “gue gak mau, Lex. Jangan bikin gue berubah pikiran! Lo gak bisa, ya, sedikit aja ngehargain gue?”Alex menyeringai lebar.“Tadi kamu ngedesah lho, Ra! Kamu juga pengen lebih dari tadi, kan? Kenapa malu?”Ck, kenapa pemuda ini tidak paham juga. Kalau aku tidak memberikan mahkota yang satu itu selain untuk suamiku.Aku memang menikmati keintiman tadi, tapi bukan berarti harus berlanjut dan menyerahkan semuanya. Jujur, terlalu sering didekati Alex, membuat pikiranku mulai tercemar. Tubuh refleks menerima semua sentuhan pemuda itu yang sangat lihai dan menggoda. Hingga tanpa sadar, aku pun mulai membalasnya.“Tinggal satu Minggu, Lex. Kenapa gak bisa sabar, sih? Makanya gak usah temui aku dulu. Dipingit. Lo tau dipingit, kan? Gak usah ketemu dulu beberapa hari sebelum menikah.”“Ah! Maura gak asik! Kamu takut a

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 12 Kebaya Pengantin

    Aku mengernyit heran saat motor Alex berhenti di sebuah butik baju pengantin yang cukup ternama. Siang ini dia sengaja memintaku untuk pulang bersamanya. Dia sampai meyakinkan aku kalau Ridho dan Rani sudah makan siang. Bukannya langsung ke rumah, sekarang justru singgah ke tempat yang memajang beberapa gaun pengantin mewah. Dalam tidur pun aku tidak berani memimpikan datang ke tempat ini.“Ngapain kita ke sini?”“Pernikahan kita memang siri, tapi aku mau kamu punya kesan yang indah dengan hari spesial itu. Salah satunya gaun pengantin.” Alex mengatakan itu masih dengan penuh kelembutan.Hadeeeh! Kesambet setan mana, sih, nih orang? Udah gak ada siapa-siapa masih sok mesra. Panggilannya sudah berubah jadi aku kamu.“Lo kesambet setan mana, sih? Badan lo juga gak anget.” Aku menempelkan punggung tangan di kening Alex. Pemuda rese itu justru menarik jemariku lalu mengecupnya lembut.“Jijik benget, sih!” cibirku sambil memukul lengannya.

  • Terjebak Utang Rentenir   11 Kamu Mau Mahar Apa?

    “Mau mahar apa?” bisik seseorang tiba-tiba.Deg!Aku yang sedang fokus membaca latihan soal ujian, sontak terlonjak. Seorang pemuda dengan santainya sudah berdiri di belakangku.Ish! Alex rese! Sudah berapa kali aku bilang jangan membahas pernikahan di sekolah?Aku melirik ke tangannya. Syukurlah! Pemuda ini tidak membawa makanan cepat saji seperti kemarin-kemarin. Dalam seminggu ini dia membuktikan ucapannya tempo hari, membawakan makanan dari brand terkenal yang berasal dari negeri Sakura.“Lo mau mahar apa, Ra?” tanyanya lagi karena belum juga mendapatkan jawaban.“Gue udah pernah bilang, kan, jangan ngomong masalah itu di sini!” seruku tajam sambil melayangkan pukulan di bahu Alex.“Mumpung inget, kalau nanti-nanti bakallbakal ” Alex menjatuhkan pantatnya tepat di sebelahku.“Iih, sana lagi ngapa, sih? Seneng banget gangguin gue!&rdquo

  • Terjebak Utang Rentenir   10. Dag Dig Dug

    Aku mengerjap, mencoba mencerna ucapan Alex.Pengen gue? Maksudnya apa?Namun, belum juga aku memahami kata-katanya, dia kembali merapatkan bibir kami. Ciumannya makin intens. Kasar. Dan menuntut. Membuat seluruh tubuhku merinding.Bangun Maura! Kenapa kamu diam saja menerima perlakuan Alex? Dia akan makin berani jika kamu tidak melawan.Seperti tahu kegelisahanku, Alex menyudahi ciumannya. Pemuda itu menatapku dengan intens. Namun, kurasakan sesuatu yang menggelitik di bagian perut. Tangan Alex mulai berani membelai perutku dari balik baju. Gelenyar-gelenyar aneh kembali menyelimuti seluruh tubuh.Astaga! Kenapa aku jadi begini?Tubuhku panas. Apalagi Alex kembali merapatkan bibir kami dengan penuh nafsu. Tak berhenti di situ, dia pun mulai meraba punggung. Memberikan sentuhan halus di sana. Memainkan jemarinya dengan lihai dan berhenti di pengait .... Sial! Jangan bilang maksudnya tadi

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 9 Sentuhan Memabukkan

    “Jangan bikin malu gue, Ra. Bayarin utang lo seratus juta aja gue sanggup. Apalagi sekedar makan malam plus kasih uang buat lo. Butuh berapa, sih? Gue cuma ada cash sejutaan. Kalau kurang kita mampir ke ATM.” Alex mengatakan itu dengan nada datar. Sepertinya memang tidak bermaksud menyinggungku.“Cuma lima puluh ribu, buat beli beras dan telur. Untuk sarapan Rani dan Ridho.” Aku mengigit bibir setelah mengatakan itu. Terlanjur basah. Mandi saja sekalian.Alex menghela napas panjang dan meneruskan langkah ke warung sate. Tangannya tidak luput untuk menggenggam jemariku.“Mang, bungkuskan sate kambing enam porsi. Bumbunya pisah, ya?”Aku menatap heran pemuda di sampingku. Untuk apa memesan sebanyak itu?“Gue gak mungkin bikin lo kelaparan. Nanti gue belikan beras juga.”Ha! Aku melotot tidak percaya. Bukan ini yang aku mau. Cukup uang lima puluh ribu saja. Kalau plus makan malam seperti ini, utangku makin banyak.“Ck, gak gue itung utang, Ra?

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 8 Kesepakatan

    “Gue belum bilang setuju, ya, Lex! Jangan seenaknya memutuskan.” Aku menatap tajam pemuda di hadapanku.Aku memang berutang banyak padanya, tapi bukan berarti dia bisa mengendalikan hidupku seenaknya.“Kali ini posisi lo hanya bisa menurut, Ra? Jangan buat semuanya jadi sulit. Gue gak mau menggunakan cara kasar.” Alex berbicara santai. Dia bahkan sempat-sempatnya membereskan bekas makan kami.“Lo bener-bener brengsek!” umpatku sambil menghentakkan kaki.“Mulut lo, Ra! Sejak kapan kata-kata lo jadi kasar begini?” Alex menatapku tajam.“Gue gak mau nikah sama lo. Lo pasti punya rencana macam-macam, kan?”“Mau gue cuma satu macam. Tubuh lo! Lo gak mau ngelakuin itu di luar nikah, kan, makanya gue ajak lo nikah siri.”Aarrrggh.Dada mulai bergemuruh melihat Alex yang terus-menerus bisa mengendalikan keadaan. Haruskah aku menurut begitu saja. Kalau aku membantah, memangnya aku bisa mendapat uang sebanyak itu dari mana.Tuhan. Kirimkan

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 7 Rencana

    “Ra, gue mau ngomong, gue tunggu di taman deket kantin.” Suara Alex mengagetkanku yang sedang merapikan buku-buku pelajaran. Belum juga menjawab, pemuda itu sudah melangkah pergi.“Gimana keputusan lo?” Sarah menatapku penuh tanda tanya. Aku hanya menggeleng sebagai jawaban. Karena sampai detik ini masih belum bisa mengambil keputusan.“Gue ke taman dulu, ya, Alex nungguin.”“Gue ikut, mau ke kantin juga.” Sarah mensejajarkan langkahnya.“Kayaknya tuh cowok ngebet banget sama lo, ya?”Aku mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan Sarah. Makin hari, pemuda itu memang makin menunjukkan kedekatannya denganku.“Anak tajir, lo tau sendiri gimana gayanya mereka.”“Kalau gue jadi lo, gue manfaatin tuh cowok. Biar aja dia bayar keperluan kita. Mereka bakal lakuin apa aja buat cewek yang dicinta.”Aku mencibir mendengar omongan sahabatku ini. &ldqu

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 6 Tak Bisa Menolak

    “Gue tadi nungguin lo sampe setengah jam, karena takut kelamaan gue milih pulang sama Pak Damar.”“Tapi faktanya gue nyampe lebih dulu.”“Tadi gue ngerasa pusing, makanya Pak Damar berhenti dulu beliin gue obat, nih kalau lo gak percaya.” Aku merogoh kantong pemberian Pak Damar dan mencari benda yang kumaksud.“Gue gak peduli lo mau ngeluyur dulu atau langsung pulang, cuma gue merasa bodoh aja. Pulang ngebut karena kepikiran adik-adik lo yang nungguin kakaknya pulang bawa makanan. Sementara kakaknya—”Aku menunduk dalam. Entah mengapa merasa sangat bersalah. Aku tidak suka jika Alex berpikiran kalau aku tadi bersenang-senang dengan Pak Damar.“Duduk sini! Gue lapar. Mau sampe kapan lo berdiri di situ?”Aku mengerjap, cepat-cepat menaruh kantong plastik dan duduk dekat Alex. Kuambil piring yang bersih di meja lantas mengambil sebungkus nasi, membukanya dan memberikannya pada Alex.“Seb

  • Terjebak Utang Rentenir   Bab 5 Jatuh Setelah Melayang

    Aku melirik jam tangan yang terlihat usang, sudah hampir tiga puluh menit tapi Alex belum juga muncul.“Ish. Alex ngeselin banget, tadi bilangnya cuma nunggu sebentar. Kan, aku udah bilang kalau adik-adikku nunggu buat makan siang.” Aku menggerutu sambil menghentak-hentakkan kaki.Sebelum pulang, aku akan mampir dulu ke warung mengambil dua nasi bungkus untuk adikku. Dulu, sebelum mulai pekerjaan di tempat Bu Jamilah, beliau menyuruhku makan terlebih dahulu. Namun, karena Rani dan Ridho juga belum makan siang, aku selalu membungkus nasi tersebut untuk diberikan pada kedua adikku.Mengetahui hal tersebut, pemilik warung tempatku bekerja berbaik hati memberikan dua nasi bungkus untuk adikku. Aku sudah menolak, karena sudah diberi upah bulanan. Namun, wanita baik itu bersikeras agar aku menerimanya. Semenjak itu, setiap pulang sekolah aku mampir terlebih dulu untuk mengambil nasi bungkus tersebut.Itu sebabnya aku merasa sungk

DMCA.com Protection Status