“Ada masalah apa?” Jovie, manajer operasional Luxio Hotel yang sudah bersiap untuk pulang bertanya pada resepsionis yang baru saja meminta waktunya untuk melaporkan sebuah masalah.
“Baru saja housekeeping melaporkan tentang salah satu tamu hotel di Deluxe Room yang sudah beberapa hari ini tidak menyahuti panggilan dari luar. Bahkan piring kotor dari pesanan service room juga tidak dikeluarkan. Sementara waktu check-in, dia sudah berpesan untuk tidak ada satu orang pun yang masuk ke kamar termasuk housekeeping,” jawab resepsionis dengan wajah khawatir.
Jovie melihat jam tangan di pergelangan kirinya—sudah masuk jam tidur, bisa saja akan menjadi tidak sopan jika dia mengetuk pintu kamarnya sekarang, tapi dia juga khawatir jika sampai terjadi apa-apa dengan tamu hotel.
“Kapan waktu tamu itu check-out?” tanya Jovie lagi.
“Besok siang,” jawab resepsionis sopan.
“Berapa kali housekeeping mencoba untuk memanggil tamu?”
“Setiap waktu housekeeping harus mengangkut piring kotor dari setiap kamar, terhitung dari satu hari yang lalu.”
Jovie menggigit bibir bawahnya. Jelas ada hal yang tidak beres jika sampai berkali-kali tamu tidak menyahuti panggilan housekeeping. “Nomor berapa kamarnya?”
Resepsionis tadi menunjukkan detail pemesanan kamar di layar monitornya. Jovie melihatnya sekilas, kemudian segera membuka tempat master key dan menyambar salah satu sebelum bergegas menuju ke lantai tempat kamar itu berada.
Jovie berdiri di depan kamar yang dimaksud. Beberapa kali ketukan tidak mendapat sahutan. Sebab dia sudah melakukan SOP hotel untuk mengetuk lima kali dan tidak ada sahutan dari dalam, Jovie langsung membuka pintu kamar dengan master key yang dia bawa.
“Selamat malam, layanan manajemen hotel.”
Tidak ada jawaban. Anehnya, Jovie mendengar suara desahan dari arah dalam. Ranjang yang berada di balik sekat membuatnya tidak bisa melihat dengan jelas. Kening Jovie mengerut bingung dan tak mengerti.
“Maaf, saya mendengar keluhan dari staff kami, saya terpaksa untuk melakukan pemeriksaan. Apakah Anda baik-baik saja?” Jovie kembali bersuara.
Desahan kembali terdengar. Kali ini bersamaan dengan suara hentakan yang membuat jantung Jovie berdetak kencang. Kakinya bergerak pelan ke arah ranjang, sementara kedua tangannya mendekap erat master key yang dari tadi terus dia pegang.
“Ah! Faster, baby!”
Desahan itu kembali terdengar, bersamaan dengan kedua mata Jovie yang menangkap pemandangan tabu. Seorang pria yang sedang bersetubuh dengan wanita muda terlihat membara di hadapannya.
“Come on, baby! Ah!”
Wanita itu tidak memperhatikan kedatangan Jovie. Dia terlalu menikmati hunjaman dari pria tampan itu dari dalam selimut tebal. Otot tubuh yang terbentuk sempurna, terlihat mengilat dibasahi keringat.
Jovie terkejut. Tubuhnya tiba-tiba mematung, tidak menyangka dia akan melihat hal seperti ini. Sialnya, pria itu terlanjur melihatnya. Masih dengan posisi yang terjepit di antara paha mulus si wanita muda, pria tampan itu menoleh dengan seringai tajam.
“Astaga!” pekik Jovie akhirnya.
Badannya berbalik cepat, memunggungi kedua orang yang masih saling bergelut dalam permainan panas di antara desahan yang semakin cepat. Tanpa disuruh, Jovie segera bergerak cepat meninggalkan ruangan itu, tapi saat itu juga dia menyadari bahwa tindakannya adalah salah besar. Dia tidak bisa berlalu begitu saja.
Dalam keadaan mata yang terpejam erat, Jovie kembali membalikkan badannya. “Maafkan saya! Maaf saya salah kamar.”
Pria itu kembali menoleh tak merespon ucapan Jovie. Sorot matanya tak terbaca, sedangkan seringai tipis kembali terukir di wajahnya sebelum dia kembali memuaskan wanitanya yang semakin menggeliat.
Di luar kamar, Jovie terdiam sejenak setelah menutup pintu kamar dengan perlahan. Berkali-kali dia mengusap matanya kasar, tak peduli maskara yang berantakan dan membekas di jari-jarinya.
“Miss, Anda salah kamar! Seharusnya tamu yang bermasalah itu di kamar sebelahnya!” Housekeeping yang tadi melaporkan keluhannya itu sedang tergopoh-gopoh menghampiri Jovie setelah dia menyadari bahwa atasannya itu telah salah mengambil master key.
Jovie menatap housekeeping itu dengan wajah datar. Badannya terasa lemas, tindakan cerobohnya telah membuat tamu hotelnya tidak nyaman. Meskipun perbuatan yang dilakukan tamunya itu juga membuatnya tidak nyaman.
Jovie mengangguk, sambil melenggang lemas melewati housekeeping yang menatapnya cemas. Mati-matian Jovie menahan malu saat dia masuk ke dalam lift yang sepi. Saat pintu lift tertutup, tubuhnya secara refleks merosot ke lantai. Sebelah tangannya memukul-mukul kepalanya sendri.
“Bodoh sekali kau, Jovie!”
***
Pagi hari saat Jovie kembali ke Hotel untuk bekerja, pikirannya masih diliputi dengan rasa bersalah dan kecemasan, jika tamu semalam melaporkan keluhannya. Namun sampai dia duduk di ruangannya sekitar dua jam kemudian setelah jam operasional staff manajemen berlangsung, tidak ada laporan satu pun yang masuk mengenai kejadian semalam.
Interkom dari ruangan CEO menyala, Jovie segera menyambar gagang interkom dengan fokus matanya yang masih tertuju untuk meniliti pada email keluhan, mencari-cari keluhan yang dilayangkan padanya.
“Jovie, ke ruanganku sekarang.”
“Baik, aku akan segara ke sana.”
Jovie kembali meletakkan gagang interkom pada tempatnya. Benar tidak ada laporan keluhan di email, tapi mungkinkah tamu tadi langsung melaporkan keluhannya pada CEO Luxio Hotel? Shit! Jovie mengumpati kebodohannya.
Detak jantung Jovie kembali berantakan saat tiba di depan ruangan Corey, CEO dari Luxio Hotel. Setelah tiga ketukan lembut, dia masuk ke ruangan dan segera menutupnya kembali setelah berada di dalam.
“Akhirnya, Jovie sudah datang. Masuklah,” pinta Corey pada Jovie.
Jovie melangkah masuk ke dalam, dan seketika tubuhnya membeku melihat sosok pria tak asing sedang duduk di depan kursi CEO-nya. Beberapa kali Jovie memejamkan mata, memastikan bahwa apa yang dia lihat ini salah. Namun, tidak! Apa yang dia lihat sekarang ini benar-benar nyata. Tidak salah sama sekali.
“Jace, perkenalkan wanita cantik di depanmu adalah Jovie Montgomery, dia manajer operasional Luxio Hotel. Kau bisa bicara dan meminta bantuan padanya terkait apa pun mengenai layanan hotel. Dia adalah orang kepercayaanku di sini.” Corey mengenalkan Jovie pada Jace.
“Jovie, pria tampan di depanmu adalah Jace Sherwood, salah satu investor VIP hotel yang baru memulai kerja sama bersama dengan kita terhitung hari ini. Dia adalah pemilik perusahaan Food and Beverage—Wood Foods Company, yang akan memasok seluruh kebutuhan hotel kita kedepannya. Tolong kau layani dia dengan sangat baik.” Penjelasan Corey terdengar seperti dengungan di telinga Jovie.
Jace terkekeh melihat reaksi Jovie yang terlihat lucu baginya. Meskipun dia terlihat enggan untuk mengalihkan pandangannya, pria itu tetap menoleh pada Corey. “Terima kasih, Corey. Firasatku bagus mengenai kerjasama ini. Jadi, mulai saat ini aku mendapat wewenang khusus untuk berkomunikasi dengan wanita cantik di depanku ini, bukan?”
Corey mengangguk sambil terkekeh. “Tentu saja. Kau bisa meminta bantuan apa pun padanya,” ucapnya, kemudian menatap tajam pada Jace. “Asalkan masih dalam konteks pekerjaan.”
Jace menyandarkan punggungnya ke tempat duduknya. “Semua pasti karena tentang pekerjaan,” jawabnya sambil berdiri, mendekat pada Jovie yang masih terdiam, tanpa sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
“Kedepannya, kita akan terus bekerja sama dengan baik.” Jace mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Jovie.
Jovie menatap ngeri pada Jace. Jelas terlihat dia enggan membalas jabat tangan itu. Pikirannya sekarang benar-benar berkecamuk. Kepingan memorinya teringat akan di mana dirinya memergoki Jace berhubungan badan dengan wanita lain. Pemandangan yang sangat tabu di matanya.
Jovie menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan perlahan. Dia berusaha untuk setenang mungkin. Dia tak ingin Corey mencurigai dirinya. Detik itu juga, dia menyambut jabatan tangan Jace.
“Tentu saja, Tuan Sherwood. Kita akan bekerja sama dengan baik,” ucap Jovie hangat dan tulus.
Jace menyeringai senang saat Jovie menjabat tangannya. Gengamannya menjadi semakin erat, membuat Jovie terkejut dan refleks menatap kedua mata Jace. Jovie bermaksud ingin menarik tangannya, tapi sangat sulit untuk melepaskan tangannya yang telah digenggam erat oleh Jace.
“Senang bertemu denganmu lagi, Jovie.” Jace tersenyum jahil, sambil mengedipkan sebelah matanya.
Jovie buru-buru melepas tangan Jace yang mengganggam erat tangannya. Kecanggungan menyelimuti wanita berparas cantik itu. Napasnya sedikit tercekat. Lidahnya seolah kehilangan kata untuk berucap, tapi sebisa mungkin Jovie berusaha tenang.“Ada hal lain lagi yang ingin kau sampaikan, Corey?” tanya Jovie sambil mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak dengan Jace.Corey menggelengkan kepalanya. “Kurasa sudah cukup, yang terpenting mulai saat ini tolong layani Jace dengan baik. Dia investor dari hotel kita, dan Jace juga teman dekatku.”Jovie tanpa sadar menghela napas dan berhasil mencuri perhatian dari Jace. “Kalau begitu aku akan kembali ke ruanganku. Permisi.”Wanita cantik itu buru-buru keluar dari ruangan kerja Corey. Bahunya turun sambil menghentakkan kakinya setelah memastikan bahwa pintu telah tertutup rapat dari luar. Sekujur tubuhnya terasa merinding saat mengingat kejadian malam itu. Kejadian di mana dia memergoki Jace melakukan pergulatan panas dengan wanita lain. Entah a
Berkali-kali Jovie meremas rambutnya dan mengumpat pelan saat dia mengingat kembali interaksinya bersama dengan Jace. Baik itu dari sikap bodohnya yang telah salah masuk kamar, dan juga tentang sikap Jace yang sangat menyebalkan setelah mereka keluar dari ruangan Corey tadi.“Dasar pria hidung belang sialan! Berani-beraninya dia mengajukan syarat gila yang tidak masuk akal sehat,” gerutu Jovie kesal.Mendekati waktu jam makan malam, semakin membuat Jovie bertambah gelisah tak menentu. Berulang kali dia ingin mengajukan protes pada Corey perihal Jace, tapi dia sadar dirinya tidak memiliki hak untuk itu. Terlebih lagi, bagaimana jika Jace melaporkan pada Corey tentang perbuatannya semalam? Masalah bisa semakin gawat. Pun sialnya, kenyataan membuat Jovie semakin frustrasi, Jace Sherwood adalah pria yang berinvestasi dengan nominal sangat besar pada hotel—di mana Jovie bekerja. Hal tersebut membuat Corey akan mati-matian membela Jace.Terdengar suara pintu diketuk dari luar. Seorang resep
Jovie tidak bisa bermalas-malasan lagi hari ini. Bahan makanan di dapurnya kosong, dia harus pergi untuk berbelanja grocery sekarang juga. Jika tidak, dia harus menunggu sampai akhir pekan selanjutnya karena dia hanya memiliki waktu di akhir pekan untuk hal-hal kecil seperti berbelanja.Meskipun pada dasarnya dia tidak sering memasak di apartemen, tapi setidaknya hidupnya akan lebih aman jika ada bahan makanan yang bisa dia gunakan saat tengah malam kelaparan. Faktanya, Jovie selalu lapar di tengah malam saat mood-nya buruk.Setibanya di supermarket, dia mendengkus melihat suasana di supermarket sangat ramai. Berkali-kali dia selalu menggerutu pada dirinya sendiri untuk menyempatkan belanja saat pulang kerja, tapi nyatanya dia selalu berhadapan dengan hal seperti ini.Jovie mengambil troly belanja, dan mulai memasukan barang yang ingin dia beli. Mulai dari daging segar, ikan salmon, pasta, mie korea, dan berbagai aneka bumbu lainnya. Mie korea adalah jurus jitu di kala tengah malam Jo
“Yeah, of course, Corey. Aku sudah di perjalanan bersama klien.” Jovie menjawab panggilan telepon dari Corey saat dia sudah berada di dalam taksi.“Ok, aku percayakan dia padamu, Jovie. Thanks a lot!”Jovie menurunkan ponselnya yang masih menampilkan wallpaper langit yang difotonya di awal musim panas ini. Beberapa waktu yang lalu, Corey memintanya untuk menemani klien dari luar negeri yang sampai beberapa hari ke depan akan menginap di Luxio Hotel. Kebetulan, malam ini klien ingin mengunjungi bar untuk melepas penatnya.Tanpa berpikir panjang, Jovie langsung membawanya ke salah satu bar eksklusif terbesar yang ada di Manhattan—Blue Corner. Beberapa kali Jovie mengunjungi bar itu untuk menemani klien dan relasi seperti yang dia lakukan saat ini, atau juga dia datang sendiri untuk melepas penat dengan meneguk beberapa alkohol.Sebagai manajer hotel yang dituntut untuk menjamu klien dan relasi, dia dituntut untuk memiliki toleransi alkohol yang tinggi. Saat sendiri itulah waktu yang bia
Lima menit yang lalu Jovie terbangun dari tidurnya. Alih-alih menyambut pagi dengan ceria seperti hari-hari sebelumnya, saat ini dia sedang mengacak-acak rambutnya sendiri sambil berkali-kali mengumpat pada dirinya sendiri.Semalam, dengan bodohnya dia meninggalkan kliennya sendirian di bar, sedangkan dirinya kabur setelah Jace berbisik padanya bahwa mereka berjodoh. Dia benar-benar melupakan ada klien yang harus dia temani dan menjadi tanggung jawabnya.Sialnya lagi, Jovie baru mengingat hal itu ketika dia sudah berada di dalam apartemennya. Beruntung setelah itu Jace mengiriminya sebuah pesan bahwa kliennya sudah diamankan olehnya dan akan diantar ke hotel dengan selamat. Meskipun itu berarti, dia jadi memiliki utang budi lagi pada pria itu.Sesampainya Jovie di hotel, dia sudah bersiap-siap untuk menghadap Corey untuk meminta maaf, karena telah meninggalkan kliennya di bar. Langkahnya pelan saat menuju ke ruangan pemilik hotel itu karena di dalam pikirannya sedang sibuk untuk menca
Jovie terlihat serius saat menatap layar monitor yang menampilkan tabel stock opname dari fasilitas hotel yang dilampirkan di laporan bulanan. Beberapa menit yang lalu dia baru saja menerima email laporan itu dari divisi terkait. Meskipun saat ini sudah lewat jam kerja, tapi dia harus segera menyelesaikannya sebelum diserahkan pada Corey.Jovie sempat melirik jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam makan malam. Dalam hatinya, dia berniat untuk makan di apartemen saja. Sedikit telat tidak masalah, asalkan laporannya aman dan dia tidak perlu lembur lagi di hari-hari berikutnya.Ponselnya berdering. Sedikit enggan dia melirik ke arah layar, tapi seketika tatapannya berubah menjadi sedikit tertarik saat melihat nama yang tertera adalah nama Jace Sherwood. Embusan napas panjang lolos di bibirnya. Dia bermaksud menolak, tapi dia mengingat bahwa Jace adalah investor besar di hotel di mana dirinya bekerja. Dengan terpaksa, wanita cantik itu menggeser tombol hijau untuk menerima pang
Seharian ini Jovie merasa ada yang aneh pada dirinya. Seharusnya dia tidak boleh begitu, tapi sialnya dia menjadi sedikit bersemangat dan ingin cepat-cepat berganti malam karena Jace bilang akan menjemputnya lagi. Untuk kesekian kalinya, Jovie akan segera menggelengkan kepalanya saat pikiran itu kembali datang. Tidak mungkin dia merasa bersemangat hanya karena hal seperti itu. Begitulah yang sedang berulang kali ada di dalam pikirannya.“Jovie, kau mendengarku?” Corey menjentikkan tangannya di depan wajah Jovie.“A-apa? Bagaimana?” Jovie tersentak.Corey memiringkan sedikit kepalanya saat memperhatikan sikap Jovie yang menurutnya sedikit aneh hari ini. “Permintaan relasi yang akan membawa keluarganya minggu depan ke sini. Apakah kau sudah menunjuk satu orang khusus yang akan melayani semua kebutuhan mereka selama di sini? Kau tahu dia adalah orang yang sedikit cerewet, bukan?”Jovie mengerjap cepat untuk menghilangkan pikiran yang tidak seharusnya dia pikirkan. “Aku sudah menunjuknya.
Jace tidak langsung bangun pagi ini. Dia mencoba mengingat hal apa saja yang dia lakukan semalam. Pandangannya mulai mengedar, dan sontak membuatnya terduduk cepat. Antara percaya dan tidak percaya, logikanya sedang berperang dengan memorinya yang menghilang dalam semalam. Sialnya, sekuat apa pun dia berusaha untuk mengingat, tapi tidak ada sedikit pun hal yang bisa dia ingat.“Kau sudah bangun?” sapa Jovie setelah menoleh sebentar dari arah dapur.Jace menatap bingung ke arah Jovie. Entah bagaimana caranya dia bisa sampai di tempat ini, yang dia ingat semalam hanyalah saat dia sedang berusaha kabur dari kenalannya yang selama beberapa waktu terakhir ini terus saja mengekor padanya.“Kenapa aku bisa di sini?” tanya Jace bingung.Jovie mendengkus kasar. Kedua tangannya mengangkat satu panci berukuran sedang berisi sup daging dan beberapa sayuran di kulkas yang dia masak khusus untuk meredakan pengar yang pasti sedang dirasakan Jace. Setelah semalaman mabuk parah seperti itu, pasti saat