Jovie buru-buru melepas tangan Jace yang mengganggam erat tangannya. Kecanggungan menyelimuti wanita berparas cantik itu. Napasnya sedikit tercekat. Lidahnya seolah kehilangan kata untuk berucap, tapi sebisa mungkin Jovie berusaha tenang.
“Ada hal lain lagi yang ingin kau sampaikan, Corey?” tanya Jovie sambil mundur beberapa langkah untuk menjaga jarak dengan Jace.
Corey menggelengkan kepalanya. “Kurasa sudah cukup, yang terpenting mulai saat ini tolong layani Jace dengan baik. Dia investor dari hotel kita, dan Jace juga teman dekatku.”
Jovie tanpa sadar menghela napas dan berhasil mencuri perhatian dari Jace. “Kalau begitu aku akan kembali ke ruanganku. Permisi.”
Wanita cantik itu buru-buru keluar dari ruangan kerja Corey. Bahunya turun sambil menghentakkan kakinya setelah memastikan bahwa pintu telah tertutup rapat dari luar. Sekujur tubuhnya terasa merinding saat mengingat kejadian malam itu. Kejadian di mana dia memergoki Jace melakukan pergulatan panas dengan wanita lain. Entah apa hubungan di antara mereka. Yang pasti Jovie benar-benar merasa canggung dan malu mengingat yang kemarin.
“Ck! Apa yang kau pikirkan, Jovie!” gerutu Jovie pada diri sendiri.
“Jovie…”
Wanita itu tidak mendengar ada seruan di belakangnya. Langkahnya masih tetap mengarah cepat menuju ke ruangannya yang berada tepat di satu lantai di bawah lantai ruangan Corey.
“Jovie…”
“Bisa-bisanya Corey berteman dengan orang aneh dan memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan pria aneh seperti itu, astaga!” gerutu Jovie kesal.
“Jovie!”
Jovie tersentak. Badannya berbalik cepat, dan sebelah tangannya ditarik oleh Jace. “Apa yang kau lakukan?!” pekiknya terkejut.
Jace membiarkan Jovie menepis tangannya. Kedua tangannya terangkat ke atas, persis seperti penjahat yang sedang berhadapan dengan detektif. “Aku sudah memanggilmu berkali-kali, tapi kau tidak menoleh.”
Jovie membelalakkan kedua matanya lebar-lebar. “Tetap saja kau tidak bisa menarik tanganku! Itu namanya kau tidak sopan! Kau tahu itu juga sebuah bentuk pelanggaran hukum!”
“Pelanggaran hukum?” Kali ini Jace benar-benar tidak mengerti.
Jovie menaikkan dagunya dengan tetap menyorot tajam pada Jace. “Pelecehan dan kekerasan. Aku bisa melaporkan dirimu atas dua tindakan itu. Pertama pelecehan karena kau sudah mengedipkan matamu dan mengeratkan genggaman tanganmu padaku di ruangan Corey tadi. Kedua, kau baru saja menarik lenganku paksa sampai aku hampir celaka. Aku bisa melampirkan laporan rekaman CCTV untuk menguatkan laporanku itu pada kepolisian!”
Jace tertawa mendengar tuduhan yang terlontar dari mulut Jovie. “Really? Kau benar-benar berpikir bisa menuntutku dengan alasan tidak masuk akal seperti katamu itu? Bukankah seharusnya aku juga bisa menuntutmu untuk kejadian semalam?”
Mulut Jovie langsung terkatup rapat. Dia tidak menduga Jace akan terang-terangan membahas masalah semalam padanya. Debar jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Kakinya seperti jelly yang tidak bisa berkutik sama sekali.
“Sepertinya kau berhutang maaf padaku, Nona Montgomery.” Jace menyeringai, wajahnya terlihat tenang meskipun Jovie terlihat sangat marah bercampur panik padanya.
“Apa yang kau maksud?” Jovie berusaha mempertahankan harga dirinya dengan terus bernada ketus.
“Semalam kau masuk begitu saja saat aku sedang bersenang-senang. Jujur saja, tindakanmu yang dengan tiba-tiba masuk ke kamarku itu membuat ritme permainanku kacau. Bukankah aku juga bisa menuntutmu atas dakwaaan sebagai penguntit dan pelanggaran privasi?” balas Jace telak—dan sukses membuat Jovie bungkam sejenak.
Wajah Jovie berubah menjadi merah padam. Meskipun dia tidak suka dengan sikap Jace, tapi perbuatannya semalam memang salah. Satu-satunya kesalahan yang pernah dia lakukan selama menjabat sebagai manajer di hotel ini, dan sialnya kesalahan itu harus berhadapan langsung dengan seorang seperti Jace.
Tunggu, bukankah dirinya sudah meminta maaf?
Benar, Jovie tidak salah ingat. “Aku semalam sudah minta maaf padamu sebelum keluar kamar!”
Jace menyipitkan mata dengan alis bertaut sambil tetap mempertahankan kedua tangan terbenam di saku celananya. “Kau tidak bisa mengatakan itu sebagai permintaan maaf. Kau pasti tahu tenang etika dalam meminta maaf, kan? Aku tidak menerima permintaa maaf seperti itu,” ucapnya, sambil sedikit membungkuk tepat di depan wajah Jovie sebelum kembali tegak dan menyeringai tipis.
Jovie menghela napasnya dalam-dalam sambil berusaha untuk mengatur emosinya agar tidak meledak dan membuatnya terkena masalah. Cukup kejadian semalam yang hampir membuat karirnya terancam hancur. Oh tidak! Jovie tak membiarkan karir yang dia bangun susah payah menjadi hancur berantakan.
Jovie menatap kedua mata Jace lekat-lekat dan terlihat sangat bertekad. Meskipun dia benar-benar malas berinteraksi dengan Jace, tapi dia mulai menetralkan ego dalam dirinya dan menganggap bahwa ini adalah bagian dari pekerjaanya. Tidak semua relasi memiliki attitude yang baik. Setidaknya mindset itu yang saat ini coba Jovie tanamkan dalam pikirannya.
“Semalam adalah sebuah kesalahan. Aku yang ceroboh karena salah masuk kamar saat menanggapi keluhan tentang tamu hotel yang menginap tepat di sebelah kamarmu. Sekali lagi, maafkan aku.” Jovie kembali meminta maaf pada Jace. Dia sebenarnya enggan untuk mengungkit-ungkit kejadian bodoh tadi malam.
Jace menyeringai puas mendengar permintaan maaf dari wanita yang ada di hadapannya. Menurutnya sangat menyenangkan ketika berhasil mempermainkan seorang wanita yang terlihat menarik di matanya.
“Well, permintaan maafmu akan aku terima, jika nanti malam kita makan malam bersama,” jawab Jace dengan senyuman penuh kemenangan.
Mata Jovie melebar terkejut. “Hey! Jaga sopan santunmu!”
Napas Jovie sedikit memburu. Tangannya mengepal begitu kuat. Dia tidak sengaja mendengar syarat gila dari Jace. “Kau bebas menggoda wanita lain, tapi tidak denganku, Tuan Sherwood! Aku bukan tipe wanita yang bisa kau permainkan!”
Jace tersenyum tipis mendapatkan penolakan dari Jovie. Sorot matanya terlihat mengilat, sangat kontras dengan senyumnya yang sedang berusaha memikat. “Kau mau melanggar perjanjianmu dengan Corey?”
“Apa maksudmu?” Kening Jovie mengerut dalam, menatap bingung Jace.
“Kau tidak lupa Corey sudah memberiku wewenang untuk menghubungimu kapan pun, dan kau wajib membantuku tentang semua hal yang berhubungan dengan pelayanan hotel, bukan? Malam ini aku ingin mencoba untuk makan malam di Resto Lounge Hotel untuk keperluan bisnis bersamamu,” jawab Jace santai.
“Oh, God! Kenapa aku terkenal sial seperti ini?” gerutu Jovie pelan, dan tak terdengar di telinga Jace.
“Kau tadi bilang apa?” tanya Jace lagi.
Jovie menatap Jace dengan sorot lelah, lalu menggelengkan kepalanya. “Tidak, bukan apa-apa.”
“Jadi, bagaimana makan malam untuk permintaan maafmu? Cepatlah, aku tidak punya banyak waktu untuk menunggu jawaban darimu, Jovie.” Jace mengatakannya dengan seringai tipis di wajahnya.
Tidak ada pilihan lain. Jovie tidak bisa membantahnya. Tugasnya sebagai manajer hotel memang harus menjamu klien dan relasi dengan baik. “Baik, sesuai dengan apa yang kau inginkan. Nanti malam di Resto Lounge.”
Jace kembali menyeringai puas. Saat ini, dia sudah mengantongi senjata untuk membuat Jovie tidak bisa menolak ajakannya. Jace merapikan jasnya, kemudian berlalu dari Jovie sambil berbisik tepat di telinga wanita itu.
“See you tonight, Jovie. Berdandanlah yang cantik.”
Berkali-kali Jovie meremas rambutnya dan mengumpat pelan saat dia mengingat kembali interaksinya bersama dengan Jace. Baik itu dari sikap bodohnya yang telah salah masuk kamar, dan juga tentang sikap Jace yang sangat menyebalkan setelah mereka keluar dari ruangan Corey tadi.“Dasar pria hidung belang sialan! Berani-beraninya dia mengajukan syarat gila yang tidak masuk akal sehat,” gerutu Jovie kesal.Mendekati waktu jam makan malam, semakin membuat Jovie bertambah gelisah tak menentu. Berulang kali dia ingin mengajukan protes pada Corey perihal Jace, tapi dia sadar dirinya tidak memiliki hak untuk itu. Terlebih lagi, bagaimana jika Jace melaporkan pada Corey tentang perbuatannya semalam? Masalah bisa semakin gawat. Pun sialnya, kenyataan membuat Jovie semakin frustrasi, Jace Sherwood adalah pria yang berinvestasi dengan nominal sangat besar pada hotel—di mana Jovie bekerja. Hal tersebut membuat Corey akan mati-matian membela Jace.Terdengar suara pintu diketuk dari luar. Seorang resep
Jovie tidak bisa bermalas-malasan lagi hari ini. Bahan makanan di dapurnya kosong, dia harus pergi untuk berbelanja grocery sekarang juga. Jika tidak, dia harus menunggu sampai akhir pekan selanjutnya karena dia hanya memiliki waktu di akhir pekan untuk hal-hal kecil seperti berbelanja.Meskipun pada dasarnya dia tidak sering memasak di apartemen, tapi setidaknya hidupnya akan lebih aman jika ada bahan makanan yang bisa dia gunakan saat tengah malam kelaparan. Faktanya, Jovie selalu lapar di tengah malam saat mood-nya buruk.Setibanya di supermarket, dia mendengkus melihat suasana di supermarket sangat ramai. Berkali-kali dia selalu menggerutu pada dirinya sendiri untuk menyempatkan belanja saat pulang kerja, tapi nyatanya dia selalu berhadapan dengan hal seperti ini.Jovie mengambil troly belanja, dan mulai memasukan barang yang ingin dia beli. Mulai dari daging segar, ikan salmon, pasta, mie korea, dan berbagai aneka bumbu lainnya. Mie korea adalah jurus jitu di kala tengah malam Jo
“Yeah, of course, Corey. Aku sudah di perjalanan bersama klien.” Jovie menjawab panggilan telepon dari Corey saat dia sudah berada di dalam taksi.“Ok, aku percayakan dia padamu, Jovie. Thanks a lot!”Jovie menurunkan ponselnya yang masih menampilkan wallpaper langit yang difotonya di awal musim panas ini. Beberapa waktu yang lalu, Corey memintanya untuk menemani klien dari luar negeri yang sampai beberapa hari ke depan akan menginap di Luxio Hotel. Kebetulan, malam ini klien ingin mengunjungi bar untuk melepas penatnya.Tanpa berpikir panjang, Jovie langsung membawanya ke salah satu bar eksklusif terbesar yang ada di Manhattan—Blue Corner. Beberapa kali Jovie mengunjungi bar itu untuk menemani klien dan relasi seperti yang dia lakukan saat ini, atau juga dia datang sendiri untuk melepas penat dengan meneguk beberapa alkohol.Sebagai manajer hotel yang dituntut untuk menjamu klien dan relasi, dia dituntut untuk memiliki toleransi alkohol yang tinggi. Saat sendiri itulah waktu yang bia
Lima menit yang lalu Jovie terbangun dari tidurnya. Alih-alih menyambut pagi dengan ceria seperti hari-hari sebelumnya, saat ini dia sedang mengacak-acak rambutnya sendiri sambil berkali-kali mengumpat pada dirinya sendiri.Semalam, dengan bodohnya dia meninggalkan kliennya sendirian di bar, sedangkan dirinya kabur setelah Jace berbisik padanya bahwa mereka berjodoh. Dia benar-benar melupakan ada klien yang harus dia temani dan menjadi tanggung jawabnya.Sialnya lagi, Jovie baru mengingat hal itu ketika dia sudah berada di dalam apartemennya. Beruntung setelah itu Jace mengiriminya sebuah pesan bahwa kliennya sudah diamankan olehnya dan akan diantar ke hotel dengan selamat. Meskipun itu berarti, dia jadi memiliki utang budi lagi pada pria itu.Sesampainya Jovie di hotel, dia sudah bersiap-siap untuk menghadap Corey untuk meminta maaf, karena telah meninggalkan kliennya di bar. Langkahnya pelan saat menuju ke ruangan pemilik hotel itu karena di dalam pikirannya sedang sibuk untuk menca
Jovie terlihat serius saat menatap layar monitor yang menampilkan tabel stock opname dari fasilitas hotel yang dilampirkan di laporan bulanan. Beberapa menit yang lalu dia baru saja menerima email laporan itu dari divisi terkait. Meskipun saat ini sudah lewat jam kerja, tapi dia harus segera menyelesaikannya sebelum diserahkan pada Corey.Jovie sempat melirik jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam makan malam. Dalam hatinya, dia berniat untuk makan di apartemen saja. Sedikit telat tidak masalah, asalkan laporannya aman dan dia tidak perlu lembur lagi di hari-hari berikutnya.Ponselnya berdering. Sedikit enggan dia melirik ke arah layar, tapi seketika tatapannya berubah menjadi sedikit tertarik saat melihat nama yang tertera adalah nama Jace Sherwood. Embusan napas panjang lolos di bibirnya. Dia bermaksud menolak, tapi dia mengingat bahwa Jace adalah investor besar di hotel di mana dirinya bekerja. Dengan terpaksa, wanita cantik itu menggeser tombol hijau untuk menerima pang
Seharian ini Jovie merasa ada yang aneh pada dirinya. Seharusnya dia tidak boleh begitu, tapi sialnya dia menjadi sedikit bersemangat dan ingin cepat-cepat berganti malam karena Jace bilang akan menjemputnya lagi. Untuk kesekian kalinya, Jovie akan segera menggelengkan kepalanya saat pikiran itu kembali datang. Tidak mungkin dia merasa bersemangat hanya karena hal seperti itu. Begitulah yang sedang berulang kali ada di dalam pikirannya.“Jovie, kau mendengarku?” Corey menjentikkan tangannya di depan wajah Jovie.“A-apa? Bagaimana?” Jovie tersentak.Corey memiringkan sedikit kepalanya saat memperhatikan sikap Jovie yang menurutnya sedikit aneh hari ini. “Permintaan relasi yang akan membawa keluarganya minggu depan ke sini. Apakah kau sudah menunjuk satu orang khusus yang akan melayani semua kebutuhan mereka selama di sini? Kau tahu dia adalah orang yang sedikit cerewet, bukan?”Jovie mengerjap cepat untuk menghilangkan pikiran yang tidak seharusnya dia pikirkan. “Aku sudah menunjuknya.
Jace tidak langsung bangun pagi ini. Dia mencoba mengingat hal apa saja yang dia lakukan semalam. Pandangannya mulai mengedar, dan sontak membuatnya terduduk cepat. Antara percaya dan tidak percaya, logikanya sedang berperang dengan memorinya yang menghilang dalam semalam. Sialnya, sekuat apa pun dia berusaha untuk mengingat, tapi tidak ada sedikit pun hal yang bisa dia ingat.“Kau sudah bangun?” sapa Jovie setelah menoleh sebentar dari arah dapur.Jace menatap bingung ke arah Jovie. Entah bagaimana caranya dia bisa sampai di tempat ini, yang dia ingat semalam hanyalah saat dia sedang berusaha kabur dari kenalannya yang selama beberapa waktu terakhir ini terus saja mengekor padanya.“Kenapa aku bisa di sini?” tanya Jace bingung.Jovie mendengkus kasar. Kedua tangannya mengangkat satu panci berukuran sedang berisi sup daging dan beberapa sayuran di kulkas yang dia masak khusus untuk meredakan pengar yang pasti sedang dirasakan Jace. Setelah semalaman mabuk parah seperti itu, pasti saat
Mata Jovie mengkilat penuh semangat saat melihat stand permainan tembak berhadiah. Tanpa menunggu persetujuan dari Jace, dia melangkah cepat ke sana, membayar tiket dan mengambil senapan dengan peluru plastik di dalamnya.Jovie menutup sebelah matanya untuk mengintip dan menentukan bidikan. Jari telunjuk kanannya telah siap untuk menarik pelatuk. Di sebelahnya, Jace menatap dengan penasaran.“Kau bisa melakukannya?” tanya Jace penuh rasa penasaran.Jovie tidak menjawab. Dia harus berkonsentrasi sebelum melepas tembakannya. Dalam satu percobaan, satu kaleng berhasil dirobohkan. Kemudian, dia menoleh pada Jace sambil menyeringai, “Tentu saja.”Permainan kembali dilanjutkan. Jovie menembak semua kaleng dengan sangat mulus. Hadiah utama berhasil dia terima hanya dengan membayar satu tiket saja. Sebuah boneka beruang yang pas dengan dekapannya berhasil dia bawa pulang.“Siapa kau sebenarnya?” tanya Jace dengan raut wajah bingung. “Aku tidak menyangka kau bisa melakukannya dengan sangat bai
“Jovie, Kiddos! Bisakah kalian berkumpul di ruang santai sebentar?!” teriak Jace, sepulang dari kantor, di awal liburan musim panas yang telah dinantikan oleh keluarganya.Judith dan Jonan bahkan sampai hampir begadang semalaman karena merayakan hari bebasnya untuk libur selama musim panas. Jika saja Jovie tidak mengomel dan menghentikan paksa kegiatan mereka, sudah dipastikan bahwa mereka berdua tidak akan beranjak dari ruang bermainnya.Tak lama kemudian, Jovie yang sepertinya baru saja selesai mandi, berjalan tergopoh dengan wajah bingung. Rambutnya bahkan masih setengah basah, tidak sempat berlama-lama dikeringkan dengan hair dryer karena teriakan dari Jace. Sementara Judith dan Jonan, mereka berlari dengan tatapan antusias, bercampur dengan sedikit takut. Mungkin saja, hari ini mereka akan dimarahi oleh Jace karena semalam tidak segera tidur.“Ada apa, Jace? Apa ada masalah?” tanya Jovie waspada.Jace tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Hal itu membuat Judith dan Jonan sedi
Keluarga bahagia Jovie telah beberapa bulan ini tinggal di mansion. Sekarang, Judith dan Jonan telah memiliki halaman yang luas untuk bermain. Kamar mereka pun telah masing-masing. Selain itu, Jace juga memperkerjakan beberapa pelayan dan pengasuh pribadi untuk kedua anaknya.Hal itu membuat Jovie menjadi lebih banyak waktu bersantai. Seperti saat ini, ketika dia menemani Jace yang sedang berenang. Wanita itu duduk di kursi malas di pinggir kolam renang, bersantai sambil membaca novel.Setelah beberapa kali putaran bolak-balik, Jace naik dari kolam, menuju ke istrinya yang telah memandangnya sambil tersenyum.“Di mana anak-anak?” tanya Jace.“Sedang tidur bersama pengasuh. Dari pagi mereka membuat para pengasuh kewalahan karena harus menuruti keinginan mereka untuk camping dadakan di halaman depan,” jawab Jovie.Jace tertawa, membayangkan bagaimana sibuknya mengurus dua anak yang sangat aktif itu. “Kurasa mereka tidak akan bangun sampai sore nanti.”Jovie mengangguk setuju. “Tampaknya
“Hei, Honey. Bisa minta tolong panggilkan Judith dan Jonan untuk makan? Dari tadi mereka terlihat sibuk di kamarnya. Makan siang sebentar lagi akan selesai,” ucap Jovie tanpa mengalihkan pandangannya dari wajan yang berdesis berisik karena potongan daging yang baru saja dia masukkan.“Sure,” ucap Jace.Hari minggu yang cerah, tidak ada jadwal yang mengharuskan mereka untuk pergi. Dari pagi Judith dan Jonan telah sibuk, entah apa yang sedang mereka lakukan. Sementara Jace menikmati waktu santai dengan melihat film dan sesekali bermain game di ponsel.Semenjak berkeluarga, dia benar-benar membuat hari minggu sebagai hari bebas kerja. Entah itu urusan pekerjaan kantor, ataupun urusan di klub. Dia hanya ingin fokus pada keluarga kecilnya.Jace mengetuk pintu kamar si kecil yang masih sharing bedroom. Saat pintu dibuka, Judith dan Jonan melonjak kaget, sambil berusaha menyembunyikan sesuatu di balik tubuh kecil mereka.Jace menyipitkan kedua matanya, kemudian menutup pintu dan mendekat pad
“This is for you, Mom,” ucap Judith, memberikan sebuah surat pada Jovie yang akan dibawa ke ruang operasi oleh perawat.Hari ini adalah jadwal operasi kelahiran anak kedua dari Jovie dan Jace. sementara Judith yang baru datang bersama dengan orang tua Jace, terlihat sangat antusias untuk menyambut kehadiran adiknya.“Apa ini, Sayang?” tanya Jovie, dengan nada lembut yang selalu dia ucapkan pada anaknya.Judith tersenyum, menampilkan gigi kelincinya yang lucu. “Untuk Mom agar semangat. Aku akan menunggu Mom dan adik bayi di sini.”Jovie tersenyum, sambil membuka lipatan kertas berwarna pink muda itu.*Mommy yang paling cantik, semangat ya. Judith tunggu adik bayi lahir. I love you, Mommy!*Senyum haru terukir di wajah Jovie. Dia kemudian merengkuh Judith, dan memeluknya erat. “Terima kasih, Sayang. I love you too.” Ucapnya, kemudian mencium kedua pipi Judith dan kening putrnya tersebut.Orang tua Jace mendekat, memeluk Jovie bergantian dan mengatakan untuk tidak khawatir. Jovie mengang
Kepulan asap tipis membumbung tinggi dari cangkir berisi kopi yang sedang dipegang oleh Jovie. Rutinitas pagi yang selalu dia lakukan di pagi hari. Menikmati morning coffe time di kursi balkon, sembari menunggu suami dan anaknya bangun untuk sarapan.Satu tangan menelusup lembut melalui belakang lehernya, mengalung dan menggantung di depan dadanya. Detik berikutnya, kecupan pagi mendarat di pipi dari Jace yang tidak pernah dia lewatkan selama lebih dari empat tahun pernikahan mereka.“Good morning, Nyonya Sherwood. Apakah tidurmu semalam nyenyak?” tanya Jace, bermanja di pundak Jovie.Jovie meletakkan cangkirnya di atas meja, lalu menarik Jace untuk berada di depannya. Pria tampan itu pindah, berjongkok dengan satu lutut sambil menatap penuh cinta pada Jovie. Meskipun pernikahan mereka telah berlangsung lama, tapi tidak memudar sedikit pun rasa cinta Jace pada istrinya tersebut. Bahkan, setiap hari bertambah lebih besar.“Tentu saja, Tuan. Kau membuatku tidur dengan sangat nyenyak,” u
“Bisakah sore ini aku ke tempatmu?” tanya Jace, dengan raut wajah serius dengan ponsel menempel di telinganya. Sementara sorot kedua matanya tetap fokus pada laporan penjualan yang tertera di layar monitor.“Oh, great! Aku akan ke sana sekarang. See you soon!”Jace menghela napas, kemudian berdiri dan menyambar kunci mobil yang tergeletak di dekat gagang telpon interkom ruang kerjanya. Langkahnya bergegas cepat, seakan sedang mengejar hal penting yang tidak boleh sampai dilewatkan.Tak lama kemudian, Jace telah sampai di halaman sebuah mansion. Helaan napas kembali terdengar, mengawali raut gelisahnya yang semakin terlihat. Meskipun begitu, kakinya terlihat tegas saat mulai memasuki pintu masuk mansion.“Kalian sudah berada di sini semua?!” Jace tak percaya melihat Zayn dan Andre yang telah duduk santai di sofa ruang santai.Kedua rekannya itu melambai singkat, tanpa beranjak dari posisi duduknya masing-masing. Dari arah dapur, Vintari menyapa Jace sambil membawa satu nampan penuh ber
“Kita akan kembali ke Amerika, kan?” Jace kembali mencoba untuk membujuk Jovie agar mau kembali pulang bersamanya.Jovie tak langsung menjawab. Dia hanya menoleh sebentar, kemudian kembali mencari baju di gantungan lemari. “Jika kau kembali menanyakan hal yang sama berulang kali, aku akan membatalkannya dan melanjutkan kontrak di sini selama beberapa tahun ke depan.”Mendengar itu, membuat Jace langsung melempar majalah yang tadi dia bolak-balik tanpa berniat untuk membacanya. Secepatnya, dia berdiri di belakang Jovie, kemudian memeluknya dari belakang.“Jangan, aku tidak bisa jauh lagi dari kalian,” ucap Jace sambil mengelus perut Jovie lembut.‘Tapi,” ujar Jovie. “Aku harus pergi ke suatu tempat dulu hari ini.”“Ke mana?” tanya Jace.Jovie tersenyum. “Ke acara penting dari orang yang sangat kusayangi.”Jace memicingkan kedua matanya. “Orang yang kau sayang? Ada orang lain lagi selain diriku?”Jovie terkekeh sambil mengangguk. “Kau nanti akan tahu. Bersiap-siaplah, jam enam sore kita
Sepanjang perjalanan Jace untuk menemui Jovie, dia mendapatkan tekanan yang cukup menghantam sisi egonya untuk berkompetisi sebagai seorang pria. Ada pertanyaan yang muncul tentang, mungkinkah Corey menyukai Jovie?Perkataan Corey sebelum dia menutup telpon terakhirnya dengan Jace, membuatnya merasa harus lebih dulu untuk kembali meyakinkan pada Jovie bahwa semua masalah yang terjadi di antara mereka adalah salah paham.Tujuan awal Jace setelah keluar sampai di Seoul adalah Luxio Hotel. Kamar Predisen Suite telah di-booking tanpa sepengetahuan dari Jovie. Setelah memastikan bahwa barang-barangnya telah aman berada di kamar, dia kembali turun ke lobby untuk menunggu Jovie pulang kerja.Sementara itu, Jovie yang tidak menaruh curiga sedikit pun, malam ini turun dengan tenang setelah memastikan semua pekerjaannya selesai. Baby bump di perutnya mulai terlihat. Sesekali dia mengusap perutnya setiap kali dia merindukan Jace. Bahkan hari ini pun dia masih memikirkannya.Berkali-kali Jovie me
Situasi yang tercipta di ruangan kerja Corey tidak bisa dibilang baik-baik saja. suasana tegang mendominasi, mencekam, berusaha saling mengatur emosi untuk tidak meledak.“Sekali lagi aku tidak akan memberi tahu di mana Jovie saat ini berada.” Suara Corey sedingin es, tidak ada niatan sedikit pun untuk membocorkannya lagi.Namun Jace juga tidak menyerah begitu saja. Dia terus dalam pendiriannya untuk mencari tahu di mana Jovie saat ini berada. “Corey, please! Ada hal yang harus kuperbaiki dengannya!”Shit!Corey tidak bisa menahan amarahnya lagi. Kata-kata Jace dari tadi terdengar seperti gonggongan yang hanya menyakitkan telinganya. Cukup satu kali dia memberikan jalan untuk pria itu memperbaiki kesalahan. Nyatanya? Justru semakin membuat Jovie terpuruk sampai di titik saat ini.“Berengsek!” Corey melayangkan tinjunya pada wajah Jace.Jace ambruk, terjatuh ke belakang karena tidak siap dengan pukulan Corey yang tiba-tiba. Meskipun begitu, dia tidak berusaha membalas. Sejatinya, dia j