Berkali-kali Jovie meremas rambutnya dan mengumpat pelan saat dia mengingat kembali interaksinya bersama dengan Jace. Baik itu dari sikap bodohnya yang telah salah masuk kamar, dan juga tentang sikap Jace yang sangat menyebalkan setelah mereka keluar dari ruangan Corey tadi.
“Dasar pria hidung belang sialan! Berani-beraninya dia mengajukan syarat gila yang tidak masuk akal sehat,” gerutu Jovie kesal.
Mendekati waktu jam makan malam, semakin membuat Jovie bertambah gelisah tak menentu. Berulang kali dia ingin mengajukan protes pada Corey perihal Jace, tapi dia sadar dirinya tidak memiliki hak untuk itu. Terlebih lagi, bagaimana jika Jace melaporkan pada Corey tentang perbuatannya semalam? Masalah bisa semakin gawat. Pun sialnya, kenyataan membuat Jovie semakin frustrasi, Jace Sherwood adalah pria yang berinvestasi dengan nominal sangat besar pada hotel—di mana Jovie bekerja. Hal tersebut membuat Corey akan mati-matian membela Jace.
Terdengar suara pintu diketuk dari luar. Seorang resepsionis hotel masuk sambil membawa satu kotak besar berwarna hitam, cukup besar sampai hampir menenggelamkan wajah resepsionis itu dari sudut pandang Jovie saat ini.
“Kotak apa itu?” tanya Jovie dengan kening mengerut heran.
“Ada seorang kurir yang mengantar ini baru saja, Nona. Katanya dikirim khusus dari relasi untuk Anda dan harus dipastikan bahwa Anda telah menerima dan membukanya,” jawab sang resepsionis sopan.
Jovie menyipitkan matanya saat melihat kotak besar itu yang diletakkan di atas meja kopi di depan sofa—tepat di depan meja kerjanya. Otaknya berpikir siapa yang memberikan hadiah padanya?
“Terima kasih sudah membawanya ke sini. Kau boleh kembali ke lobby.” Jovie berdiri dan tersenyum pada resepsionis.
“Baik, Nona. Saya permisi.” Sang resepsionis itu menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Jovie.
Ketukan dari high heels-nya terdengar ragu saat mendekati kotak hitam itu. Baru kali ini dia menerima paket misterius. Bukannya senang, saat ini dia menjadi sedikit takut untuk membukanya. Detik selanjutnya, Jovie mulai membuka kotak itu, tetapi seketika mata Jovie melebar terkejut melihat isi dari kotak itu.
Sebuah gaun pesta dengan warna hitam yang terlihat sangat elegan, dan sepasang high heels berwarna senada yang terlihat mengilap dengan ujung runcing dan memiliki aksen kotak besar bertabur permata putih yang tampak sangat cantik. Semuanya berasal dari merk mahal dan terkenal.
“Siapa orang gila yang mengirim ini semua?” Tangan Jovie meraih kartu ucapan yang terselip di sela-sela kertas pembungkus di dalam kotak.
Can’t wait untuk makan malam nanti. Pakai gaun dan sepatu ini, kau pasti akan sangat cantik. Ah, satu lagi … jangan lupa untuk tersenyum. kau pasti semakin cantik saat tersenyum.
-Jace-
“Dasar gila!” umpat Jovie sambil membuang kartu ucapan itu ke tempat sampah.
Jovie merasa sangat marah karena dia berpikir bahwa Jace telah menganggapnya murah dan gampangan. Bagaimana bisa seorang relasi mengirim barang mewah seperti ini untuk makan malam yang hanya memiliki kepentingan sebatas urusan bisnis? Bahkan jika itu bukan urusan bisnis, dia tidak akan pernah mau datang untuk makan malam bersama pria aneh hidung belang itu.
Pikirannya yang tidak-tidak tentang malam panas Jace dan wanita yang semalam dia lihat juga semakin memiliki titik cerah. Dia semakin yakin bahwa wanita semalam bukanlah pasangan resmi dari Jace.
Jovie kembali bergidik ngeri saat membayangkannya. Kotak yang masih terbuka itu segera dia tutup rapat, dan dilempar begitu saja ke kolong mejanya. Dia akan tetap memakai baju kerjanya. Harga dirinya sangat tinggi dan tidak mau kalah dengan menuruti permintaan aneh dari Jace meskipun pria itu adalah relasi VIP hotel ini.
Saat Jovie masuk ke dalam Resto Lounge, dia langsung bisa melihat Jace yang menatap tajam ke arahnya. Jelas sekali bahwa pria itu terlihat kecewa karena Jovie datang dengan penampilan yang tidak sesuai harapannya. Melihat hal itu, perasaan Jovie menjadi lebih baik. Setidaknya dia telah menang satu poin dari Jace.
“Kenapa pakaian yang aku berikan tidak kau pakai?” tanya Jace langsung begitu Jovie duduk di hadapannya.
Jovie menatap tidak suka pada Jace. “Buat apa? Aku bukan wanitamu yang bisa kau suruh-suruh.” Sebisa mungkin Jovie menjaga nada bicaranya tetap datar.
Mendengar itu, membuat Jace menyipitkan matanya sambil menyeringai nakal. “Ah, jadi kau mau menjadi wanitaku?”
Refleks, Jovie membulatkan kedua matanya dan hampir saja melontarkan kata umpatan pada pria tidak tahu diri di depannya itu. Namun lagi-lagi dia harus berusaha untuk menjaga sikapnya agar terlihat lebih berkelas dari Jace.
Setelah menghela napas dalam-dalam, Jovie tersenyum tipis sambil bertanya, “Sudah berapa wanita yang kau beri tawaran untuk menjadi wanitamu? Puluhan? Ratusan? Atau, kau bahkan sampai tidak bisa menghitung jumlahnya?”
Dalam hati, Jovie merasa bangga bisa membalas ucapan Jace dengan nada datar dan sindiran halus yang dia kemas sebagai pertanyaan. Namun rupanya Jace bukan menerima pertanyaan itu sebagai sindiran. Pria tampan itu bahkan berpura-pura menghitung dengan wajah serius, membuat Jovie merasa semakin kesal dengan tingkah lakunya.
“Baru dirimu,” ucap Jace sambil menatap lembut pada Jovie. “Kau pasti tidak percaya, tapi selama ini mereka yang memintaku untuk menemani malam-malam mereka. Bahkan ada beberapa dari mereka yang sampai memohon-mohon padaku. Tapi, baru kau wanita yang pertama kali menolakku.”
Jovie tidak bisa menahan tertawanya. Sebuah jawaban yang memang sudah berada di dalam bayangannya, tapi rupanya dia tetap saja merasa geli saat mendengarnya secara langsung.
“Kau benar-benar memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi, ya?” sindir Jovie secara halus.
Jace kembali menyeringai. Tatapannya semakin terlihat seduktif jika dilihat mata wanita lain, tapi tidak saat berada di bawah pandangan Jovie. “Semua hal yang kupunya sangat mendukung untuk memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi, benar? Kaya raya dan ketampanan yang mutlak. Sudah jelas semua wanita menjadi tergila-gila padaku.”
Jovie memutar bola matanya malas. “Kau benar-benar pria paling percaya diri yang pernah aku kenal di muka bumi ini.”
Jace tersenyum penuh arti, mengamati lekat paras cantik Jovie. Sejak awal pertemuan dia sudah memiliki ketertarikan dengan paras cantik wanita itu. Tanpa diduga, Jace mendekat ke arah Jovie, menundukkan wajahnya, bersejajar ke wajah wanita cantik itu.
“Kau cantik, Nona Montgomery,” bisik Jace di depan wajah Jovie.
Jovie menjadi salah tingkah mendapatkan pujian dari Jace. Dia bangkit berdiri bermaksud mundur menjauh, tapi sialnya heels-nya tersangkut di karpet. Refleks, tubuh Jovie terhuyung ke belakang nyaris terjatuh—dan dengan sigap Jace menangkap tubuh Jovie dengan erat.
“Aaaa—” pekik Jovie terkejut.
Jace tersenyum penuh arti. “Tenanglah. Aku berhasil menangkapmu, Nona Montgomery. Kau aman bersamaku.”
Jovie menelan salivanya susah payah dan langsung mendorong dada bidang Jace. “Kurang ajar! Beraninya kau memelukku! A-apa kau tidak diajarkan sopan santun?!”
Kening Jace mengerut dalam. “Jika aku tidak memeluk pinggangmu, maka kau akan terjatuh. Kau ingin terjatuh di lantai dan menjadi bahan tawaan banyak orang?” balasnya meledek.
Jovie salah tingkah. Apa yang dikatakan Jace benar. Jika pria tampan itu tidak menangkapnya, sudah pasti dia akan menjadi bahan tawaan banyak orang karena terjatuh di lantai. Shit! Jovie membenci dirinya yang bodoh dan ceroboh.
Jovie memutuskan untuk duduk, menarik kursi sedikit jauh dari Jace. “Kita langsung saja pada intinya, apa tujuanmu mengajakku makan malam?”
Jace mengambil vodka yang diantar oleh sang pelayan seraya menyandarkan punggungnya di kursi. “Karena aku ingin mengajakmu makan malam.”
Mata Jovie mendelik. “Tuan Sherwood, aku tidak memiliki banyak waktu untuk main-main. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Jika kau—”
“Aku akan menghubungi Corey.” Jace mengambil ponselnya, mencari nomor Corey, dan menghubungi temannya itu.
“Corey, aku bersama dengan Jovie. Aku ingin membahas tentang Luxio Hotel. Kau tidak marah, kan?” tanya Jace santai kala panggilan terhubung. Tak lupa pria itu menekan tombol loudspeaker agar Jovie mendengar.
“It’s okay. Kau bisa bertanya apa pun pada Jovie. Dia adalah orang kepercayaanku,” jawab Corey tenang dari seberang sana.
“Thanks, Corey. See you!”
“See you!”
Panggilan tertutup. Jace meletakan ponselnya ke tempat semula. Tampak raut wajah Jovie berubah mendengar percakapan antara bos besarnya di kantor bersama dengan Jace Sherwood. Tunggu! Apakah dirinya benar-benar tertimpa sial?
“Nona Montgomery, kau mendengar apa yang dikatakan bosmu, kan? Aku berhak berbicara denganmu. Jangan lupa aku adalah investor di Luxio Hotel. Aku memiliki kendali,” jawab Jace angkuh seraya menggerak-gerakkan gelas di tangannya.
Napas Jovie memburu seraya mengepalkan tangannya dengan kuat. Umpatan dan makian lolos di dalam hatinya. Dia memang mengakui kesalahannya salah masuk kamar, tapi kenapa malah dirinya harus terkena sial bertubi-tubi seperti ini. Hal gila adalah Jace Sherwood menggunakan kekuasaannya untuk mendesaknya.
Jovie tidak bisa bermalas-malasan lagi hari ini. Bahan makanan di dapurnya kosong, dia harus pergi untuk berbelanja grocery sekarang juga. Jika tidak, dia harus menunggu sampai akhir pekan selanjutnya karena dia hanya memiliki waktu di akhir pekan untuk hal-hal kecil seperti berbelanja.Meskipun pada dasarnya dia tidak sering memasak di apartemen, tapi setidaknya hidupnya akan lebih aman jika ada bahan makanan yang bisa dia gunakan saat tengah malam kelaparan. Faktanya, Jovie selalu lapar di tengah malam saat mood-nya buruk.Setibanya di supermarket, dia mendengkus melihat suasana di supermarket sangat ramai. Berkali-kali dia selalu menggerutu pada dirinya sendiri untuk menyempatkan belanja saat pulang kerja, tapi nyatanya dia selalu berhadapan dengan hal seperti ini.Jovie mengambil troly belanja, dan mulai memasukan barang yang ingin dia beli. Mulai dari daging segar, ikan salmon, pasta, mie korea, dan berbagai aneka bumbu lainnya. Mie korea adalah jurus jitu di kala tengah malam Jo
“Yeah, of course, Corey. Aku sudah di perjalanan bersama klien.” Jovie menjawab panggilan telepon dari Corey saat dia sudah berada di dalam taksi.“Ok, aku percayakan dia padamu, Jovie. Thanks a lot!”Jovie menurunkan ponselnya yang masih menampilkan wallpaper langit yang difotonya di awal musim panas ini. Beberapa waktu yang lalu, Corey memintanya untuk menemani klien dari luar negeri yang sampai beberapa hari ke depan akan menginap di Luxio Hotel. Kebetulan, malam ini klien ingin mengunjungi bar untuk melepas penatnya.Tanpa berpikir panjang, Jovie langsung membawanya ke salah satu bar eksklusif terbesar yang ada di Manhattan—Blue Corner. Beberapa kali Jovie mengunjungi bar itu untuk menemani klien dan relasi seperti yang dia lakukan saat ini, atau juga dia datang sendiri untuk melepas penat dengan meneguk beberapa alkohol.Sebagai manajer hotel yang dituntut untuk menjamu klien dan relasi, dia dituntut untuk memiliki toleransi alkohol yang tinggi. Saat sendiri itulah waktu yang bia
Lima menit yang lalu Jovie terbangun dari tidurnya. Alih-alih menyambut pagi dengan ceria seperti hari-hari sebelumnya, saat ini dia sedang mengacak-acak rambutnya sendiri sambil berkali-kali mengumpat pada dirinya sendiri.Semalam, dengan bodohnya dia meninggalkan kliennya sendirian di bar, sedangkan dirinya kabur setelah Jace berbisik padanya bahwa mereka berjodoh. Dia benar-benar melupakan ada klien yang harus dia temani dan menjadi tanggung jawabnya.Sialnya lagi, Jovie baru mengingat hal itu ketika dia sudah berada di dalam apartemennya. Beruntung setelah itu Jace mengiriminya sebuah pesan bahwa kliennya sudah diamankan olehnya dan akan diantar ke hotel dengan selamat. Meskipun itu berarti, dia jadi memiliki utang budi lagi pada pria itu.Sesampainya Jovie di hotel, dia sudah bersiap-siap untuk menghadap Corey untuk meminta maaf, karena telah meninggalkan kliennya di bar. Langkahnya pelan saat menuju ke ruangan pemilik hotel itu karena di dalam pikirannya sedang sibuk untuk menca
Jovie terlihat serius saat menatap layar monitor yang menampilkan tabel stock opname dari fasilitas hotel yang dilampirkan di laporan bulanan. Beberapa menit yang lalu dia baru saja menerima email laporan itu dari divisi terkait. Meskipun saat ini sudah lewat jam kerja, tapi dia harus segera menyelesaikannya sebelum diserahkan pada Corey.Jovie sempat melirik jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam makan malam. Dalam hatinya, dia berniat untuk makan di apartemen saja. Sedikit telat tidak masalah, asalkan laporannya aman dan dia tidak perlu lembur lagi di hari-hari berikutnya.Ponselnya berdering. Sedikit enggan dia melirik ke arah layar, tapi seketika tatapannya berubah menjadi sedikit tertarik saat melihat nama yang tertera adalah nama Jace Sherwood. Embusan napas panjang lolos di bibirnya. Dia bermaksud menolak, tapi dia mengingat bahwa Jace adalah investor besar di hotel di mana dirinya bekerja. Dengan terpaksa, wanita cantik itu menggeser tombol hijau untuk menerima pang
Seharian ini Jovie merasa ada yang aneh pada dirinya. Seharusnya dia tidak boleh begitu, tapi sialnya dia menjadi sedikit bersemangat dan ingin cepat-cepat berganti malam karena Jace bilang akan menjemputnya lagi. Untuk kesekian kalinya, Jovie akan segera menggelengkan kepalanya saat pikiran itu kembali datang. Tidak mungkin dia merasa bersemangat hanya karena hal seperti itu. Begitulah yang sedang berulang kali ada di dalam pikirannya.“Jovie, kau mendengarku?” Corey menjentikkan tangannya di depan wajah Jovie.“A-apa? Bagaimana?” Jovie tersentak.Corey memiringkan sedikit kepalanya saat memperhatikan sikap Jovie yang menurutnya sedikit aneh hari ini. “Permintaan relasi yang akan membawa keluarganya minggu depan ke sini. Apakah kau sudah menunjuk satu orang khusus yang akan melayani semua kebutuhan mereka selama di sini? Kau tahu dia adalah orang yang sedikit cerewet, bukan?”Jovie mengerjap cepat untuk menghilangkan pikiran yang tidak seharusnya dia pikirkan. “Aku sudah menunjuknya.
Jace tidak langsung bangun pagi ini. Dia mencoba mengingat hal apa saja yang dia lakukan semalam. Pandangannya mulai mengedar, dan sontak membuatnya terduduk cepat. Antara percaya dan tidak percaya, logikanya sedang berperang dengan memorinya yang menghilang dalam semalam. Sialnya, sekuat apa pun dia berusaha untuk mengingat, tapi tidak ada sedikit pun hal yang bisa dia ingat.“Kau sudah bangun?” sapa Jovie setelah menoleh sebentar dari arah dapur.Jace menatap bingung ke arah Jovie. Entah bagaimana caranya dia bisa sampai di tempat ini, yang dia ingat semalam hanyalah saat dia sedang berusaha kabur dari kenalannya yang selama beberapa waktu terakhir ini terus saja mengekor padanya.“Kenapa aku bisa di sini?” tanya Jace bingung.Jovie mendengkus kasar. Kedua tangannya mengangkat satu panci berukuran sedang berisi sup daging dan beberapa sayuran di kulkas yang dia masak khusus untuk meredakan pengar yang pasti sedang dirasakan Jace. Setelah semalaman mabuk parah seperti itu, pasti saat
Mata Jovie mengkilat penuh semangat saat melihat stand permainan tembak berhadiah. Tanpa menunggu persetujuan dari Jace, dia melangkah cepat ke sana, membayar tiket dan mengambil senapan dengan peluru plastik di dalamnya.Jovie menutup sebelah matanya untuk mengintip dan menentukan bidikan. Jari telunjuk kanannya telah siap untuk menarik pelatuk. Di sebelahnya, Jace menatap dengan penasaran.“Kau bisa melakukannya?” tanya Jace penuh rasa penasaran.Jovie tidak menjawab. Dia harus berkonsentrasi sebelum melepas tembakannya. Dalam satu percobaan, satu kaleng berhasil dirobohkan. Kemudian, dia menoleh pada Jace sambil menyeringai, “Tentu saja.”Permainan kembali dilanjutkan. Jovie menembak semua kaleng dengan sangat mulus. Hadiah utama berhasil dia terima hanya dengan membayar satu tiket saja. Sebuah boneka beruang yang pas dengan dekapannya berhasil dia bawa pulang.“Siapa kau sebenarnya?” tanya Jace dengan raut wajah bingung. “Aku tidak menyangka kau bisa melakukannya dengan sangat bai
Jace menghentikan langkahnya sejenak saat dia melihat Cassy Cowen—anak dari rekan bisnisnya, sedang berjongkok di depan pintu penthouse miliknya. Wajah wanita yang selalu mengaku sebagai kekasih Jace ke semua orang itu terbenam sepenuhnya di antara kedua lututnya.Jace menghela napasnya. Sudah dari lama dia ingin lepas dari wanita itu, tapi entah bagaimana Cassy sangat lihai untuk bisa menjeratnya lagi, dan lagi. Jace jadi kembali mengingat saat dia datang ke apartemen Jovie dalam keadaan mabuk karena harus membuat seseorang melepaskannya, itu semua juga karena wanita itu.“Kenapa kau di sini?” Jace mendekat pada Cassy, melututkan satu kakinya agar sejajar dengan posisi Cassy.Cassy mendongak, matanya sayu—terlihat sedikit mabuk. “Harusnya aku yang bertanya, Jace. Kenapa kau mengubah sandi pintunya? Kau tahu berapa lama aku harus menunggu di sini?” Cassy memukul pelan dada Jace dengan wajah cemberut.Jace mendesah. Tampaknya Cassy sudah berada di sini cukup lama, menunggunya yang bar