“Kau benar-benar gila, Tuan! Kau membuatku cinta tapi kini kau...” Kabar buruk menjebak Rania Zaskia Putri ke dalam pernikahan kontrak dengan atasan ibunya, Joe Abrizam Sky. Di tengah badai masalah yang datang silih berganti, sebagai seniman muda, Rania pun ikut memanfaatkan Joe sebagai batu loncatan menuju cita-citanya, meski kemudian masa lalu Joe yang telah lenyap membawa perkara baru dalam hidup Rania! Realino dan Sabrinna seolah-olah menjadi gula dan racun, dan Rania terjerat tipu daya atasannya. Mungkinkah Rania bebas dari jeratan atasannya yang nakal atau membuat babak baru kehidupan?
View More“Separah apa sih Ibu sekarang? Kenapa nggak dipulangkan sama bosnya dan di kasih pesangon? Kenapa aku yang perlu ke sini!”
Denyut kehidupan sangat terasa di kota Jakarta. Terutama di stasiun, ratusan kaki bergerak melambat ke pintu keluar dan masuk. Sore ini. Aku—Rania Zaskia Putri, tiba di Jakarta untuk merawat Ibu yang sakit di rumah majikannya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Tapi sungguh aku benci kepadatan kota ini, aku benci hawa panas dan sesak yang begitu kuat membelai kulit meskipun ini adalah kali ke empat aku menginjak wilayah yang tidak pernah absen di berbagai stasiun televisi nasional dengan pemberitaan yang bermacam-macam. Ibu sakit, raganya sudah tidak mampu menjadi tulang punggung keluarga. Meski begitu jiwanya yang keras dan mulutnya yang ceriwis itu tetap bisa mendesakkan sebuah tanggung jawab ngeri yang aku sendiri tidak menyangkalnya. Aku di suruh menggantikannya sebagai pembantu seorang pria dewasa, meneruskan pekerjaan yang tidak layak untuk gelar sarjanaku yang seorang pekerja seni. “Pokoknya kamu berangkat, urus Ibumu dan ambil tawaran itu!” itu kata Bapak dengan muram selagi Ibu merepet kegelisahannya tentang penyakit yang tiba-tiba datang lewat telepon. Ibu menebas cita-citaku selagi aku sedang mengasah kemampuan diri sebagai seorang seniman ternama. Kemarin aku bekerja sebagai kurator seni dan museum. Aku tahu. Sebagai anak aku perlu berbalas budi kepada Ibu dan Bapak yang telah mencongkel perasaan mereka sendiri demi perkonomian keluarga yang lebih layak dengan berpisah. Tetapi caranya tidak begini. Aku tahu uang adalah alasan yang utama, paling krusial dan selalu menjadi alasan agar aku segera ke Jakarta. Dan efek tragis dari kabar buruk yang menimpaku, aku akhirnya mencium lagi polusi Jakarta dan kemacetannya sepanjang sopir taksi mengantarku ke perumahan elite di bawah benderang langit Jakarta. Hebat. Aku betul-betul bertekuk lutut pada perintah Ibu dan Bapak. Di depan rumah lantai dua, bergaya Amerika klasik, aku berdiri, menatap kemewahan yang membungkus persoalan getir yang akan aku hadapi sebentar lagi. Aku tidak gengsi, atau pekerjaan itu menyiksaku. Aku biasa menyapu, mengepel, membersihkan kaca, masak dan menyetrika. Aku hanya merasa aku jauh dari keinginanku, cita-citaku. “Semoga salah alamat!” Aku merogoh kantong celana jins hitamku, mengambil secarik kertas berisi alamat Joe Abrizam Sky. Seusai memastikan kembali alamatnya kepada Zainuddin, satpam kompleks yang aku benci sekali karena berkali-kali orang itu menyebut nama Ibuku dengan senang gembira, aku langsung memasrahkan diri pada seseorang yang baru keluar dari mobil sport merah yang berhenti di depan rumah nomer 07b itu. “Tempat kerja Bu Minah? Suminah Andari dari Jawa tengah?” ucapku sopan dan langsung mengenalkan inti dari kedatanganku. Zainuddin pamit undur diri setelah melapor kepada Joe bahwa aku tamu Ibunya. Joe mengiyakan. Dan percayalah tatapannya mirip seorang juri ajang pencarian bakat sekarang. “Saya Rania, anak Bu Suminah.” Pria berdasi, tinggi, maskulin, dan wangi sekali ini memandangku dari atas ke bawah dengan berani. Tanganku gatal ingin menjotos matanya yang nakal itu. Sialnya aku diam, bahkan tersenyum dengan canggung. Aku mengenali pria ini. Pemilik mata coklat yang tajam. Ibu pernah mengirim fotonya lewat media berbagi dan mengatakan dia adalah Joe Abrizam Sky, bosnya yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Yang menurutnya tampan dan tidak ribet dengan pilihan makan. Tapi yang lebih penting lagi, Joe selalu membawa gadis yang berbeda-beda setiap bulan. Aku menyimpulkan, pria setampan dirinya dan sekaya dirinya adalah pria-pria yang meninggikan maskulinitas dan uang dalam menjerat gadis-gadis untuk diambil inti kesuciannya. Tipe laki-laki yang enggan berkomitmen dan senang berkelana. “Silakan masuk.” ucapnya sambil membuka pintu rumah. Bagus. Dia tidak menginterupsi ekspresiku dan keinginanku menjotos matanya dengan tanganku yang erat memegang gagang koper. Aku menyeret koperku untuk mengikutinya, menapaki kehidupannya yang berdampingan dengan suasana sepi. Tidak ada suara gaduh seperti di rumah Bapak yang bercampur dengan orang tua dan adiknya. Rumah ini betul-betul sepi, dingin dan elegan. Aku celingukan. Di mana Ibu? Apa dia ada di kamar sempit yang pengap yang lantas akan diisi olehku juga? Dan kami sama-sama terperangkap di ruang itu? Joe Abrizam Sky berhenti di depan pintu, di sebelah dapur yang tampaknya tidak menyediakan makan malam untuknya. Dapur itu bersih meski beberapa gelas dan piring mengisi wastafel cuci piring. “Bu Minah di dalam, dan maaf, Bu Minah tidak ada yang mengurus!” Joe lantas pergi setelah membuang fakta sialan yang membuatku segera cemas alih-alih sebal akan melihat Ibu lagi. Aku mengucapkan terima kasih lalu mengetuk kamar dan membukanya. Ibu membuka matanya, menatapku dalam diam sebelum tersenyum lesu. “Ran...” Aku menutup pintu, meletakkan barang bawaanku sebelum menyaksikan tulang punggung keluarga terbaring lemah di kasurnya yang kecil tapi spring bed. Lebih berkelas dari kasur busa di kamarku, yang kempes dan kadang dikencingi kucing keponakanku, si meli. “Datang juga kamu, duduk sini.” Ibu berusaha menggeser posisi tidurnya, memberi ruang bagiku untuk duduk di tepi kasur spring bed-nya itu. Aku mencium punggung tangannya sebelum duduk. Perasaanku seketika teriris pisau bernama kasihan. Ibu tidak bilang sakitnya tidak parah. Benjolan di lehernya tidak apa-apa, tapi kemudian Ibu bilang itu adalah kanker tiroid. “Ini benar-benar gak masuk akal, Bu. Gimana bisa Ibu gak ada yang urus. Apa Joe...” Ibu mendesis tajam dengan serak, menyuruhku diam dan tidak boleh mengkritik atasannya. Aturan pertama yang dilayangkan di hari pertama aku menemuinya setelah bertahun-tahun sulit jumpa. “Kenapa, Bu?” Dia kan gak mungkin dengar.” “Ibu sendiri yang minta, Ran. Biaya perawat mahal, Ibu gak sanggup bayar!” Sial, aku lagi-lagi hanya bisa menggerutu dalam hati. Hari pertamaku di Jakarta benar-benar tidak senang. Tanganku betul-betul ingin menjotos apa pun. Joe itu apa tidak bermurah hati sedikit saja pada Ibu yang sudah menemaninya nyaris lima tahun? “Ibu sudah makan? Harus minum obat kan? Aku bawa oleh-oleh dari kampung...” Ibu tidak langsung mengiyakan, dia justru memiringkan tubuhnya, mengambil sepucuk surat dari laci kecil yang berhias obat-obatan, roti tawar dan sebotol air mineral. “Kamu baca, Ran. Terus maafin Ibu.” - Selamat membaca kisah baru ini. Semoga suka, dear reader. Jangan lupa komentar dan gemsnya. With Love, Skavivi.Mungkin lukisan, mungkin puisi, mungkin... Mengapa kami harus menjadi masa lalu kalau kami bisa menjadi masa depan? “Aku tidak suka dengan pertanyaan tuan.” “Aku juga tidak terima kamu mengabadikan masa lalumu dalam bentuk apa pun!” Iuh... Aku sungguh-sungguh menatapnya, “Kenapa tidak terima?” “Karena aku tidak ingin berada di nomer dua. Dan... Rania, hapus semua masa lalumu dalam bentuk apa pun!” “Kalau aku tidak mau bagaimana?” sahutku, terus terang aku tidak tahu cara berpikirnya. Kadang-kadang Romeo, kadang-kadang Kurawa. Dan kalau Joe diam saja begitu, aku hanya perlu menunggu kejutan-kejutan lain darinya. Sungguh-sungguh menyebalkan. - “Kau sudah siap, Rania?” Di depan dua videografer dan Rebbecca yang cantik dengan gaun musim panas hijau muda tanpa lengan. Aku mengangguk pasrah. “Aku sudah tidak sabar, Mama. Seluruh dunia ini harus tahu akulah kekasih sejati Abang Joe.” Rebbecca memutar bola matanya setelah membuang wajah, barulah kemudian dia tersenyu
“Kamu harus mengguyurnya berkali-kali, Rania. Aku tidak peduli keluhanmu. Foto-foto itu harus lenyap dari saluran air toilet kita!” “Siap tuan rumah!” Setelah mendengus jengkel, aku mengangkat ember hitam dan menuangkannya ke toilet. Ini sudah lima kali dan permintaannya itu sampai ember ke sepuluh. “Bagaimana kalau kita pindah apartemen saja?” Aku menyarankan. “Daripada ribet begini, kurang kerjaan banget.” keluhku sambil menghidupkan kran air. “Lagipula tuan, aku ini capek sekali lho. Badanku sudah pegal-pegal, tidak enak.” Joe melepas kaosnya, uh, aku dapat melihat bekas kecupanku semalam di dadanya. “Hari ini kita pergi ke rumah Mama, Rania. Selesaikan tugasmu dan biarkan aku mandi!” Aku mengiyakan dan mempunyai keinginan untuk menjotosnya. Satu manusia ini adalah contoh keberagaman sikap yang tidak perlu dicontoh. Kelakuannya sungguh-sungguh memalukan. “Tidak bisa nanti saja mandinya?” Aku memandangi Joe yang asyik mencuci rambutnya. “Apa tuan benar-benar nak
“Ke mana saja kamu dengan Realino?” Berdasarkan hasil pengamatanku selama kurang lebih dari satu jam, Joe agaknya benar-benar menyesal telah menamparku. Dia memeriksa pipiku lalu mengecupnya sebelum memeriksa tanganku yang membersihkan pecahan gelas tadi. Joe bersyukur aku tidak kenapa-kenapa, tapi yang paling mengejutkan, dia membuatkan makan malam walau hanya pop mie dan es susu kocok stroberi. “Kamu menyukai ini kan? Makanlah setelah menjawab pertanyaanku!”Pertama-tama aku menjawab pertanyaannya dengan jujur. “Tuan bisa memastikannya langsung kepada yang bersangkutan.”“Kamu bersenang-senang dengannya?”“Lumayan.” Aku menguncupkan bibir. “Ada ilmu yang aku dapat, tapi juga pusing, ada revisi besar-besaran. Tuan, maafkan keinginanku itu.” Joe tidak mempermasalahkan keinginanku, baginya itu kecil dan gampang. “Terimalah permintaan maafku dulu, Rania. Makanlah dan bersenang-senang denganku lagi.” Bagaimana caranya tersenyum? Coba katakan? Aku sungguh-sungguh tidak paham
Dari sepersekian detik yang bergulir bagai anak siput yang baru lahir, kami bertatapan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Satu dua larik kata muncul dan tenggelam begitu saja hingga pada akhirnya aku malas untuk mulai berkata. Toh seperti sejak pertama berjumpa memang aku tidak boleh mendominasinya. Aku mengerti, meminta maaf sekarang tidak akan memperbaiki keadaan. Apalagi membahas Sabrinna lagi, astaga pria itu pasti akan semakin tenggelam pada kenangan! Aku berbalik dengan detak jantung yang tambah berdebar-debar. Entah mengapa aku takut, canggung dan grogi. Joe dan keadaan apartemennya yang berantakan bertolak belakang dengan isi pikiranku. Aku pikir dia enggan melihatku atau menungguku pulang. Dua gelas anggur merah yang pecah di lantai dan wadah bekas makanan seolah-olah dijadikan bukti bahwa dia tetap di sini selama aku pergi bersenang-senang. Aku meletakkan tas ranselku di meja, ada baiknya membersihkan tempat ini lalu mengurus diri sendiri. “Apa kamu tidak berp
“Saya rasa kerja sama ini akan sepedas rujak es krim yang kalian bawa.” Pak Anto terkekeh-kekeh sambil mengulurkan tangan. “Senang bisa bergabung dengan kalian.” Meski tampak ramah, Pak Anto tampak tidak bisa menyembunyikan wajah seriusnya. Aku buru-buru menyambut tangannya dan mengangguk. “Saya sendiri berharap ide-ide menarik dari imajinasi saya tidak membingungkan Pak Anto dan Realino.” “Santai, Rania. Ini justru menarik dan seru!” sahut Realino yang berdiri di sampingku. “Tapi ini udah kelewat batas, gue takut ada yang khawatir sama elo!” Aku paham ada bencana yang akan menimpaku nanti. Tetapi aku tidak bisa tidak tersenyum setelah berdiskusi panjang dengan mereka. Rasanya memang seru bertemu orang-orang hebat yang tidak menghakimi kepolosan dan kegilaan yang aku miliki. “Sampai jumpa lagi, Pak. Jadwal kedua nanti semoga tidak bentrok dengan jadwal Bapak.” Pak Anto mengangguk dan mengantar kami berdua ke pelataran rumahnya yang asri. Banyak pohon anggrek yang sed
Perlu satu jam aku bersabar menghadapi antusiasme dalam diri, tapi si begundal berjambul pirang itu agaknya tidak memperbolehkan aku diam sejenak dan menikmati kebebasan. “Elo belajar seni rupa kontemporer doang atau ada jurusan lain?” Realino menatapku dengan lancang seolah tidak percaya aku lulusan institut seni rupa. Aku menghela napas lalu membuatnya geregetan. “Menurutmu apa lucunya aku ini gara-gara aku anak seni?” “Kalau dilihat-lihat sih enggak ya, elo lebih mirip anak akutansi, terlalu serius!” Realino cekakan. “Mikirin Joe?” Bohong kalau aku tidak memikirkan Joe Abrizam Sky. Aku bertanya-tanya apakah dia menyesal sudah menamparku? Ataukah dia tidak peduli mengingat tamparan keras yang dialami di masa lalu lebih kejam dari yang dia lakukan padaku? “Aku membuang koleksi foto perempuan bernama Sabrinna ke toilet, itu alasan Joe menamparku!” ucapku lalu meringis. “Aku jamin kamu saksi perjalanan cinta mereka, Realino. Ceritakan padaku.” Realino bersandar di kursinya
”Oi, Rania...” seru Realino. Buru-buru aku mempercepat langkahku di lorong apartemen. Aku tidak ingin menjadi bahan pembicaraan batin dan isi kepala Realino, terlebih-lebih kejahatan Joe akan menjadi bumerang baginya sendiri. Aku tidak ingin laki-laki itu merasa malu. Meski dalam hati aku berharap sebuah balasan menimpanya. Sebab, akan jauh lebih menyenangkan bila rasanya satu sama. Dan ketika aku berpikir keras untuk memutuskan sesuatu yang merepotkan dan menyakitkan, langkah Realino semakin terasa dekat. “Elo nggak apa-apa?” Realino menyentuh bahuku dan menahannya. “Rania... Oi... Elo nggak mau ketemu gue? Apa jangan-jangan elo lupa? Gue Realino, teman Joe!” Aku tidak lupa, dan aku jelas-jelas ingin bertemu dengan Realino. Tapi kawannya yang tidak menyenangkan itu akan menjadi pengganggu dan akan menjadi orang yang aku hindari hari ini. “Boleh bawa aku pergi secepatnya dari sini?” ucapku terbata-bata sambil menatap Realino dengan ragu-ragu. “Sebelum tuan... eh, Pak Ahm
Aku menjauh sambil menatapnya tak percaya. Sungguh. Apa semua detail aktivitasku dilaporkan tanpa dusta sedikit saja? Apa Pak Ahmad adalah mantan jurnalis yang merangkap sebagai penjaga? Kenapa mereka tidak bekerja layaknya orang pemakan gaji buta saja sih? Atau palingan bisa memberi sedikit dusta? “Tuan ingin menghukumku?” ucapku tanpa rasa takut. Joe bersedekap sambil mengamatiku dengan seksama. “Kamu sudah tahu kesalahanmu?” Nada suaranya yang dingin menyebabkan kesunyian di antara kami selama beberapa menit. Joe masih dengan baju tidur katun biru tua dan masih tampak mengantuk. Tanda bahwa begadang dan belum lama terjaga. Hal itu membuatku malas menjawab kesalahanku apa, sebab, setelah menemani Ibu cek kesehatan dan mengetahui fakta bahwa hasilnya kurang baik, aku kurang berselera membela diri. “Tuan hukum saja aku!” Joe terkejut dengan dibuat-buat lalu tertawa renyah. “Kamu benar-benar mau aku hukum? Keterlaluan kamu, Rania!” Sebelum berdiri untuk mengambil koleksi
Pagi hari yang mendung. Secangkir susu vanila dan roti tawar bakar yang diberi lelehan madu dan alpukat kocok disajikan pelayan rumah di balkon kamarku. “Nona harus menghabiskannya, dan berfoto sesudah dan sebelum sarapan. Tuan Joe akan senang melihatnya!”Aku mengangguk dan tidak peduli dengan sikap memaksa para antek-antek Joe tersebut, mereka akan tetap begitu sekalipun aku protes.“Terima kasih. Ibu bagaimana, sudah makan?” “Sudah, Nona.” sahutnya pendek. “Ibu Minah akan melakukan cek kesehatan jam delapan di rumah sakit, Nona sebaiknya segera mandi dan berdandan!”Aku mengangguk dan memfoto diriku sendiri sambil menunjukkan sarapan pagiku. “Aku sendiri atau Mbak yang kirim foto ke tuan Joe?” “Kirimkan ke Pak Ahmad, seluruh koneksi ke atasan hanya beliau yang diizinkan!”Oh, jadi semua orang yang ada di rumah ini harus tunduk pada Pak Ahmad. Kalau dia dikurung dikamarnya saja bagaimana? Atau sarapannya diberi racun? “Aku akan melakukannya. Mbak juga sarapan dulu sana.”“Saya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments