Joe menatapku dengan wajah terkejut, lalu tanpa mempedulikan sekitarnya, dia tetap mengoceh hal-hal yang seharusnya aku lakukan dan aku patuhi sebagai calon istrinya kelak.
Aku menghela napas, banyak sekali peraturannya. Namun satu yang paling sering Joe ingatkan, aku harus banyak-banyak bersabar. Bersabar katanya? Halo, sabar hanya untuk orang-orang penyabar, sedangkan aku? Aku sabar kok meski kadang-kadang. Joe tersenyum cerdik seraya berbisik, “Kamu jangan berpikir keras, Rania. Santai saja, cukup aku yang kacau sekarang.” Aku melengos pergi untuk menyudahi tingkahnya, namun Joe tetap getol memberi kegelisahan. “Bicaramu tadi terlalu kasar, kamu bisa aku hukum!” Aku segera menoleh, “Aku bicara kenyataan, apa serunya menikahi laki-laki impoten? Mirip agar-agar begitu?” Tatapanku pindah ke kaki jenjangnya yang terbungkus celana jins lalu pindah ke wajahnya. Rahang Joe mengeras, ekspresinya yang santai berubah drastis seolah tertekan sesuatu. “Apa kamu lupa dengan ucapanku?” Ucapan yang mana? Joe menghela napas, paham dengan ekspresi berpikirku. “Urusan seru atau tidak jangan dipikirkan, kamu akan tahu dengan sendirinya bagaimana serunya bercinta denganku nanti!” Joe rupanya tersinggung dengan ucapanku, dan selagi dia menciptakan strategi betapa serunya menikah dengan pria sepertinya, aku tetap memberontak. “Tuan diam saja, toh ini hanya berkomentar, tuan tidak perlu menunjukkan bagaimana serunya bercinta sekarang! Itu menjijikkan.” Joe melirikku seraya menggandengku ke dalam kasir sebelum pergi ke pusat perbelanjaan lain di lantai dua tanpa malu. Aku yang malu, aku hanya pakai sendal teplek, cardigan dan celana jins. Sementara dia, kamu pasti tahu bagaimana pria jutawan berdandan. Busananya memuat merek ternama, rapi dan menunjukkan dia pria yang mudah memperoleh uang besar. Kami dua perbedaan yang sukar menemukan kecocokan. Perbedaan yang akan menjadi bencana di kemudian hari. Aku pernah menginginkan cinta yang setara, yang tidak memberatkan sebelah pihak dan sanggup meraih masa depan dengan tanggap. Kini, aku justru dihadapkan pada seorang pria gila yang rela menghamburkan jerih payahnya untuk menyelamatkan nyawa Ibu dan reputasinya sendiri. Sungguh aku tidak senang pada kemudahannya memperoleh tujuan. Mengapa dia tidak berjuang menepis ocehan buruk tentangnya ketimbang membeli harga diri perempuan? “Rania, si mat keluh!” Joe berhenti di depan butik yang menghadirkan kesan feminisme pada setiap pakaian yang digunakan manekin. Aku langsung jatuh suka dengan setelan bohemian musim panas dan baju sabrina biru muda. Dan ketika Joe memandangi objek yang sama, aku segera yakin Joe seperti terkena sabetan tali kuda yang lantas membuat langkah dan tangannya menyeretku ke dalam butik. “Mana lagi yang kamu suka? Sebutkan, biar mat keluh di otakmu itu tidak menganggap menikah denganku tidak seru!” Aku tergelak. Tapi ya sudahlah... Baginya serentetan sandang elegan, makan di restoran berbintang, dan segepok bahasa cinta ialah keseruan dalam memadu asmara yang berasaskan uang sebagai pelicinnya. “Tuan yakin dengan kemampuan tuan membayar keinginanku?” Sambil pura-pura memilih sandang elegan yang pantas menjadi busana pendamping hidup tuan rumah, aku menanyakan pernyataannya di antara rak bumbu-bumbu dan penyedap rasa. “Apa alasan mereka menyebut tuan gay dan impoten?” Mendadak Joe mendekatiku sampai aku akhirnya merasakan telapak tangannya yang lebar membekap bibirku dengan gesit. “Jangan mempermalukan aku!” bisiknya dengan sinis di telinga. Aku merinding beberapa saat, dan reflek mencubit punggung tangannya. Joe justru yang mempermalukan kami berdua sewaktu butik sedang digandrungi para peminat diskon. Dan, para wanita-wanita itu tampak memberi senyuman saat Joe bertingkah layaknya seorang idola. “Ambil yang kamu suka dan pergi ke ruang ujicoba!” Diruang ujicoba pakaian, aku berlagak seperti kurator yang mempresentasikan maksud dan tujuan dari sandang yang kupilih. Joe mengangguk sementara mulutnya mencetuskan ide nakal. “Kenapa tidak kamu coba satu persatu? Cobalah, biar aku nilai pantas tidak kamu pakai!” Aku mencebikkan bibir, permintaannya itu tidak tahu malu. “Tuan, tahu sutra yang kita beli akan cepat basi jika kita berlama-lama di sini.” Joe segera menghalangi pintu ruang kecil sambil melotot ke arahku. “Ini hal mudah, perlihatkan!” Ya ampun... tugas ini lebih berat dari pada membuat patung candi ijo, dan rok mini merah muda yang asal kuambil tadi Joe pilih. “Kamu ternyata mendengar perintahku.” Joe menarik sudut bibirnya, “Kamu ingin tampil seksi dan memancingku?” “Apakah tuan akan menambah daftar panjang hutang Ibu dengan judul belanja baju baru di plaza Senayan?” “Untuk ini tidak sama sekali.” Joe tersenyum, tidak masalah kalau saja baju itu hanya akan teronggok di lemari. “Stok kesabaranku mulai menipis, perlihatkan padaku kaki jenjangmu!” Sumpah, kalau dulu aku bersungguh-sungguh dalam belajar karate, aku sudah menunjukkan kepadanya jurus andalanku. “Tuan, pejamkan mata dulu!” Tidak sampai semenit, Joe membiarkan aku menanggalkan celana jins dan memakai rok mini yang segera membuatnya membuka mata. Sepasang kakiku yang terlihat membuat pipiku merona, terlebih Joe yang segera menyentuh dan membelainya sampai ke pangkal paha dengan penghayatan. Aku menggelengkan kepala, nyaris bergairah. “Tidak sekarang, tolong pergi dari sana, tuan!” Joe menikam mataku dengan tatapannya, “Tidak ingat kamu siapa?” “Aku ingat!” ucapku marah. Joe menyeringai dan mundur selangkah. “Kita bisa membuat kesepakatan asal kamu setuju dengan apa yang sudah aku dan Ibumu sepakati!” “Baik, tuan, nanti kita bicarakan di rumah!” Aku meraih celana jins di gantungan baju. “Ini tidak nyaman, tapi aku tidak sabar membuat kesepakatan itu!” - next & happy reading“Apakah tuan akan menambah daftar panjang hutang Ibu dengan judul belanja baju baru di plaza Senayan?” tanyaku sewaktu perjalanan pulang. “Untuk ini tidak sama sekali.” Joe tersenyum simpul, tidak masalah kalau saja setumpuk baju baru itu hanya akan teronggok di lemari. “Cadangan kesabaranku masih banyak. Kamu mau apalagi setelah ini?” “Mau pulang. Ibu tidak ada yang jaga!” Joe menghela napas dengan pasrah. “Kamu sungguh-sungguh percaya Bu Minah tidak ada yang menjaganya?” Pertanyaan itu membuatku semakin mengerti, aku mudah dibodohi dan aku percaya. “Kakimu halus seperti cara berpikirmu, Rania. Manis sekali!” Joe mengacak-acak rambutku sambil tersenyum lebar. “Pakai rok tadi untuk malam nanti, di kamarku!” Huh, betapa ingin aku mempertanyakan bahwa permintaan itu benar-benar nyata, benar-benar boleh dimiliki gadis sepertiku? Sungguh anugerah. ”Jam berapa undangan itu, tuan?” “Sepuluh!” Aku mengangguk, Joe tertawa. Idih, apanya yang lucu? “Kamu peduli dengan B
Kupikir, jika aku menikah—baik demi melunasi hutang dan kesehatan Ibu, atau meringankan beban Joe yang dianggap gay dan impoten itu—aku tetap perlu mengenali Joe secara pribadi. Artinya aku harus ramah seperti customer service. Astaga... Sibuk sekali hidupku kini. Selain lebih rajin memasak dan merapikan rambut, aku perlu mengenali seseorang yang ingin sekali aku jotos lagi. Joe hanya duduk manis di kursi dapur setelah semalam aku sudah menjadi kawan tidurnya. Joe pula memintaku agar menganggap rumah yang baru sebulan ditempatinya sebagai rumahku juga. Aku langsung tertarik untuk membeli beberapa lukisan, hiasan meja, patung-patung abstrak nan lucu atau piring-piring klasik khas tionghoa untuk memberi sentuhan seni di rumahnya yang sepi. Aku akan mengemukakan pendapat ini setelah makan siang nanti. “Kenapa tuan hanya melihat saja? Mengapa tidak membantu aku memasak?” “Hmm...” Joe meletakkan ponselnya di meja seraya pindah ke sampingku. “Apa ini salah satu kesepakatan di dapur? K
Kesepakatan bersama Joe dan Ibu pada akhirnya menjadi bagian dari hidupku, sekarang aku hanya bisa mengucapkan selamat tinggal pada kebebasan. Aku tahu ini sembrono, mirip waktu aku tidur dengannya. “Ayo, ke bawah.” Joe menghampiriku yang duduk di sofa ruang kerjanya. “Kamu terlihat tidak ikhlas mendatangi surat perjanjian tadi, Rania.” Joe terkekeh, memprovokasi perasaanku. “Boleh aku berterima kasih dengan mencium tanganmu sekarang?” Aku mengangguk, lalu melihat Joe berlutut bagai pangeran yang hendak melamar kekasihnya dan mencium punggung tanganku mesra. “Milikku.” Joe tersenyum. “Besok kita pergi ke rumah sakit, sekarang aku harus pergi kerja. Bisa kamu baik-baik di rumah?” Alisku berkerut, dan butuh beberapa detik sebelum memutuskan untuk memintanya agar tidak usah pulang saja. Joe kembali terkekeh sebelum berdiri. “Aku yang mengaturmu, Rania! Pergilah ke kamar Ibumu.” Aku mengangguk tanpa bertele-tele, tapi Joe segera mendekat untuk mencegahku pergi dari ruang ker
Sepotong kegelisahan mengiringi jawaban atas pertanyaanku yang gamblang. Joe mengangkat bahu seolah menyepelekan tindakannya yang tidak akan menyakitiku.“Aku serius dengan usaha ini, Ran. Kalau saja aku menyakitimu, mungkin aku terlalu marah dengan kesalahanmu!” “Kesalahanku? Contohnya?” “Selingkuh.” Sebagai mantan mahasiswa seni rupa kontemporer yang cinta mati pada pekerjaan dan hobinya, selingkuh dengan manusia tidak pernah aku lakukan.Selingkuhanku biasanya berupa imajinasi, patung, lukisan dan pekerjaan-pekerjaan yang membuatku menjadi palugada berhati riang gembira yang berujung gila sesaat. Dan mantanku akan marah-marah tak karuan, lalu pergi mencari pelampiasan. Huhuhu. “Aku tebak, tuan pernah diselingkuhi?” “Untuk kondisiku, itu sudah pasti!” Joe mendengus tidak senang. “Jangan dibahas, aku tidak senang.”Aku juga tidak senang, cerita perselingkuhan selalu menjadi cerita rumit yang jarang berakhir dengan kedamaian hati. Dan payahnya ‘monster’ itu akan hidup lebih lama
Sambil tersenyum lega, Joe menghampiri Ibuku yang ditemani perawat pribadinya dan seorang dokter yang mengobservasi kesehatan Ibu pasca kemoterapi. Sang dokter mengingatkan kami bahwa akan ada efek samping yang akan Ibu alami. Mual, muntah, dan kerontokan rambut sudah pasti, Ibuku sudah paham, beliau mengangguk dan berharap yang terbaik baginya. “Bapakmu tahu soal ini, Ran?” Perawat pribadi yang diberikan Joe sudah menyiapkan kantong muntah, dan berjaga-jaga di samping ranjang pasien. Aku pun merasa pertanyaan itu mengurangi nikmat coklat hangat dan pop mie rasa soto yang aku santap di taman rumah sakit bersama Joe yang tidak suka dengan selera makanku. Katanya tidak sehat. “Raka tau, paling-paling Bapak juga tau.” jawabku asal-asalan. Aku belum menghubungi keluarga di kampung, hanya saja surat permohonan cerai itu pasti sudah mengusik Bapak. “Ibu mending jangan banyak pikiran dulu, urusan Bapak pikir belakangan!” ucapku setengah jengkel, kondisi baru sakit malah mikir
Tanpa menunjukkan keraguan, aku menggeleng lamban. Bukan jijik yang aku rasakan sekarang. Penderitaan itu sudah cukup menjadi takdirnya yang kelam, dan yang mengusikku sekarang, orang tuanya bertanggung jawab atau tidak? “Bagaimana tuan bisa menjalani hari setelah hari mematikan itu?” Joe menyugar rambutnya yang tidak lurus, tidak juga keriting. Dan selepas bukti gairahnya hanya bertahan beberapa menit, dia tampak lesu. “Aku tinggal di luar negeri sampai keadaan membaik.”“Pelakunya dipenjara?” Joe tersenyum masam sambil memegangi pipi kiriku. “Aku bahkan bertanya-tanya, hukuman anak di bawah umur di negara ini bagaimana, Rania.” Aku dapat menarik benang merah penyebab Joe bertindak seperti ini. Jakarta adalah kampung halamannya sekaligus tempatnya mendulang kenangan buruk itu. “Jadi, tuan sudah bertemu mereka?” tanyaku hati-hati. Joe menghela napas, terlihat gamang mencari jawaban yang tepat di tengah samudra duka yang dibagikan kepadaku kini. Apa Joe bisa pulih dari guncanga
Aku berkhayal berapa harga patung air mancur berbentuk ukiran wanita membawa kendi di tengah halaman rumah utama keluarga Ronald Sky. Aku juga mengira-ngira, apa tanamannya yang subur dan makmur itu dipupuk saban Minggu? Di dalam mobil Joe yang berhenti menyala, jantungku berdebar-debar. Aku tidak sanggup menemui keluarga Joe dengan Bapak yang ada di belakangku. Ini bukan karena perbedaan yang jelas, tapi karena persoalan Bapak dan Zainuddin memasuki babak baru. Mereka sepakat untuk membawa perkara ke ring tinju setelah bertemu dengan pengacara Joe, dan aku dapat menyaksikan langsung bahwa Zainuddin kecewa dan terluka. “Tuan.” Joe menunda membuka pintu mobil, dan semakin aku terlihat tidak tenang, semakin lebar senyumnya. “Tarik napas, hembuskan. Begini saja kamu tidak bisa?” Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Aku sudah mandi keringat dingin, telapak tanganku pun basah. Pertemuan pertama ini akan menjadi sesuatu yang menyeramkan dari pada bertemu deng
Semua dimulai dari langkah-langkah kecil yang menopang tujuan besar. Tujuan besar keluarga Sky sudah aku ketahui sebagian, dan detik-detik di mana terpenuhinya sisa dari tujuan besar keluarga Sky akan semakin membuat langkah kecilku terseok-seok. “Mengapa nyonya harus mengunci pintu?” tanyaku cemas, pembicaraan macam apa yang akan kami lakukan nanti. “Nyonya tidak...” Rebbecca meninggalkan ambang pintu seraya mengitariku. “Kamu tidak diizinkan melakukan protes! Kamu sadar, kamu siapa?” “Saya Rania Zaskia Putri, dengan sadar saya siapa.” Aku menarik napas panjang dan menghelanya. “Nyonya, ada yang bisa saya bantu?” Rebbecca mempersilakan aku duduk di kursi ergonomis berwarna putih, serasi dengan perobatan penunjang kerjanya. “Kamu akan membuat kesepakatan dengan orang tua Joe, Rania. Siapkan dirimu.” Aku lekas berkata ayo, aku sudah siap. Tetapi Rebbecca tidak segera mengambil langkah ke meja kerjanya yang penuh oleh tumpukan lembar pekerjaan. Dia justru mengamati sepa
Perlu satu jam aku bersabar menghadapi antusiasme dalam diri, tapi si begundal berjambul pirang itu agaknya tidak memperbolehkan aku diam sejenak dan menikmati kebebasan. “Elo belajar seni rupa kontemporer doang atau ada jurusan lain?” Realino menatapku dengan lancang seolah tidak percaya aku lulusan institut seni rupa. Aku menghela napas lalu membuatnya geregetan. “Menurutmu apa lucunya aku ini gara-gara aku anak seni?” “Kalau dilihat-lihat sih enggak ya, elo lebih mirip anak akutansi, terlalu serius!” Realino cekakan. “Mikirin Joe?” Bohong kalau aku tidak memikirkan Joe Abrizam Sky. Aku bertanya-tanya apakah dia menyesal sudah menamparku? Ataukah dia tidak peduli mengingat tamparan keras yang dialami di masa lalu lebih kejam dari yang dia lakukan padaku? “Aku membuang koleksi foto perempuan bernama Sabrinna ke toilet, itu alasan Joe menamparku!” ucapku lalu meringis. “Aku jamin kamu saksi perjalanan cinta mereka, Realino. Ceritakan padaku.” Realino bersandar di kursinya
”Oi, Rania...” seru Realino. Buru-buru aku mempercepat langkahku di lorong apartemen. Aku tidak ingin menjadi bahan pembicaraan batin dan isi kepala Realino, terlebih-lebih kejahatan Joe akan menjadi bumerang baginya sendiri. Aku tidak ingin laki-laki itu merasa malu. Meski dalam hati aku berharap sebuah balasan menimpanya. Sebab, akan jauh lebih menyenangkan bila rasanya satu sama. Dan ketika aku berpikir keras untuk memutuskan sesuatu yang merepotkan dan menyakitkan, langkah Realino semakin terasa dekat. “Elo nggak apa-apa?” Realino menyentuh bahuku dan menahannya. “Rania... Oi... Elo nggak mau ketemu gue? Apa jangan-jangan elo lupa? Gue Realino, teman Joe!” Aku tidak lupa, dan aku jelas-jelas ingin bertemu dengan Realino. Tapi kawannya yang tidak menyenangkan itu akan menjadi pengganggu dan akan menjadi orang yang aku hindari hari ini. “Boleh bawa aku pergi secepatnya dari sini?” ucapku terbata-bata sambil menatap Realino dengan ragu-ragu. “Sebelum tuan... eh, Pak Ahm
Aku menjauh sambil menatapnya tak percaya. Sungguh. Apa semua detail aktivitasku dilaporkan tanpa dusta sedikit saja? Apa Pak Ahmad adalah mantan jurnalis yang merangkap sebagai penjaga? Kenapa mereka tidak bekerja layaknya orang pemakan gaji buta saja sih? Atau palingan bisa memberi sedikit dusta? “Tuan ingin menghukumku?” ucapku tanpa rasa takut. Joe bersedekap sambil mengamatiku dengan seksama. “Kamu sudah tahu kesalahanmu?” Nada suaranya yang dingin menyebabkan kesunyian di antara kami selama beberapa menit. Joe masih dengan baju tidur katun biru tua dan masih tampak mengantuk. Tanda bahwa begadang dan belum lama terjaga. Hal itu membuatku malas menjawab kesalahanku apa, sebab, setelah menemani Ibu cek kesehatan dan mengetahui fakta bahwa hasilnya kurang baik, aku kurang berselera membela diri. “Tuan hukum saja aku!” Joe terkejut dengan dibuat-buat lalu tertawa renyah. “Kamu benar-benar mau aku hukum? Keterlaluan kamu, Rania!” Sebelum berdiri untuk mengambil koleksi
Pagi hari yang mendung. Secangkir susu vanila dan roti tawar bakar yang diberi lelehan madu dan alpukat kocok disajikan pelayan rumah di balkon kamarku. “Nona harus menghabiskannya, dan berfoto sesudah dan sebelum sarapan. Tuan Joe akan senang melihatnya!”Aku mengangguk dan tidak peduli dengan sikap memaksa para antek-antek Joe tersebut, mereka akan tetap begitu sekalipun aku protes.“Terima kasih. Ibu bagaimana, sudah makan?” “Sudah, Nona.” sahutnya pendek. “Ibu Minah akan melakukan cek kesehatan jam delapan di rumah sakit, Nona sebaiknya segera mandi dan berdandan!”Aku mengangguk dan memfoto diriku sendiri sambil menunjukkan sarapan pagiku. “Aku sendiri atau Mbak yang kirim foto ke tuan Joe?” “Kirimkan ke Pak Ahmad, seluruh koneksi ke atasan hanya beliau yang diizinkan!”Oh, jadi semua orang yang ada di rumah ini harus tunduk pada Pak Ahmad. Kalau dia dikurung dikamarnya saja bagaimana? Atau sarapannya diberi racun? “Aku akan melakukannya. Mbak juga sarapan dulu sana.”“Saya
Rumah baru yang diperuntukkan bagi keluargaku rupanya ikut menginjak-injak kesabaranku setelah koleksi foto perempuan yang Joe simpan.Bagaimana mungkin Joe dan keluarganya memilih rumah yang sangat jauh dari pusat kota, dan di kawasan rawan bencana banjir. Aku dan keluargaku seolah diasingkan dari orang-orang yang bisa mengendus identitas asli kami.Aku sungguh-sungguh terkesan dan dongkol, karena itu aku langsung memberondong pertanyaan ke sopir pribadiku. Namanya Pak Ahmad. Usianya sekitar lima puluh tahun, meski sudah berumur, dia tampil necis dan sangar. “Apa Pak Joe akan ke sini, Pak?” tanyaku jengkel. Sudah beberapa kali aku mengirim pesan ke Joe, tapi tak kunjung datang balasan yang menyenangkan. Pesan dariku hanya centang satu.Tidak mungkin Joe mengurus Bapak sebab pertandingannya akan dijadikan ajang judi yang di urus pihak kelab. Ronald Sky menjanjikan itu bukan sekedar pertandingan harga diri, melainkan bisnis. Kemenangan Bapak atau kekalahannya tetap akan menghasilkan
Siapa yang memelihara ayam jantan di perumahan mewah sebagus ini? Perasaan tidak mungkin tetangga Joe yang memiliki Lamborghini itu memelihara ayam jantan. Tapi kenapa berisik sekali suaranya? Apa jangan-jangan Bapak beli ayam untuk hiburan waktu di sini? Kapan belinya? Aku menutup telingaku, tidak nyaman. Akan tetapi, dugaan-dugaan tentang ayam jantan yang berkokok terus-menerus seperti suara alarm itu bukan sekedar mimpi. Tanganku dipegang oleh seseorang yang memiliki tangan halus dan ditariknya menjauh dari telinga. “Ini sudah siang! Buka matamu.” Seketika aku membuka mataku lebar-lebar dan semakin terkaget-kaget melihat wajah Rebbecca yang menaungi wajahku. “Gila.” katanya. Aku tertegun beberapa menit seraya berusaha bangkit dari tidurku yang terasa sangat melelahkan. “Maaf, nyonya.” ucapku serak, tenggorokanku terasa kering sekali. Terlebih-lebih matahari yang sudah terang benderang di luar rumah, membuatku yakin aku bangun sangat kesiangan. Rebbecca ber
“Kenapa kamu percaya aku impoten dan gay, Rania?” ucap Joe sambil menarik resleting celana dan mengancingkannya.Usai sudah ronde kedua kami yang sangat lama, sampai-sampai aku tidak kuat berdiri. Kakiku masih lemas, napasku masih berantakan dan Joe tetap tampil prima. Aku curiga dia sudah minum susu, telur dan madu sebelum pergi ke villa. “Kenapa kamu begitu polos?” Sambil cengengesan, dia menangkup kedua pipiku. “Kamu mudah di tipu?” Sialan, aku tidak mudah di tipu, aku hanya kurang bergaul dengan orang-orang sepertimu, dan orang-orang penipu sepertimu jarang aku temui kemarin-kemarin di kotaku, tuan!Aku menghela napas, ocehan itu hanya bisa aku ucapkan dalam hati karena tidak mudah bagiku sekarang memarahinya atau mengutuk ucapannya yang mencubit isi hatiku itu.“Tuan memang sejak awal berniat menipuku!” Aku menguncupkan bibir. “Dari mulai aku harus menjadi pembantu dan membayarhutang-hutang Ibuku, tuan sudah menyiapkan skenarionya!” “Jadi, kamu bisa menarik kesimpulannya sen
Hanya lima menit saja aku bisa merasakan sensasi menakjubkan dari melepaskan ketegangan otot dan gairah yang tidak terbendung. Hanya lima menit Joe bisa menjadikan aku kanvas yang berkeringat dan bergetar hebat.Tetapi mengapa setelah aku melakukan hal yang sama kepadanya sampai bibirku lelah dan memarahinya, Joe tidak kunjung mencapai puncak kejayaan? Ada yang salah, harusnya dia ejakulasi dini! Bukankah dia memiliki trauma dan impoten? Harusnya puncak itu datang kurang dari lima menit. Atau bahkan tidak sama sekali.“Katanya tuan impoten?” ucapku sambil menggerakkan tangan di bagian tubuhnya yang menjulang tegang. Bibirku yang mengerucut dicium olehnya, dan dilumat sesuka hati, sementara satu jarinya asyik memasuki tubuhku yang bermandikan gairah. Keadaan yang tak kunjung selesai ini sungguh melelahkan, tapi mengapa staminanya tidak kunjung selesai? Joe berkali-kali membuatku mendesah nikmat hanya dengan jari dan bibirnya saja. Sementara tak cukup baginya jari dan bibirku yang me
Aku menyunggingkan senyum sambil membantunya melepas jas kerja dan kancing kemejanya ditengah gangguan tangannya yang meraba ke seluruh tubuhku. Dan kesuksesan untuk membuatnya terlihat sempurna, seksi dan bisa dimiliki seutuhnya untukku sendiri nyatanya malah membuat sore hari yang sejuk ini kurang nyaman. Joe memandangi adik kecilnya yang lucu dengan tidak percaya diri. Sambil menggerutu karena ciumanku kurang pandai, sentuhanku kurang liar, Joe menyeretku ke ranjang. Dia duduk di tepi ranjang, “Kamu harus menjadi wanita penghibur, Rania. Jangan hanya pandai melukis!” Aku merasa tersinggung, sialan. Aku tidak ahli menjadi wanita penghibur yang mirip di kelab malamnya, yang geol-geol dengan busana minimalis, yang menampilkan wajah erotis menggoda dan merendahkan diri untuk bisa di bawa ke kamar penikmatnya. Aku Rania. Apa Joe lupa siapa aku? Melihatku murung, Joe jelas-jelas ingin melontarkan sesuatu yang bernada sinis, dan sebelum itu terjadi aku mengomelinya. “Aku