Jika direnungkan kembali, tidak rugi bila aku menikah dengan Joe. Bila aku memasrahkan diri terjebak dalam permainannya. Aku akan tetap menjadi Rania Zaskia Putri yang merana, yang tidak merdeka dalam memilih pilihan meski perutku akan kenyang, pakaianku akan menawan dan isi dompetku tidak kering kerontang.
Untuk sesaat gambaran tentang masa depan bersama Joe menyelinap di benakku. Aku resah. Sialnya mengapa aku justru berpikir dengannya adalah permainan panas yang menjanjikan kenikmatan dunia? Aku menurunkan sedikit kaca mobil seraya menghela napas. Setelah diskusi panas di ruang kerjanya, Joe mengajakku untuk berbelanja. Menyenangkan juga rayuannya. “Menurut tuan, operasi dan kemoterapi bisa membuat Ibu hidup lebih lama?” “Itu tergantung daya tahan dan daya juang Bu Minah.” Joe membiarkan fokus kemudinya beralih kepadaku sejenak. “Bu Minah satu-satunya orang tuamu bukan?” tukasnya dengan ragu. Aku mengulum bibir sambil menggeleng. “Aku masih punya Bapak dan adik.” Mataku menangkap keterkejutannya. “Aku paham kenapa tuan mengira aku anak yatim. Ibu dan Zainuddin mungkin menggunakan rumah tuan untuk asyik-asyik.” Joe menyunggingkan senyum dengan lepas seolah kejujuran itu adalah komedi yang tidak salah. “Benar katamu. Bu Minah dan Zainuddin memang sering asyik-asyik di dapur, di kamarnya atau di kamar mandi.” Aku geleng-geleng kepala, muak dengan tingkah laku Ibu yang memalukan itu. “Maaf untuk hal menjijikkan itu, dan sepatutnya tuan menegur Ibu dan Zainuddin. Mereka tidak seharusnya...” “Tidak masalah.” Joe menyela. “Ibumu masih cukup muda dan berisi, semua laki-laki yang mengenal Ibumu mengira dia janda dan ingin memilikinya.” “Termasuk tuan?” “Saya ingin memiliki Bu Minah? Yang benar saja, Rania!” makinya dengan ganas. Aku menyeringai. “Siapa tahu tuan tertarik dengan dadaku setelah melihat dada Ibu terlalu sering. Bisa jadi begitu bukan?” Joe tersinggung, wajahnya mengeras, tubuhnya tidak rileks. Tuduhanku bagai fitnah yang lebih kejam dari pembunuhan. Meski begitu dia melanjutkan perjalanan ke pusat perbelanjaan untuk mengisi lemari esnya yang lapang tanpa mengomel. “Bu Minah biasa belanja di sini dengan Zainuddin.” Joe melepas sabuk pengamannya. “Uang belanja setiap bulan tiga juta, kamu perlu mengatur sebaik-baiknya pengeluaran.” Aku tidak pandai akutansi, aku benci perhitungan. “Tiga juta untuk urusan makan saja? Galon, listrik dan internet rumah bagaimana?” “Pembelian galon masuk dalam uang bulanan. Listrik dan internet itu pengeluaranku.” Aku menerima uang darinya secara cash. Joe sudah menyiapkannya. Aku jadi curiga, sejauh mana dia mempersiapkan diri untuk menyambut kehadiranku? Apakah ciuman itu juga telah dia pikirkan matang-matang? “Tuan lebih suka ayam, daging, telur atau ikan?” “Terserah kamu!” Joe menghardik tidak sabar. “Belikan Bu Minah sayuran hijau dan buah-buahan. Nutrisinya sebelum operasi dan kemoterapi harus tercukupi!” Aku gegas melayangkan tanggapanku. “Aku belum setuju dengan tawaran tuan. Pernikahan tidak seperti akad jual beli. Tidak lucu!” “Tapi Ran, kamu sudah tidak asing lagi bagiku. Bu Minah sering bercerita tentangmu!” Aku menghitung jumlah uang untuk mengalihkan pembicaraan. Tiga juta pas. “Rasa penasaran bukan alasan bisa dengan mudah mengajak seorang wanita menikah. Aku jamin ada alasan lain dan saya tidak keberatan jika Ibu tidak operasi. Biarkan dia mati karena takdirnya mungkin begitu!” Aku keluar dari mobil setelah membuat Joe terkejut dengan tutur kataku. Tidak sampai lima menit, Joe keluar dari mobil, berlarian sambil memanggil-manggil namaku. “Jangan pergi seorang diri.” ucapnya sambil meraih troli belanja yang hendak aku dorong. “Ada beberapa hal yang perlu kamu perhatikan, Rania. Aku tidak suka jengkol dan petai. Lebih suka tahu sutra daripada ikan teri!” Aku meliriknya sambil lalu ke arah tumpukan pelbagai jenis beras. Mengambil dua kantong beras seberat sepuluh kilo dan menaruhnya di troli. “Ibu masak jengkol dan petai tanpa mempertimbangkan akibatnya?” ucapku heran di hadapannya. “Lantas ikan teri?” “Bu Minah sering memasak sambal teri petai dan semur jengkol. Aku memakannya karena menghargai masakannya.” Joe mengaku dengan jujur, terlihat dari matanya. “Aku raasa itu makanan kesukaannya.” Aku bisa membayangkan bagaimana Joe harus mengunyah permen berulang kali dan meneguk sebanyak-banyaknya air putih untuk menetralisir bau yang timbul dari petai dan jengkol. “Tidak coba protes?” Aku mengambil minyak, mentega, selai, meses, dan beberapa bahan utama membuat kue. Joe mendorong troli belanja, berpindah ke jejeran lemari pendingin dan berderet-deret rak sayur dan buah-buahan setelah menggeleng. “Masakannya enak, dan selama tidak memakai racun itu sudah bagus!” Aku tidak menyangka bisa tersenyum lepas waktu mendengar pengakuannya. “Ini surganya perempuan, terutama ibu-ibu.” ucap Joe. Aku langsung tertarik dengan tahu sutra. Di banding jengkol dan petai, apalagi ikan teri, tahu sutra lebih nyaman di tenggorokan Ibu. Aku berterima kasih untuk keinginannya yang mencerahkan pikiranku. “Empat bungkus tahu sutra?” Joe heran. “Kamu akan memberiku ini setiap hari, Rania?” “Tentu tidak, tuan. Ini hanya selingan.” Aku segera mengambil ikan, daging, dan telur organik. Lantas sayuran hijau, cabai, paprika, rolade, sosis, bakso ikan, bakso sapi, aneka bawang, buah-buahan sampai troli terisi penuh. “Untuk beberapa hari ke depan, apa tuan akan miliki acara di rumah?” “Beberapa hari ke depan urusan ada di rumah sakit. Aku ingin melakukan yang terbaik bagi Bu Minah!” Aku meliriknya, Joe begitu teguh memegang prinsip. Dia begitu ingin membilas hutang dan kanker tiroid Ibu dengan pernikahan. Aku jadi curiga mengapa dia begitu egois dan terobsesi denganku. Kenapa tidak dengan yang lain? “Ibu setuju di operasi?” Kami berhenti di antara rak aneka penunjang kelezatan makanan. Bumbu-bumbu instan, santan, aneka saus, kecap dan kamu tahu pasti apa lainnya. “Ibu Minah belum cerita kesepakatan kami berdua?” Aku menggeleng. Joe mengambil saus tiram, saus lada hitam, kecap pedas manis, saus tomat, bumbu-bumbu instan dan rempah-rempah. Santan instan berikutnya, lantas ikan teri, udang rebon, cumi kering dan diakhiri dengan penyedap rasa ayam dan sapi. Joe menatapku. Aku cemas, dalam perang Baratayudha sudah jelas bahwa keluarga Pandawa melawan keluarga sepupunya, Kurawa. Tapi aku? Melawan Ibu? Durhaka namanya. “Sebut saja ini solusi. Ibumu sehat dan aku selamat dari kecaman rival keluarga!” Aku tidak percaya. Joe kini mengimbuhkan wiracarita dengan mimik wajah menderita seakan betul-betul menderita setengah mati. “Aku harus menikah secepatnya untuk menyingkirkan kabar buruk di perusahaan. Aku dianggap gay! Impoten!” Aku tertarik mendengarnya berceloteh sampai mulutnya berbusa-busa dan lelah sendiri membuat wiracarita yang berasaskan kebohongan. Tetapi jalan keluar itu membuatku paham Ibu dan Joe saling mendukung dalam menjeratku. Aku memandang Joe cukup lama. Memang ada keresahan yang menjalar di wajah Joe. Tetapi ide konyol sedang bermain di situasi paling sukar siang ini. “Ibu memang bagian terbaik dari hidupku sekalipun Ibu seenaknya sendiri menjadikan aku jaminan kesehatannya!” Aku mengaku tanpa bohong. “Tapi menikah dengan laki-laki impoten dan gay, apa serunya?” - nextJoe menatapku dengan wajah terkejut, lalu tanpa mempedulikan sekitarnya, dia tetap mengoceh hal-hal yang seharusnya aku lakukan dan aku patuhi sebagai calon istrinya kelak. Aku menghela napas, banyak sekali peraturannya. Namun satu yang paling sering Joe ingatkan, aku harus banyak-banyak bersabar. Bersabar katanya? Halo, sabar hanya untuk orang-orang penyabar, sedangkan aku? Aku sabar kok meski kadang-kadang. Joe tersenyum cerdik seraya berbisik, “Kamu jangan berpikir keras, Rania. Santai saja, cukup aku yang kacau sekarang.” Aku melengos pergi untuk menyudahi tingkahnya, namun Joe tetap getol memberi kegelisahan. “Bicaramu tadi terlalu kasar, kamu bisa aku hukum!” Aku segera menoleh, “Aku bicara kenyataan, apa serunya menikahi laki-laki impoten? Mirip agar-agar begitu?” Tatapanku pindah ke kaki jenjangnya yang terbungkus celana jins lalu pindah ke wajahnya. Rahang Joe mengeras, ekspresinya yang santai berubah drastis seolah tertekan sesuatu. “Apa kamu lupa dengan
“Apakah tuan akan menambah daftar panjang hutang Ibu dengan judul belanja baju baru di plaza Senayan?” tanyaku sewaktu perjalanan pulang. “Untuk ini tidak sama sekali.” Joe tersenyum simpul, tidak masalah kalau saja setumpuk baju baru itu hanya akan teronggok di lemari. “Cadangan kesabaranku masih banyak. Kamu mau apalagi setelah ini?” “Mau pulang. Ibu tidak ada yang jaga!” Joe menghela napas dengan pasrah. “Kamu sungguh-sungguh percaya Bu Minah tidak ada yang menjaganya?” Pertanyaan itu membuatku semakin mengerti, aku mudah dibodohi dan aku percaya. “Kakimu halus seperti cara berpikirmu, Rania. Manis sekali!” Joe mengacak-acak rambutku sambil tersenyum lebar. “Pakai rok tadi untuk malam nanti, di kamarku!” Huh, betapa ingin aku mempertanyakan bahwa permintaan itu benar-benar nyata, benar-benar boleh dimiliki gadis sepertiku? Sungguh anugerah. ”Jam berapa undangan itu, tuan?” “Sepuluh!” Aku mengangguk, Joe tertawa. Idih, apanya yang lucu? “Kamu peduli dengan B
Kupikir, jika aku menikah—baik demi melunasi hutang dan kesehatan Ibu, atau meringankan beban Joe yang dianggap gay dan impoten itu—aku tetap perlu mengenali Joe secara pribadi. Artinya aku harus ramah seperti customer service. Astaga... Sibuk sekali hidupku kini. Selain lebih rajin memasak dan merapikan rambut, aku perlu mengenali seseorang yang ingin sekali aku jotos lagi. Joe hanya duduk manis di kursi dapur setelah semalam aku sudah menjadi kawan tidurnya. Joe pula memintaku agar menganggap rumah yang baru sebulan ditempatinya sebagai rumahku juga. Aku langsung tertarik untuk membeli beberapa lukisan, hiasan meja, patung-patung abstrak nan lucu atau piring-piring klasik khas tionghoa untuk memberi sentuhan seni di rumahnya yang sepi. Aku akan mengemukakan pendapat ini setelah makan siang nanti. “Kenapa tuan hanya melihat saja? Mengapa tidak membantu aku memasak?” “Hmm...” Joe meletakkan ponselnya di meja seraya pindah ke sampingku. “Apa ini salah satu kesepakatan di dapur? K
Kesepakatan bersama Joe dan Ibu pada akhirnya menjadi bagian dari hidupku, sekarang aku hanya bisa mengucapkan selamat tinggal pada kebebasan. Aku tahu ini sembrono, mirip waktu aku tidur dengannya. “Ayo, ke bawah.” Joe menghampiriku yang duduk di sofa ruang kerjanya. “Kamu terlihat tidak ikhlas mendatangi surat perjanjian tadi, Rania.” Joe terkekeh, memprovokasi perasaanku. “Boleh aku berterima kasih dengan mencium tanganmu sekarang?” Aku mengangguk, lalu melihat Joe berlutut bagai pangeran yang hendak melamar kekasihnya dan mencium punggung tanganku mesra. “Milikku.” Joe tersenyum. “Besok kita pergi ke rumah sakit, sekarang aku harus pergi kerja. Bisa kamu baik-baik di rumah?” Alisku berkerut, dan butuh beberapa detik sebelum memutuskan untuk memintanya agar tidak usah pulang saja. Joe kembali terkekeh sebelum berdiri. “Aku yang mengaturmu, Rania! Pergilah ke kamar Ibumu.” Aku mengangguk tanpa bertele-tele, tapi Joe segera mendekat untuk mencegahku pergi dari ruang ker
Sepotong kegelisahan mengiringi jawaban atas pertanyaanku yang gamblang. Joe mengangkat bahu seolah menyepelekan tindakannya yang tidak akan menyakitiku.“Aku serius dengan usaha ini, Ran. Kalau saja aku menyakitimu, mungkin aku terlalu marah dengan kesalahanmu!” “Kesalahanku? Contohnya?” “Selingkuh.” Sebagai mantan mahasiswa seni rupa kontemporer yang cinta mati pada pekerjaan dan hobinya, selingkuh dengan manusia tidak pernah aku lakukan.Selingkuhanku biasanya berupa imajinasi, patung, lukisan dan pekerjaan-pekerjaan yang membuatku menjadi palugada berhati riang gembira yang berujung gila sesaat. Dan mantanku akan marah-marah tak karuan, lalu pergi mencari pelampiasan. Huhuhu. “Aku tebak, tuan pernah diselingkuhi?” “Untuk kondisiku, itu sudah pasti!” Joe mendengus tidak senang. “Jangan dibahas, aku tidak senang.”Aku juga tidak senang, cerita perselingkuhan selalu menjadi cerita rumit yang jarang berakhir dengan kedamaian hati. Dan payahnya ‘monster’ itu akan hidup lebih lama
Sambil tersenyum lega, Joe menghampiri Ibuku yang ditemani perawat pribadinya dan seorang dokter yang mengobservasi kesehatan Ibu pasca kemoterapi. Sang dokter mengingatkan kami bahwa akan ada efek samping yang akan Ibu alami. Mual, muntah, dan kerontokan rambut sudah pasti, Ibuku sudah paham, beliau mengangguk dan berharap yang terbaik baginya. “Bapakmu tahu soal ini, Ran?” Perawat pribadi yang diberikan Joe sudah menyiapkan kantong muntah, dan berjaga-jaga di samping ranjang pasien. Aku pun merasa pertanyaan itu mengurangi nikmat coklat hangat dan pop mie rasa soto yang aku santap di taman rumah sakit bersama Joe yang tidak suka dengan selera makanku. Katanya tidak sehat. “Raka tau, paling-paling Bapak juga tau.” jawabku asal-asalan. Aku belum menghubungi keluarga di kampung, hanya saja surat permohonan cerai itu pasti sudah mengusik Bapak. “Ibu mending jangan banyak pikiran dulu, urusan Bapak pikir belakangan!” ucapku setengah jengkel, kondisi baru sakit malah mikir
Tanpa menunjukkan keraguan, aku menggeleng lamban. Bukan jijik yang aku rasakan sekarang. Penderitaan itu sudah cukup menjadi takdirnya yang kelam, dan yang mengusikku sekarang, orang tuanya bertanggung jawab atau tidak? “Bagaimana tuan bisa menjalani hari setelah hari mematikan itu?” Joe menyugar rambutnya yang tidak lurus, tidak juga keriting. Dan selepas bukti gairahnya hanya bertahan beberapa menit, dia tampak lesu. “Aku tinggal di luar negeri sampai keadaan membaik.”“Pelakunya dipenjara?” Joe tersenyum masam sambil memegangi pipi kiriku. “Aku bahkan bertanya-tanya, hukuman anak di bawah umur di negara ini bagaimana, Rania.” Aku dapat menarik benang merah penyebab Joe bertindak seperti ini. Jakarta adalah kampung halamannya sekaligus tempatnya mendulang kenangan buruk itu. “Jadi, tuan sudah bertemu mereka?” tanyaku hati-hati. Joe menghela napas, terlihat gamang mencari jawaban yang tepat di tengah samudra duka yang dibagikan kepadaku kini. Apa Joe bisa pulih dari guncanga
Aku berkhayal berapa harga patung air mancur berbentuk ukiran wanita membawa kendi di tengah halaman rumah utama keluarga Ronald Sky. Aku juga mengira-ngira, apa tanamannya yang subur dan makmur itu dipupuk saban Minggu? Di dalam mobil Joe yang berhenti menyala, jantungku berdebar-debar. Aku tidak sanggup menemui keluarga Joe dengan Bapak yang ada di belakangku. Ini bukan karena perbedaan yang jelas, tapi karena persoalan Bapak dan Zainuddin memasuki babak baru. Mereka sepakat untuk membawa perkara ke ring tinju setelah bertemu dengan pengacara Joe, dan aku dapat menyaksikan langsung bahwa Zainuddin kecewa dan terluka. “Tuan.” Joe menunda membuka pintu mobil, dan semakin aku terlihat tidak tenang, semakin lebar senyumnya. “Tarik napas, hembuskan. Begini saja kamu tidak bisa?” Aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Aku sudah mandi keringat dingin, telapak tanganku pun basah. Pertemuan pertama ini akan menjadi sesuatu yang menyeramkan dari pada bertemu deng
Aku memandangi pintu yang perlahan terbuka. Senyum layu pun terpaksa aku berikan kepada Joe. “Kau benar-benar serius akan menyelesaikan ini dalam satu hari?” Joe menaruh jus alpukat dingin dan sepiring kue lapis di meja. “Ini sudah lima jam Rania, aku malas menunggumu lebih lama.” Aku tahu ini lama sekali, bahkan bokongku sudah panas dan Rebbecca sudah pergi entah ke mana setelah aku memastikan detail-detail tubuhnya dan kritikannya selesai dilontarkan. “Aku tidak meminta tuan menungguku sampai selesai.” Aku menaruh kuas sambil mendengus. Aku lapar, ingin rebahan. “Tuan tidak perlu repot-repot, lebih baik istirahat atau kerja.” Alih-alih cerewet dan berusaha tidak peduli. Joe menengok hasil lukisanku lalu mengamati wajahku. Dia melakukannya dua kali sebelum tersenyum lebar. “Kamu tahu caranya mengambil hati Mama.” Joe tiba-tiba menyerbu keningku dengan ciuman basah. “Aku suka kombinasi warna dan detailnya, meski aku tidak paham soal ini. Papa pasti menyukainya.” Tan
Mungkin lukisan, mungkin puisi, mungkin... Mengapa kami harus menjadi masa lalu kalau kami bisa menjadi masa depan? “Aku tidak suka dengan pertanyaan tuan.” “Aku juga tidak terima kamu mengabadikan masa lalumu dalam bentuk apa pun!” Iuh... Aku sungguh-sungguh menatapnya, “Kenapa tidak terima?” “Karena aku tidak ingin berada di nomer dua. Dan... Rania, hapus semua masa lalumu dalam bentuk apa pun!” “Kalau aku tidak mau bagaimana?” sahutku, terus terang aku tidak tahu cara berpikirnya. Kadang-kadang Romeo, kadang-kadang Kurawa. Dan kalau Joe diam saja begitu, aku hanya perlu menunggu kejutan-kejutan lain darinya. Sungguh-sungguh menyebalkan. - “Kau sudah siap, Rania?” Di depan dua videografer dan Rebbecca yang cantik dengan gaun musim panas hijau muda tanpa lengan. Aku mengangguk pasrah. “Aku sudah tidak sabar, Mama. Seluruh dunia ini harus tahu akulah kekasih sejati Abang Joe.” Rebbecca memutar bola matanya setelah membuang wajah, barulah kemudian dia tersenyu
“Kamu harus mengguyurnya berkali-kali, Rania. Aku tidak peduli keluhanmu. Foto-foto itu harus lenyap dari saluran air toilet kita!” “Siap tuan rumah!” Setelah mendengus jengkel, aku mengangkat ember hitam dan menuangkannya ke toilet. Ini sudah lima kali dan permintaannya itu sampai ember ke sepuluh. “Bagaimana kalau kita pindah apartemen saja?” Aku menyarankan. “Daripada ribet begini, kurang kerjaan banget.” keluhku sambil menghidupkan kran air. “Lagipula tuan, aku ini capek sekali lho. Badanku sudah pegal-pegal, tidak enak.” Joe melepas kaosnya, uh, aku dapat melihat bekas kecupanku semalam di dadanya. “Hari ini kita pergi ke rumah Mama, Rania. Selesaikan tugasmu dan biarkan aku mandi!” Aku mengiyakan dan mempunyai keinginan untuk menjotosnya. Satu manusia ini adalah contoh keberagaman sikap yang tidak perlu dicontoh. Kelakuannya sungguh-sungguh memalukan. “Tidak bisa nanti saja mandinya?” Aku memandangi Joe yang asyik mencuci rambutnya. “Apa tuan benar-benar nak
“Ke mana saja kamu dengan Realino?” Berdasarkan hasil pengamatanku selama kurang lebih dari satu jam, Joe agaknya benar-benar menyesal telah menamparku. Dia memeriksa pipiku lalu mengecupnya sebelum memeriksa tanganku yang membersihkan pecahan gelas tadi. Joe bersyukur aku tidak kenapa-kenapa, tapi yang paling mengejutkan, dia membuatkan makan malam walau hanya pop mie dan es susu kocok stroberi. “Kamu menyukai ini kan? Makanlah setelah menjawab pertanyaanku!”Pertama-tama aku menjawab pertanyaannya dengan jujur. “Tuan bisa memastikannya langsung kepada yang bersangkutan.”“Kamu bersenang-senang dengannya?”“Lumayan.” Aku menguncupkan bibir. “Ada ilmu yang aku dapat, tapi juga pusing, ada revisi besar-besaran. Tuan, maafkan keinginanku itu.” Joe tidak mempermasalahkan keinginanku, baginya itu kecil dan gampang. “Terimalah permintaan maafku dulu, Rania. Makanlah dan bersenang-senang denganku lagi.” Bagaimana caranya tersenyum? Coba katakan? Aku sungguh-sungguh tidak paham
Dari sepersekian detik yang bergulir bagai anak siput yang baru lahir, kami bertatapan tanpa mengeluarkan sepatah kata. Satu dua larik kata muncul dan tenggelam begitu saja hingga pada akhirnya aku malas untuk mulai berkata. Toh seperti sejak pertama berjumpa memang aku tidak boleh mendominasinya. Aku mengerti, meminta maaf sekarang tidak akan memperbaiki keadaan. Apalagi membahas Sabrinna lagi, astaga pria itu pasti akan semakin tenggelam pada kenangan! Aku berbalik dengan detak jantung yang tambah berdebar-debar. Entah mengapa aku takut, canggung dan grogi. Joe dan keadaan apartemennya yang berantakan bertolak belakang dengan isi pikiranku. Aku pikir dia enggan melihatku atau menungguku pulang. Dua gelas anggur merah yang pecah di lantai dan wadah bekas makanan seolah-olah dijadikan bukti bahwa dia tetap di sini selama aku pergi bersenang-senang. Aku meletakkan tas ranselku di meja, ada baiknya membersihkan tempat ini lalu mengurus diri sendiri. “Apa kamu tidak berp
“Saya rasa kerja sama ini akan sepedas rujak es krim yang kalian bawa.” Pak Anto terkekeh-kekeh sambil mengulurkan tangan. “Senang bisa bergabung dengan kalian.” Meski tampak ramah, Pak Anto tampak tidak bisa menyembunyikan wajah seriusnya. Aku buru-buru menyambut tangannya dan mengangguk. “Saya sendiri berharap ide-ide menarik dari imajinasi saya tidak membingungkan Pak Anto dan Realino.” “Santai, Rania. Ini justru menarik dan seru!” sahut Realino yang berdiri di sampingku. “Tapi ini udah kelewat batas, gue takut ada yang khawatir sama elo!” Aku paham ada bencana yang akan menimpaku nanti. Tetapi aku tidak bisa tidak tersenyum setelah berdiskusi panjang dengan mereka. Rasanya memang seru bertemu orang-orang hebat yang tidak menghakimi kepolosan dan kegilaan yang aku miliki. “Sampai jumpa lagi, Pak. Jadwal kedua nanti semoga tidak bentrok dengan jadwal Bapak.” Pak Anto mengangguk dan mengantar kami berdua ke pelataran rumahnya yang asri. Banyak pohon anggrek yang sed
Perlu satu jam aku bersabar menghadapi antusiasme dalam diri, tapi si begundal berjambul pirang itu agaknya tidak memperbolehkan aku diam sejenak dan menikmati kebebasan. “Elo belajar seni rupa kontemporer doang atau ada jurusan lain?” Realino menatapku dengan lancang seolah tidak percaya aku lulusan institut seni rupa. Aku menghela napas lalu membuatnya geregetan. “Menurutmu apa lucunya aku ini gara-gara aku anak seni?” “Kalau dilihat-lihat sih enggak ya, elo lebih mirip anak akutansi, terlalu serius!” Realino cekakan. “Mikirin Joe?” Bohong kalau aku tidak memikirkan Joe Abrizam Sky. Aku bertanya-tanya apakah dia menyesal sudah menamparku? Ataukah dia tidak peduli mengingat tamparan keras yang dialami di masa lalu lebih kejam dari yang dia lakukan padaku? “Aku membuang koleksi foto perempuan bernama Sabrinna ke toilet, itu alasan Joe menamparku!” ucapku lalu meringis. “Aku jamin kamu saksi perjalanan cinta mereka, Realino. Ceritakan padaku.” Realino bersandar di kursinya
”Oi, Rania...” seru Realino. Buru-buru aku mempercepat langkahku di lorong apartemen. Aku tidak ingin menjadi bahan pembicaraan batin dan isi kepala Realino, terlebih-lebih kejahatan Joe akan menjadi bumerang baginya sendiri. Aku tidak ingin laki-laki itu merasa malu. Meski dalam hati aku berharap sebuah balasan menimpanya. Sebab, akan jauh lebih menyenangkan bila rasanya satu sama. Dan ketika aku berpikir keras untuk memutuskan sesuatu yang merepotkan dan menyakitkan, langkah Realino semakin terasa dekat. “Elo nggak apa-apa?” Realino menyentuh bahuku dan menahannya. “Rania... Oi... Elo nggak mau ketemu gue? Apa jangan-jangan elo lupa? Gue Realino, teman Joe!” Aku tidak lupa, dan aku jelas-jelas ingin bertemu dengan Realino. Tapi kawannya yang tidak menyenangkan itu akan menjadi pengganggu dan akan menjadi orang yang aku hindari hari ini. “Boleh bawa aku pergi secepatnya dari sini?” ucapku terbata-bata sambil menatap Realino dengan ragu-ragu. “Sebelum tuan... eh, Pak Ahm
Aku menjauh sambil menatapnya tak percaya. Sungguh. Apa semua detail aktivitasku dilaporkan tanpa dusta sedikit saja? Apa Pak Ahmad adalah mantan jurnalis yang merangkap sebagai penjaga? Kenapa mereka tidak bekerja layaknya orang pemakan gaji buta saja sih? Atau palingan bisa memberi sedikit dusta? “Tuan ingin menghukumku?” ucapku tanpa rasa takut. Joe bersedekap sambil mengamatiku dengan seksama. “Kamu sudah tahu kesalahanmu?” Nada suaranya yang dingin menyebabkan kesunyian di antara kami selama beberapa menit. Joe masih dengan baju tidur katun biru tua dan masih tampak mengantuk. Tanda bahwa begadang dan belum lama terjaga. Hal itu membuatku malas menjawab kesalahanku apa, sebab, setelah menemani Ibu cek kesehatan dan mengetahui fakta bahwa hasilnya kurang baik, aku kurang berselera membela diri. “Tuan hukum saja aku!” Joe terkejut dengan dibuat-buat lalu tertawa renyah. “Kamu benar-benar mau aku hukum? Keterlaluan kamu, Rania!” Sebelum berdiri untuk mengambil koleksi