Tubuhku terjatuh di ranjang empuk setelah didorong dengan kasar oleh Joe. Ranjang ini nyaman, beralaskan kain halus tanpa corak. Rasanya aku ingin tidur-tiduran di sini, nyenyak pasti tidurku. Tapi secepat mungkin aku bangkit, menentang kekuasaannya dengan cepat.
“Kamu memang akan menjadi bos saya, ya. Tapi perlakukan aku seperti orang asing saja. Tidak perlu ada sentuhan fisik begini. Sialan! Aku bukan binatang jalang.” Joe mengernyit heran. Jelas dia tidak tahu maksudku, dia pasti hanya memahami seni berhitung dan mengatur karyawan. “Siapa yang menganggap kamu binatang jalang? Kamu sendiri!” Aku mengepalkan kedua tangan sambil menatap Joe dengan berani setelah dia menganggap ucapanku tidak sepenting niat hatinya membawaku ke kamarnya. “Ini penting, dengar sajak ini.” Aku memuntahkan sajak Chairil Anwar berjudul Aku, Joe layaknya meresapi baik-baik ucapanku dan memahaminya. Aku sungguh-sungguh berlari ke sini tanpa berniat menebus peluru yang dilepaskan Ibu. Aku tidak mau kulitku tertembus peluru, sekalipun itu peluru bernama kejantanannya yang mungkin menakjubkan. Oh pasti menakjubkan, dari badannya saja sudah terlihat kekar. “Suaramu bagus juga, mendesahlah!” Aku melotot. “Kamu mau apa lagi, tuan?” “Rania Zaskia Putri.” Joe bersungguh-sungguh mengucapkan nama lengkapku. Aku terperangah, sejauh apa Ibu menjelaskan anak sulungnya kepada pria ini? Aku mendengus. Ini wilayah pribadi yang membuatnya menjadi diri sendiri. Wilayah pribadi yang mengukuhkan siapa dirinya bagiku. Sang penguasa dan aku ialah budak anyar yang sedang di uji kelayakannya. Aku bertepuk tangan dalam hati. Imajinasi lumayan menghanyutkan alam sadarku seakan-akan Joe benar-benar menginginkanku. Joe menghalangi pintu dengan tubuhnya yang kekar itu. Aku seyakin-yakinnya dengan prinsip yang aku bawa ke Jakarta. Aku harus berani dan percaya diri, meski ada prinsip yang wajib aku pegang erat-erat. Aku harus jujur, apapun alasannya. “Andaikan Tuan Joe tahu kenapa aku membuat polusi udara di sini, tuan pasti mengembalikan satu-satunya kawanku sekarang!” Dalam satu kesempatan yang mengejutkan, Joe mengisap rokok elektrikku lantas menyemburkan asap beraroma nanas itu ke wajahku. Ini penghinaan! Ada ketidaksopanan yang perlu aku layangkan. “Ibumu cukup menderita dan kamu justru merokok, bersajak dan tidak membuat makan malam untuk tuanmu ini?” Joe mengulas senyum, senyum menawan yang menjadikan perempuan manapun memiliki banyak alasan untuk melihat bibirnya lama-lama. Aku sesak napas dibuatnya. Tagihan makan malam itu belum ada di daftar rencanaku. Malam ini aku hanya ingin mengistirahatkan tubuh yang lelah ini. “Antara kita belum ada akad sebagai atasan dan karyawan. Mohon maaf bila tuan menginginkan makan malam. Itu tidak akan tersedia!” ucapku sopan. “Tapi di lain sisi apa tuan tidak takut aku racuni dan aku rampas harta benda tuan malam ini?” Dimatanya aku seperti melihat balon pecah. Hehe. Kemenangan ini aku sambut dengan senyuman. “Tuan boleh menyimpan vapor itu sebagai hadiah dari kampung. Aku sangat terhormat jika tuan menyimpannya dengan kehati-hatian.” Joe mendesis sambil membanting rokok elektrik punyaku ke lantai. Benda itu terpelanting, barangnya pecah secuil. “Barang murahan seperti ini harus aku simpan dengan kehati-hatian? Otakmu benar-benar sudah dipenuhi filsafat-filsafat sinting, Rania!” Aku tergelak. Tergelak dengan lepas. Dia mengenalku, Rania Zaskia Putri, yang mencintai sastra Indonesia, mencintai seni dan sedang menekuni filsafat. Baru-baru ini aku baru membaca karya Om Piring, buku filosofi teras. Aku memakan beberapa kutipan yang tidak sinting seperti yang diucapkan manusia buruk sangka di depanku ini. ‘Kita tidak bisa memilih situasi kita, tetapi kita selalu bisa menentukan sikap (attitude) kita atas situasi yang sedang dialami.’ Joe tidak betul-betul salah, memang ada filsafat-filsafat yang aku anggap sinting. Dan menyuruhnya menyimpan rokok elektrikku dengan kehati-hatian seperti menyimpan benda pustaka yang dirampas Belanda dan dikembalikan lagi ke Indonesia juga termasuk ide sinting. Itu cuma rokok elektrik, bukan benda prasejarah. “Logika tuan memang jalan. Aku suka. Rokok ini memang murahan.” Aku membungkuk, mengambil rokokku dan cuilannya yang sebesar kuku jari kelingking di lantai. “Jadi, boleh tuan selesai menghukumku?” Aku memelas. Sudah tidak selera merasakan wilayah pribadinya. Dia tampaknya hanya mau menunjukkan taringnya yang baru lahir, bukan hendak memanjakan aku dengan hukumannya yang menari-nari secara liar di kepala. Joe menatapku, menilai lagi siapa aku. “Tunggu sepuluh menit dan aku akan menghukum perbuatanmu!” Perbuatan apa yang aku lakukan? Hei tuan rumah? Aku melotot, dan tidak segan duduk di ranjangnya yang empuk sambil menatapnya mengambil handuk dan bersiap-siap mandi. Oh Ibu. Engkau pasti tahu tabiat busuk atasanmu ini. Dan engkau pasti tahu mengapa aku galak bukan main sekarang ini. Aku memang tidak cantik-cantik amat. Kulitku sawo matang khas perempuan desa, rambutku panjang dan tidak selembut sutra. Tapi dadaku yang menonjol ini bagai mengundang syahwat kaum adam untuk melihat dan berpikir untuk menjadikannya mainan. Aku menatap dadaku. “Turunan Suminah Andari ini, pantas Zainuddin kecantol Ibu, Ibu kecantol rayuannya!” Aku jengah sedang air berhamburan menubruk dinding dan lantai kamar mandi. Joe mandi bagai dikejar target pekerjaan dan tidak bersabar menemui perempuan yang tidak suka-suka amat dengan bentuk dadanya yang mengkal. “Untuk sekelas pembantu kamu benar-benar kurang ajar!” ucap Joe setelah keluar dari kamar mandi. Pria itu suka wewangian sepertinya. Tubuhnya wangi sekali, segar dan menarik dilihat lama-lama. “Tuan yang tidak mengizinkan aku keluar dari kamar ini.” ucapku sambil melihatnya mengeluarkan pakaian dari almari kayu. Joe berbalik, menatapku tajam seolah memperingati kehadiranku di wilayah pribadinya yang bebas. Aku tidak keberatan jika harus melihatnya baik-baik. Tubuh pria itu seperti lukisan yang enak dilihat, memiliki daya magis yang menyedot perhatian untuk berlama-lama melihatnya. Tapi demi kesopanan dan Ibu aku memejamkan mata. “Katakan jika tuan sudah berpakaian.” Aku menunggu-nunggu kabar dari Joe. Tidak ada ucapan sudah. Tidak ada komentar. Pria itu sepertinya sengaja membiarkan aku berlama-lama memejamkan mata. Sedetik kemudian baru aku tahu Joe berdiri di depanku, menusuk hidungku dengan wanginya. “Persoalan tentang Bu Minah, pekerjaan dan hukumanmu belum selesai, Rania. Tapi silakan keluar, Ibumu lebih membutuhkanmu!” Itu sudah jelas. Aku mengangguk sambil berdiri. “Tetapi tuan, adegan saat tuan menyeretku dan melempar ke ranjang masih terngiang di kepala. Sulit aku melupakan dan itu membuat saya bertanya-tanya, apa maksud tuan?” Joe memandangi dadaku seperti laki-laki kebanyakan yang mengetahui hal-hal menarik di balik pakaianku saat ini. Aku mendengus kasar. Sudah memintaku mendesah sekarang matanya keranjang. “Sebaiknya tuan segera menikahi perempuan yang saban kali mabuk di tempat hiburan malam, tuan bawa pulang.” Aku tidak yakin malam ini akan selamat. Joe lagi-lagi mendorong tubuhku ke ranjang dengan kuat dan ia segera menindih tubuhku tanpa malu seperti orang yang sudah lama kenal. Aku mengatupkan bibir rapat-rapat. Aku pasi. Matanya yang tajam betul-betul berada di atas mataku. Aroma pasta gigi merebak kemudian. “Jaga bicaramu, Rania. Kamu sedang bermain-main dengan pilihan, jangan sembarang!” - next & happy reading.Joe Abrizam Sky agaknya memang pria serampangan yang bisa bersenang-senang dengan banyak perempuan tanpa menggunakan perasaan. Pria yang tidak mempedulikan kesehatan seksual. Pria yang tidak peduli tubuh perempuan itu milik siapa, dan tidak peduli diberi izin atau tidak. Pria ini mungkin pengelana yang sedang mencari wadah yang tepat untuk melekatkan hasratnya yang tinggi. Mencari rumah yang nyaman untuk digenapi. Dan rumah itu jelas bukan aku sekalipun malam ini aku kurang mahir melawan ciuman yang mendadak. Joe mengusap bibirku yang basah dengan ibu jarinya seraya mengangkat tubuhnya yang menindihku. “Keluar!” “Tuan penjahat!” Aku membetulkan pakaianku seraya bangkit dan menamparnya. Tak kulihat pembalasan, Joe justru membiarkan aku keluar kamar dan membanting pintu kamarnya kuat-kuat. Aku mengatur napas, berusaha tidak terhanyut oleh rasa bibirnya yang lembut dan sentuhan tangannya yang pintar di dadaku. Di kamar, aku segera membersihkan diri dan mengurus Ibu sebisa
Jika direnungkan kembali, tidak rugi bila aku menikah dengan Joe. Bila aku memasrahkan diri terjebak dalam permainannya. Aku akan tetap menjadi Rania Zaskia Putri yang merana, yang tidak merdeka dalam memilih pilihan meski perutku akan kenyang, pakaianku akan menawan dan isi dompetku tidak kering kerontang. Untuk sesaat gambaran tentang masa depan bersama Joe menyelinap di benakku. Aku resah. Sialnya mengapa aku justru berpikir dengannya adalah permainan panas yang menjanjikan kenikmatan dunia? Aku menurunkan sedikit kaca mobil seraya menghela napas. Setelah diskusi panas di ruang kerjanya, Joe mengajakku untuk berbelanja.Menyenangkan juga rayuannya. “Menurut tuan, operasi dan kemoterapi bisa membuat Ibu hidup lebih lama?” “Itu tergantung daya tahan dan daya juang Bu Minah.” Joe membiarkan fokus kemudinya beralih kepadaku sejenak. “Bu Minah satu-satunya orang tuamu bukan?” tukasnya dengan ragu. Aku mengulum bibir sambil menggeleng. “Aku masih punya Bapak dan adik.” Mataku mena
Joe menatapku dengan wajah terkejut, lalu tanpa mempedulikan sekitarnya, dia tetap mengoceh hal-hal yang seharusnya aku lakukan dan aku patuhi sebagai calon istrinya kelak. Aku menghela napas, banyak sekali peraturannya. Namun satu yang paling sering Joe ingatkan, aku harus banyak-banyak bersabar. Bersabar katanya? Halo, sabar hanya untuk orang-orang penyabar, sedangkan aku? Aku sabar kok meski kadang-kadang. Joe tersenyum cerdik seraya berbisik, “Kamu jangan berpikir keras, Rania. Santai saja, cukup aku yang kacau sekarang.” Aku melengos pergi untuk menyudahi tingkahnya, namun Joe tetap getol memberi kegelisahan. “Bicaramu tadi terlalu kasar, kamu bisa aku hukum!” Aku segera menoleh, “Aku bicara kenyataan, apa serunya menikahi laki-laki impoten? Mirip agar-agar begitu?” Tatapanku pindah ke kaki jenjangnya yang terbungkus celana jins lalu pindah ke wajahnya. Rahang Joe mengeras, ekspresinya yang santai berubah drastis seolah tertekan sesuatu. “Apa kamu lupa dengan
“Apakah tuan akan menambah daftar panjang hutang Ibu dengan judul belanja baju baru di plaza Senayan?” tanyaku sewaktu perjalanan pulang. “Untuk ini tidak sama sekali.” Joe tersenyum simpul, tidak masalah kalau saja setumpuk baju baru itu hanya akan teronggok di lemari. “Cadangan kesabaranku masih banyak. Kamu mau apalagi setelah ini?” “Mau pulang. Ibu tidak ada yang jaga!” Joe menghela napas dengan pasrah. “Kamu sungguh-sungguh percaya Bu Minah tidak ada yang menjaganya?” Pertanyaan itu membuatku semakin mengerti, aku mudah dibodohi dan aku percaya. “Kakimu halus seperti cara berpikirmu, Rania. Manis sekali!” Joe mengacak-acak rambutku sambil tersenyum lebar. “Pakai rok tadi untuk malam nanti, di kamarku!” Huh, betapa ingin aku mempertanyakan bahwa permintaan itu benar-benar nyata, benar-benar boleh dimiliki gadis sepertiku? Sungguh anugerah. ”Jam berapa undangan itu, tuan?” “Sepuluh!” Aku mengangguk, Joe tertawa. Idih, apanya yang lucu? “Kamu peduli dengan B
Kupikir, jika aku menikah—baik demi melunasi hutang dan kesehatan Ibu, atau meringankan beban Joe yang dianggap gay dan impoten itu—aku tetap perlu mengenali Joe secara pribadi. Artinya aku harus ramah seperti customer service. Astaga... Sibuk sekali hidupku kini. Selain lebih rajin memasak dan merapikan rambut, aku perlu mengenali seseorang yang ingin sekali aku jotos lagi. Joe hanya duduk manis di kursi dapur setelah semalam aku sudah menjadi kawan tidurnya. Joe pula memintaku agar menganggap rumah yang baru sebulan ditempatinya sebagai rumahku juga. Aku langsung tertarik untuk membeli beberapa lukisan, hiasan meja, patung-patung abstrak nan lucu atau piring-piring klasik khas tionghoa untuk memberi sentuhan seni di rumahnya yang sepi. Aku akan mengemukakan pendapat ini setelah makan siang nanti. “Kenapa tuan hanya melihat saja? Mengapa tidak membantu aku memasak?” “Hmm...” Joe meletakkan ponselnya di meja seraya pindah ke sampingku. “Apa ini salah satu kesepakatan di dapur? K
Kesepakatan bersama Joe dan Ibu pada akhirnya menjadi bagian dari hidupku, sekarang aku hanya bisa mengucapkan selamat tinggal pada kebebasan. Aku tahu ini sembrono, mirip waktu aku tidur dengannya. “Ayo, ke bawah.” Joe menghampiriku yang duduk di sofa ruang kerjanya. “Kamu terlihat tidak ikhlas mendatangi surat perjanjian tadi, Rania.” Joe terkekeh, memprovokasi perasaanku. “Boleh aku berterima kasih dengan mencium tanganmu sekarang?” Aku mengangguk, lalu melihat Joe berlutut bagai pangeran yang hendak melamar kekasihnya dan mencium punggung tanganku mesra. “Milikku.” Joe tersenyum. “Besok kita pergi ke rumah sakit, sekarang aku harus pergi kerja. Bisa kamu baik-baik di rumah?” Alisku berkerut, dan butuh beberapa detik sebelum memutuskan untuk memintanya agar tidak usah pulang saja. Joe kembali terkekeh sebelum berdiri. “Aku yang mengaturmu, Rania! Pergilah ke kamar Ibumu.” Aku mengangguk tanpa bertele-tele, tapi Joe segera mendekat untuk mencegahku pergi dari ruang ker
Sepotong kegelisahan mengiringi jawaban atas pertanyaanku yang gamblang. Joe mengangkat bahu seolah menyepelekan tindakannya yang tidak akan menyakitiku.“Aku serius dengan usaha ini, Ran. Kalau saja aku menyakitimu, mungkin aku terlalu marah dengan kesalahanmu!” “Kesalahanku? Contohnya?” “Selingkuh.” Sebagai mantan mahasiswa seni rupa kontemporer yang cinta mati pada pekerjaan dan hobinya, selingkuh dengan manusia tidak pernah aku lakukan.Selingkuhanku biasanya berupa imajinasi, patung, lukisan dan pekerjaan-pekerjaan yang membuatku menjadi palugada berhati riang gembira yang berujung gila sesaat. Dan mantanku akan marah-marah tak karuan, lalu pergi mencari pelampiasan. Huhuhu. “Aku tebak, tuan pernah diselingkuhi?” “Untuk kondisiku, itu sudah pasti!” Joe mendengus tidak senang. “Jangan dibahas, aku tidak senang.”Aku juga tidak senang, cerita perselingkuhan selalu menjadi cerita rumit yang jarang berakhir dengan kedamaian hati. Dan payahnya ‘monster’ itu akan hidup lebih lama
Sambil tersenyum lega, Joe menghampiri Ibuku yang ditemani perawat pribadinya dan seorang dokter yang mengobservasi kesehatan Ibu pasca kemoterapi. Sang dokter mengingatkan kami bahwa akan ada efek samping yang akan Ibu alami. Mual, muntah, dan kerontokan rambut sudah pasti, Ibuku sudah paham, beliau mengangguk dan berharap yang terbaik baginya. “Bapakmu tahu soal ini, Ran?” Perawat pribadi yang diberikan Joe sudah menyiapkan kantong muntah, dan berjaga-jaga di samping ranjang pasien. Aku pun merasa pertanyaan itu mengurangi nikmat coklat hangat dan pop mie rasa soto yang aku santap di taman rumah sakit bersama Joe yang tidak suka dengan selera makanku. Katanya tidak sehat. “Raka tau, paling-paling Bapak juga tau.” jawabku asal-asalan. Aku belum menghubungi keluarga di kampung, hanya saja surat permohonan cerai itu pasti sudah mengusik Bapak. “Ibu mending jangan banyak pikiran dulu, urusan Bapak pikir belakangan!” ucapku setengah jengkel, kondisi baru sakit malah mikir
Perlu satu jam aku bersabar menghadapi antusiasme dalam diri, tapi si begundal berjambul pirang itu agaknya tidak memperbolehkan aku diam sejenak dan menikmati kebebasan. “Elo belajar seni rupa kontemporer doang atau ada jurusan lain?” Realino menatapku dengan lancang seolah tidak percaya aku lulusan institut seni rupa. Aku menghela napas lalu membuatnya geregetan. “Menurutmu apa lucunya aku ini gara-gara aku anak seni?” “Kalau dilihat-lihat sih enggak ya, elo lebih mirip anak akutansi, terlalu serius!” Realino cekakan. “Mikirin Joe?” Bohong kalau aku tidak memikirkan Joe Abrizam Sky. Aku bertanya-tanya apakah dia menyesal sudah menamparku? Ataukah dia tidak peduli mengingat tamparan keras yang dialami di masa lalu lebih kejam dari yang dia lakukan padaku? “Aku membuang koleksi foto perempuan bernama Sabrinna ke toilet, itu alasan Joe menamparku!” ucapku lalu meringis. “Aku jamin kamu saksi perjalanan cinta mereka, Realino. Ceritakan padaku.” Realino bersandar di kursinya
”Oi, Rania...” seru Realino. Buru-buru aku mempercepat langkahku di lorong apartemen. Aku tidak ingin menjadi bahan pembicaraan batin dan isi kepala Realino, terlebih-lebih kejahatan Joe akan menjadi bumerang baginya sendiri. Aku tidak ingin laki-laki itu merasa malu. Meski dalam hati aku berharap sebuah balasan menimpanya. Sebab, akan jauh lebih menyenangkan bila rasanya satu sama. Dan ketika aku berpikir keras untuk memutuskan sesuatu yang merepotkan dan menyakitkan, langkah Realino semakin terasa dekat. “Elo nggak apa-apa?” Realino menyentuh bahuku dan menahannya. “Rania... Oi... Elo nggak mau ketemu gue? Apa jangan-jangan elo lupa? Gue Realino, teman Joe!” Aku tidak lupa, dan aku jelas-jelas ingin bertemu dengan Realino. Tapi kawannya yang tidak menyenangkan itu akan menjadi pengganggu dan akan menjadi orang yang aku hindari hari ini. “Boleh bawa aku pergi secepatnya dari sini?” ucapku terbata-bata sambil menatap Realino dengan ragu-ragu. “Sebelum tuan... eh, Pak Ahm
Aku menjauh sambil menatapnya tak percaya. Sungguh. Apa semua detail aktivitasku dilaporkan tanpa dusta sedikit saja? Apa Pak Ahmad adalah mantan jurnalis yang merangkap sebagai penjaga? Kenapa mereka tidak bekerja layaknya orang pemakan gaji buta saja sih? Atau palingan bisa memberi sedikit dusta? “Tuan ingin menghukumku?” ucapku tanpa rasa takut. Joe bersedekap sambil mengamatiku dengan seksama. “Kamu sudah tahu kesalahanmu?” Nada suaranya yang dingin menyebabkan kesunyian di antara kami selama beberapa menit. Joe masih dengan baju tidur katun biru tua dan masih tampak mengantuk. Tanda bahwa begadang dan belum lama terjaga. Hal itu membuatku malas menjawab kesalahanku apa, sebab, setelah menemani Ibu cek kesehatan dan mengetahui fakta bahwa hasilnya kurang baik, aku kurang berselera membela diri. “Tuan hukum saja aku!” Joe terkejut dengan dibuat-buat lalu tertawa renyah. “Kamu benar-benar mau aku hukum? Keterlaluan kamu, Rania!” Sebelum berdiri untuk mengambil koleksi
Pagi hari yang mendung. Secangkir susu vanila dan roti tawar bakar yang diberi lelehan madu dan alpukat kocok disajikan pelayan rumah di balkon kamarku. “Nona harus menghabiskannya, dan berfoto sesudah dan sebelum sarapan. Tuan Joe akan senang melihatnya!”Aku mengangguk dan tidak peduli dengan sikap memaksa para antek-antek Joe tersebut, mereka akan tetap begitu sekalipun aku protes.“Terima kasih. Ibu bagaimana, sudah makan?” “Sudah, Nona.” sahutnya pendek. “Ibu Minah akan melakukan cek kesehatan jam delapan di rumah sakit, Nona sebaiknya segera mandi dan berdandan!”Aku mengangguk dan memfoto diriku sendiri sambil menunjukkan sarapan pagiku. “Aku sendiri atau Mbak yang kirim foto ke tuan Joe?” “Kirimkan ke Pak Ahmad, seluruh koneksi ke atasan hanya beliau yang diizinkan!”Oh, jadi semua orang yang ada di rumah ini harus tunduk pada Pak Ahmad. Kalau dia dikurung dikamarnya saja bagaimana? Atau sarapannya diberi racun? “Aku akan melakukannya. Mbak juga sarapan dulu sana.”“Saya
Rumah baru yang diperuntukkan bagi keluargaku rupanya ikut menginjak-injak kesabaranku setelah koleksi foto perempuan yang Joe simpan.Bagaimana mungkin Joe dan keluarganya memilih rumah yang sangat jauh dari pusat kota, dan di kawasan rawan bencana banjir. Aku dan keluargaku seolah diasingkan dari orang-orang yang bisa mengendus identitas asli kami.Aku sungguh-sungguh terkesan dan dongkol, karena itu aku langsung memberondong pertanyaan ke sopir pribadiku. Namanya Pak Ahmad. Usianya sekitar lima puluh tahun, meski sudah berumur, dia tampil necis dan sangar. “Apa Pak Joe akan ke sini, Pak?” tanyaku jengkel. Sudah beberapa kali aku mengirim pesan ke Joe, tapi tak kunjung datang balasan yang menyenangkan. Pesan dariku hanya centang satu.Tidak mungkin Joe mengurus Bapak sebab pertandingannya akan dijadikan ajang judi yang di urus pihak kelab. Ronald Sky menjanjikan itu bukan sekedar pertandingan harga diri, melainkan bisnis. Kemenangan Bapak atau kekalahannya tetap akan menghasilkan
Siapa yang memelihara ayam jantan di perumahan mewah sebagus ini? Perasaan tidak mungkin tetangga Joe yang memiliki Lamborghini itu memelihara ayam jantan. Tapi kenapa berisik sekali suaranya? Apa jangan-jangan Bapak beli ayam untuk hiburan waktu di sini? Kapan belinya? Aku menutup telingaku, tidak nyaman. Akan tetapi, dugaan-dugaan tentang ayam jantan yang berkokok terus-menerus seperti suara alarm itu bukan sekedar mimpi. Tanganku dipegang oleh seseorang yang memiliki tangan halus dan ditariknya menjauh dari telinga. “Ini sudah siang! Buka matamu.” Seketika aku membuka mataku lebar-lebar dan semakin terkaget-kaget melihat wajah Rebbecca yang menaungi wajahku. “Gila.” katanya. Aku tertegun beberapa menit seraya berusaha bangkit dari tidurku yang terasa sangat melelahkan. “Maaf, nyonya.” ucapku serak, tenggorokanku terasa kering sekali. Terlebih-lebih matahari yang sudah terang benderang di luar rumah, membuatku yakin aku bangun sangat kesiangan. Rebbecca ber
“Kenapa kamu percaya aku impoten dan gay, Rania?” ucap Joe sambil menarik resleting celana dan mengancingkannya.Usai sudah ronde kedua kami yang sangat lama, sampai-sampai aku tidak kuat berdiri. Kakiku masih lemas, napasku masih berantakan dan Joe tetap tampil prima. Aku curiga dia sudah minum susu, telur dan madu sebelum pergi ke villa. “Kenapa kamu begitu polos?” Sambil cengengesan, dia menangkup kedua pipiku. “Kamu mudah di tipu?” Sialan, aku tidak mudah di tipu, aku hanya kurang bergaul dengan orang-orang sepertimu, dan orang-orang penipu sepertimu jarang aku temui kemarin-kemarin di kotaku, tuan!Aku menghela napas, ocehan itu hanya bisa aku ucapkan dalam hati karena tidak mudah bagiku sekarang memarahinya atau mengutuk ucapannya yang mencubit isi hatiku itu.“Tuan memang sejak awal berniat menipuku!” Aku menguncupkan bibir. “Dari mulai aku harus menjadi pembantu dan membayarhutang-hutang Ibuku, tuan sudah menyiapkan skenarionya!” “Jadi, kamu bisa menarik kesimpulannya sen
Hanya lima menit saja aku bisa merasakan sensasi menakjubkan dari melepaskan ketegangan otot dan gairah yang tidak terbendung. Hanya lima menit Joe bisa menjadikan aku kanvas yang berkeringat dan bergetar hebat.Tetapi mengapa setelah aku melakukan hal yang sama kepadanya sampai bibirku lelah dan memarahinya, Joe tidak kunjung mencapai puncak kejayaan? Ada yang salah, harusnya dia ejakulasi dini! Bukankah dia memiliki trauma dan impoten? Harusnya puncak itu datang kurang dari lima menit. Atau bahkan tidak sama sekali.“Katanya tuan impoten?” ucapku sambil menggerakkan tangan di bagian tubuhnya yang menjulang tegang. Bibirku yang mengerucut dicium olehnya, dan dilumat sesuka hati, sementara satu jarinya asyik memasuki tubuhku yang bermandikan gairah. Keadaan yang tak kunjung selesai ini sungguh melelahkan, tapi mengapa staminanya tidak kunjung selesai? Joe berkali-kali membuatku mendesah nikmat hanya dengan jari dan bibirnya saja. Sementara tak cukup baginya jari dan bibirku yang me
Aku menyunggingkan senyum sambil membantunya melepas jas kerja dan kancing kemejanya ditengah gangguan tangannya yang meraba ke seluruh tubuhku. Dan kesuksesan untuk membuatnya terlihat sempurna, seksi dan bisa dimiliki seutuhnya untukku sendiri nyatanya malah membuat sore hari yang sejuk ini kurang nyaman. Joe memandangi adik kecilnya yang lucu dengan tidak percaya diri. Sambil menggerutu karena ciumanku kurang pandai, sentuhanku kurang liar, Joe menyeretku ke ranjang. Dia duduk di tepi ranjang, “Kamu harus menjadi wanita penghibur, Rania. Jangan hanya pandai melukis!” Aku merasa tersinggung, sialan. Aku tidak ahli menjadi wanita penghibur yang mirip di kelab malamnya, yang geol-geol dengan busana minimalis, yang menampilkan wajah erotis menggoda dan merendahkan diri untuk bisa di bawa ke kamar penikmatnya. Aku Rania. Apa Joe lupa siapa aku? Melihatku murung, Joe jelas-jelas ingin melontarkan sesuatu yang bernada sinis, dan sebelum itu terjadi aku mengomelinya. “Aku