Jovie tidak bisa bermalas-malasan lagi hari ini. Bahan makanan di dapurnya kosong, dia harus pergi untuk berbelanja grocery sekarang juga. Jika tidak, dia harus menunggu sampai akhir pekan selanjutnya karena dia hanya memiliki waktu di akhir pekan untuk hal-hal kecil seperti berbelanja.
Meskipun pada dasarnya dia tidak sering memasak di apartemen, tapi setidaknya hidupnya akan lebih aman jika ada bahan makanan yang bisa dia gunakan saat tengah malam kelaparan. Faktanya, Jovie selalu lapar di tengah malam saat mood-nya buruk.
Setibanya di supermarket, dia mendengkus melihat suasana di supermarket sangat ramai. Berkali-kali dia selalu menggerutu pada dirinya sendiri untuk menyempatkan belanja saat pulang kerja, tapi nyatanya dia selalu berhadapan dengan hal seperti ini.
Jovie mengambil troly belanja, dan mulai memasukan barang yang ingin dia beli. Mulai dari daging segar, ikan salmon, pasta, mie korea, dan berbagai aneka bumbu lainnya. Mie korea adalah jurus jitu di kala tengah malam Jovie merasakan lapar.
“Beli apa lagi, ya? Sepertinya sudah semua?” gumam Jovie, tapi seketika dia mengingat dirinya belum memberi sesuatu. “Ah! Aku belum membeli buah dan makanan ringan.” Buru-buru, wanita itu mengambil buah dan makanan ringan, lalu meletakan ke troly belanjanya.
Jovie mendesah panjang melihat banyak sekali yang dia beli. Otaknya bagaikan kalkulator yang berpikir berapa banyak uang yang akan dia keluarkan. Nmaun, dia tak mau memusingkan itu. Bukan karena dia memiliki banyak uang, tapi karena bahan-bahan makanan yang dia beli sangat dia butuhkan.
Setelah memastikan semua bahan-bahan makanan telah dia masukan ke troly belanja, Jovie segera mendorong troly belanjanya menuju ke kasir. Dia ingin segera membayar barang-barang belanjaannya—dan langsung pulang. Weekend seperti ini paling enak dinikmati di kamar.
“Nona Montgomery?” sapa suara berat seorang pria di kala Jovie berada di kasir.
Seketika Jovie mendongak, mengalihkan perhatiannya begitu terkejut. “Tuan Sherwood?! Apa yang kau lakukan di sini?”
Jace masih pada wajah ramah dan senyumnya yang menawan. Beberapa wanita muda yang berlalu di sebelah mereka sampai menoleh lama hanya untuk melihat ketampanan dari pria casanova itu.
“Tidak kusangka kau sangat antusias saat melihatku. Apakah kau sudah mulai merindukanku, Nona?” Seringai terukir cepat di wajah tampan Jace.
Jovie bergidik mendengar kepercayaan diri dari Jace yang dirasa semakin meningkat setiap kali mereka bertemu. “Kau sedang apa di sini?” ulangnya lagi.
“Bekerja. Aku sering pergi untuk memeriksa produkku dan memastikannya tetap aman di semua tempat,” jawab Jace datar.
Jovie mengangguk-angguk kecil. Satu-satunya sisi positif yang akhirnya bisa dia lihat dari investor baru hotel tempatnya bekerja. “Kalau begitu, silakan dilanjutkan. Aku ingin segera membayar dan pulang.”
“Kurasa kau butuh seorang teman hari ini,” balas Jace dengan senyuman maut yang biasa dia gunakan dalam memikat hati wanita.
Jovie tidak segera menjawab. Dia kembali menegaskan melalui tatapan matanya bahwa dirinya tidak suka dengan kehadiran Jace. “Tuan Sherwood, maaf, aku lebih suka sendiri. Lagi pula, kita tidak sedang berada dalam pertemuan bisnis, dan kau harus kembali memeriksa produkmu, kan? Jadi, permisi.”
Jace terkekeh melihat betapa keras kepalanya Jovie. Sebagai pria penakluk wanita, baru kali ini dia menghadapi seorang wanita yang tidak tertarik padanya sama sekali. Padahal selama ini banyak wanita yang bertekuk lutut di hadapannya. Tidak jaran wanita-wanita di luar sana rela naik ke ranjangnya. Sayangnya, sosok Jovie benar-benar berbeda.
Sampai pada akhirnya, kasir sudah selesai melakukan scan barcode pada bahan-bahan makanan yang dibeli oleh Jovie. Wanita itu sudah melengos tak mau menatap Jace. Dari sudut matanya dia melihat Jace belum beranjak dari tempatnya, tapi Jovie tidak peduli. Yang dia pedulikan segera membayar dan langsung pulang.
“Nona, total semuanya 200 USD. Pembayaran dengan cash atau card?”
“Card, please…”
Tangan Jovie merogoh ke sling bag yang melingkar diagonal di tubuhnya. Sementara petugas kasir menunggunya dengan santai sampai dia menyadari raut wajah dari Jovie yang berubah menjadi panik.
“Shit! Jovie kenapa kau ceroboh sekali!” gerutu Jovie pelan menyadari dirinya tidak membawa dompet. Dia merogoh tasnya lagi semakin dalam berusaha menemukan ponselnya, tapi sayangnya ponselnya juga tidak dia bawa.
“Maaf, Nona. Apa ada masalah?” tanya sang kasir sopan.
Jovie mengatur napasnya berusaha untuk tenang. “Aku minta maaf padamu. Dompetku tertinggal. Bisakah kau simpankan belanjaan ini dulu? Aku akan mengambil dompetku. Apartemenku tidak jauh dari sini.”
“Nona, Anda juga bisa membayarnya dengan layanan m-banking. Silakan scan barcode yang tertera di sini,” tunjuk kasir itu pada papan kecil di meja kasir.
Jovie meringis. “Masalahnya, ponselku juga tertinggal karena aku buru-buru tadi. Bisakah kau menyimpannya sebentar saja?”
Sang kasir menjadi bingung. “Hm, Nona. Maaf, tapi jika Anda tidak membayar sekarang barang-barang akan diletakan ke tempat semula. Jadi ketika Anda datang lagi, Anda harus mengambil ulang barang-barang Anda. Maaf, ini sudah kebijakan dari management.”
“Oh, God! Jovie Montgomery, kau benar-benar wanita paling ceroboh yang pernah ada di muka bumi ini,” gerutu Jovie kesal pada dirinya sendiri.
Sebelum Jovie berangkat ke supermarket, dia langsung mengambil sling bag, yang dia yakini bahwa dompet dan ponselnya berada di dalam sling bag itu. Namun, sialnya dugaannya salah besar. Alhasil sekarang dia harus terkena sial.
Jace sejak tadi diam mendengar percakapan Jovie dan sang kasir. “Ehm, kau bisa gunakan kartuku,” ucapnya seraya menyerahkan black card miliknya pada sang kasir.
Mata Jovie membulat sempurna di kala Jace menyerahkan black card pada sang kasir. Dia menoleh menatap Jace dengan tatapan terkejut. “Kenapa kau menyerakan kartumu pada kasir? Ini kan barang belanjaanku!”
Jace tak menghiraukan ucapan Jovie. Pria tampan itu menekan password dari black card-nya ketika sang kasir meminta. Lantas, setelah bertransaksi, sang kasir memberikan black card milik Jace.
“Terima kasih, Tuan,” ucap sang kasir.
Jace mengambil barang belanjaan Jovie, dan berlalu pergi. Sontak Jovie terkejut di kala melihat Jace yang pergi begitu saja. Detik itu juga, dengan langkah kaki cepat—Jovie mengikuti Jace.
“Hey, tunggu!” Jovie mengejar Jace.
Jace berbalik, menghentikan langkahnya menatap Jovie. “Kau masih ingin terus berada di supermarket?”
Jovie mendesah kasar. “Kenapa kau membayar belanjaanku?”
“Kau bukannya berterima kasih, malah kau komplen padaku,” ucap Jace datar.
“Ck! Tuan Sherwood—”
“Terima kasihmu diterima.”
Mata Jovie kian melebar terkejut. Padahal dirinya belum sama sekali mengucapkan terima kasih. Namun, tak dipungkiri Jace benar-benar menyelamatkannya. Jika tadi Jace tidak membantunya, sudah pasti dirinya akan sangat malu.
Jovie menghela napas dalam. “Tolong kirimkan nomor rekeningmu padaku. Aku akan mentransfer nominal belanjaan yang telah kau bayar tadi.”
Sebelah alis Jace terangkat. “Well, aku tidak butuh uangmu. Daripada itu, lebih baik kau membayarku dengan hal yang lain.”
Jovie merapatkan mulutnya sambil menyipitkan matanya pada Jace. “Hal yang lain? A-apa yang kau maksud?”
Jace menunjukkan kantong belanjaan Jovie yang dia bawa. “Buatkan aku makan siang. Aku lapar.”
“Apa?” Jovie jelas terkejut dengan permintaan Jace yang tiba-tiba.
“Aku belum sempat makan siang. Tolong buatkan aku makanan dengan bahan yang telah kau beli ini. Bagaimana? Itu adalah caramu untuk membayar kebaikanku hari ini,” jawab Jace santai.
Jovie kehabisan kata-katanya. Dia hanya bisa melihat Jace yang berjalan lebih dulu dengan menenteng belanjaannya. Pria itu benar-benar bertindak sesuka hatinya. Sungguh! Jovie merasa sejak bertemu dengan Jace, hidupnya selalu terkena sial bertubi-tubi.
Pada akhirnya, Jovie membiarkan Jace masuk ke dalam apartemennya.
“Duduklah di mana pun yang kau inginkan. Aku akan memasak makan siang dengan cepat,” ucap Jovie dingin dan datar.
Jace duduk di apartemen sederhana milik Jovie. Ukuran apartemen tidak terlalu besar, tapi sangat tertata rapi. Aroma jasmine bercampur lavender menyeruak ke indra penciuman Jace.
Suara ketukan pisau menjadi satu-satunya yang menguasai ruangan. Ritmenya terdengar cepat dan profesional. Jovie memutuskan untuk membuat spaghetti dengan salmon panggang. Dia mencari menu makanan yang mudah.
“Foto masa kecilmu terlihat sangat cantik, Nona Montgmery,” ucap Jace menatap foto masa kecil Jovie.
Jovie menoleh sebentar sebelum kembali sibuk dengan hidangannya. “Simpan pujianmu. Lebih baik kau duduk dengan tenang, tanpa melihat-lihat kondisi apartemenku.”
Jace tersenyum samar seraya menyandarkan punggungnya di sofa.
Tak selang lama, makanan yang dibuat oleh Jovie sudah siap. Wanita itu meletakan makanan ke atas meja, berserta dengan minumam, dan buah-buahan. Detik selanjutnya, Jovie duduk di seberang Jace.
“Manajer hotel memang berbeda saat menata makanan di atas meja. Aku merasa seperti sedang berada di dalam jamuan istimewa.” Jace duduk di kursi yang ditunjuk Jovie.
“Basic skills yang harus dikuasai oleh para pekerja di hotel. Silakan dinikmati,” jawab Jovie dingin dan datar.
Jace memilin spaghetti di garpunya dan langsung menyuapnya. Sebagai CEO perusahaan Food and Beverage, sudah menjadi kebiasaan baginya untuk selalu menilai apa pun yang masuk ke dalam mulutnya.
“Sudah kuduga. Selain cantik, kau juga pintar memasak. Masakanmu enak sekali.” Jace kembali menyuapnya dengan raut wajah yang terlihat puas. “Sepertinya aku akan sering mampir untuk menikmati masakanmu.”
Jovie tersenyum sinis. “Kesempatan bagus tidak akan pernah datang dua kali, Tuan Sherwood. Mungkin saat ini adalah satu-satunya kesempatan bagimu untuk menikmati masakanku.”
Jace menatap Jovie lekat-lekat. “Well, kurasa tidak.”
“Kenapa kau begitu yakin?” tanya Jovie.
“I’ll bet on you. Kurasa kita memiliki takdir yang bagus.”
“Takdir?” Jovie semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraan Jace.
Jace menyeringai sambil terus menatap Jovie yang kebingungan. “Jika lain kali kita bertemu lagi secara tidak sengaja seperti tadi, berarti kita benar-benar memiliki takdir yang bagus. Sederhananya, kita jodoh dan aku bisa kembali menikmati masakanmu lagi, Nona Montgomery.”
“Yeah, of course, Corey. Aku sudah di perjalanan bersama klien.” Jovie menjawab panggilan telepon dari Corey saat dia sudah berada di dalam taksi.“Ok, aku percayakan dia padamu, Jovie. Thanks a lot!”Jovie menurunkan ponselnya yang masih menampilkan wallpaper langit yang difotonya di awal musim panas ini. Beberapa waktu yang lalu, Corey memintanya untuk menemani klien dari luar negeri yang sampai beberapa hari ke depan akan menginap di Luxio Hotel. Kebetulan, malam ini klien ingin mengunjungi bar untuk melepas penatnya.Tanpa berpikir panjang, Jovie langsung membawanya ke salah satu bar eksklusif terbesar yang ada di Manhattan—Blue Corner. Beberapa kali Jovie mengunjungi bar itu untuk menemani klien dan relasi seperti yang dia lakukan saat ini, atau juga dia datang sendiri untuk melepas penat dengan meneguk beberapa alkohol.Sebagai manajer hotel yang dituntut untuk menjamu klien dan relasi, dia dituntut untuk memiliki toleransi alkohol yang tinggi. Saat sendiri itulah waktu yang bia
Lima menit yang lalu Jovie terbangun dari tidurnya. Alih-alih menyambut pagi dengan ceria seperti hari-hari sebelumnya, saat ini dia sedang mengacak-acak rambutnya sendiri sambil berkali-kali mengumpat pada dirinya sendiri.Semalam, dengan bodohnya dia meninggalkan kliennya sendirian di bar, sedangkan dirinya kabur setelah Jace berbisik padanya bahwa mereka berjodoh. Dia benar-benar melupakan ada klien yang harus dia temani dan menjadi tanggung jawabnya.Sialnya lagi, Jovie baru mengingat hal itu ketika dia sudah berada di dalam apartemennya. Beruntung setelah itu Jace mengiriminya sebuah pesan bahwa kliennya sudah diamankan olehnya dan akan diantar ke hotel dengan selamat. Meskipun itu berarti, dia jadi memiliki utang budi lagi pada pria itu.Sesampainya Jovie di hotel, dia sudah bersiap-siap untuk menghadap Corey untuk meminta maaf, karena telah meninggalkan kliennya di bar. Langkahnya pelan saat menuju ke ruangan pemilik hotel itu karena di dalam pikirannya sedang sibuk untuk menca
Jovie terlihat serius saat menatap layar monitor yang menampilkan tabel stock opname dari fasilitas hotel yang dilampirkan di laporan bulanan. Beberapa menit yang lalu dia baru saja menerima email laporan itu dari divisi terkait. Meskipun saat ini sudah lewat jam kerja, tapi dia harus segera menyelesaikannya sebelum diserahkan pada Corey.Jovie sempat melirik jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam makan malam. Dalam hatinya, dia berniat untuk makan di apartemen saja. Sedikit telat tidak masalah, asalkan laporannya aman dan dia tidak perlu lembur lagi di hari-hari berikutnya.Ponselnya berdering. Sedikit enggan dia melirik ke arah layar, tapi seketika tatapannya berubah menjadi sedikit tertarik saat melihat nama yang tertera adalah nama Jace Sherwood. Embusan napas panjang lolos di bibirnya. Dia bermaksud menolak, tapi dia mengingat bahwa Jace adalah investor besar di hotel di mana dirinya bekerja. Dengan terpaksa, wanita cantik itu menggeser tombol hijau untuk menerima pang
Seharian ini Jovie merasa ada yang aneh pada dirinya. Seharusnya dia tidak boleh begitu, tapi sialnya dia menjadi sedikit bersemangat dan ingin cepat-cepat berganti malam karena Jace bilang akan menjemputnya lagi. Untuk kesekian kalinya, Jovie akan segera menggelengkan kepalanya saat pikiran itu kembali datang. Tidak mungkin dia merasa bersemangat hanya karena hal seperti itu. Begitulah yang sedang berulang kali ada di dalam pikirannya.“Jovie, kau mendengarku?” Corey menjentikkan tangannya di depan wajah Jovie.“A-apa? Bagaimana?” Jovie tersentak.Corey memiringkan sedikit kepalanya saat memperhatikan sikap Jovie yang menurutnya sedikit aneh hari ini. “Permintaan relasi yang akan membawa keluarganya minggu depan ke sini. Apakah kau sudah menunjuk satu orang khusus yang akan melayani semua kebutuhan mereka selama di sini? Kau tahu dia adalah orang yang sedikit cerewet, bukan?”Jovie mengerjap cepat untuk menghilangkan pikiran yang tidak seharusnya dia pikirkan. “Aku sudah menunjuknya.
Jace tidak langsung bangun pagi ini. Dia mencoba mengingat hal apa saja yang dia lakukan semalam. Pandangannya mulai mengedar, dan sontak membuatnya terduduk cepat. Antara percaya dan tidak percaya, logikanya sedang berperang dengan memorinya yang menghilang dalam semalam. Sialnya, sekuat apa pun dia berusaha untuk mengingat, tapi tidak ada sedikit pun hal yang bisa dia ingat.“Kau sudah bangun?” sapa Jovie setelah menoleh sebentar dari arah dapur.Jace menatap bingung ke arah Jovie. Entah bagaimana caranya dia bisa sampai di tempat ini, yang dia ingat semalam hanyalah saat dia sedang berusaha kabur dari kenalannya yang selama beberapa waktu terakhir ini terus saja mengekor padanya.“Kenapa aku bisa di sini?” tanya Jace bingung.Jovie mendengkus kasar. Kedua tangannya mengangkat satu panci berukuran sedang berisi sup daging dan beberapa sayuran di kulkas yang dia masak khusus untuk meredakan pengar yang pasti sedang dirasakan Jace. Setelah semalaman mabuk parah seperti itu, pasti saat
Mata Jovie mengkilat penuh semangat saat melihat stand permainan tembak berhadiah. Tanpa menunggu persetujuan dari Jace, dia melangkah cepat ke sana, membayar tiket dan mengambil senapan dengan peluru plastik di dalamnya.Jovie menutup sebelah matanya untuk mengintip dan menentukan bidikan. Jari telunjuk kanannya telah siap untuk menarik pelatuk. Di sebelahnya, Jace menatap dengan penasaran.“Kau bisa melakukannya?” tanya Jace penuh rasa penasaran.Jovie tidak menjawab. Dia harus berkonsentrasi sebelum melepas tembakannya. Dalam satu percobaan, satu kaleng berhasil dirobohkan. Kemudian, dia menoleh pada Jace sambil menyeringai, “Tentu saja.”Permainan kembali dilanjutkan. Jovie menembak semua kaleng dengan sangat mulus. Hadiah utama berhasil dia terima hanya dengan membayar satu tiket saja. Sebuah boneka beruang yang pas dengan dekapannya berhasil dia bawa pulang.“Siapa kau sebenarnya?” tanya Jace dengan raut wajah bingung. “Aku tidak menyangka kau bisa melakukannya dengan sangat bai
Jace menghentikan langkahnya sejenak saat dia melihat Cassy Cowen—anak dari rekan bisnisnya, sedang berjongkok di depan pintu penthouse miliknya. Wajah wanita yang selalu mengaku sebagai kekasih Jace ke semua orang itu terbenam sepenuhnya di antara kedua lututnya.Jace menghela napasnya. Sudah dari lama dia ingin lepas dari wanita itu, tapi entah bagaimana Cassy sangat lihai untuk bisa menjeratnya lagi, dan lagi. Jace jadi kembali mengingat saat dia datang ke apartemen Jovie dalam keadaan mabuk karena harus membuat seseorang melepaskannya, itu semua juga karena wanita itu.“Kenapa kau di sini?” Jace mendekat pada Cassy, melututkan satu kakinya agar sejajar dengan posisi Cassy.Cassy mendongak, matanya sayu—terlihat sedikit mabuk. “Harusnya aku yang bertanya, Jace. Kenapa kau mengubah sandi pintunya? Kau tahu berapa lama aku harus menunggu di sini?” Cassy memukul pelan dada Jace dengan wajah cemberut.Jace mendesah. Tampaknya Cassy sudah berada di sini cukup lama, menunggunya yang bar
Musim gugur telah datang, terhitung dari beberapa minggu setelah Jovie melihat pesta kembang api bersama dengan Jace. Sialnya bagi seorang Jovie adalah, dia selalu saja terkena flu saat pergantian musim dari musim panas ke musim gugur. Terlebih saat rutinitas aktivitasnya meningkat, seperti saat ini. Dari semalam dia mulai tidak enak badan, dan puncaknya sekarang, dia merasa pusing dan demam.Setelah beberapa saat menimbang situasinya, Jovie memutuskan untuk izin setengah hari. Jika dipaksakan, dia khawatir akan semakin parah. Namun, sial lagi baginya, Corey baru saja memberi tahu kalau dia harus menemui Jace untuk membicarakan perihal proposal pasokan barang kebutuhan dapur di hotel. Selain sebagai investor, Jace juga menjadi pemasok utama bahan-bahan yang dihasilkan langsung dari kebun perusahaannya.“Taksi sudah kupesankan, kau tinggal siap-siap saja. Jangan lupa untuk membawa form persetujuan, ya.” Corey kembali berkata melalui interkom.“Got it. By the way, Corey … setelah aku pe