“Yeah, of course, Corey. Aku sudah di perjalanan bersama klien.” Jovie menjawab panggilan telepon dari Corey saat dia sudah berada di dalam taksi.
“Ok, aku percayakan dia padamu, Jovie. Thanks a lot!”
Jovie menurunkan ponselnya yang masih menampilkan wallpaper langit yang difotonya di awal musim panas ini. Beberapa waktu yang lalu, Corey memintanya untuk menemani klien dari luar negeri yang sampai beberapa hari ke depan akan menginap di Luxio Hotel. Kebetulan, malam ini klien ingin mengunjungi bar untuk melepas penatnya.
Tanpa berpikir panjang, Jovie langsung membawanya ke salah satu bar eksklusif terbesar yang ada di Manhattan—Blue Corner. Beberapa kali Jovie mengunjungi bar itu untuk menemani klien dan relasi seperti yang dia lakukan saat ini, atau juga dia datang sendiri untuk melepas penat dengan meneguk beberapa alkohol.
Sebagai manajer hotel yang dituntut untuk menjamu klien dan relasi, dia dituntut untuk memiliki toleransi alkohol yang tinggi. Saat sendiri itulah waktu yang biasa dia gunakan untuk mengasahnya. Bahkan, saat ini dia sudah berada ditahap sanggup untuk meminum dua sloki Everclear yang memiliki kadar alkohol 60-90% tanpa merasa mabuk. Selebihnya, dia tidak berani mencoba.
Sesampainya di Blue Corner, klien yang datang bersama Jovie segera membaur dengan banyaknya manusia yang berdansa di lantai dansa. Tak lama, beberapa wanita telah mengerumuninya dengan gerakan seduktif dan membawakan segelas whisky yang langsung disesap habis.
Jovie memutuskan untuk naik ke lantai dua, mencari tempat yang tidak terlalu banyak kerumunan orang sambil menikmati suasana yang sedikit lebih tenang.
Segelas koktail baru saja diletakkan di atas meja oleh waitress bar, sesaat sebelum seorang pria asing mendekati Jovie dengan sorot mata yang terlihat sangat mabuk.
“Nona, kau sendirian?” tanya pria itu.
Jovie mendongak, menatap tanpa ekspresi pada pria itu yang mulai menekan telapak tangannya di pinggiran meja. “Tidak, aku bersama seseorang.”
Pria itu tertawa dengan kedua matanya yang masih menatap ganas pada Jovie. “Cantik, ayo bersamaku. Di sini terlalu ramai, kan? Aku akan membawamu ke tempat yang lebih baik dari ini.”
Jovie mendesah kesal dan jengkel. Tangan kanannya meraih gelas koktail yang belum sempat dia minum, kemudian berpindah ke meja lain untuk menghindar dari pria yang mengganggunya.
Tak menyerah, pria itu justru mendekat lagi pada Jovie. Tampaknya dia sedikit marah karena Jovie menghindar darinya. “Berani sekali kau mengabaikanku, dasar Jalang!”
Jovie tersentak saat pria itu menarik lengan Jovie. Gelas koktail yang masih utuh tersenggol tanpa sengaja dan jatuh menghantam lantai. Serpihan pecahan gelas menyebar di sekeliling cairan alkohol yang menggenang.
“Lepaskan aku!” sentak Jovie keras.
Sial, cengkeraman tangan pria itu ternyata lebih kuat dari yang dia bayangkan. Alih-alih bisa menarik tangannya, saat ini dia justru merasakan lengannya semakin diremas kuat sampai dia mengaduh sambil menahan lengan yang dicengkeram dengan tangannya yang lain.
“Ini yang akan kau rasakan jika kau terus mengabaikanku, Bitch!”
Semua orang di lantai dua menatap mereka tanpa ada yang berani melerai. Jovie masih berusaha untuk melepas tangannya, tanpa melihat di belakang pria itu telah berdiri seseorang yang dengan cepat menarik tangan pria pengganggu itu sampai melepaskan cengkeramannya dari Jovie.
Jovie terjatuh, beruntung kulitnya tidak menyentuh serpihan gelas yang berada sangat dekat dengan tempatnya terjatuh. Kepalanya mendongak cepat dan langsung membelalak lebar saat menyadari siapa yang sedang berada di sana.
“Jace?” ucap Jovie tertahan.
Jace menatap sekilas pada Jovie, lalu kembali mengarahkan fokusnya pada pria yang berdiri di depannya dengan ekspresi tidak terima.
“Asshole!” umpat pria itu dengan melayangkan tinjunya pada wajah Jace, hingga membuat Jace mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aturan bar ini adalah, tidak boleh memukul sampai dipukul terlebih dulu. Kau telah memberiku kesempatan untuk bisa menghajarmu, Asshole!” Jace meninju balik dengan sangat keras ke wajah pria pengganggu itu sampai membuatnya mundur beberapa langkah. Security dengan cepat berlarian dari lantai bawah, dan datang tepat ketika pria itu akan membalas pukulan Jace.
“Bawa dia keluar, dan pastikan untuk menambahkan data dirinya ke dalam blacklist.” Jace mengingatkan pada dua security berbadan besar yang telah mengapit pria itu di kedua sisi.
“Baik, Tuan.” Security itu patuh dan langsung membawa pria pengganggu itu untuk keluar.
Sementara itu, Jovie masih terkejut dengan apa yang telah terjadi. Detak jantungnya masih berantakan. Napasnya memburu, dentuman musik yang keras menambah parah rasa sesak yang tiba-tiba dia rasakan.
“Kau baik-baik saja?” tanya Jace khawatir.
Jovie tidak menjawab, dia hanya menatap Jace dengan panik.
“Nona Montgomery? Jawab aku, kau baik-baik saja? Nona … Jovie!” panggil Jace mulai khawatir.
Jovie semakin membulatkan kedua matanya saat melihat ada setitik rona merah di sudut bibir Jace. “K-kau berdarah?!”
Jace segera membantu Jovie berdiri dan membawanya dengan cepat ke ruang kerjanya yang berada di lantai tiga. Di sana, alih-alih Jace menanyakan lagi perihal keadaan Jovie, wanita itu justru bertindak lebih cepat dengan menanyakan kotak medis darurat pada Jace.
“Di dalam lemari itu,” tunjuk Jace dengan posisinya yang masih berdiri di depan pintu yang telah tertutup.
Jovie bergerak sangat cepat untuk mengambil kota medis darurat itu—dan langsung menyeret Jace untuk duduk di sofa yang diletakkan di tengah ruangan. Tampak jelas kepanikan di wajah Jovie.
“Pasti sakit, tahan sebentar, ya.” Jovie membersihkan luka Jace dengan alkohol medis yang telah ditumpahkan sedikit di atas kasa steril.
Jace mendesis tiap Jovie menekan lukanya, membuat wanita itu semakin mengernyit dalam.
“Maafkan aku,” cicit Jovie merasa bersalah.
Jace mengerutkan keningnya. “Kenapa kau meminta maaf?”
Jovie tidak langsung menjawab. Dia masih sibuk mengoleskan salep luka pada sudut bibir Jace. “Karena aku, kau jadi terluka. Seharusnya kau jangan membahayakan dirimu seperti itu.”
Jace terkekeh mendengarnya. Teruntuk pertama kalinya, dia melihat sorot mata Jovie yang berbeda dari biasanya. “Mana mungkin aku membiarkan kau diperlakukan seperti itu di hadapanku. Luka ini tidak sebanding dengan apa yang dilakukan pria itu padamu. Kau tidak terluka, kan? Biarkan aku memastikan bahwa kau baik-baik saja.”
Jace langsung mengangkat kedua tangan Jovie dan memeriksa apakah ada luka di sana, di wajah, dan sebelum Jace memeriksa di bagian kaki—Jovie langsung menarik tangan Jace dan menyuruhnya untuk kembali duduk di sebelahnya.
“A-aku baik-baik saja, tidak terluka sama sekali,” ucap Jovie cepat. “Tapi … kenapa kau di sini? Dan kenapa kita bisa masuk ke ruangan ini?” Pandangan Jovie berkeliling ke tempat yang luas dan terlihat nyaman.
“Kau sendiri, kenapa kau sendirian di bar?” Jace balik bertanya.
“Aku mengantar klien yang meminta untuk ditemani ke bar. Dia sedang bersenang-senang di lantai bawah, dan aku memutuskan untuk menunggunya di lantai dua, dan sialnya pria itu datang. Kau sendiri?” balas Jovie penasaran.
“Bar ini milikku, dan ini ruang kerjaku,” jawab Jace tenang.
Jovie terkesiap. “Tidak mungkin.”
Jace tekekeh melihat reaksi Jovie. Dalam satu gerakan, Jace mencondongkan wajahnya ke sisi samping Jovie dan berbisik serak, “Sudah kubilang, jika kita bertemu lagi tanpa sengaja, berarti kita berjodoh, Nona Montgomery.”
Lima menit yang lalu Jovie terbangun dari tidurnya. Alih-alih menyambut pagi dengan ceria seperti hari-hari sebelumnya, saat ini dia sedang mengacak-acak rambutnya sendiri sambil berkali-kali mengumpat pada dirinya sendiri.Semalam, dengan bodohnya dia meninggalkan kliennya sendirian di bar, sedangkan dirinya kabur setelah Jace berbisik padanya bahwa mereka berjodoh. Dia benar-benar melupakan ada klien yang harus dia temani dan menjadi tanggung jawabnya.Sialnya lagi, Jovie baru mengingat hal itu ketika dia sudah berada di dalam apartemennya. Beruntung setelah itu Jace mengiriminya sebuah pesan bahwa kliennya sudah diamankan olehnya dan akan diantar ke hotel dengan selamat. Meskipun itu berarti, dia jadi memiliki utang budi lagi pada pria itu.Sesampainya Jovie di hotel, dia sudah bersiap-siap untuk menghadap Corey untuk meminta maaf, karena telah meninggalkan kliennya di bar. Langkahnya pelan saat menuju ke ruangan pemilik hotel itu karena di dalam pikirannya sedang sibuk untuk menca
Jovie terlihat serius saat menatap layar monitor yang menampilkan tabel stock opname dari fasilitas hotel yang dilampirkan di laporan bulanan. Beberapa menit yang lalu dia baru saja menerima email laporan itu dari divisi terkait. Meskipun saat ini sudah lewat jam kerja, tapi dia harus segera menyelesaikannya sebelum diserahkan pada Corey.Jovie sempat melirik jam yang melingkar di tangannya, sudah hampir jam makan malam. Dalam hatinya, dia berniat untuk makan di apartemen saja. Sedikit telat tidak masalah, asalkan laporannya aman dan dia tidak perlu lembur lagi di hari-hari berikutnya.Ponselnya berdering. Sedikit enggan dia melirik ke arah layar, tapi seketika tatapannya berubah menjadi sedikit tertarik saat melihat nama yang tertera adalah nama Jace Sherwood. Embusan napas panjang lolos di bibirnya. Dia bermaksud menolak, tapi dia mengingat bahwa Jace adalah investor besar di hotel di mana dirinya bekerja. Dengan terpaksa, wanita cantik itu menggeser tombol hijau untuk menerima pang
Seharian ini Jovie merasa ada yang aneh pada dirinya. Seharusnya dia tidak boleh begitu, tapi sialnya dia menjadi sedikit bersemangat dan ingin cepat-cepat berganti malam karena Jace bilang akan menjemputnya lagi. Untuk kesekian kalinya, Jovie akan segera menggelengkan kepalanya saat pikiran itu kembali datang. Tidak mungkin dia merasa bersemangat hanya karena hal seperti itu. Begitulah yang sedang berulang kali ada di dalam pikirannya.“Jovie, kau mendengarku?” Corey menjentikkan tangannya di depan wajah Jovie.“A-apa? Bagaimana?” Jovie tersentak.Corey memiringkan sedikit kepalanya saat memperhatikan sikap Jovie yang menurutnya sedikit aneh hari ini. “Permintaan relasi yang akan membawa keluarganya minggu depan ke sini. Apakah kau sudah menunjuk satu orang khusus yang akan melayani semua kebutuhan mereka selama di sini? Kau tahu dia adalah orang yang sedikit cerewet, bukan?”Jovie mengerjap cepat untuk menghilangkan pikiran yang tidak seharusnya dia pikirkan. “Aku sudah menunjuknya.
Jace tidak langsung bangun pagi ini. Dia mencoba mengingat hal apa saja yang dia lakukan semalam. Pandangannya mulai mengedar, dan sontak membuatnya terduduk cepat. Antara percaya dan tidak percaya, logikanya sedang berperang dengan memorinya yang menghilang dalam semalam. Sialnya, sekuat apa pun dia berusaha untuk mengingat, tapi tidak ada sedikit pun hal yang bisa dia ingat.“Kau sudah bangun?” sapa Jovie setelah menoleh sebentar dari arah dapur.Jace menatap bingung ke arah Jovie. Entah bagaimana caranya dia bisa sampai di tempat ini, yang dia ingat semalam hanyalah saat dia sedang berusaha kabur dari kenalannya yang selama beberapa waktu terakhir ini terus saja mengekor padanya.“Kenapa aku bisa di sini?” tanya Jace bingung.Jovie mendengkus kasar. Kedua tangannya mengangkat satu panci berukuran sedang berisi sup daging dan beberapa sayuran di kulkas yang dia masak khusus untuk meredakan pengar yang pasti sedang dirasakan Jace. Setelah semalaman mabuk parah seperti itu, pasti saat
Mata Jovie mengkilat penuh semangat saat melihat stand permainan tembak berhadiah. Tanpa menunggu persetujuan dari Jace, dia melangkah cepat ke sana, membayar tiket dan mengambil senapan dengan peluru plastik di dalamnya.Jovie menutup sebelah matanya untuk mengintip dan menentukan bidikan. Jari telunjuk kanannya telah siap untuk menarik pelatuk. Di sebelahnya, Jace menatap dengan penasaran.“Kau bisa melakukannya?” tanya Jace penuh rasa penasaran.Jovie tidak menjawab. Dia harus berkonsentrasi sebelum melepas tembakannya. Dalam satu percobaan, satu kaleng berhasil dirobohkan. Kemudian, dia menoleh pada Jace sambil menyeringai, “Tentu saja.”Permainan kembali dilanjutkan. Jovie menembak semua kaleng dengan sangat mulus. Hadiah utama berhasil dia terima hanya dengan membayar satu tiket saja. Sebuah boneka beruang yang pas dengan dekapannya berhasil dia bawa pulang.“Siapa kau sebenarnya?” tanya Jace dengan raut wajah bingung. “Aku tidak menyangka kau bisa melakukannya dengan sangat bai
Jace menghentikan langkahnya sejenak saat dia melihat Cassy Cowen—anak dari rekan bisnisnya, sedang berjongkok di depan pintu penthouse miliknya. Wajah wanita yang selalu mengaku sebagai kekasih Jace ke semua orang itu terbenam sepenuhnya di antara kedua lututnya.Jace menghela napasnya. Sudah dari lama dia ingin lepas dari wanita itu, tapi entah bagaimana Cassy sangat lihai untuk bisa menjeratnya lagi, dan lagi. Jace jadi kembali mengingat saat dia datang ke apartemen Jovie dalam keadaan mabuk karena harus membuat seseorang melepaskannya, itu semua juga karena wanita itu.“Kenapa kau di sini?” Jace mendekat pada Cassy, melututkan satu kakinya agar sejajar dengan posisi Cassy.Cassy mendongak, matanya sayu—terlihat sedikit mabuk. “Harusnya aku yang bertanya, Jace. Kenapa kau mengubah sandi pintunya? Kau tahu berapa lama aku harus menunggu di sini?” Cassy memukul pelan dada Jace dengan wajah cemberut.Jace mendesah. Tampaknya Cassy sudah berada di sini cukup lama, menunggunya yang bar
Musim gugur telah datang, terhitung dari beberapa minggu setelah Jovie melihat pesta kembang api bersama dengan Jace. Sialnya bagi seorang Jovie adalah, dia selalu saja terkena flu saat pergantian musim dari musim panas ke musim gugur. Terlebih saat rutinitas aktivitasnya meningkat, seperti saat ini. Dari semalam dia mulai tidak enak badan, dan puncaknya sekarang, dia merasa pusing dan demam.Setelah beberapa saat menimbang situasinya, Jovie memutuskan untuk izin setengah hari. Jika dipaksakan, dia khawatir akan semakin parah. Namun, sial lagi baginya, Corey baru saja memberi tahu kalau dia harus menemui Jace untuk membicarakan perihal proposal pasokan barang kebutuhan dapur di hotel. Selain sebagai investor, Jace juga menjadi pemasok utama bahan-bahan yang dihasilkan langsung dari kebun perusahaannya.“Taksi sudah kupesankan, kau tinggal siap-siap saja. Jangan lupa untuk membawa form persetujuan, ya.” Corey kembali berkata melalui interkom.“Got it. By the way, Corey … setelah aku pe
Kejadian Jovie pingsan di rumah kaca milik Jace kemarin, membuat Corey akhirnya memaksa Jovie untuk beristirahat total di apartemen sampai wanita itu benar-benar sehat. Bahkan Corey sampai mengancam untuk memotong gaji Jovie jika terus memaksa untuk masuk kerja. Jika tak seperti itu, maka Jovie akan terus menerus bekerja, tanpa memikirkan kondisi kesehatannya. Ya, ancaman Corey telah berhasil membuat Jovie patuh.Jadi di sinilah Jovie sekarang, di apartemennya, tidak tahu harus berbuat apa selain tidur, memindah saluran tv karena tidak ada satu pun acara yang menarik perhatiannya, mengintip ke jendela untuk melihat hiruk pikuk jalanan Manhattan, dan menyantap makanan seadanya di dalam kulkas tanpa memasaknya terlebih dahulu.Bukan karena dia tidak kuat untuk memasak, tapi dia terlalu malas untuk melakukannya. Menurutnya saat ini adalah, yang penting dia menjejalkan sesuatu ke mulutnya untuk syarat minum obat. Selebihnya, dia memutuskan untuk tidur.Saat malam, ketika Jovie akan mencar