Share

Bab 5. Semesta yang Memiliki Rencana

“Yeah, of course, Corey. Aku sudah di perjalanan bersama klien.” Jovie menjawab panggilan telepon dari Corey saat dia sudah berada di dalam taksi.

“Ok, aku percayakan dia padamu, Jovie. Thanks a lot!”

Jovie menurunkan ponselnya yang masih menampilkan wallpaper langit yang difotonya di awal musim panas ini. Beberapa waktu yang lalu, Corey memintanya untuk menemani klien dari luar negeri yang sampai beberapa hari ke depan akan menginap di Luxio Hotel. Kebetulan, malam ini klien ingin mengunjungi bar untuk melepas penatnya.

Tanpa berpikir panjang, Jovie langsung membawanya ke salah satu bar eksklusif terbesar yang ada di Manhattan—Blue Corner. Beberapa kali Jovie mengunjungi bar itu untuk menemani klien dan relasi seperti yang dia lakukan saat ini, atau juga dia datang sendiri untuk melepas penat dengan meneguk beberapa alkohol.

Sebagai manajer hotel yang dituntut untuk menjamu klien dan relasi, dia dituntut untuk memiliki toleransi alkohol yang tinggi. Saat sendiri itulah waktu yang biasa dia gunakan untuk mengasahnya. Bahkan, saat ini dia sudah berada ditahap sanggup untuk meminum dua sloki Everclear yang memiliki kadar alkohol 60-90% tanpa merasa mabuk. Selebihnya, dia tidak berani mencoba.

Sesampainya di Blue Corner, klien yang datang bersama Jovie segera membaur dengan banyaknya manusia yang berdansa di lantai dansa. Tak lama, beberapa wanita telah mengerumuninya dengan gerakan seduktif dan membawakan segelas whisky yang langsung disesap habis.

Jovie memutuskan untuk naik ke lantai dua, mencari tempat yang tidak terlalu banyak kerumunan orang sambil menikmati suasana yang sedikit lebih tenang.

Segelas koktail baru saja diletakkan di atas meja oleh waitress bar, sesaat sebelum seorang pria asing mendekati Jovie dengan sorot mata yang terlihat sangat mabuk.

“Nona, kau sendirian?” tanya pria itu.

Jovie mendongak, menatap tanpa ekspresi pada pria itu yang mulai menekan telapak tangannya di pinggiran meja. “Tidak, aku bersama seseorang.”

Pria itu tertawa dengan kedua matanya yang masih menatap ganas pada Jovie. “Cantik, ayo bersamaku. Di sini terlalu ramai, kan? Aku akan membawamu ke tempat yang lebih baik dari ini.”

Jovie mendesah kesal dan jengkel. Tangan kanannya meraih gelas koktail yang belum sempat dia minum, kemudian berpindah ke meja lain untuk menghindar dari pria yang mengganggunya.

Tak menyerah, pria itu justru mendekat lagi pada Jovie. Tampaknya dia sedikit marah karena Jovie menghindar darinya. “Berani sekali kau mengabaikanku, dasar Jalang!”

Jovie tersentak saat pria itu menarik lengan Jovie. Gelas koktail yang masih utuh tersenggol tanpa sengaja dan jatuh menghantam lantai. Serpihan pecahan gelas menyebar di sekeliling cairan alkohol yang menggenang.

“Lepaskan aku!” sentak Jovie keras.

Sial, cengkeraman tangan pria itu ternyata lebih kuat dari yang dia bayangkan. Alih-alih bisa menarik tangannya, saat ini dia justru merasakan lengannya semakin diremas kuat sampai dia mengaduh sambil menahan lengan yang dicengkeram dengan tangannya yang lain.

“Ini yang akan kau rasakan jika kau terus mengabaikanku, Bitch!”

Semua orang di lantai dua menatap mereka tanpa ada yang berani melerai. Jovie masih berusaha untuk melepas tangannya, tanpa melihat di belakang pria itu telah berdiri seseorang yang dengan cepat menarik tangan pria pengganggu itu sampai melepaskan cengkeramannya dari Jovie.

Jovie terjatuh, beruntung kulitnya tidak menyentuh serpihan gelas yang berada sangat dekat dengan tempatnya terjatuh. Kepalanya mendongak cepat dan langsung membelalak lebar saat menyadari siapa yang sedang berada di sana.

“Jace?” ucap Jovie tertahan.

Jace menatap sekilas pada Jovie, lalu kembali mengarahkan fokusnya pada pria yang berdiri di depannya dengan ekspresi tidak terima.

Asshole!” umpat pria itu dengan melayangkan tinjunya pada wajah Jace, hingga membuat Jace mundur beberapa langkah ke belakang.

“Aturan bar ini adalah, tidak boleh memukul sampai dipukul terlebih dulu. Kau telah memberiku kesempatan untuk bisa menghajarmu, Asshole!” Jace meninju balik dengan sangat keras ke wajah pria pengganggu itu sampai membuatnya mundur beberapa langkah. Security dengan cepat berlarian dari lantai bawah, dan datang tepat ketika pria itu akan membalas pukulan Jace.

“Bawa dia keluar, dan pastikan untuk menambahkan data dirinya ke dalam blacklist.” Jace mengingatkan pada dua security berbadan besar yang telah mengapit pria itu di kedua sisi.

“Baik, Tuan.” Security itu patuh dan langsung membawa pria pengganggu itu untuk keluar.

Sementara itu, Jovie masih terkejut dengan apa yang telah terjadi. Detak jantungnya masih berantakan. Napasnya memburu, dentuman musik yang keras menambah parah rasa sesak yang tiba-tiba dia rasakan.

“Kau baik-baik saja?” tanya Jace khawatir.

Jovie tidak menjawab, dia hanya menatap Jace dengan panik.

“Nona Montgomery? Jawab aku, kau baik-baik saja? Nona … Jovie!” panggil Jace mulai khawatir.

Jovie semakin membulatkan kedua matanya saat melihat ada setitik rona merah di sudut bibir Jace. “K-kau berdarah?!”

Jace segera membantu Jovie berdiri dan membawanya dengan cepat ke ruang kerjanya yang berada di lantai tiga. Di sana, alih-alih Jace menanyakan lagi perihal keadaan Jovie, wanita itu justru bertindak lebih cepat dengan menanyakan kotak medis darurat pada Jace.

“Di dalam lemari itu,” tunjuk Jace dengan posisinya yang masih berdiri di depan pintu yang telah tertutup.

Jovie bergerak sangat cepat untuk mengambil kota medis darurat itu—dan langsung menyeret Jace untuk duduk di sofa yang diletakkan di tengah ruangan. Tampak jelas kepanikan di wajah Jovie.

“Pasti sakit, tahan sebentar, ya.” Jovie membersihkan luka Jace dengan alkohol medis yang telah ditumpahkan sedikit di atas kasa steril.

Jace mendesis tiap Jovie menekan lukanya, membuat wanita itu semakin mengernyit dalam.

“Maafkan aku,” cicit Jovie merasa bersalah.

Jace mengerutkan keningnya. “Kenapa kau meminta maaf?”

Jovie tidak langsung menjawab. Dia masih sibuk mengoleskan salep luka pada sudut bibir Jace. “Karena aku, kau jadi terluka. Seharusnya kau jangan membahayakan dirimu seperti itu.”

Jace terkekeh mendengarnya. Teruntuk pertama kalinya, dia melihat sorot mata Jovie yang berbeda dari biasanya. “Mana mungkin aku membiarkan kau diperlakukan seperti itu di hadapanku. Luka ini tidak sebanding dengan apa yang dilakukan pria itu padamu. Kau tidak terluka, kan? Biarkan aku memastikan bahwa kau baik-baik saja.”

Jace langsung mengangkat kedua tangan Jovie dan memeriksa apakah ada luka di sana, di wajah, dan sebelum Jace memeriksa di bagian kaki—Jovie langsung menarik tangan Jace dan menyuruhnya untuk kembali duduk di sebelahnya.

“A-aku baik-baik saja, tidak terluka sama sekali,” ucap Jovie cepat. “Tapi … kenapa kau di sini? Dan kenapa kita bisa masuk ke ruangan ini?” Pandangan Jovie berkeliling ke tempat yang luas dan terlihat nyaman.

“Kau sendiri, kenapa kau sendirian di bar?” Jace balik bertanya.

“Aku mengantar klien yang meminta untuk ditemani ke bar. Dia sedang bersenang-senang di lantai bawah, dan aku memutuskan untuk menunggunya di lantai dua, dan sialnya pria itu datang. Kau sendiri?” balas Jovie penasaran.

“Bar ini milikku, dan ini ruang kerjaku,” jawab Jace tenang.

Jovie terkesiap. “Tidak mungkin.”

Jace tekekeh melihat reaksi Jovie. Dalam satu gerakan, Jace mencondongkan wajahnya ke sisi samping Jovie dan berbisik serak, “Sudah kubilang, jika kita bertemu lagi tanpa sengaja, berarti kita berjodoh, Nona Montgomery.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status