“BERAPA KALI ARUNA BILANG, ARUNA TIDAK MAU!” Suara gadis itu menggelegar di ruang makan. Dia hanya menyentuh dua sendok nasi dan langsung tidak berselera makan. Lagipula kenapa ayahnya itu membicarakan perjodohan saat makan seperti ini?
“Sayang … kamu cobalah berkenalan dulu dengan dia, ya?” Suara laki-laki paruh baya itu tampak melas. Dia juga terlihat sedikit pucat. Bukan, laki-laki itu bukan tengah sekarat dan mengharapkan segera menimang cucu. Pria dengan nama Danurdara itu baru saja memberanikan diri bicara pada anak sematawayangnya tentang perjodohan setelah dimarahi habis-habisan oleh sang istri. Bukan tanpa alasan, laki-laki itu baru saja melakukan kesalahan yang membuat hartanya terkuras hanya dalam satu malam.
“Kamu tidak punya kekasih, kan?” bujuk ayahnya lagi.
“Iya, tapi usia Runa masih 24 tahun, perjalanan Runa masih panjang dan tidak mau menikah!” ujar gadis itu semakin ketus. Dia mencoba mencari pembelaan ibunya, tapi wanita anggun itu hanya diam dan melirik ayahnya dengan tatapan kesal.
Danurdara adalah sebuah keluarga yang cukup terpandang. Ia memiliki bisnis properti yang sudah lama menjadi turun temurun. Meski begitu, popularitasnya belum setara dengan konglomerat lain di negara ini. Beberapa minggu yang lalu, Danurdara hadir dalam sebuah pertemuan antarkepala keluarga pengusaha. Karena jengah dengan omong besar pada konglomerat sepanjang malam, Danurdara jadi terpancing dan ingin menyombongkan diri.
“Aku akan menang tender dengan perusahaan asing, aku berani jamin 95 persen proyek besar itu akan menjadi milikku! Jika ada yang berhasil merebutnya, aku akan siap memberikan apa pun yang kalian mau!” ujarnya sombong. Para kepala keluarga yang lain tampak tertarik, jika beruntung mereka bisa bekerja sama. Wajah Danurdara tampak yakin tidak akan ada yang bisa mengalahkannya di proyek ini. Dia merasa di atas angin.
Sayangnya, masih ada peluang lima persen yang tidak dihitung Danurdara. Laki-laki itu rupanya telah kalah. Beberapa hari kemudian di pertemuan yang serupa, ada laki-laki yang usianya tak jauh beda darinya memegang sebuah cek sebagai bukti kontrak. Wajah Danurdara berubah sangat pucat. Penyesalan memang datang belakangan. Dia tidak tahu bagaimana nasib dirinya keluarga ini. Pemenang tender yang sebenarnya adalah keluarga Johnson. Sangat tidak masuk akal bagi Danurdara karena keluarga Johnson adalah pemilik bisnis di bidang ekspor impor. Meski skalanya sudah multinasional, urusan properti Johnson masih terbilang kecil. Kenapa keluarga yang sudah menjadi jajaran top pengusaha itu masih tertarik dengan taruhannya?
“Bagaimana, Danurdara? Sudah siap memberikan yang saya mau?” Senyum kepala keluarga Johnson membuat Danurdara ngeri. Dia takut mendengar keinginan keluarga yang sudah memiliki segalanya itu. Apakah dia orang yang tamak?
“Aku mau 95 persen saham perusahaan Danurdara,” ujar Johnson sambil tersenyum. Semua kepala keluarga tampak terkejut dan ikut pucat. Bagaimana bisa memberikan 95 persen saham? Bukankah itu berarti kepemilikan perusahaan juga hampir berubah?
“M-mana bisa begitu, 95 persen itu angka yang mustahil!” jawab Danurdara panik.
“Oh? Bukankah kemarin kau berjanji akan memberikan apa pun yang diminta oleh si pemenang?” Johnson tertawa menatap kepala keluarga lain sebagai tanda meminta persetujuan. Para pengusaha lain ikut berbisik-bisik. Ucapan Danurdara kemarin memang begitu.
“T-tapi ….”
“Aku menyisakan lima persen, sama seperti kesempatanku untuk merebut proyek itu darimu. Cukup, kan?” ujar Johnson masih dengan senyumannya. Danurdara tampak lemas dan pucat. Bagaimana dia akan menyampaikan ini pada anak dan istrinya di rumah?
“Dan aku ingin satu lagi ….” Johnson tampak sedang berpikir. Para keluarga lain mulai ikut riuh, sebab tidak bisa membayangkan usaha yang telah diperjuangkan sepanjang hidup bisa habis dalam waktu satu malam.
“Anak perempuanmu itu lumayan cantik, kan? Aku mau dia,” ucap kepala keluarga Johnson tanpa rasa bersalah.
“HAH? Tidak mungkin aku memberikan Aruna padamu!” Danurdara setengah berteriak. Ruangan yang harusnya menjadi tempat pertemuan berkelas itu langsung menjadi sengit.
“Tidak, bukan untukku. Aku belum segila itu untuk meminta anakmu untukku. Aku mau kau menikahkan anakmu itu dengan anak pertamaku, Sean,” ucapnya sedikit terkekeh.
“Apa? Kenapa?” Danurdara terkejut. Kenapa tiba-tiba ingin anaknya dijodohkan? Bukankah kalau begini terdengar seperti pernikahan bisnis yang menguntungkan? Setelah dipikir lagi, akan sangat tidak menguntungkan baginya kalau nama kepemilikan saham berubah dan harus kehilangan puterinya. Danurdara sudah mengenal anak pertama keluarga Johnson. Laki-laki itu sering ikut atau bahkan menggantikan ayahnya untuk hadir ke beberapa pertemuan. Sebenarnya, dia yakin hidup anak perempuan sematawayangnya itu akan terjamin jika hidup bersama keluarga Johnson. Namun, Danurdara tidak yakin gadis cantiknya itu akan bahagia.
“Kau tidak perlu tahu alasannya, tapi aku harap kau bisa menyampaikan pada istri dan anakmu tentang pernikahan ini. Aku akan mengirim pengacara, sekretaris, dan notarisku ke kantormu minggu depan, persiapkanlah apa pun yang kau butuhkan,” ujar Johnson langsung meninggalkan ruangan yang membuat Danurdara semakin pening.
Jadilah dia membicarakan dengan istrinya tentang apa yang terjadi. Meski berakhir dipukuli istrinya karena gemas dan kesal, istrinya itu menangis. Dia tidak bisa membayangkan anaknya yang bahkan belum bekerja di kantornya secara resmi harus terpaksa di jodohkan. Mereka menebak bahwa gadis itu tidak akan mau. Dan kenyataannya memang begitu.
“Menikah dengan siapa tadi? Keluarga Johnson? Kami bahkan tidak saling mengenal. Apa-apaan, sih?!” Gadis dengan nama Aruna itu semakin ingin mengamuk. Danurdara dan istrinya memilih tidak membicarakan alasan perjodohan mereka dengan jujur karena takut gadis itu panik akan kondisi keluarga. Minimal jika dengan Johnson, Aruna tidak akan susah, begitu pikir mereka.
“Coba kamu bertemu dulu, kami akan mengatur beberapa pertemuan, ya?” ujar ayahnya lagi. Aruna berdecak keras dan memilih pergi ke kamarnya. Dia benar-benar kesal dan ingin meluapkan emosinya di kamar, dengan menangis.
Sebenarnya Aruna sudah pernah bertemu dengan laki-laki yang bernana Ocean Mallory Johnson itu. Mereka pernah hadir di acara peluncuran aplikasi yang mengundang para kepala keluarga pengusaha, tapi laki-laki itu tidak meninggalkan kesan yang bagus padanya. Dia adalah laki-laki yang jarang bicara dan senyumannya hanyalah senyuman bisnis. Usianya mungkin sudah 32 tahun, terpaut delapan tahun dengan Aruna. Laki-laki yang biasa dipanggil Sean itu tinggi dengan struktur badan yang proporsional, tampan, dan terlihat pintar. Sayangnya semua kelebihan itu berbanding terbalik dengan cara bicaranya yang dingin dan tidak menyenangkan. Gadis itu tidak bisa membayangkan menikah dengan orang yang bukan tipenya itu.
“Kenapa tiba-tiba membahas pernikahan, sih? Lagipula si Ocean Sean itu mana mungkin tidak punya pacar!” Aruna menghentak-hentakkan kakinya kesal. Dia sangat bingung karena orang tuanya yang tidak pernah membicarakan pernikahan sedikitpun tiba-tiba menyuruhnya menikah.
“Apa tadi katanya? Mau bertemu beberapa kali lalu menikah? Dih, si Johnson itu tidak mungkin suka denganku. Memangnya mau kalau aku tinggal di rumahnya dan tersiksa selamanya?” ujar gadis itu masih bergumam sendiri. Kalau di pikir lagi, perusahaan Johnson adalah dambaan semua orang. Menikah dengan putra pertama sekaligus calon penerus perusahaan itu bukanlah hal yang buruk. Apalagi menggabungkan dua perusahaan besar, mereka bisa saja menjadi penguasa bisnis di sana.
“Tapi kenapa tiba-tiba ya? Apakah aku dijual karena perusahaan ayah bangkrut?” gumam gadis itu, namun segera menggeleng kencang.
“Ah tidak mungkin, lagipula kalau benar bangkrut mereka tidak akan memintaku yang menikah.” Gadis itu mengangkat bahu dan memilih merebahkan badannya ke kasur. Tidak mungkin dirinya akan menikah. Dia belum siap.
Aruna Danurdara adalah gadis manis berusia 24 tahun. Gadis itu sedang melakukan internship di kantornya karena belum memiliki pengalaman bekerja sejak kuliah. Gadis yang kerap disapa Aruna itu menggambil jurusan management bisnis. Meski secara hak dia bisa saja langsung menjadi bos karena bekerja di kantor ayahnya sendiri, gadis itu tidak mau melakukannya. Dia sadar diri kemampuan implementasinya pada proyek yang sesungguhnya masih sangat kurang meskipun dirinya adalah lulusan terbaik saat kuliah. Jadilah dia menjadi anak magang di kantornya. Rekan-rekan kantor Aruna tentu tahu kalau gadis itu adalah anak pemilik perusahaan, tapi mereka tetap baik dan mengajari Aruna sesuai dengan standar kantor.
Aruna senang bekerja dengan orang-orang di kantornya. Terkadang dia bimbang, dia ingin mengembangkan sayapnya ke perusahaan lain dan belajar lebih banyak di luar. Aruna sadar ada beberapa orang yang baik padanya karena dia adalah anak pemilik perusahaan. Jadi dia berusaha mencari pengalaman dulu, lalu bekerja di tempat orang lain untuk mencari pengalaman lain. Gadis itu pernah mengungkapkan pikiran itu pada orang tuanya, dan mereka terus mendukung anaknya. Orang tua gadis cantik itu adalah orang yang sangat supportive dan tidak pernah memaksakan kehendak anaknya. Karena itulah Aruna bingung ketika tiba-tiba dijodohkan dengan orang yang bahkan hanya pernah dia temui sekali.
“Kalau aku bilang ingin lanjut kuliah Master’s Degree, apakah mereka tetap menyuruhku untuk menikah ya?” Aruna menghela napas dan mulai membuka laptopnya. Tujuannya adalah mencari informasi tempat kuliah, biaya pendaftaran, dan lain sebagainya. Menikah sama sekali tidak masuk ke dalam wishlist yang harus dilakukan Aruna saat usia 24 tahun. Gadis itu berniat kabur.
Seminggu berlalu, Danurdara benar-benar seperti siap mati berdiri. Johnson benar-benar mengirim orang kepercayaannya ke kantornya untuk menagih janji atas kesombongan Danurdara. Tidak ada keributan di kantor, yang orang-orang tahu dua perusahaan besar itu hanya akan bekerja sama. “Bagaimana? Sudah siap tanda tangan kontrak, Tuan Danurdara?” Suara sekretaris Johnson terdengar semakin mendesak. Pasalnya dari tadi Danurdara hanya berputar-putar di tempatnya karena kebingungan. “Tapi pemegang saham Danurdara kan ada beberapa orang, dan mereka belum mau memberikannya lagi pada kami.” Kini suara istri Danurdara yang terdengar. Ibu kesayangan Aruna itu memutuskan ikut ke kantor untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya. “Kami sudah bilang, Johnson siap membeli dengan harga yang lebih tinggi. Jadi bisa dibilang kami ingin membeli saham selain yang kalian pegang sendiri,” ucap sekretarisnya lagi tampak lelah. Ini sudah lebih dari dua jam dia di perusahaan Dan
Suasana di luar ruangan Danurdara tampak riuh. Mereka mulai bergosip tentang kemungkinan-kemungkinana yang terjadi karena tiba-tiba perwakilan perusahaan Johnson datang. Tadi pagi, bagian resepsionis di luar tampak bingung karena ada tamu yang tidak terjadwal. Sekretaris Danurdara sendiri yang akhirnya menyusul rombongan Johnson yang datang. Jadilah berita itu menyebar dengan cepat. “Runa, kamu sungguh tidak tahu apa yang terjadi?” bisik salah satu rekan kerjanya yang duduk di sebelah kursi gadis manis itu. “Tidak tahu.” Aruna juga menjawab dengan wajah serius dan terlihat sedikit khawatir. Pasalnya hampir tiap malam orang tuanya menyuruh gadis itu untuk berkenalan dengan anak laki-laki keluarga Johnson, tapi hari ini mereka malah datang ke kantornya. Aruna merasa ada masalah yang harus dia tahu. “Menurutmu apa yang akan terjadi?” tanya temannya lagi pada Aruna. Dia adalah baru di kantornya yang umurnya tidak jauh dari Aruna, jadi mereka berteman.
Wajah Aruna memerah ketika sampai di rumahnya. Gadis itu membersihkan diri dan merapikan kamar besarnya sambil terus-terusan tersenyum lega. Sepertinya hal buruk tidak akan menimpanya jika dia berhasil memberanikan diri. Gadis itu bermain ponselnya sejenak sebelum turun untuk makan malam bersama keluarganya. Tradisi makan malam di keluarga Danurdara memang seperti itu. Mereka ingin agar suasana keluarga tampak harmonis dan selalu akur. Saat sesi makanlah mereka akan mendiskusikan masalah-masalah. Mulai dari cerita di sehari-hari, masalah kantor, dan lain sebagainya. Ruang makan keluarga Danurdara seolah menjadi tempat konsultasi. Aruna menyukai kebiasaan itu, karena itu membuatnya yang anak tunggal jadi memiliki teman untuk berbagi cerita di rumah. Aruna sudah hidup dengan kebiasaan itu sejak lama, jadilah dia anak yang terbuka dekat dengan kedua orang tuanya. “Bagaimana perkenalanmu dengan Sean tadi, Sayang?” tanya sang ibu setelah melihat anak gadisnya yang c
“Oh, ya? Proyek apa?” Aruna antusias bertanya sambil tersenyum. Gadis itu mengenakan riasan yang sedikit mencolok dibandingkan dengan kemarin. Bibir dan pipinya yang kemerahan sangat cocok dengan wajah putihnya yang ceria. Gadis itu menggerai rambut panjangnya dan mengenakan baju putih dilengkapi vest berwarna biru tua serta celana denim yang tidak ketat. Gadis itu akan ikut dalam kerja lapangan hari ini, jadi dia memakai pakaian yang enak dipakai di luar ruangan. “Nanti ayahmu pasti akan bercerita setelah proyek ini deal,” ujar Sean tersenyum kecil lagi. Gadis yang tingginya hanya mencapai dadanya itu sebenarnya tampak menarik, apalagi wajahnya yang terlihat antusias. Namun Ocean segera sadar dan memudarkan senyumnya. Aruna tidak lebih dari sekedar anak-anak yang baru menginjak dewasa dan senang belajar, tidak ada menariknya. Setelah beberapa percakapan pendek lagi, Aruna akhirnya pamit untuk masuk ke ruang kerjanya. Gadis itu juga menyilakan dua tamu itu untu
“Jadi begitu, saya ingin Ocean dan Aruna dapat saling mengenal lebih jauh dulu,” ujar Kepala keluarga Johnson tersenyum setelah sesi makan malam selesai. Danurdara juga tersenyum mengangguk, berpura-pura ramah. Laki-laki itu memikirkan sebenarnya apa yang direncanakan Johnson sampai bertingkah sejauh ini. Sore tadi, Johnson tiba-tiba meneleponnya dan mengatakan ingin datang berkunjung. Danurdara awalnya menolak karena tahu yang akan dibahas adalah tekait pernikahan anaknya. Tapi Johnson memaksa dan mengatakan Aruna dan Sean harus saling mengenal lebih dulu. Ini adalah langkah awal perkenalan mereka. “Pernikahan dua keluarga besar pasti akan sangat menguntungkan bagi kita. Saya merasa kalau anak saya ini sudah cukup umur dan harus menikah. Danurdara juga harus memiliki penerus perusahaan, kan? Bukankah ini adalah sebuah kesempatan untuk menggabungkan perusahaan kita?” tawar Johnson meyakinkan. “Saya sebenarnya masih bingung kenapa tiba-tiba kalian me
“Wajahmu kenapa ditekuk seperti itu?” tanya Celine setelah duduk di kursi kerjanya, mereka baru pulang dari makan siang di café kantornya.“Aku pusing sekali.” Aruna ikut duduk sambil mengelus kepalanya.“Kamu sakit? Apa tadi salah makan?” Celine tampak panik melihat wajah rekan sebelah mejanya yang pucat.“Tidak tau, aku kan hanya makan salad dan minum kopi?” Gadis itu sekarang memegang perutnya.“Sebaiknya kamu pergi ke ruang perawatan, wajahmu benar-benar pucat sekarang.” Celine memilih menggandeng gadis itu keluar ruangan. Banyak yang bertanya apa yang terjadi, tapi Celine hanya menjawab dengan anak magang ini butuh perawatan.Kabar Aruna yang sedang sakit terdengar sampai ke ruang CEO. Ayahnya tentu saja langsung menuju ruang perawatan khusus staf untuk mengunjungi puteri kesayangannya.“Apa yang terjadi?” tanya laki-laki itu panik.“Mungkin Aruna hanya kelelahan, Ayah,” jawab gadis itu tersenyum. Danurdara tampak cemas, pasalnya anaknya itu tergolong mudah sakit. Tapi mengingat
“Kamu kenapa masih di sini?” Wajah Aruna memerah ketika menatap laki-laki di depannya. Saat ini mereka ada di kamar Aruna. Ocean benar-benar mengantarnya pulang sampai ke rumah. Tentu saja ibu gadis itu langsung heboh begitu melihat Aruna turun dengan wajah pucat digandeng Ocean. Selain khawatir pada anaknya, perempuan paruh baya itu juga bingung bagaimana bisa putrinya mendadak dekat dengan Sean padahal selama ini menolak perjodohan itu.“Ini hanya agar kita terlihat mesra, tidak perlu dipikirkan,” ujar Ocen tanpa menatap gadis itu. Dia tetap sibuk memeriksa ponselnya meski duduk di kasur yang sama dengan Aruna.Aruna menghela napas dan mengangguk, dia segera merebahkan dirinya karena kepalanya mendadak semakin pusing. Gadis itu sadar, harusnya mengusir laki-laki itu dengan segera. Tapi kenyataannya adalah tenaganya benar-benar habis. Ocean melirik gadis yang kini menutup matanya itu sekilas. Laki-laki itu menghembuskan napas dan segera keluar dari kamar. Usahanya tampak mesra dengan
Ocean Mallory Johnson mengedarkan pandangan ke sekeliling. Laki-laki tinggi itu berdiri di atap gedung 20 lantai dengan menggenggam segelas kopi hangat. Ia memandang hamparan kegiatan kota yang sibuk dan pemandangan kantor-kantor lain yang tinggi menjulang. Jauh di ujung sana, dia juga melihat kantornya yang juga tinggi. Udara tidak terlalu bagus, bahkan awan di atasnya juga tidak biru. Laki-laki dengan jas biru tua itu segera kembali masuk ke dalam cafe dan duduk dengan nyaman.Janji bertemunya dengan Aruna kemarin telah disetujui. Pria itu menunggu calon kekasih palsunya itu selesai dengan pekerjaan anak magangnya. Mereka berjanji untuk bertemu di atap kantor Danurdara sebelum akhirnya pergi makan malam bersama. Sebenarnya, Ocean bingung mau mengajak ke mana atau hendak mengatakan apa nanti. Namun laki-laki itu tampak tidak gentar sama sekali. Ia sangat yakin ini mudah karena tidak ada perasaan apa pun yang tumbuh di dalam dirinya.Di meja tempatnya menunggu kini sudah ada buket bun
“Kalian sungguh akan menikah?” Mata Celine berbinar melihat undangan pernikahan yang tersebar di grup divisi.“Iya,” jawab Aruna. Sejak pagi, gadis itu sudah menerima ratusan ucapan selamat dari orang-orang di kantornya. Semalam, pihak Johnson sudah menyebarkan undangan pernikahan kepada para pekerja di dua perusahaan. Undangan itu juga sebagai pertanda bahwa penggabungan Johnson dan Danurdara akan semakin dekat.“Padahal sepertinya baru kemarin kalian makan bersama, kenapa tiba-tiba menikah?” tanya Celine tertawa, gadis itu berusaha bercanda.“Entahlah,” Aruna tersenyum kecil dan mengangkat bahu.Menatap banyaknya ucapan selamat di ponselnya membuat gadis itu tersenyum getir. Beberapa hari lagi dia akan menikah dengan Ocean. Laki-laki yang bahkan kemarin sore masih terlihat berciuman dengan seorang wanita setelah mengaku tidak punya kekasih di depan keluarga besar. Aruna tidak percaya nanti dia akan mencoba baju pengantin dan menunjukkan pada laki-laki yang tidak akan pernah menjadi
“Sayang, sudah waktunya makan malam.” Suara itu membangunkan Aruna dari tidur. Ketukan di pintunya semakin kencang. Aruna tau, kini ibunya ada di depan pintu dengan khawatir. Sebab, pintu kamar yang biasanya hanya ditutup biasa, kini terkunci rapat.Aruna menghela napas panjang dan pergi ke kamar mandi sebentar untuk membersihkan wajahnya. Gadis manis itu menyesal sudah tidur dalam keadaan menangis, kini wajahnya tampak bengkak. Beberapa saat kemudian, Aruna keluar dan mendapati ibunya mondar mandir di depan kamarnya.“Apa yang terjadi? Kenapa kamu menangis?” tanya ibunya semakin panik.“Tidak apa-apa, Bu.” Aruna tersenyum dan memilih berjalan menuju ruang makan. Sebenarnya, gadis itu tidak ingin pergi makan malam, tapi gadis itu yakin ibunya akan mendobrak pintu itu jika dia tidak muncul.Aruna tidak menjawab semua pertanyaan ayah dan ibunya ketika waktu makan. Namun, mereka menduga bahwa tangisan Aruna hari ini adalah karena pernikahannya yang semakin dekat. Tadi gadis itu pulang de
Wajah Aruna mendadak berubah pucat. Gadis itu kini dibiarkan duduk berdua dengan laki-laki yang telah mencari kekasih pura-puranya. Pestanya belum usai, mereka hanya ditempatkan berdua agar orang tua mereka bisa berkeliling. Ocean sebenarnya hendak ikut, sebab tentu saja penerus keluarga Johnson itu harus mengenal lebih banyak orang. Sayangnya, kali ini ayahnya menyuruhnya duduk bersama kekasihnya tanpa perlu melakukan apa pun.Ocean tidak melakukan pembicaraan sedikit pun dan hanya memeriksa ponselnya serta beberapa kali menyapa orang. Aruna juga sebenarnya harus berkeliling bersama ayahnya. Posisinya sebagai anak magang saat ini memang tidak terlalu terlihat, meski begitu Aruna tetaplah anak pemilik perusahaan Danurdara.“Haruskah kita ikut berkeliling dan berbincang dengan mereka?” tanya Aruna memutus rasa hening yang sejak tadi ada pada mereka.“Tidak perlu,” jawab Sean masih memandang ponselnya.“Tapi bukankah kita harus membangun relasi juga?” Aruna bertanya lagi.“Iya, tapi seh
Waktu berlalu presentasi telah selesai dilakukan. Acara kini berganti dengan makan malam dan bincang-bincang biasa. Suasana saat ini justru tampak seperti sebuah pesta. Aruna terus mengkuti ayahnya kemana pun dia pergi. Gadis itu juga tidak sungkan untuk mencicipi beberapa camilan yang disediakan. Gadis itu sempat berpikir untuk menjalin relasi dengan pengusaha yang bergerak di bidang makanan, lalu mencoba untuk berbisnis bersama.“Wah, lama tidak berjumpa, Aruna!” sapa seseorang membuat fokus gadis itu beralih. Aruna sedikit terkejut dan segera menyalami tangan laki-laki di depannya.“Kamu kemana saja?” Danurdara ikut antusias dengan orang yang menyapa anaknya tadi.“Aku ikut anakku di luar negeri, rindu sekali rasanya.” Laki-laki itu tersenyum sumringah, akhirnya bisa bertemu lagi dengan kawan lamanya.“Astaga, apa yang kalian lakukan di sana? Perusahaan Nalendra bahkan hampir tidak terdengar di perkumpulan lagi,” ujar Danurdara tertawa.“Anakku itu sedang menempuh studi, jadi sekal
“Wah siapa itu?” Suara Celine mengagetkan Aruna yang tengah duduk di kursinya sambil memandangi ponselnya. Mereka baru saja istirahat makan siang dan akan segera bekerja lagi.“Kekasihku,” ujar Aruna tersenyum.Celine membulatkan bola matanya, tadi yang dia lihat memang foto seorang laki-laki dan perempuan sedang berdiri sambil memegang buket bunga.“Kamu sungguh punya kekasih?” Celine terkejut, suaranya bahkan terdengar oleh orang lain yang membuat Aruna sibuk menutup mulut temannya itu.“Ya, bisa dianggap begitu. Ini baru hari kedua kami menjalin hubungan,” ungkap Aruna mengangkat bahu. Foto itu mereka ambil kemarin, alasannya karena ingin menunjukkan pada orang tua mereka.“Ini si Johnson itu, kan? Dia yang selalu datang ke kantor ini, kan?” Gadis dengan rambut sebahu itu masih menunjuk-nunjuk ponsel pintar Aruna yang masih menunjukkan foto itu karena Celine masih ingin melihat lebih lama.“Iya.”Jawaban Aruna langsung membuat Celine duduk di kursinya sambil menutup mulut. Gadis it
“Aruna,” panggil Ocean membuat gadis itu menatapnya.“Ya?” Perempuan itu hanya diam sebentar dan menatap lebih lekat pada laki-laki di harapannya.“Kamu sudah bisa menebak apa yang akan saya bicarakan saat ini?” tanya Ocean, gadis itu menggeleng kecil. Dia sedikit bisa menebak, tapi tidak berani mengatakannya.“Terkait pernikahan kita, apa kamu sudah memikirkannya?” tanya Ocean lagi.“Sudah, tapi sepertinya kita perlu saling mengenal lebih jauh satu sama lain,” jawab gadis itu kembali menundukkan kepalanya.“Saya sepertinya hanya punya waktu sampai bulan depan kalau terus menunggu, kamu sudah membaca kontrak yang saya kirimkan?” Ocean membuka kembali ponselnya, membaca file yang ia kirimkan pada Aruna tempo hari.“Iya.” Aruna mengangguk. Gadis itu benar-benar tidak percaya ketika Ocean mengirimkan berkas perjanjian yang akan mereka setujui. Aruna semalaman membaca berulang-ulang file tersebut.“Bagaimana menurutmu? Apa kita tidak bisa saling mengenal selama pernikahan itu? Kita hanya
Ocean Mallory Johnson mengedarkan pandangan ke sekeliling. Laki-laki tinggi itu berdiri di atap gedung 20 lantai dengan menggenggam segelas kopi hangat. Ia memandang hamparan kegiatan kota yang sibuk dan pemandangan kantor-kantor lain yang tinggi menjulang. Jauh di ujung sana, dia juga melihat kantornya yang juga tinggi. Udara tidak terlalu bagus, bahkan awan di atasnya juga tidak biru. Laki-laki dengan jas biru tua itu segera kembali masuk ke dalam cafe dan duduk dengan nyaman.Janji bertemunya dengan Aruna kemarin telah disetujui. Pria itu menunggu calon kekasih palsunya itu selesai dengan pekerjaan anak magangnya. Mereka berjanji untuk bertemu di atap kantor Danurdara sebelum akhirnya pergi makan malam bersama. Sebenarnya, Ocean bingung mau mengajak ke mana atau hendak mengatakan apa nanti. Namun laki-laki itu tampak tidak gentar sama sekali. Ia sangat yakin ini mudah karena tidak ada perasaan apa pun yang tumbuh di dalam dirinya.Di meja tempatnya menunggu kini sudah ada buket bun
“Kamu kenapa masih di sini?” Wajah Aruna memerah ketika menatap laki-laki di depannya. Saat ini mereka ada di kamar Aruna. Ocean benar-benar mengantarnya pulang sampai ke rumah. Tentu saja ibu gadis itu langsung heboh begitu melihat Aruna turun dengan wajah pucat digandeng Ocean. Selain khawatir pada anaknya, perempuan paruh baya itu juga bingung bagaimana bisa putrinya mendadak dekat dengan Sean padahal selama ini menolak perjodohan itu.“Ini hanya agar kita terlihat mesra, tidak perlu dipikirkan,” ujar Ocen tanpa menatap gadis itu. Dia tetap sibuk memeriksa ponselnya meski duduk di kasur yang sama dengan Aruna.Aruna menghela napas dan mengangguk, dia segera merebahkan dirinya karena kepalanya mendadak semakin pusing. Gadis itu sadar, harusnya mengusir laki-laki itu dengan segera. Tapi kenyataannya adalah tenaganya benar-benar habis. Ocean melirik gadis yang kini menutup matanya itu sekilas. Laki-laki itu menghembuskan napas dan segera keluar dari kamar. Usahanya tampak mesra dengan
“Wajahmu kenapa ditekuk seperti itu?” tanya Celine setelah duduk di kursi kerjanya, mereka baru pulang dari makan siang di café kantornya.“Aku pusing sekali.” Aruna ikut duduk sambil mengelus kepalanya.“Kamu sakit? Apa tadi salah makan?” Celine tampak panik melihat wajah rekan sebelah mejanya yang pucat.“Tidak tau, aku kan hanya makan salad dan minum kopi?” Gadis itu sekarang memegang perutnya.“Sebaiknya kamu pergi ke ruang perawatan, wajahmu benar-benar pucat sekarang.” Celine memilih menggandeng gadis itu keluar ruangan. Banyak yang bertanya apa yang terjadi, tapi Celine hanya menjawab dengan anak magang ini butuh perawatan.Kabar Aruna yang sedang sakit terdengar sampai ke ruang CEO. Ayahnya tentu saja langsung menuju ruang perawatan khusus staf untuk mengunjungi puteri kesayangannya.“Apa yang terjadi?” tanya laki-laki itu panik.“Mungkin Aruna hanya kelelahan, Ayah,” jawab gadis itu tersenyum. Danurdara tampak cemas, pasalnya anaknya itu tergolong mudah sakit. Tapi mengingat