“Jadi begitu, saya ingin Ocean dan Aruna dapat saling mengenal lebih jauh dulu,” ujar Kepala keluarga Johnson tersenyum setelah sesi makan malam selesai. Danurdara juga tersenyum mengangguk, berpura-pura ramah. Laki-laki itu memikirkan sebenarnya apa yang direncanakan Johnson sampai bertingkah sejauh ini.
Sore tadi, Johnson tiba-tiba meneleponnya dan mengatakan ingin datang berkunjung. Danurdara awalnya menolak karena tahu yang akan dibahas adalah tekait pernikahan anaknya. Tapi Johnson memaksa dan mengatakan Aruna dan Sean harus saling mengenal lebih dulu. Ini adalah langkah awal perkenalan mereka.
“Pernikahan dua keluarga besar pasti akan sangat menguntungkan bagi kita. Saya merasa kalau anak saya ini sudah cukup umur dan harus menikah. Danurdara juga harus memiliki penerus perusahaan, kan? Bukankah ini adalah sebuah kesempatan untuk menggabungkan perusahaan kita?” tawar Johnson meyakinkan.
“Saya sebenarnya masih bingung kenapa tiba-tiba kalian memilih anak kami? Bukankah masih banyak keluarga besar lain yang bisa lebih menguntungkan kalian?” tanya ibu Aruna. Mereka berusaha menutupi kebenaran dari Aruna tentang taruhan ayahnya itu. Mereka berharap Johnson dapat berpura-pura membuat alasan logis tanpa menyinggung hal tersebut.
“Benar, anak laki-laki pertamaku ini juga sangat populer di kalangan para pengusaha. Tapi setelah menilik lebih jauh, hanya keluarga Danurdara yang bersih dan kami rasa cocok dengan keluarga Johnson. Lagi pula, sepertinya tidak ada anak pengusaha lain yang secantik Aruna, kan?” Kepala keluarga Johnson tersenyum dan menoleh pada istri dan anaknya. Istrinya mengangguk, tapi Sean hanya menatap datar. Aruna bergidik ngeri mendengar pujian itu. Entah kenapa, dia tidak senang. Bahkan dia jadi tidak napsu makan setelah kedatangan mereka ke rumahnya.
“Bagaimana menurut kalian?”
“Aku tidak terlalu keberatan, tapi semua itu tergantung keputusan Aruna,” jawab Danurdara menghela napas menatap puterinya. Dalam hatinya, dia masih sangat menyesal harus berpura-pura seperti ini.
“Saya sepertinya tidak bisa melakukan itu,” ujar Aruna langsung membuat orang-orang di meja membulatkan mata. Penolakan langsungnya terdengar sangat tegas.
“Ada yang salah, Aruna?” Kepala keluarga Johnson itu bertanya lagi.
“Kemarin kami sempat makan siang bersama dan ada sedikit pembahasan terkait ini. Namun Tuan Sean mengaku kalau dia memiliki kekasih, saya tidak mungkin mau menjadi orang yang merebut milik orang lain,” terang Aruna membungkuk. Johnson saling pandang sejenak. Ada tatapan tidak suka dari Johnson pada Sean, tapi segera kembali memasang wajah ramah dan menatap Danurdara dan puterinya.
“Maaf, kemarin saya berbohong dan mengatakan hal tidak mengenakkan seperti itu. Saya tidak berpikir panjang saat mengatakannya kemarin.” Sean menghela napas dan membungkuk menatap Aruna. Gadis itu semakin bingung. Belum apa-apa saja sudah dibohongi.
“Lalu bagaimana denganmu, Sean?” tanya Danurdara.
“Saya tidak keberatan untuk mengenal Aruna lebih jauh. Kalau untuk pernikahan, saya akan biarkan Aruna yang memutuskan,” ujar laki-laki itu menatap Aruna sambil tersenyum tipis. Gadis itu terlihat menggeleng kecil dengan tatapan yang tidak nyaman. Tapi tidak ada yang menyadarinya.
“Baiklah kalau begitu, kalian segeralah bertukar nomor ponsel lalu sering-sering jalan berdua. Kalau kalian setuju mau menikah, kami bisa mengadakan pesta pernikahan itu bulan depan. ” Johnson tampak antusias, lalu segera mengangkat minuman dingin di gelasnya. Laki-laki itu mendekatkan gelasnya pada Danurdara sebagai bentuk kesepakatan, lalu mereka menempelkan gelasnya dan segera meneguk minuman dingin itu.
“Hah … kenapa cepat sekali?” Aruna mengeluh pelan, tapi Sean dapat mendengarnya.
Keluarga Johnson sudah berpindah ke taman belakang rumah, mereka mulai membicarakan hal-hal tentang perusahaan. Itu semakin membuat Aruna jengah karena tidak diizinkan kembali ke kamar dan hanya duduk di dekat kolam renang bersama Sean.
“Anda sungguh tidak ingin menikah?” Suara berat Sean membuat gadis itu menoleh. Itu percakapan pertama mereka setelah bertukar nomor telepon tadi.
“Saya belum pernah memikirkan itu, apakah anda sudah memikirkannya?” sahut Aruna.
“Ayah saya yang menyuruh, jadi saya harus melakukannya.” Laki-laki itu memandang jauh ke arah ayahnya dan Danurdara yang tiba-tiba terlihat akrab. Dia sungguh tidak mengerti maksud ayahnya.
“Aneh, padahal kan anda akan menikah dengan orang yang tidak anda cintai, harusnya anda bisa menolaknya.” Hanya ada senyuman yang diberikan Sean pada ucapan Aruna. Gadis itu tidak tahu apa-apa.
“Anda benar-benar tidak memiliki kekasih?” tanya gadis itu lagi.
“Anda sendiri bagaimana?” balas Sean balik bertanya.
“Saya sih memang tidak punya, dulu kekasih terakhir saya saat saya usia 20 tahunan dan masih berkuliah,” jawab Aruna. Ada sedikit rasa terkejut dalam diri Sean karena perempuan di sampingnya itu mudah sekali terbuka padanya.
“Oh begitu, lalu apakah anda bisa menikah dengan orang yang anda tidak sukai?” tanya Sean lagi. Entah kenapa situasi ini malah terlihat seperti sesi tanya jawab.
“Sepertinya tidak, tapi entahlah. Rasa suka bisa tumbuh karena terbiasa, kan?” gumam Aruna menyangga dagunya dengan tangan. Dia tidak menyangka akan ada masa dimana dia dijodohkan seperti di cerita-cerita novel.
“Kalau dipaksa menikah bagaimana? Misalnya dengan saya.” Sean menatap gadis itu lamat-lamat.
“Entahlah, saya terpikir untuk kabur dan lanjut kuliah di luar negeri. Jangan bilang pada orang tua saya, ya?” Aruna terkekeh kecil setelah mengungkapkan jawabannya, laki-laki di sampingnya juga tersenyum. Gadis ini tampak menyenangkan. Lalu ada hening sesaat, mereka asyik dengan pikirannya masing-masing.
“Mau buat kesepakatan dengan saya, Aruna?” tanya laki-laki itu membuyarkan pikiran Aruna. Gadis itu menoleh dan menatap bingung, Sean saat ini sudah kembali dengan wajahnya yang datar dan kaku khas pebisnis yang siap melakukan negosiasi.
“Wajahmu kenapa ditekuk seperti itu?” tanya Celine setelah duduk di kursi kerjanya, mereka baru pulang dari makan siang di café kantornya.“Aku pusing sekali.” Aruna ikut duduk sambil mengelus kepalanya.“Kamu sakit? Apa tadi salah makan?” Celine tampak panik melihat wajah rekan sebelah mejanya yang pucat.“Tidak tau, aku kan hanya makan salad dan minum kopi?” Gadis itu sekarang memegang perutnya.“Sebaiknya kamu pergi ke ruang perawatan, wajahmu benar-benar pucat sekarang.” Celine memilih menggandeng gadis itu keluar ruangan. Banyak yang bertanya apa yang terjadi, tapi Celine hanya menjawab dengan anak magang ini butuh perawatan.Kabar Aruna yang sedang sakit terdengar sampai ke ruang CEO. Ayahnya tentu saja langsung menuju ruang perawatan khusus staf untuk mengunjungi puteri kesayangannya.“Apa yang terjadi?” tanya laki-laki itu panik.“Mungkin Aruna hanya kelelahan, Ayah,” jawab gadis itu tersenyum. Danurdara tampak cemas, pasalnya anaknya itu tergolong mudah sakit. Tapi mengingat
“BERAPA KALI ARUNA BILANG, ARUNA TIDAK MAU!” Suara gadis itu menggelegar di ruang makan. Dia hanya menyentuh dua sendok nasi dan langsung tidak berselera makan. Lagipula kenapa ayahnya itu membicarakan perjodohan saat makan seperti ini? “Sayang … kamu cobalah berkenalan dulu dengan dia, ya?” Suara laki-laki paruh baya itu tampak melas. Dia juga terlihat sedikit pucat. Bukan, laki-laki itu bukan tengah sekarat dan mengharapkan segera menimang cucu. Pria dengan nama Danurdara itu baru saja memberanikan diri bicara pada anak sematawayangnya tentang perjodohan setelah dimarahi habis-habisan oleh sang istri. Bukan tanpa alasan, laki-laki itu baru saja melakukan kesalahan yang membuat hartanya terkuras hanya dalam satu malam. “Kamu tidak punya kekasih, kan?” bujuk ayahnya lagi. “Iya, tapi usia Runa masih 24 tahun, perjalanan Runa masih panjang dan tidak mau menikah!” ujar gadis itu semakin ketus. Dia mencoba mencari pembelaan ibunya, tapi wanita anggun it
Seminggu berlalu, Danurdara benar-benar seperti siap mati berdiri. Johnson benar-benar mengirim orang kepercayaannya ke kantornya untuk menagih janji atas kesombongan Danurdara. Tidak ada keributan di kantor, yang orang-orang tahu dua perusahaan besar itu hanya akan bekerja sama. “Bagaimana? Sudah siap tanda tangan kontrak, Tuan Danurdara?” Suara sekretaris Johnson terdengar semakin mendesak. Pasalnya dari tadi Danurdara hanya berputar-putar di tempatnya karena kebingungan. “Tapi pemegang saham Danurdara kan ada beberapa orang, dan mereka belum mau memberikannya lagi pada kami.” Kini suara istri Danurdara yang terdengar. Ibu kesayangan Aruna itu memutuskan ikut ke kantor untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya. “Kami sudah bilang, Johnson siap membeli dengan harga yang lebih tinggi. Jadi bisa dibilang kami ingin membeli saham selain yang kalian pegang sendiri,” ucap sekretarisnya lagi tampak lelah. Ini sudah lebih dari dua jam dia di perusahaan Dan
Suasana di luar ruangan Danurdara tampak riuh. Mereka mulai bergosip tentang kemungkinan-kemungkinana yang terjadi karena tiba-tiba perwakilan perusahaan Johnson datang. Tadi pagi, bagian resepsionis di luar tampak bingung karena ada tamu yang tidak terjadwal. Sekretaris Danurdara sendiri yang akhirnya menyusul rombongan Johnson yang datang. Jadilah berita itu menyebar dengan cepat. “Runa, kamu sungguh tidak tahu apa yang terjadi?” bisik salah satu rekan kerjanya yang duduk di sebelah kursi gadis manis itu. “Tidak tahu.” Aruna juga menjawab dengan wajah serius dan terlihat sedikit khawatir. Pasalnya hampir tiap malam orang tuanya menyuruh gadis itu untuk berkenalan dengan anak laki-laki keluarga Johnson, tapi hari ini mereka malah datang ke kantornya. Aruna merasa ada masalah yang harus dia tahu. “Menurutmu apa yang akan terjadi?” tanya temannya lagi pada Aruna. Dia adalah baru di kantornya yang umurnya tidak jauh dari Aruna, jadi mereka berteman.
Wajah Aruna memerah ketika sampai di rumahnya. Gadis itu membersihkan diri dan merapikan kamar besarnya sambil terus-terusan tersenyum lega. Sepertinya hal buruk tidak akan menimpanya jika dia berhasil memberanikan diri. Gadis itu bermain ponselnya sejenak sebelum turun untuk makan malam bersama keluarganya. Tradisi makan malam di keluarga Danurdara memang seperti itu. Mereka ingin agar suasana keluarga tampak harmonis dan selalu akur. Saat sesi makanlah mereka akan mendiskusikan masalah-masalah. Mulai dari cerita di sehari-hari, masalah kantor, dan lain sebagainya. Ruang makan keluarga Danurdara seolah menjadi tempat konsultasi. Aruna menyukai kebiasaan itu, karena itu membuatnya yang anak tunggal jadi memiliki teman untuk berbagi cerita di rumah. Aruna sudah hidup dengan kebiasaan itu sejak lama, jadilah dia anak yang terbuka dekat dengan kedua orang tuanya. “Bagaimana perkenalanmu dengan Sean tadi, Sayang?” tanya sang ibu setelah melihat anak gadisnya yang c
“Oh, ya? Proyek apa?” Aruna antusias bertanya sambil tersenyum. Gadis itu mengenakan riasan yang sedikit mencolok dibandingkan dengan kemarin. Bibir dan pipinya yang kemerahan sangat cocok dengan wajah putihnya yang ceria. Gadis itu menggerai rambut panjangnya dan mengenakan baju putih dilengkapi vest berwarna biru tua serta celana denim yang tidak ketat. Gadis itu akan ikut dalam kerja lapangan hari ini, jadi dia memakai pakaian yang enak dipakai di luar ruangan. “Nanti ayahmu pasti akan bercerita setelah proyek ini deal,” ujar Sean tersenyum kecil lagi. Gadis yang tingginya hanya mencapai dadanya itu sebenarnya tampak menarik, apalagi wajahnya yang terlihat antusias. Namun Ocean segera sadar dan memudarkan senyumnya. Aruna tidak lebih dari sekedar anak-anak yang baru menginjak dewasa dan senang belajar, tidak ada menariknya. Setelah beberapa percakapan pendek lagi, Aruna akhirnya pamit untuk masuk ke ruang kerjanya. Gadis itu juga menyilakan dua tamu itu untu