Sepasang manusia duduk di bangku panjang dengan posisi berjauhan. Tidak ada seorang pun yang berbicara dan larut dalam pikiran masing-masing.
Bila Farzan tengah menyusun kalimat untuk menerangkan maksudnya, Tanti berdiam diri karena menunggu lelaki berparas manis mengucapkan kata-kata.
"Apa kamu sudah tahu, kalau kita dijodohkan?" tanya Farzan memecahkan kesunyian.
"Ehm, ya," sahut Tanti.
"Bagaimana menurutmu?"
"Aku nggak tahu, Mas. Sekarang masih kaget."
"Aku nggak bisa menerimanya. Bukan karena kamu, tapi aku sudah punya calon sendiri."
Tanti tertegun sejenak, kemudian mengangguk. "Ya, Mas. Aku paham. Nggak apa-apa."
"Bisa bantu aku buat meyakinkan orang tua?"
"Maksudnya?"
"Kamu menjelaskan kalau kamu juga menolak perjodohan."
Tanti mendengkus. "Walaupun kurang yakin akan berhasil, tapi aku ingin mencobanya."
"Makasih."
"Ehm."
Suasana kembali hening. Keduanya sama-sama memandang ke depan seolah-olah dedaunan yang gugur ke bumi sangatlah menarik. Detik terjalin menjadi menit, sebelum akhirnya Farzan menoleh ke kiri untuk mengamati perempuan muda yang beberapa kali bertemu dengannya di berbagai tempat.
"Apa kamu punya pacar?" tanya Farzan yang berhasil mengejutkan Tanti.
"Enggak ada," jawab perempuan bergaun krem motif bunga-bunga kecil beraneka warna.
"Tidak mencari?"
"Sedang ingin sendiri."
"Semoga segera bertemu."
Tanti melirik sekilas, kemudian mengulaskan senyuman yang menyebabkan wajahnya kian elok dan membuat Farzan terpana. "Ya, Mas. Terima kasih," ungkapnya.
Lelaki berkemeja putih motif garis-garis abu-abu memanjang, mengecek arloji di pergelangan tangan kiri. "Aku harus kembali ke ruangan," tuturnya.
Tanti tidak menyahut dan hanya mengangguk mengiakan. Keduanya sama-sama berdiri, lalu melangkah menuju ruang ICU. Mereka tetap diam hingga tiba di tempat yang makin ramai oleh kehadiran kerabat Haedar.
Saad berpamitan pada Farzan, Irshad dan Jihan, kemudian mengajak istri dan putrinya menyusuri lorong panjang menuju tempat parkir. Farzan memandangi ketiga orang tersebut hingga sosok mereka lenyap di belokan.
*** Hari berganti hari. Kondisi kesehatan Haedar yang masih belum membaik menjadikan keluarganya resah. Nuri nyaris tidak berpindah dari ruang perawatan. Dia baru keluar untuk salat ataupun mandi bila Jihan dan Irshad datang.Farzan tidak bisa setiap saat mengunjungi ayahnya karena harus mengendalikan bisnis mereka di bidang hotel dan restoran. Dia baru akan datang malam hari dan menginap di sana untuk menemani ibunya.
Malam itu, Farzan datang dan terkejut saat Nuri mengatakan bila Haedar meminta bertemu dengannya. Pria berusia dua puluh delapan tahun bergegas mencuci tangan, kemudian mengenakan pakaian khusus sebelum memasuki ruang ICU.
Farzan berhenti di sebelah kanan ranjang Haedar. Dia duduk di kursi dan mencium punggung tangan sang ayah dengan takzim. Setelah menegakkan badan, pria berkulit kecokelatan menyunggingkan senyuman, untuk menutupi kegundahan hatinya karena menyaksikan kondisi Haedar yang memprihatinkan.
"Ayah," panggil Farzan. "Tadi Ibu bilang, Ayah mau bicara denganku," tuturnya.
"Ya," bisik Haedar. "Ayah memintamu untuk mau menikah dengan Tanti," terangnya yang mengejutkan sang putra.
"Tapi, Yah. Aku ...."
"Ayah belum pernah meminta apa pun darimu. Tolong penuhi yang ini. Mungkin saja ini permintaan terakhir Ayah."
"Ayah jangan bilang gitu. Pasti bisa sembuh dan sehat seperti dulu."
"Kalau kamu mengerjakan permintaan Ayah, maka Ayah akan berusaha keras untuk sembuh."
Farzan terpaku. Dia bimbang dalam menemukan sikap. Pada satu sisi dia masih ingin bersikeras menikahi Ristin. Namun, Farzan tahu dia tidak bisa mendahulukan kepentingan pribadi di saat ayahnya tengah sakit.
Lelaki berkemeja abu-abu lengan pendek menarik napas dalam-dalam dan melepaskannya perlahan. Dia menunduk sambil memejamkan mata. Bayangan wajah Ristin berkelebat dalam benaknya. Menyebabkan Farzan benar-benar bingung.
Sentuhan di tangan memaksa Farzan menengadah dan membuka mata. Hatinya terenyuh ketika menyaksikan sorot mata penuh harap dari pria tua. Farzan tahu dia tidak bisa mengabaikan keinginan Haedar. Namun, dia juga tidak mau mengecewakan Ristin yang telah menguasai hatinya sejak setahun silam.
"Ya, aku mau memenuhi permintaan Ayah, tapi, aku juga tetap akan menikahi Ristin!" tegas Farzan yang mengagetkan pria tua. "Aku rasa itu adil, Yah. Permintaan Ayah terpenuhi, dan aku juga bisa terus bersama Ristin," sambungnya.
"Kamu mau poligami?" tanya Haedar sembari memandangi putranya saksama.
"Terpaksa, Yah. Aku tidak mau mengecewakan Ayah dan hanya itu jalan satu-satunya agar semua pihak senang."
"Poligami itu berat, Nak."
"Aku tahu. Aku akan berusaha adil. Nanti kupikirkan gimana teknisnya."
Haedar terdiam. Dia benar-benar tidak menduga anaknya mengambil keputusan itu. "Apa kamu pikir Tanti dan keluarganya akan setuju?"
"Aku akan menemui Tanti besok. Kami akan berembuk tentang ini. Kalau dia menolak, berarti perjodohan batal. Kalau dia mau terima, dia harus siap dimadu."
"Ayah tidak yakin Mas Saad mau anaknya dipoligami."
"Beliau tidak perlu tahu."
"Tidak bisa begitu."
"Aku akan menikahi Tanti terlebih dahulu. Setelah sebulan, baru aku menikahi Ristin, tentu saja dengan izin dari Tanti." Farzan memajukan badan, kemudian berbisik, "Aku tidak akan menyentuh Tanti. Bila nantinya di perjalanan pernikahan kami dia bosan, atau jatuh cinta dengan pria lain, maka aku akan melepaskannya dalam kondisi masih suci."
Sementara itu, orang yang tengah dibicarakan, sedang memandangi laptop di mejanya. Meskipun tatapannya mengarah pada layar komputer jinjing, tetapi pikirannya terpecah. Pria yang pernah mendapatkan cintanya telah kembali dari tugas di Jepang, dan mengajaknya bertemu esok hari.
Tanti ragu-ragu untuk menemui Yosrey, terutama karena takut hatinya kembali sakit setelah sempat dikecewakan beberapa bulan silam. Merasa tidak bisa berkonsentrasi, akhirnya perempuan berbaju hijau muda dengan aksen pita di dekat dada memutuskan berhenti bekerja.
Dia melirik pergelangan tangan kanan, kemudian mematikan laptop. Tanti mengemasi meja kerja dan memasukkan barang-barang ke tasnya. Dia berpindah ke depan cermin besar yang tergantung di dinding. Setelah merapikan rambut dan baju, Tanti meraih tas dan berjalan keluar dari ruang kerjanya.
Puluhan menit berlalu, Tanti sudah berada di mobil sedan putihnya. Kondisi jalan raya Kota Bandung malam itu cukup lengang sehingga Tanti bisa menambah kecepatan kendaraan. Dia menghentikan kendaraan di depan sebuah mini swalayan karena hendak membeli sesuatu.
Setelah memarkirkan mobil, Tanti turun dan tidak lupa menutup pintu kendaraan. Dia melenggang memasuki tempat yang sepi, kemudian mengambil keranjang sebelum menyusuri rak demi rak.
Seorang pria memasuki mini swalayan dan langsung menuju ke lemari pendingin. Dia tertegun menyaksikan seorang perempuan yang tengah berdiri di depan salah satu lemari pendingin.
"Antara tiramisu dan avocado, kupikir enakan yang cokelat," tukas pria berjaket hitam yang mengejutkan Tanti.
Perempuan berhidung kecil spontan menoleh ke kiri. Tanti terpaku menyaksikan orang yang tadi sempat dipikirkan, ternyata telah berada di hadapannya.
"Enggak nyangka kita bisa ketemu di sini," tutur Yosrey sembari mengamati perempuan berambut sebahu lekat-lekat. "Apa kabar?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kanan. Tanti memandangi tangan lelaki di hadapannya sesaat, sebelum menjabatnya secara asal dan segera menariknya. "Kabarku, cukup baik," sahutnya. Perempuan berhidung bangir mengalihkan perhatian pada deretan minuman, kemudian mengambil beberapa botol rasa yang menjadi kesukaannya. Tanti menutup pintu lemari pendingin, lalu berbalik dan hendak menjauh. "Ti, bisa kita bicara sebentar?" tanya Yosrey. Tanti berhenti. "Ini sudah malam, Mas. Aku harus buru-buru pulang," terangnya tanpa menoleh. "Kalau begitu, besok saja. Sesuai perjanjian kita." "Aku nggak ada janji. Aku cuma bilang akan memikirkannya." "Ini benar-benar penting, Ti. Waktuku juga nggak lama di sini. Bulan depan aku harus kembali ke Jepang." Yosrey berpindah ke samping kanan dan memegangi lengan perempuan berkulit kuning langsat yang seketika menjengit. "Hany
Seorang pria yang berada di dalam mobil SUV abu-abu, mengamati sepasang manusia yang tengah mengobrol di teras kafe. Dia mengerutkan dahi karena tidak mengenali lelaki berperawakan sedang yang tengah berbincang dengan Tanti. Yosrey terus memandangi pria yang akhirnya berbalik dan jalan menuju tempat parkir. Dia benar-benar tidak mengetahui siapa lelaki tersebut. Yosrey penasaran tentang sosok itu sekaligus alasannya bertemu Tanti. Seunit mobil MPV hitam melintas di depan mobil Yosrey. Lelaki berkemeja krem memastikan mobil itu menjauh, sebelum membuka pintu kendaraannya dan turun. Yosrey spontan merapikan rambut dan pakaiannya, sebelum mengayunkan tungkai menyambangi perempuan berambut sebahu yang tampak terkejut melihatnya datang. "Aku kirim chat dan meneleponmu beberapa kali, tetapi tidak dijawab," tutur Yosrey, sesaat setelah tiba di dekat Tanti. "Ehm, ponselnya lagi di-charge di ruang kerja. Aku tengah menemui tamu," jelas Tanti. "Siapa pria yang tadi?" Tanti terdiam sesaat
Jalinan waktu terus berjalan. Masa yang diberikan Farzan untuk berpikir, hampir tiba. Hal itu menyebabkan Tanti gelisah dan sulit berkonsentrasi. Kegundahan hati Tanti kian bertambah karena Yosrey berulang kali mendatanginya di kafe. Pria berkumis tipis tidak berani berkunjung ke rumahnya karena pasti tidak akan disukai orang tua Tanti. Sore itu, perempuan berambut sebahu baru selesai bekerja. Dia tengah mengemasi meja ketika ponselnya berdering. Tanti melirik pada benda yang tengah diisi daya di samping kanan. Dia segera mencabut kabel untuk mengangkat ponsel dan menerima panggilan. "Assalamualaikum," sapa Farzan."Waalaikumsalam," jawab Tanti. "Maaf ganggu. Tapi ini benar-benar urgent." "Ya, Mas. Nggak apa-apa." Tanti terdiam sesaat, lalu bertanya, "Ada yang bisa kubantu?" "Ayah menolak makan dari pagi. Walaupun udah pakai infusan, tetap saja kami khawatir." "Astaghfirullah." "Apa kamu ada waktu? Maksudku, untuk datang dan menemui beliau." Tanti melirik pergelangan tangan k
Sambutan hangat Nuri pada Tanti, mengingatkan Farzan akan sambutan berbeda ibunya pada Ristin tempo hari. Pria berkemeja marun mendengkus pelan menyaksikan bagaimana senangnya Nuri karena didatangi Tanti. Farzan mengamati kala perempuan bersetelan blazer biru mendatangi Haedar dan menyalaminya dengan takzim. Farzan kembali membatin jika sang ayah juga terlihat senang dengan kedatangan anak sahabatnya. Percakapan ringan dilakukan Tanti dan Nuri. Farzan tidak urun bicara. Dia hanya mengamati interaksi kedua perempuan berbeda generasi yang terlihat begitu akrab."Maaf, aku ke sini nggak bawa apa-apa," tutur Tanti. "Tidak apa-apa, Nak. Kamu datang saja, Ibu sudah senang," balas Nuri. "InsyaAllah, kalau ke sini lagi, aku bawakan menu terbaru dari kafe." Tanti mengalihkan pandangan pada lelaki tua yang matanya sama sendunya dengan sang putra. "Om mau dibawakan apa?" tanyanya. Haedar menggeleng. "Saya cuma ingin kamu sering-sering ke sini," tuturnya dengan suara pelan. Tanti mengangguk
07Jalinan detik bergulir menjadi menit. Perputaran jam berlanjut begitu cepat hingga hari berganti menjadi minggu. Haedar akhirnya diizinkan pulang oleh tim dokter karena kondisinya sudah membaik. Pria tua menuruti semua nasihat dokter. Haedar tidak menolak apa pun yang disuguhi istrinya untuk dimakan. Lelaki berkumis dan berjanggut berusaha keras agar bisa lekas pulih, demi menyongsong acara pertemuan keluarga dengan calon besan.Tanti tidak menduga jika orang tuanya begitu gesit mempersiapkan segala sesuatunya untuk melaksanakan acara perkenalan keluarga sekaligus lamaran. Perempuan bermata cukup besar masih terkaget-kaget menyaksikan semua kehebohan di rumahnya, tepat dua minggu setelah dia menerima perjodohan. Sabtu pagi, Tanti didandani Sovia Mindira, kakaknya yang baru tiba kemarin malam dari Yogyakarta. Sovia sudah bermukim di sana sejak lima tahun silam, untuk mengikuti suaminya, Rauf, yang bertugas di kota gudeg tersebut. Sovia yang berprofesi sebagai penata rias, begitu
08Pertanyaan Farzan tadi siang masih terngiang-ngiang di telinga Tanti. Dia tidak menduga jika Farzan akan menanyakan hal yang selama itu menjadi kebimbangan hatinya. Tanti tadi tidak menyahut. Dia hanya menggeleng tanpa menjelaskan apa pun. Bagi Tanti, itu sangat privasi. Meskipun mereka akan menikah, Farzan tidak perlu mengetahuinya. Malam kian larut. Tanti memasuki kamarnya dan mematikan lampu utama. Dia berpindah ke meja rias untuk menyalakan lampu kecil, kemudian mencabut kabel pengisi daya dan meraih ponselnya. Tanti menghempaskan badan ke tepi tempat tidur. Dia membuka kunci layar ponsel dan mengecek puluhan pesan yang masuk. Satu nama yang mengirimkan banyak pesan membuat Tanti berdecih. Dia mengabaikan pesan-pesan itu dan beralih berselancar dalam dunia maya. Dering ponselnya menyebabkan Tanti menjengit. Dia mengamati nama pemanggil, sebelum mendengkus kuat. Namun, Tanti akhirnya memutuskan untuk menerima panggilan karena tahu orang yang menelepon tidak akan berhenti sam
09Beberapa hari telah berlalu dari pertemuan terakhirnya dengan Farzan. Siang itu, pria berkumis tipis tiba-tiba datang ke kafe dan mengajak Tanti menemui ibunya. Meskipun bingung, perempuan berkulit kuning langsat tetap memenuhi permintaan laki-laki berkemeja hijau lumut. Sepanjang perjalanan Farzan mengajak Tanti berbincang mengenai bisnis. Dia dan teman-temannya berencana membangun resor di Lembang. Farzan mengajak Tanti untuk menjadi rekanan yang khusus menyediakan pastry dan berbagai macam kue. "Ya, Mas. Aku mau," ungkap Tanti sembari memandangi Farzan dengan sorot mata berbinar-binar. "Oke. Senin depan, meeting pertama. Kamu ikut," terang Farzan. "Acaranya di mana dan jam berapa?""Ruang rapat hotel. Nanti kamu bisa sekalian diskusi dengan wedding organizer. Mungkin ada masukan sebelum mereka mempersiapkan dekorasi untuk resepsi kita." "Semuanya sudah kuserahkan sama Bunda dan Ibu. Biar mereka yang urus tentang itu. Aku cuma mau fokus pada diri sendiri." Farzan melirik se
10Tanti jalan mondar-mandir sepanjang ruang kerjanya. Dia sekali-sekali akan melirik pergelangan tangan kanan untuk mengecek arloji. Detik demi detik menunggu terasa begitu lama bagi perempuan berbaju abu-abu. Kala ponselnya berbunyi, dia segera mengangkatnya. Tidak berselang lama Tanti sudah jalan menyusuri tangga. Setibanya di lantai satu, dia menyambangi pria berkemeja biru tua yang tengah duduk di kursi dekat meja kasir. Setelah menempati kursi seberang Farzan, Tanti langsung menceritakan tentang perdebatannya kemarin malam dengan Yosrey. "Ternyata dia benar-benar mencari tahu tentang Mas lewat akun instagram. Jadi, waktu Ristin men-tag Mas, kebukalah semuanya," tutur Tanti. Farzan mendengkus pelan. Dia tidak menduga jika Yosrey akan menggali informasi tentang dirinya. "Akunnya apa? Biar kublokir," cakapnya. "Kupikir dia pakai akun palsu. Akan ketahuan kalau dia gunakan akun asli." "Ehm, ya, benar juga." "Tolong sampaikan ke Ristin, untuk sementara jangan up apa pun yang b