Kegundahan hati Tanti kian bertambah karena Yosrey berulang kali mendatanginya di kafe. Pria berkumis tipis tidak berani berkunjung ke rumahnya karena pasti tidak akan disukai orang tua Tanti.
Sore itu, perempuan berambut sebahu baru selesai bekerja. Dia tengah mengemasi meja ketika ponselnya berdering. Tanti melirik pada benda yang tengah diisi daya di samping kanan. Dia segera mencabut kabel untuk mengangkat ponsel dan menerima panggilan.
"Assalamualaikum," sapa Farzan.
"Waalaikumsalam," jawab Tanti.
"Maaf ganggu. Tapi ini benar-benar urgent."
"Ya, Mas. Nggak apa-apa." Tanti terdiam sesaat, lalu bertanya, "Ada yang bisa kubantu?"
"Ayah menolak makan dari pagi. Walaupun udah pakai infusan, tetap saja kami khawatir."
"Astaghfirullah."
"Apa kamu ada waktu? Maksudku, untuk datang dan menemui beliau."
Tanti melirik pergelangan tangan kiri, kemudian menjawab, "Ya, Mas. Bisa."
"Bagus. Segeralah turun. Aku ada di tempat parkir."
Farzan menutup sambungan telepon tanpa berpamitan. Tanti terpaku sesaat, sebelum melanjutkan berkemas dan jalan keluar. Perempuan bersetelan blazer biru menuruni tangga dengan hati-hati hingga tiba di lantai satu.
Tanti sempat berbincang dengan manajer kafe, sebelum mengayunkan tungkai menuju tempat parkir. Farzan ternyata telah keluar dari mobilnya dan menyandar ke pintu mobil sambil menunggu Tanti tiba.
Pria berhidung bangir menyunggingkan senyuman menyambut perempuan berkulit kuning langsat. Farzan menegakkan tubuh dan bersiap untuk membukakan pintu mobilnya.
"Aku pakai mobilku saja, Mas," tutur Tanti setelah tiba di dekat lelaki berkemeja marun.
"Nggak usah. Nanti kuantar pulang ke rumahmu. Sekalian ada yang ingin kubicarakan dengan Om Saad," jelas Farzan.
"Tentang apa?"
"Kita bicarakan sambil jalan." Farzan membukakan pintu samping kiri kendaraannya. "Ayo, masuk. Terlalu sore nanti jalanan macet," sambungnya.
"Ehm, ya."
Tanti beranjak memasuki mobil. Farzan menutup pintunya, kemudian memutari kendaraan dan membuka pintu samping kanan.
Tidak berselang lama, mobil MPV hitam bergerak menjauhi tempat parkir dan bergabung dengan ratusan kendaraan di jalanan.
Selama beberapa saat suasana hening. Farzan memfokuskan pandangan ke depan. Sementara Tanti mengarahkan perhatian ke sekeliling sembari menunggu lelaki di sebelahnya memulai percakapan.
"Ti, sudah ada jawabannya?" tanya Farzan yang mengejutkan Tanti.
"Ehm, ini baru lima hari, Mas. Masih ada waktu dua hari lagi untuk berpikir," kilah Tanti.
"Waktu Ibu nelepon tadi dan memintamu datang, beliau juga memintaku menemui Om Saad. Kita udah nggak bisa ngelak, Ti." Farzan melirik sekilas, kemudian kembali menatap ke depan. "Kecuali kalau kamu menolak, maka aku bisa langsung menjelaskan hal itu pada keluargamu dan juga orang tuaku," pungkas.
Tanti menggigit bibir bawah. Dia benar-benar bingung harus memutuskan apakah hendak menerima permintaan Farzan, ataupun menolaknya. Kedua jawaban itu sama-sama memiliki konsekuensi yang berat. Terutama karena akan mempengaruhi hubungan persahabatan keluarga Bramanty dan keluarga Hendrawan.
Tiba-tiba sebuah mobil SUV abu-abu menyalip dari kiri dan menyebabkan Farzan terkejut. Dia mengerem mendadak ketika mobil tersebut berhenti. Pengemudi SUV keluar sembari memberi kode agar Farzan menepikan kendaraan.
Tanti membulatkan matanya ketika memastikan bila Yosrey-lah yang menghentikan mobil. Tanti menimbang-nimbang sesaat, sebelum membuka sabuk pengaman dan hendak keluar.
"Mau ke mana?" tanya Farzan.
"Menemuinya," sahut Tanti.
"Dia itu siapa?"
"Ehm, teman." Tanti membuka pintu dan segera turun. "Tunggu sebentar, Mas," pintanya sembari menutup pintu.
Farzan memandangi perempuan yang mendatangi lelaki berkemeja putih. Keduanya terlibat percakapan serius. Farzan mengangkat alisnya ketika pria berdasi hitam menarik tangan Tanti dan mengajaknya pergi. Tidak peduli perempuan tersebut berteriak memprotes, tetapi dirinya tetap dipaksa jalan.
Farzan melepaskan sabuk pengaman dan bergegas turun. Dia berlari mengejar kedua orang yang bergerak menjauh. Farzan memegangi kedua bahu Tanti agar tidak bisa ditarik lagi.
"Mas, lepasin!" geram Tanti sembari berusaha menarik tangannya dari cekalan sang mantan.
"Kamu harus ikut aku!" titah Yosrey.
"Sorry, Bung. Tapi Tanti tidak akan ke mana-mana," ungkap Farzan. "Jadi, lepaskan tangannya!" tegasnya sembari menatap tajam pada pria yang tubuhnya sedikit lebih tinggi darinya.
"Kamu siapa, hah?" Yosrey memelototi Farzan. "Ini urusanku dengan dia. Nggak ada hubungannya denganmu!" geramnya.
"Dia jelas ada hubungan denganku," ungkap Tanti.
"Apa maksudmu?" tanya Yosrey.
"Dia ... calon suamiku."
Yosrey terkesiap. Dia memandangi laki-laki berkemeja marun. "Calon suami?" desaknya sambil menatap perempuan di hadapannya dengan tajam.
"Ya." Tanti menghempaskan tangannya hingga terlepas dari cekalan sang mantan.
"Kenapa kamu nggak ada ngomong soal itu?"
"Sudah, tapi Mas nggak percaya, kan?"
"Kupikir kamu mengada-ads."
"Enggak. Aku serius." Tanti menggeser badan mendekati Farzan dan melingkarkan tangan kiri ke lengan kanan pria yang tetap diam. "Sekarang Mas pasti paham, kenapa aku menolak untuk kembali menjalin kasih," sambungnya.
Yosrey tidak menyahut. Dia masih terkejut dengan kenyataan di hadapannya. Pria berparas manis memandangi tangan pasangan tersebut yang saling mengait. Hatinya memanas karena tidak menyukai hal itu.
"Yuk, Mas. Kita sudah ditunggu," ucap Tanti sembari memandangi Farzan yang membalas dengan anggukan.
"Kami permisi," tutur Farzan, sebelum memutar badan dan mengajak Tanti menuju mobilnya.
Sekian menit berlalu, Yosrey masih terpaku di tempatnya. Pria tersebut masih tidak mempercayai apa yang baru saja dilihatnya. Yosrey terkejut, karena tidak menduga jika Tanti benar-benar telah mengalihkan hati pada lelaki tadi.
Sementara itu di mobil, Tanti masih menyandar ke pintu sembari memejamkan mata. Dia merasa malu pada Farzan karena harus menjadi saksi perdebatannya dengan Yosrey.
"Ti, tadi itu, mantanmu?" tanya Farzan, setelah tidak bisa menahan rasa penasaran.
Tanti membuka mata, kemudian menyahut, "Ya." Dia menoleh ke kanan, lalu melanjutkan ucapan. "Maaf, tadi aku terpaksa berbohong dan mengatakan kalau Mas calon suamiku," ungkapnya.
"Enggak apa-apa. Tapi, aku penasaran. Kenapa dia memaksamu ikut dengannya?"
"Dia mau ngajak aku ke rumahnya. Dari pagi dia udah nge-chat, tapi nggak kugubris."
"Kutebak, kalian putusnya tidak baik-baik, betul?"
"Hu um."
Farzan manggut-manggut. "Dia kayaknya cemburu padaku."
"Abaikan."
Tanti mengamati area luar. Pikirannya berkecamuk antara Yosrey dan lelaki di sebelah kanan. Permintaan kedua pria itu hampir sama, yakni mengajaknya menikah. Perbedaannya adalah, posisinya sebagai istri.
Tanti menarik napas dalam-dalam dan menahannya sesaat, sebelum melepaskannya perlahan. Ruang di hatinya masih menyisakan rasa sayang pada Yosrey. Namun, Tanti tidak yakin akan kesetiaan pria tersebut.
Selain itu, orang tuanya sudah menegaskan agar Tanti tidak lagi menjalin hubungan dengan Yosrey yang telah menyakiti hatinya. Perempuan berbibir tipis menyadari jika itu menjadi salah satu alasan sang bapak menerima perjodohan dengan Haedar. Yakni, Saad tidak mau anaknya dinikahi Yosrey.
Tanti menggigit bibir bawah. Dia menyadari jika menikahi sang sopir, maka dia hanya akan menjadi istri pajangan Farzan. Belum lagi berbagai permasalahan yang harus dijalani selama setahun ke depan yang pastinya akan rumit.
Sambutan hangat Nuri pada Tanti, mengingatkan Farzan akan sambutan berbeda ibunya pada Ristin tempo hari. Pria berkemeja marun mendengkus pelan menyaksikan bagaimana senangnya Nuri karena didatangi Tanti. Farzan mengamati kala perempuan bersetelan blazer biru mendatangi Haedar dan menyalaminya dengan takzim. Farzan kembali membatin jika sang ayah juga terlihat senang dengan kedatangan anak sahabatnya. Percakapan ringan dilakukan Tanti dan Nuri. Farzan tidak urun bicara. Dia hanya mengamati interaksi kedua perempuan berbeda generasi yang terlihat begitu akrab."Maaf, aku ke sini nggak bawa apa-apa," tutur Tanti. "Tidak apa-apa, Nak. Kamu datang saja, Ibu sudah senang," balas Nuri. "InsyaAllah, kalau ke sini lagi, aku bawakan menu terbaru dari kafe." Tanti mengalihkan pandangan pada lelaki tua yang matanya sama sendunya dengan sang putra. "Om mau dibawakan apa?" tanyanya. Haedar menggeleng. "Saya cuma ingin kamu sering-sering ke sini," tuturnya dengan suara pelan. Tanti mengangguk
07Jalinan detik bergulir menjadi menit. Perputaran jam berlanjut begitu cepat hingga hari berganti menjadi minggu. Haedar akhirnya diizinkan pulang oleh tim dokter karena kondisinya sudah membaik. Pria tua menuruti semua nasihat dokter. Haedar tidak menolak apa pun yang disuguhi istrinya untuk dimakan. Lelaki berkumis dan berjanggut berusaha keras agar bisa lekas pulih, demi menyongsong acara pertemuan keluarga dengan calon besan.Tanti tidak menduga jika orang tuanya begitu gesit mempersiapkan segala sesuatunya untuk melaksanakan acara perkenalan keluarga sekaligus lamaran. Perempuan bermata cukup besar masih terkaget-kaget menyaksikan semua kehebohan di rumahnya, tepat dua minggu setelah dia menerima perjodohan. Sabtu pagi, Tanti didandani Sovia Mindira, kakaknya yang baru tiba kemarin malam dari Yogyakarta. Sovia sudah bermukim di sana sejak lima tahun silam, untuk mengikuti suaminya, Rauf, yang bertugas di kota gudeg tersebut. Sovia yang berprofesi sebagai penata rias, begitu
08Pertanyaan Farzan tadi siang masih terngiang-ngiang di telinga Tanti. Dia tidak menduga jika Farzan akan menanyakan hal yang selama itu menjadi kebimbangan hatinya. Tanti tadi tidak menyahut. Dia hanya menggeleng tanpa menjelaskan apa pun. Bagi Tanti, itu sangat privasi. Meskipun mereka akan menikah, Farzan tidak perlu mengetahuinya. Malam kian larut. Tanti memasuki kamarnya dan mematikan lampu utama. Dia berpindah ke meja rias untuk menyalakan lampu kecil, kemudian mencabut kabel pengisi daya dan meraih ponselnya. Tanti menghempaskan badan ke tepi tempat tidur. Dia membuka kunci layar ponsel dan mengecek puluhan pesan yang masuk. Satu nama yang mengirimkan banyak pesan membuat Tanti berdecih. Dia mengabaikan pesan-pesan itu dan beralih berselancar dalam dunia maya. Dering ponselnya menyebabkan Tanti menjengit. Dia mengamati nama pemanggil, sebelum mendengkus kuat. Namun, Tanti akhirnya memutuskan untuk menerima panggilan karena tahu orang yang menelepon tidak akan berhenti sam
09Beberapa hari telah berlalu dari pertemuan terakhirnya dengan Farzan. Siang itu, pria berkumis tipis tiba-tiba datang ke kafe dan mengajak Tanti menemui ibunya. Meskipun bingung, perempuan berkulit kuning langsat tetap memenuhi permintaan laki-laki berkemeja hijau lumut. Sepanjang perjalanan Farzan mengajak Tanti berbincang mengenai bisnis. Dia dan teman-temannya berencana membangun resor di Lembang. Farzan mengajak Tanti untuk menjadi rekanan yang khusus menyediakan pastry dan berbagai macam kue. "Ya, Mas. Aku mau," ungkap Tanti sembari memandangi Farzan dengan sorot mata berbinar-binar. "Oke. Senin depan, meeting pertama. Kamu ikut," terang Farzan. "Acaranya di mana dan jam berapa?""Ruang rapat hotel. Nanti kamu bisa sekalian diskusi dengan wedding organizer. Mungkin ada masukan sebelum mereka mempersiapkan dekorasi untuk resepsi kita." "Semuanya sudah kuserahkan sama Bunda dan Ibu. Biar mereka yang urus tentang itu. Aku cuma mau fokus pada diri sendiri." Farzan melirik se
10Tanti jalan mondar-mandir sepanjang ruang kerjanya. Dia sekali-sekali akan melirik pergelangan tangan kanan untuk mengecek arloji. Detik demi detik menunggu terasa begitu lama bagi perempuan berbaju abu-abu. Kala ponselnya berbunyi, dia segera mengangkatnya. Tidak berselang lama Tanti sudah jalan menyusuri tangga. Setibanya di lantai satu, dia menyambangi pria berkemeja biru tua yang tengah duduk di kursi dekat meja kasir. Setelah menempati kursi seberang Farzan, Tanti langsung menceritakan tentang perdebatannya kemarin malam dengan Yosrey. "Ternyata dia benar-benar mencari tahu tentang Mas lewat akun instagram. Jadi, waktu Ristin men-tag Mas, kebukalah semuanya," tutur Tanti. Farzan mendengkus pelan. Dia tidak menduga jika Yosrey akan menggali informasi tentang dirinya. "Akunnya apa? Biar kublokir," cakapnya. "Kupikir dia pakai akun palsu. Akan ketahuan kalau dia gunakan akun asli." "Ehm, ya, benar juga." "Tolong sampaikan ke Ristin, untuk sementara jangan up apa pun yang b
"Apa, Yah? Menikah dengan Tanti?" tanya Farzan Bramanty pada sang ayah yang berada di kursi seberang. "Ya, demi mewujudkan perjanjian Ayah dan Saad, dulu. Sekaligus sebagai cara Ayah membalas budi pada beliau, karena telah menyelamatkan nyawa Ayah beberapa tahun silam," sahut Haedar Bramanty, Ayah Farzan. "Tapi aku sudah melamar Ristin, Yah. Karena itulah aku datang dan meminta Ayah sama Ibu mau melamarkannya pada orang tuanya di Bogor." "Ayah dari dulu sudah bilang, kalau Ayah telah memiliki calon istri untukmu." Farzan menggeleng. "Enggak bisa. Aku cinta Ristin!" tegasnya. "Cinta bisa luntur seiring waktu. Bisa juga dipindahkan ke orang lain." "Aku tetap nggak mau! Lagi pula aku dan Tanti nggak kenal dekat. Cuma say hello kalau ketemu, tiap kali Ayah menyuruhku mendatangi rumahnya." "Dan itu cara Ayah agar kamu bisa mengenalnya lebih dekat." "Yah, maaf. Tapi aku benar-benar nggak bisa. Ini udah modern. Nggak zaman lagi perjodohan." "Ayah tidak akan menyetujui perjodohan kal
Sinar matahari sore menjelang malam yang hangat menyentuh kulit yang terbuka. Embusan angin sejuk membelai sukma. Dedaunan yang jatuh ke bumi, akan melayang berpindah tempat bila sang bayu sedikit mengencang.Sepasang manusia duduk di bangku panjang dengan posisi berjauhan. Tidak ada seorang pun yang berbicara dan larut dalam pikiran masing-masing. Bila Farzan tengah menyusun kalimat untuk menerangkan maksudnya, Tanti berdiam diri karena menunggu lelaki berparas manis mengucapkan kata-kata. "Apa kamu sudah tahu, kalau kita dijodohkan?" tanya Farzan memecahkan kesunyian. "Ehm, ya," sahut Tanti. "Bagaimana menurutmu?" "Aku nggak tahu, Mas. Sekarang masih kaget." "Aku nggak bisa menerimanya. Bukan karena kamu, tapi aku sudah punya calon sendiri." Tanti tertegun sejenak, kemudian mengangguk. "Ya, Mas. Aku paham. Nggak apa-apa." "Bisa bantu aku buat meyakinkan orang tua?" "Maksudnya?" "Kamu menjelaskan kalau kamu juga menolak perjodohan." Tanti mendengkus. "Walaupun kurang yaki
"Enggak nyangka kita bisa ketemu di sini," tutur Yosrey sembari mengamati perempuan berambut sebahu lekat-lekat. "Apa kabar?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kanan. Tanti memandangi tangan lelaki di hadapannya sesaat, sebelum menjabatnya secara asal dan segera menariknya. "Kabarku, cukup baik," sahutnya. Perempuan berhidung bangir mengalihkan perhatian pada deretan minuman, kemudian mengambil beberapa botol rasa yang menjadi kesukaannya. Tanti menutup pintu lemari pendingin, lalu berbalik dan hendak menjauh. "Ti, bisa kita bicara sebentar?" tanya Yosrey. Tanti berhenti. "Ini sudah malam, Mas. Aku harus buru-buru pulang," terangnya tanpa menoleh. "Kalau begitu, besok saja. Sesuai perjanjian kita." "Aku nggak ada janji. Aku cuma bilang akan memikirkannya." "Ini benar-benar penting, Ti. Waktuku juga nggak lama di sini. Bulan depan aku harus kembali ke Jepang." Yosrey berpindah ke samping kanan dan memegangi lengan perempuan berkulit kuning langsat yang seketika menjengit. "Hany