Seorang pria yang berada di dalam mobil SUV abu-abu, mengamati sepasang manusia yang tengah mengobrol di teras kafe. Dia mengerutkan dahi karena tidak mengenali lelaki berperawakan sedang yang tengah berbincang dengan Tanti.
Yosrey terus memandangi pria yang akhirnya berbalik dan jalan menuju tempat parkir. Dia benar-benar tidak mengetahui siapa lelaki tersebut. Yosrey penasaran tentang sosok itu sekaligus alasannya bertemu Tanti.
Seunit mobil MPV hitam melintas di depan mobil Yosrey. Lelaki berkemeja krem memastikan mobil itu menjauh, sebelum membuka pintu kendaraannya dan turun.
Yosrey spontan merapikan rambut dan pakaiannya, sebelum mengayunkan tungkai menyambangi perempuan berambut sebahu yang tampak terkejut melihatnya datang.
"Aku kirim chat dan meneleponmu beberapa kali, tetapi tidak dijawab," tutur Yosrey, sesaat setelah tiba di dekat Tanti.
"Ehm, ponselnya lagi di-charge di ruang kerja. Aku tengah menemui tamu," jelas Tanti.
"Siapa pria yang tadi?"
Tanti terdiam sesaat, lalu menyahut, "Teman."
"Aku belum pernah lihat dia."
"Aku tidak perlu menerangkan siapa saja temanku, Mas."
Yosrey tertegun, kemudian mengangguk paham. Dia enggan berdebat karena tahu bila Tanti tidak suka didesak. "Aku mau makan," tuturnya mengalihkan percakapan.
"Silakan masuk dan pilih tempat duduk. Pegawai kafe akan melayani Mas," balas Tanti.
"Aku mau kamu yang layani."
"Maaf, tapi aku masih harus menyelesaikan pekerjaan."
"Ti, aku cuma minta waktumu sebentar saja. Paling lama satu jam."
Perempuan berbaju putih mengalihkan pandangan ke kiri. Dia mendengkus pelan karena menyadari bila lelaki berkumis tipis di hadapannya akan tetap kukuh hingga keinginannya dikabulkan.
Tanti melirik Yosrey, kemudian mengarahkan dagu ke kiri sebagai kode agar pria tersebut mengikutinya. Tanti memutar tumit, lalu menjauh sembari menenangkan hatinya yang berdesir.
Perempuan berbibir tipis mengeluh dalam hati karena kehadiran Yosrey menjadikan rasa sayang itu kembali muncul. Padahal Tanti sudah berusaha melupakan lelaki berambut ikal tersebut. Namun, ternyata sosoknya masih menimbulkan getaran di sanubari sang gadis.
Yosrey mengekori langkah perempuan berparas ayu seraya mengulum senyum. Dia senang karena akhirnya Tanti bersedia berbincang. Keduanya berhenti di dekat meja ujung kanan. Tanti memanggil pelayan dan memintanya mencatat pesanan tamunya.
Setelah pelayan pergi, keduanya masih terdiam. Tanti berpura-pura memperhatikan beberapa tamu lain yang sedang bersantap. Sedangkan Yosrey memandangi perempuan di hadapannya yang terlihat makin menawan.
"Ti, sebelumnya aku mau minta maaf karena pergi mendadak," ucap Yosrey yang berhasil mencuri perhatian Tanti hingga menatapnya saksama. "Seperti yang kamu ketahui, aku mendaftar ikut ke sana sudah cukup lama. Dan aku nggak dapat tempat karena kalah saing dengan yang lain," terangnya.
"Tapi, ternyata aku ditawarkan posisi yang sama dari Mbak Githa. Aku nggak mau kehilangan kesempatan dan langsung mengiakannya. Proses pengurusan yang mendadak pun dibantu tim Mbak Githa hingga aku bisa berangkat bareng beliau dan rekan-rekan. Jadi ...."
"Mas, aku nggak marah karena Mas berangkat ke sana tanpa membicarakannya denganku. Tapi aku kesal karena Mas menerima tawaran perempuan itu," potong Tanti yang menyebabkan Yosrey terkejut.
"Aku dan dia udah nggak ada hubungan apa-apa, Ti. Kamu salah paham."
"Begitu?" Tanti mengerutkan keningnya. "Kalau nggak ada apa-apa, kenapa foto kalian berdua memenuhi akun instagramnya? Belum lagi captionnya, benar-benar romantis!" desisnya.
"Foto yang mana?"
"Mas lihat aja sendiri!"
Yosrey terkesiap. Dia tidak menduga bila Tanti diam-diam mengikuti akun Githa, perempuan yang merupakan keponakan bos Yosrey. Mereka sempat menjalani hubungan rahasia, sebelum Tanti mengetahuinya dan mengamuk.
Yosrey masih ingat bagaimana cara Tanti melampiaskan kemarahannya. Pria berparas manis benar-benar menyesal karena telah menduakan Tanti. Yosrey sudah memutuskan menjauhi Githa, tetapi kesempatan yang datang dari mantan selingkuhan, tidak bisa diabaikan lelaki berhidung bangir.
"Selama di sana, kami nggak pernah berdua saja, Ti. Selalu ada teman yang lain," cakap Yosrey. "Mungkin dia menghapus foto teman-teman hingga hanya ada kami berdua," ungkapnya.
Tanti melengos. Dia telanjur kecewa atas keputusan sepihak Yosrey. Luka dalam hati yang sudah kering, kembali basah karena Tanti meyakini jika Yosrey dan Githa kembali menjalin hubungan.
"Aku nggak butuh penjelasan, Mas. Lagi pula, hubungan kita sudah berakhir, tepat di saat Mas pergi tempo hari," tukas Tanti.
"Bagiku, belum. Aku masih mencintaimu," kukuh Yosrey.
Tanti menggeleng. "Sudah lewat enam bulan, dan bagiku semua sudah usai!" tegasnya.
"Ti, dengar dulu. Aku ...."
"Mas ingat? Waktu Mas membujuk agar aku memaafkan perselingkuhan dan kembali memperbaiki hubungan kita. Aku pernah bilang, itu adalah yang pertama dan terakhir kalinya aku mau memaafkan Mas."
Yosrey mengerjap-ngerjapkan mata. "Ya, aku ingat. Tapi aku nggak selingkuh lagi, Ti. Aku juga udah berusaha ngejelasin ke kamu lewat telepon, tapi pembicaraan kita selalu kamu putus sebelum aku menuntaskannya."
*** Lembayung senja sudah menggelap ketika mobil MPV hitam memasuki area parkir sebuah gedung apartemen. Sang pengemudi menghentikan mobil, kemudian turun sambil membawa paper bag.Setelah menutup dan mengunci pintu mobil, pria yang mengenakan t-shirt hijau tua mengayunkan tungkai menuju lobi tower B. Dia membalas sapaan petugas lobi, kemudian meneruskan langkah memasuki lift.
Sekian menit berikutnya, lelaki bermata sendu telah berada di unit kekasihnya. Mereka tengah duduk berdampingan di sofa, sambil bergenggaman tangan. Tidak ada yang bicara dan keduanya larut dalam pikiran masing-masing.
Suara televisi yang menayangkan informasi dunia hiburan menjadi satu-satunya yang terdengar di ruangan bernuansa ungu muda. Selebihnya benar-benar senyap.
"Besok pagi, ikut aku," ujar Farzan.
"Ke mana?" tanya Ristin.
"Rumah sakit."
"Ehm, kayaknya lebih baik aku nggak muncul, deh."
"Kenapa?"
"Nanti dicuekin lagi."
"Abaikan. Aku cuma ingin menegaskan pada Ayah dan Ibu jika aku benar-benar akan menikahimu."
"Gimana dengan perempuan itu? Apa dia setuju?"
"Tanti minta waktu untuk berpikir. Aku kasih waktu seminggu buatnya."
"Kalau dia nolak, gimana?"
"Justru itu maksudku. Aku sengaja memberikan syarat itu agar dia mundur. Jadi nggak ada alasan lagi orang tua untuk menjodohkan kami, kalau dia yang menolak."
"Kalau dia menerima, apa Mas benar-benar bisa memegang teguh janji untuk tidak menjadikannya istri yang sebenarnya?"
"Apa kamu nggak percaya sama aku?"
"Ya."
"Ris, kita udah sering bahas ini."
"Tapi itu artinya Mas udah nggak adil padanya."
"Aku nggak peduli. Karena aku cuma mau kamu yang jadi istriku satu-satunya."
"Mas nggak bisa begitu. Bagaimana kalau dia nggak rida dan menceritakan itu pada keluarganya?"
"Itu hal kedua yang kuinginkan dari poligami ini. Kalau keluarganya nggak terima dan meminta perceraian, aku akan langsung mengurusnya tanpa mikir panjang."
Ristin menggeleng. "Itu egois, Mas. Pikirkan juga perasaannya. Apalagi bila bercerai nanti, statusnya menjadi janda. Meskipun dia masih perawan, tetap saja status itu sudah tersemat pada dirinya."
"Aku capek harus terus memikirkan orang lain. Kali ini, biarlah aku yang egois."
"Hatinya akan terluka, Mas."
"Biarkan saja. Aku hanya ingin menjaga hatimu dan tidak mau memikirkan yang lainnya."
Jalinan waktu terus berjalan. Masa yang diberikan Farzan untuk berpikir, hampir tiba. Hal itu menyebabkan Tanti gelisah dan sulit berkonsentrasi. Kegundahan hati Tanti kian bertambah karena Yosrey berulang kali mendatanginya di kafe. Pria berkumis tipis tidak berani berkunjung ke rumahnya karena pasti tidak akan disukai orang tua Tanti. Sore itu, perempuan berambut sebahu baru selesai bekerja. Dia tengah mengemasi meja ketika ponselnya berdering. Tanti melirik pada benda yang tengah diisi daya di samping kanan. Dia segera mencabut kabel untuk mengangkat ponsel dan menerima panggilan. "Assalamualaikum," sapa Farzan."Waalaikumsalam," jawab Tanti. "Maaf ganggu. Tapi ini benar-benar urgent." "Ya, Mas. Nggak apa-apa." Tanti terdiam sesaat, lalu bertanya, "Ada yang bisa kubantu?" "Ayah menolak makan dari pagi. Walaupun udah pakai infusan, tetap saja kami khawatir." "Astaghfirullah." "Apa kamu ada waktu? Maksudku, untuk datang dan menemui beliau." Tanti melirik pergelangan tangan k
Sambutan hangat Nuri pada Tanti, mengingatkan Farzan akan sambutan berbeda ibunya pada Ristin tempo hari. Pria berkemeja marun mendengkus pelan menyaksikan bagaimana senangnya Nuri karena didatangi Tanti. Farzan mengamati kala perempuan bersetelan blazer biru mendatangi Haedar dan menyalaminya dengan takzim. Farzan kembali membatin jika sang ayah juga terlihat senang dengan kedatangan anak sahabatnya. Percakapan ringan dilakukan Tanti dan Nuri. Farzan tidak urun bicara. Dia hanya mengamati interaksi kedua perempuan berbeda generasi yang terlihat begitu akrab."Maaf, aku ke sini nggak bawa apa-apa," tutur Tanti. "Tidak apa-apa, Nak. Kamu datang saja, Ibu sudah senang," balas Nuri. "InsyaAllah, kalau ke sini lagi, aku bawakan menu terbaru dari kafe." Tanti mengalihkan pandangan pada lelaki tua yang matanya sama sendunya dengan sang putra. "Om mau dibawakan apa?" tanyanya. Haedar menggeleng. "Saya cuma ingin kamu sering-sering ke sini," tuturnya dengan suara pelan. Tanti mengangguk
07Jalinan detik bergulir menjadi menit. Perputaran jam berlanjut begitu cepat hingga hari berganti menjadi minggu. Haedar akhirnya diizinkan pulang oleh tim dokter karena kondisinya sudah membaik. Pria tua menuruti semua nasihat dokter. Haedar tidak menolak apa pun yang disuguhi istrinya untuk dimakan. Lelaki berkumis dan berjanggut berusaha keras agar bisa lekas pulih, demi menyongsong acara pertemuan keluarga dengan calon besan.Tanti tidak menduga jika orang tuanya begitu gesit mempersiapkan segala sesuatunya untuk melaksanakan acara perkenalan keluarga sekaligus lamaran. Perempuan bermata cukup besar masih terkaget-kaget menyaksikan semua kehebohan di rumahnya, tepat dua minggu setelah dia menerima perjodohan. Sabtu pagi, Tanti didandani Sovia Mindira, kakaknya yang baru tiba kemarin malam dari Yogyakarta. Sovia sudah bermukim di sana sejak lima tahun silam, untuk mengikuti suaminya, Rauf, yang bertugas di kota gudeg tersebut. Sovia yang berprofesi sebagai penata rias, begitu
08Pertanyaan Farzan tadi siang masih terngiang-ngiang di telinga Tanti. Dia tidak menduga jika Farzan akan menanyakan hal yang selama itu menjadi kebimbangan hatinya. Tanti tadi tidak menyahut. Dia hanya menggeleng tanpa menjelaskan apa pun. Bagi Tanti, itu sangat privasi. Meskipun mereka akan menikah, Farzan tidak perlu mengetahuinya. Malam kian larut. Tanti memasuki kamarnya dan mematikan lampu utama. Dia berpindah ke meja rias untuk menyalakan lampu kecil, kemudian mencabut kabel pengisi daya dan meraih ponselnya. Tanti menghempaskan badan ke tepi tempat tidur. Dia membuka kunci layar ponsel dan mengecek puluhan pesan yang masuk. Satu nama yang mengirimkan banyak pesan membuat Tanti berdecih. Dia mengabaikan pesan-pesan itu dan beralih berselancar dalam dunia maya. Dering ponselnya menyebabkan Tanti menjengit. Dia mengamati nama pemanggil, sebelum mendengkus kuat. Namun, Tanti akhirnya memutuskan untuk menerima panggilan karena tahu orang yang menelepon tidak akan berhenti sam
09Beberapa hari telah berlalu dari pertemuan terakhirnya dengan Farzan. Siang itu, pria berkumis tipis tiba-tiba datang ke kafe dan mengajak Tanti menemui ibunya. Meskipun bingung, perempuan berkulit kuning langsat tetap memenuhi permintaan laki-laki berkemeja hijau lumut. Sepanjang perjalanan Farzan mengajak Tanti berbincang mengenai bisnis. Dia dan teman-temannya berencana membangun resor di Lembang. Farzan mengajak Tanti untuk menjadi rekanan yang khusus menyediakan pastry dan berbagai macam kue. "Ya, Mas. Aku mau," ungkap Tanti sembari memandangi Farzan dengan sorot mata berbinar-binar. "Oke. Senin depan, meeting pertama. Kamu ikut," terang Farzan. "Acaranya di mana dan jam berapa?""Ruang rapat hotel. Nanti kamu bisa sekalian diskusi dengan wedding organizer. Mungkin ada masukan sebelum mereka mempersiapkan dekorasi untuk resepsi kita." "Semuanya sudah kuserahkan sama Bunda dan Ibu. Biar mereka yang urus tentang itu. Aku cuma mau fokus pada diri sendiri." Farzan melirik se
10Tanti jalan mondar-mandir sepanjang ruang kerjanya. Dia sekali-sekali akan melirik pergelangan tangan kanan untuk mengecek arloji. Detik demi detik menunggu terasa begitu lama bagi perempuan berbaju abu-abu. Kala ponselnya berbunyi, dia segera mengangkatnya. Tidak berselang lama Tanti sudah jalan menyusuri tangga. Setibanya di lantai satu, dia menyambangi pria berkemeja biru tua yang tengah duduk di kursi dekat meja kasir. Setelah menempati kursi seberang Farzan, Tanti langsung menceritakan tentang perdebatannya kemarin malam dengan Yosrey. "Ternyata dia benar-benar mencari tahu tentang Mas lewat akun instagram. Jadi, waktu Ristin men-tag Mas, kebukalah semuanya," tutur Tanti. Farzan mendengkus pelan. Dia tidak menduga jika Yosrey akan menggali informasi tentang dirinya. "Akunnya apa? Biar kublokir," cakapnya. "Kupikir dia pakai akun palsu. Akan ketahuan kalau dia gunakan akun asli." "Ehm, ya, benar juga." "Tolong sampaikan ke Ristin, untuk sementara jangan up apa pun yang b
"Apa, Yah? Menikah dengan Tanti?" tanya Farzan Bramanty pada sang ayah yang berada di kursi seberang. "Ya, demi mewujudkan perjanjian Ayah dan Saad, dulu. Sekaligus sebagai cara Ayah membalas budi pada beliau, karena telah menyelamatkan nyawa Ayah beberapa tahun silam," sahut Haedar Bramanty, Ayah Farzan. "Tapi aku sudah melamar Ristin, Yah. Karena itulah aku datang dan meminta Ayah sama Ibu mau melamarkannya pada orang tuanya di Bogor." "Ayah dari dulu sudah bilang, kalau Ayah telah memiliki calon istri untukmu." Farzan menggeleng. "Enggak bisa. Aku cinta Ristin!" tegasnya. "Cinta bisa luntur seiring waktu. Bisa juga dipindahkan ke orang lain." "Aku tetap nggak mau! Lagi pula aku dan Tanti nggak kenal dekat. Cuma say hello kalau ketemu, tiap kali Ayah menyuruhku mendatangi rumahnya." "Dan itu cara Ayah agar kamu bisa mengenalnya lebih dekat." "Yah, maaf. Tapi aku benar-benar nggak bisa. Ini udah modern. Nggak zaman lagi perjodohan." "Ayah tidak akan menyetujui perjodohan kal
Sinar matahari sore menjelang malam yang hangat menyentuh kulit yang terbuka. Embusan angin sejuk membelai sukma. Dedaunan yang jatuh ke bumi, akan melayang berpindah tempat bila sang bayu sedikit mengencang.Sepasang manusia duduk di bangku panjang dengan posisi berjauhan. Tidak ada seorang pun yang berbicara dan larut dalam pikiran masing-masing. Bila Farzan tengah menyusun kalimat untuk menerangkan maksudnya, Tanti berdiam diri karena menunggu lelaki berparas manis mengucapkan kata-kata. "Apa kamu sudah tahu, kalau kita dijodohkan?" tanya Farzan memecahkan kesunyian. "Ehm, ya," sahut Tanti. "Bagaimana menurutmu?" "Aku nggak tahu, Mas. Sekarang masih kaget." "Aku nggak bisa menerimanya. Bukan karena kamu, tapi aku sudah punya calon sendiri." Tanti tertegun sejenak, kemudian mengangguk. "Ya, Mas. Aku paham. Nggak apa-apa." "Bisa bantu aku buat meyakinkan orang tua?" "Maksudnya?" "Kamu menjelaskan kalau kamu juga menolak perjodohan." Tanti mendengkus. "Walaupun kurang yaki