Share

Bab 03 - Berbagi Suami

"Enggak nyangka kita bisa ketemu di sini," tutur Yosrey sembari mengamati perempuan berambut sebahu lekat-lekat. "Apa kabar?" tanyanya sambil mengulurkan tangan kanan. 

Tanti memandangi tangan lelaki di hadapannya sesaat, sebelum menjabatnya secara asal dan segera menariknya. "Kabarku, cukup baik," sahutnya. 

Perempuan berhidung bangir mengalihkan perhatian pada deretan minuman, kemudian mengambil beberapa botol rasa yang menjadi kesukaannya. Tanti menutup pintu lemari pendingin, lalu berbalik dan hendak menjauh. 

"Ti, bisa kita bicara sebentar?" tanya Yosrey. 

Tanti berhenti. "Ini sudah malam, Mas. Aku harus buru-buru pulang," terangnya tanpa menoleh. 

"Kalau begitu, besok saja. Sesuai perjanjian kita." 

"Aku nggak ada janji. Aku cuma bilang akan memikirkannya." 

"Ini benar-benar penting, Ti. Waktuku juga nggak lama di sini. Bulan depan aku harus kembali ke Jepang." Yosrey berpindah ke samping kanan dan memegangi lengan perempuan berkulit kuning langsat yang seketika menjengit. "Hanya satu jam aku meminta waktumu. Bisa?" desaknya. 

Tanti terhenyak. Dia ingin menarik tangannya, tetapi Yosrey justru menguatkan pegangan. "Akan kupikirkan," tuturnya. 

"Segera beritahu aku." 

Tanti terpaksa mengangguk. Dia menyentakkan tangan yang akhirnya terlepas. Perempuan berbibir tipis segera menjauh tanpa berpamitan. Dia membatalkan niat berbelanja dan meletakkan keranjang di sembarang tempat. 

Yosrey memandangi perempuan tersebut hingga sosoknya menghilang di balik pintu kaca mini swalayan. Pria beralis tebal mendengkus pelan. Dia menyadari jika Tanti sepertinya masih marah karena dia meninggalkan perempuan tersebut secara mendadak. 

Yosrey berharap Tanti mau menemuinya esok hari, karena dia akan menjelaskan alasan kepergiannya ke negeri sakura. Yosrey juga menginginkan Tanti mau mengerti dan bisa memaafkannya. 

Sementara itu di tempat berbeda, Ristin sedang melamun sembari memandangi langit malam dari jendela apartemennya. Perempuan berambut sepundak terngiang-ngiang penuturan Farzan yang beberapa menit lalu menghubunginya. 

Ristin sudah mengetahui tentang perjodohan antara Farzan dan Tanti. Dia kecewa dan sedih karena ternyata orang tua Farzan memang benar-benar tidak menyetujui hubungan mereka. 

Ristin teringat, selama beberapa kali berkunjung bersama Farzan, hanya Jihan dan Irshad yang bersikap ramah padanya. Sedangkan Haedar dan Nuri nyaris tidak pernah mengobrol dengannya. 

Ristin sempat menanyakan hal itu pada Farzan, tetapi pria bermata sendu memintanya untuk tetap sabar dalam mendekati orang tuanya. Sekarang, Ristin paham kenapa Haedar dan Nuri mengabaikannya. Tidak lain alasannya karena mereka telah memilihkan perempuan lain yang akan menjadi calon istri Farzan. 

Bunyi pintu kamar yang terbuka tanpa ada ketukan sebelumnya, mengejutkan Ristin berbalik dan  spontan mendelik pada orang yang muncul sembari membawa bungkusan. 

"Ris, mau martabak, nggak?" tanya Shireen Rowena sembari duduk di bangku dekat meja rias. 

"Kamu, kenapa selalu nyelonong aja?" Ristin balik bertanya. 

"Aku udah ngetuk, kok." 

"Kapan?" 

"Sedetik sebelum membuka pintu." 

Ristin melengos, sedangkan Shireen mengulaskan senyuman lebar. Aroma harum menguar ketika perempuan bermata bulat membuka tutup kotak makanan. 

Ristin melirik sahabatnya yang langsung menyantap kudapan, kemudian perempuan berambut sebahu turut meraih sepotong dan menyuapkan makanan ke mulutnya. 

Selama beberapa saat suasana hening. Keduanya sibuk menikmati hidangan tanpa berbincang. Ristin kembali memandangi langit yang gelapnya sama dengan hatinya. Dia tidak menyangka jika tengah diperhatikan perempuan berkaus putih. 

"Ris," panggil Shireen setelah makanan di kotak habis. 

"Hmm." 

"Sudah ada kabar dari Mas Farzan?" 

"Tentang apa?" 

"Rencana pernikahan kalian." 

Ristin terdiam sesaat, lalu berkata, "Tadi dia nelepon, dan menjelaskan kalau dia terpaksa memenuhi permintaan ayahnya." 

"Lalu, bagaimana denganmu?" 

"Mas bilang, dia juga akan menikahiku." 

"Ehm, maksudnya, poligami?" 

"Hu um." 

"Apa kamu yakin mau berbagi suami?" 

Ristin kembali terdiam. Dia menghela napas berat, sebelum mengembuskannya perlahan. "Apa aku punya pilihan?" tanyanya sembari memandangi Shireen dengan sorot mata sendu. 

"Mungkin kamu bisa meninggalkannya dan mencari pria lain." 

Ristin menggeleng. "Aku sangat mencintainya." 

"Tapi berbagi cinta itu berat, Ris." 

"Ya, aku tahu," sahut Ristin. "Tapi Mas Farzan sudah berjanji untuk tidak menyentuhnya. Lagi pula, pernikahan mereka hanya berlangsung setahun," lanjutnya. 

"Omongan itu bisa berubah. Apalagi bagi laki-laki. Perempuan itu halal buatnya. Bisa saja Mas nggak kuat menahan keinginan untuk menyentuhnya." 

Ristin kembali menggeleng. "Aku sangat percaya pada Mas." 

Shireen tertegun, lalu mendengkus pelan. "Kamu cinta buta," ledeknya. 

"Mungkin memang begitu." 

"Kalau aku jadi kamu, mending aku tetap sendiri daripada dipoligami." 

***

Hari berganti. Siang itu, Tanti tengah larut dalam pekerjaan ketika ponselnya berdering. Dia terkejut saat membaca nama pemanggil dan segera menjawabnya.

Sekian detik berikutnya Tanti sudah berada di koridor lantai dua kafe yang menjadi tempat khusus kantor. Dia bergegas menuruni tangga, kemudian celingukan mencari sosok orang yang tadi menghubunginya. 

Tanti mengayunkan tungkai menyambangi lelaki berkemeja biru tua. Dia spontan merapikan pakaian, sebelum memaksakan senyuman untuk menyapa sang tamu. Tanti menarik kursi di hadapan lelaki berambut lebat, kemudian duduk dengan punggung tegak. 

"Apa aku mengganggu?" tanya Farzan tanpa mengucapkan kata-kata pembuka. 

"Enggak, Mas," sahut Tanti. 

"Kamu udah makan siang?" 

"Belum." 

"Kita makan sama-sama." 

"Aku bisa nanti, Mas. Tadi aku sudah ngemil, jadi sekarang belum lapar." 

"Kalau begitu, temani aku makan." 

Tanti mengangguk. Dia enggan berdebat karena penasaran dengan maksud kedatangan pria berparas manis di hadapannya. Tanti memanggil pegawai kafe untuk memesan minuman kesukaannya. Kemudian, dia menunduk sambil menunggu Farzan memulai percakapan. 

"Aku datang ke sini, untuk menyampaikan sesuatu," tukas Farzan. Dia berhenti berbicara sejenak, kemudian melanjutkan percakapan. "Aku menyetujui perjodohan kita," lanjutnya yang menyebabkan Tanti menengadah dan menatapnya saksama.

"Bukannya waktu itu Mas bilang mau menolaknya?" tanya Tanti. 

"Ya, tapi ternyata Ayah tetap bersikeras untuk menikahkan kita," jelas Farzan. "Aku tidak bisa menolak, karena takut kondisi Ayah akan kian memburuk," sambungnya.

"Ehm, ya. Tapi, gimana dengan pacar Mas?" 

Farzan mengamati perempuan yang diakuinya manis, lalu menyahut, "Aku akan menikahinya, sebulan setelah pernikahan kita." 

Tanti terkesiap. Dia mengerjap-ngerjapkan mata karena kaget dengan penuturan Farzan. "Maksudnya, Mas akan melakukan poligami?" tanyanya. 

"Ya. Selain itu, pernikahan kita hanya berlangsung sampai setahun ke depan. Aku juga tidak akan menyentuhmu. Jadi, kamu akan tetap suci." Farzan memajukan badan, kemudian bertutur, "Jika dalam jangka waktu itu kamu jatuh hati pada pria lain, kita segera urus perceraian. Agar kamu bisa menikahinya." 

Tanti terdiam. Dia benar-benar tidak menduga jika Farzan akan mengusulkan hal yang sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. 

"Mohon maaf, Mas. Poligami itu berat. Apa Mas yakin bisa menjalaninya?" tanya Tanti. 

"Aku tidak akan mengusulkannya jika tidak yakin," balas Farzan. "Seperti yang aku katakan tadi, ini hanya berlangsung setahun," terangnya. 

"Aku nggak yakin orang tuaku mau menerimanya." 

"Sedapat mungkin rahasiakan ini, Ti. Karena nantinya akan banyak pertanyaan yang menjadikan semuanya lebih rumit." 

"Orang tua Mas, sudah tahu?" 

"Ya, dan mereka menyetujuinya." 

Tanti mengerutkan keningnya. "Kenapa kalian tidak menanyakan pendapatku sebelum memutuskannya?" 

"Sebab itulah aku datang, karena aku ingin mendengarkan jawabanmu." Farzan mengamati perempuan bermanik cokelat, kemudian berujar, "Kamu tidak harus menerima, Ti. Menolak juga boleh. Aku tidak akan memaksa, karena ini kehidupanmu." 

Tanti menimbang-nimbang sesaat, sebelum menjawab, "Beri aku waktu untuk berpikir." 

"Boleh. Berapa lama?" 

"Satu bulan dari sekarang." 

Farzan menggeleng. "Itu terlalu lama." 

"Lalu, gimana?" 

"Maksimal satu minggu." 

"Sepertinya sangat singkat." 

"Kita tidak punya banyak waktu. Karena aku takut kondisi Ayah akan makin drop." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status